Jajaran pegawai Pajak itu seakan memang mempunyai kasta tertinggi diantara para 
pegawai lainnya di Republik ini.

Kasta tertinggi itu tak hanya jika dibandingkan dengan para abdi negara 
lainnya, seperti PNS (Pegawai Negeri Sipil) atau Prajurit TNI serta Polisi 
Bhayangkara Negara.

Bahkan masih merupakan kasta tertinggi sekalipun dibandingkan dengan para 
pegawai di perusahaan swasta.


Barangkali karena sebagai kasta tertinggi, maka para pegawai pajak ini 
diberikan gaji yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pegawai selevelnya di 
tempat lainnya.


Pegawai pajak yang berijazah D-3 (Diploma 3 Tahun) dengan kepangkatan III-A 
mempunyai gaji tak kurang dari Rp. 12,1 Juta per bulannya.

Gaji resmi per bulannya itu terdiri dari gaji pokok beserta tunjangan sebesar 
Rp. 2,4 Juta ditambah renumerasi sebesar Rp. 8,2 Juta ditambah lagi dengan 
imbalan prestasi sebesar Rp. 1,5 Juta.

Suatu jumlah gaji yang berlipat kali lebih tinggi dibandingkan dengan PNS 
lainnya yang juga bergolongan III-A. Bahkan juga lebih tinggi dibandingkan 
dosen di STAN yang selevelnya dimana mereka hanya menerima gaji sebesar Rp. 6 
Juta per bulannya saja.

Bahkan bagi pegawai pajak di bagian urusan juru sita, masih ditambahkan lagi 
dengan imbalan tambahan sebagai bonusnya yang senilai Rp. 20 Juta.


Menurut kabar, pemberian gaji dengan standar yang demikian tinggi itu 
dimaksudkan agar para pegawai pajak menjadi jujur dan amanah serta tak mudah 
tergoda untuk melakukan perbuatan tercela.

Namun kenyataannya, tidaklah seperti harapan dan tujuannya. Pemberian gaji yang 
besar itu ternyata tetap saja tak meluputkan mereka dari godaan untuk melakukan 
perbuatan tercela.

Salah satu contoh nyatanya dapat terlihat dari kasus yang terjadi pada diri 
Gayus Halomoan Tambunan.


Apakah itu hanya terjadi pada Gayus dan segelintir oknum saja ?.

Tak hanya segelintir oknum saja. Paling tidak demikian yang diungkap oleh Surat 
kabar harian Kompas, hari Selasa tanggal 30 Maret 2010 pada halaman 2 di 
tulisan yang berjudul ‘Kesejahteraan Pegawai : Renumerasi Pegawai Pajak yang 
Membikin Iri’.

Menurut pengakuan Gayus yang diungkap oleh anggota Satgas Mafia Hukum Mas 
Achmad Santoso, dikatakan bahwa jajaran staf di direktoratnya saja ada lebih 
dari 10 orang yang juga melakukan perbuatan seeperti dirinya.

Bahkan, masih di tulisan itu disebutkan juga bahwa sejumlah pegawai pajak 
mempercayai banyak rekannya yang memiliki kekayaan sejumlah milyaran rupiah.

Maka, tak berlebihan jika rakyat jelata kemudian menilai bahwa carut marut 
permainan pajak itu sudah sedemikian sistemik.


Lalu apa tindakan terbaik untuk mentuntaskan penyelidikan atas kasus yang 
sistemik ini ?.

Menteri Keuangan Sri Mulyani secara radikal dan serta merta dengan mengabaikan 
asas praduga tak bersalah, langsung membebas tugaskan seluruh pimpinan dan staf 
yang bertugas di Unit Keberatan Pajak.

Tindakan pe-non aktif-an yang tanpa menunggu selesainya proses hukum itu 
dimaksudkan agar memberikan keleluasaan kepada petugas penyidik untuk memeriksa 
kasus-kasus di unit tersebut.

Tindakannya Menteri Keuangan tersebut, secara tersirat sebenarnya mengakui 
bahwa untuk mentuntaskan penyelidikan atas sebuah kasus yang sudah sedemikian 
sistemik itu adalah dengan membebas tugaskan atau menonaktikan mereka yang 
diduga terlibat tanpa harus menunggu proses hukumnya terlebih dahulu.


Apakah kasus Gayus ini memang mencerminkan betapa sistemiknya carut marut di 
urusan pajak ini ?.

Sangat patut diduga memang sedemikian sistemik. Mengingat Gayus yang hanya 
seorang staf tanpa jabatan yang beruang eselon saja dapat mengumpulkan uang di 
rekening pribadinya yang ternyata tak hanya berjumlah Rp. 25 Milyar saja. Namun 
ternyata dari beberapa rekeningnya, total uangnya tak kurang dari Rp. 28 Milyar.

Sejumlah Rp. 28 Milyar itu hanya kekayaan yang berbentuk uang di rekening 
banknya saja.

Apabila kekayaan yang berbentuk uang itu ditambah dengan kekayaan dalam bentuk 
lainnya, maka bisa jadi jumlah harta kekayaan Gayus akan jauh melampaui jumlah 
kekayaannya Wakil Presiden Boediono. Bahkan mungkin melampaui juga jumlah 
kekayaannya Menteri Keuangan Sri Mulyani.


Fantastis, mungkin hanya kata itu yang tepat untuk menggambarkan betapa dahsyat 
dan sistemiknya kasus pajak ini.

Bisa dibayangkan, jika staf tanpa jabatan eselon saja sudah sedemikian kayanya, 
maka terbayang kekayaannya para atasannya yang sangat patut diduga tentu jauh 
melebihi kekayaannya Gayus sebagai bawahannya.

Dan, lagian melihat jumlah kekayaan yang mampu dikumpulkannya dengan masa kerja 
yang belum mencapai sepuluh tahun itu, maka sangat patut diduga bahwa 
permainannya Gayus yang hanya setingkat staf itu tentu tak mungkin dapat 
dilakukannya sendirian tanpa melibatkan koleganya dan atasannya.


Apakah permainan pajak itu hanya terjadi di Unit Keberatan Pajak atau di 
Direktorat Keberatan dan Banding saja ?.

Sebenarnya, sangat patut diduga bahwa permaianan itu tidak hanya monopoli 
terjadinya di direktorat itu saja. Boleh dibilang hampir merata, semua 
direktorat mempunyai cara dan modus permainan yang khas di masing-masing 
direktorat.

Bisa jadi di direktorat yang mengurusi PPN (Pajak Pertambahan Nilai) juga tak 
luput dari cara-cara yang bernuansa penggelapan pajak.

Dan, sangat patut diduga juga permainan itu merata tidak hanya terjadi di 
kantor pusat Jakarta, namun juga di kantor pajak yang ada di daerah-daerah.


Sebagai salah satu misalnya, jika diteliti dan ditelisik pembukuannya para Wapu 
Pajak (Wajib Pungut Pajak) di sektor toko-toko retail, maka akan ditemukan 
betapa meluasnya permainan pajak itu.

Hampir merata di toko-toko retail yang mereka telah berkategori Wapu Pajak, 
akan ditemui adanya permainan pajak PPN yang sebesar 10% dari nilai barang.

Mereka para retailer itu tentu tak dapat mengelak untuk melaporkan pajak PPN 
atas barang yang dibelinya dari suplier-suplier besar dimana nota pembeliannya 
sudah termasuk pungutan PPN-nya.

Namun mereka para retailer itu tentu tak akan melaporkan pajak PPN atas barang 
yang dibelinya dari suplier-suplier kecil dimana nota pembeliannya belum 
termasuk pungutan PPN-nya.


Mengapa demikian ?.

Dapat dimengerti jika mereka para retailer itu berbuat yang demikian itu, 
mengingat jika mereka melakukannya sesuai dengan aturan maka mereka akan kalah 
bersaing dengan toko retailer saingannya yang tidak termasuk berkategori Wapu 
Pajak.

Gambaran dari terjepitnya posisi dan situasinya mereka para retailer yang Wapu 
Pajak itu dapat terlihat dari ilustrasi pembentukan harga di tingkat eceran 
harga jual di toko retailer milik mereka.

Sebagai misal, retailer toko A termasuk retailer yang berkategori Wapu Pajak 
itu berbelanja membeli barang dagangan fashion di pusat grosir Mangga Dua, 
dengan harga satuan Rp. 100.000 per potongnya.

Sebagaimana diketahui, di pusat grosir Mangga Dua maupun Pasar Tanah Abang itu 
sangat jarang penjual yang memberikan faktur pajak PPN-nya atas barang yang 
dijualnya.

Harga jual kembali yang akan dipasang oleh retailer toko A tersebut tentunya 
harus memperhitungkan ongkos pembelian dan ongkos kirim barang plus biaya 
operasional dan overheadnya serta margin profitnya, masih harus ditambah lagi 
dengan pajak PPN sebesar 10%.

Maka di retailer toko A itu harga jual dari barang dengan harga beli Rp. 
100.000 itu akan menjadi tak kurang dari Rp. 130.000 per potongnya. Sedangkan 
di retailer toko B yang tidak termasuk kategori Wapu Pajak, harga jual barang 
serupa dapat menjadi seharga Rp. 120.000 saja per potongnya lantaran tidak 
harus ditambah PPN 10%.

Situasi dilematis ini tentu membuat retailer toko A harus menjadi memilah-milah 
barang mana yang akan diberinya tambahan PPN 10%, dan barang mana yang tidak 
ditambahinya, jika ingin tetap eksis dalam persaingan bisnisnya dengan 
pesaingnya retailer toko B tersebut.

Situasi dan kondisi yang demikan itu sangat dimengerti oleh para pegawai pajak 
di kantor-kantor daerah.

Dan dengan tega hati tanpa nurani, situasi yang demikian itu dieksploitasi oleh 
para pegawai pajak dengan memeras para retailer itu untuk bonus bulanannya 
sebagai tambahan dari gaji resmi per bulannya yang sesungguhnya sudah 
berstandar sedemikian tinggi.

Itu hanyalah sebagian yang sangat kecil dan kelas gurem saja di arena rimba 
belantara permainan pajak. Masih banyak lagi yang lebih kakap kelasnya dari 
sekedar permainan memeras para retailer Wapu pajak yang kelas teri saja.


Lalu, bagaimana cara mengatasinya jika gaji yang sudah sedemikian tinggi saja 
tak mampu mengurai sistemiknya urusan pajak ?.

Imtaq (Iman dan Taqwa) yang diejawantahkan dalam standar moral dan ketahanan 
mental yang tinggi disertai kebeningan hati nurani yang masih tepo sliro 
sebagai manusia dalam menilai sebuah aturan adalah satu-satunya jawabannya.

Namun, tentu bukan tepo sliro yang berkonotasi berimbalan upeti bulanan sebagai 
hasil dari tindakan memeras dan mengintimidasi serta mengeksploitasi atas 
aturan perpajakan.

Sebab, di saat kebijakan negara memeras keringat rakyatnya dengan berbagai 
aturan untuk menjaring dan menjala setiap hal yang dapat dipajaki telah membuat 
lapangan permainan bagi para pegawai pajak menjadi sedemikian luas dan lapang.

Luas dan lapangnya arena permainan itu telah membuat gaji resmi per bulannya 
ditambah imbalan lainnya yang sudah berstandar sedemikian tinggi itu akan 
menjadi tak berarti sama sekali jika dibandingkan dengan oportunity yang bisa 
diolahnya dari rimba belantara aturan perpajakan.

Gelap matanya kebijakan negara yang memeras rakyatnya di saat segala subsidi 
dicabut dan pengerukan kekayaan alam tak memberikan hasil yang memadai bagi kas 
negara, telah membuat seolah perpajakan diberikan aturan yang tak hanya 
menjaring dan menjala segala jenis ikan, termasuk ikan teri.

Bahkan seolah seperti memburu ikan dengan bom ikan, dimana tak hanya ikan-ikan 
kecil saja yang diraupnya, termasuk dan tak terkecuali benih dan telur ikannya 
ikut dilahapnya.

Jika sudah demikian halnya, maka jangan heran apabila imtaq pun tak akan mampu 
menjadi benteng dari godaan pat gulipat yang mampu menghasilkan uang sedemikian 
banyaknya. Dan, gedung pajak pun lalu akan berubah menjadi tempat berkantornya 
para milyuner-milyuner abdi negara.


Akhirulkalam, semua itu sudah bagaikan benang kusut, dan akan lebih menjadi 
kusut yang lebih ruwet lagi tatkala para aparat pajak pun tak hanya dibebani 
dengan target pemasukan negara yang sedemikian besar, namun juga sudah dibebani 
dengan target-target politis dimana pajak dipolitisasi dan dipergunakan sebagai 
alat untuk menekan lawan-lawan politiknya.

Disaat negara hanya tahu mengisi pundi-pundi kasnya dengan mencekik leher dan 
menguras kantung rakyatnya, maka masih layakkah mereka disebut sebagai abdi 
negara yang melayani rakyatnya ?.


Wallahualambishshawab.


*
Catatan Kaki :
        * Artikel terkait seputar pajak yang membahas kesejahteraan juga 
kenikmatannya para pegawai pajakdapat dibaca di “Nikmatnya jadi Pegawai Pajak” 
dengan mengklik di sini , dan yang membahaspolitisasi pajak sebagai barter 
kasus Century dapat dibaca di “Meragukan Integritas Sri Mulyani” dengan 
mengklik di sini .
        * Artikel terkait seputar politik yang membahas emansipasinya para 
Srikandi Indonesia dalam Pilkadadapat dibaca di “Trio Srikandi Indonesia” 
dengan mengklik di sini , dan yang membahas persaingan antar tokoh-tokoh muda 
dalam memperebutkan jabatan Ketua Umum partai Demokrat dapat dibaca di “Andi 
Mallarangeng versus Anas Urbaningrum” dengan mengklik di sini .
        * Artikel terkait seputar budaya yang membahas hari yang memperingati 
tradisi kebohongan dan penipuan dapat dibaca di “April Mop” dengan mengklik di 
sini , dan yang membahas jurang kultural antar peradaban dunia dapat dibaca di 
“Miss Serambi Mekkah” dengan mengklik di sini .
*
Sistemiknya Urusan Pajak
http://ekonomi.kompasiana.com/2010/03/30/sistemiknya-urusan-pajak/
*



 
Pegawai Negeri Sipil di Ditjen Pajak sepertinya memang enak.

Paling tidak dalam soal gajinya yang jauh lebih besar dibandingkan dengan 
gajinya tentara (TNI) dan polisi (Polri) serta PNS di instansi lainnya yang non 
instansi Depkeu (Departemen Keuangan).

PNS di Ditjen Pajak dengan golongan kepegawaian III-A saja gaji resmi 
sebulannya sudah lebih dari Rp. 12 Juta. Suatu jumlah yang memang cukup 
spektakuler untuk ukuran gaji TNI dan Polri serta PNS non Depkeu pada umumnya.

Apalagi jika Gaji yang Rp. 12 Juta itu dibandingkan dengan UMR (Upah Minimum 
Regional) para buruh yang tak lebih dari Rp. 1 Juta saja.


Pegawai Negeri Sipil di Ditjen Pajak memang nikmat.

Paling tidak jika ditilik dari taraf dan tingkat kehidupannya Gayus Halomoan 
Tambunan, seorang PNS di Ditjen Pajak dengan golongan kepegawaian III-A.

Gayus Halomoan Tambunan, karena merupakan PNS golongan III-A di Ditjen Pajak 
yang merupakan instansi di lingkungan Depkeu, maka tentunya juga bergaji resmi 
sebesar lebih dari Rp. 12 Juta sebulannya.

Jumlah gaji yang sudah sangat lumayan bagus, jika dicoba dibandingkan dengan 
seorang berumur 30 tahun dengan ijasah strata D-4 yang bekerja di perusahaan 
swasta nasional.


Pegawai Negeri Sipil di Ditjen Pajak memanglah enak dan nikmat.

Rumah tinggalnya Gayus yang PNS di Ditjen Pajak ini tak lagi berstatus nebeng 
mertua, juga tak lagi hanya sekedar bisa sewa atau kontrak.

Tapi ia sudah bisa memiliki rumah pribadi milik sendiri. Rumahnya ini juga 
bukan di tengah perkampungan padat yang kumuh. Namun rumah tinggalnya itu 
berada di lingkungan real estate elit yang harga rumahnya lebih dari Rp. 2 
Milyar.

Kepemilikan mobil pribadinya juga berjumlah lebih dari satu buah mobil. Bahkan 
mobilnya itu bukanlah dari jenis mobil yang sembarangan saja, tapi mobil dengan 
kategori mobil mewah.


Pegawai Pajak memang enak.

Bahkan kepemilikan uang di rekening banknya juga sungguh mencengangkan. PNS di 
Ditjen Pajak ini di rekening pribadinya memiliki dana sampai sebesar Rp. 25 
Milyar.

Memang, uang sebesar Rp. 25 Milyar itu suatu jumlah yang sangat kecil jika 
dibandingkan dengan uang yang berjumlah Rp. 6,7 Trilyun.

Namun, uang sebesar Rp. 25 Milyar itu merupakan jumlah uang yang cukup besar, 
jika dibandingkan dengan jumlah maksimum penjaminan LPS atas dana simpanan di 
bank yang hanya Rp. 2 Milyar saja.


Pegawai Pajak memang betul-betul nikmat.

Nyatanya , saat selama menjadi terdakwa di sidang pengadilan, tak perlu status 
kepegawaiannya di-non aktif-kan.

Bahkan setelah diajukan ke depan pengadilan pun, para hakim di pengadilan pun 
mengganjar baginya dengan vonis bebas tak bersalah.


Pegawai Pajak memanglah betul-betul enak dan nikmat.

Setelah terbongkarnya kongkalingkopng dalam perekayasaan atas kasusnya itu, 
sehingga menghasilkan vonis pengadilang yang bebas itu pun, ia masih dilindungi 
oleh komplotannya.

Gayus yang PNS Ditjen Pajak dengan golongan III-A ini bisa berbuat seperti 
layaknya para bankir pengemplang BLBI. Yang bebas lenggang kangkung dengan 
melarikan diri ke Singapura.


Pegawai Pajak memanglah sungguh enak dan nikmat serta nyaman.

Harta kekayaan miliknya yang seperti itu, sangat diyakini, tentulah oleh Gayus 
tidak dilaporkannya di formulir SPPT Tahunan.

Dan, itu tentu tak menjadi soal dan tak terlalu dicermati SPPT Tahunannya, 
sebab pemeriksanya adalah teman-teman sekoleganya di Ditjen Pajak.

Dimana, para koleganya sesama pegawai Ditjen Pajak itu, sangat diyakini, 
tentulah akan menjadi sangat cermat jika meneliti SPPT Tahunannya rakyat biasa 
yang bukan pegawai pajak.


Ah, Pegawai Pajak memanglah sungguh betul-betul pancen oye.

Dimana, para koleganya sesama pegawai Ditjen Pajak itu pun, sangat bisa jadi, 
banyak juga yang mempunyai harta melimpah seperti kekayaannya Gayus Halomoan 
Tambunan. Bahkan sangat mungkin, justru melebihinya.

Dan, apakah para koleganya itu seperti halnya Gayus Halomoan Tambunan, dimana 
SPPT Tahunannya juga tak diisinya dengan data yang jujur ?.


Wallahualambishshawab.


*
Catatan Kaki :
        * Artikel yang membahas seputar masalah ‘politiking pajak’ yang 
dilakukan oleh Menteri Keuangan, dapat dibaca dengan mengklik di sini .
        * Artikel yang membahas seputar maslahat dan mudhorotnya jika Susno 
diangkat sebagai Ketua KPK, dapat dibaca dengan mengklik di sini .
        * Artikel yang membahas seputar pihak pemberi uang suap dan pihak 
penerima uang suap jika ditilik dari kacamata hukum, dapat dibaca dengan 
mengklik di sini .
*
Nikmatnya Jadi Pegawai Pajak
http://ekonomi.kompasiana.com/2010/03/28/pegawai-pajak-memang-enak/
*


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke