Ass w w
Mohon perhatikan: industri rokok kita masih memerlukan suplai impor: 
tembakau virginia, kertas sigaret, dan juga filter. Bahkan dalam impor 
ekspor tembakau kita mengalami kerugian (impor lebih besar dari 
ekspor).
Kaitkan pula dengan berita bahwa filter rokok mengandung darah 
(hemoglobin) babi.
Mudah-mudahan menambah pencerahan bagi kita semua. Betapapun juga 
dalam soal rokok kita sangat merugi atau dirugikan, baik dari kesehatan 
maupun dari akidah.
wass w w
KM
PS: Meski berita ini dikutip dari tahun 2000, saya yakin situasinya 
belum banyak berubah. Industri filter rokok kita seandainya ada, tentu 
masih bel;um mencukupi kebutuhan karena produksi rokok meningkat dari 
tahun ke tahun.

 Rokok, antara Kesehatan, Lapangan Kerja, dan Pemasukan Negara

Kamis, 31 Agustus 2000

MELIHAT
 sisi permintaan, potensi pasar dalam negeri masih tergolong subur 
untuk
 pemasaran berbagai produk rokok. Bahkan badai krisis ekonomi nyaris 
tidak menggoyahkan industri ini. Pada saat krisis memuncak, produksi 
rokok malah naik 2,7 persen, berarti konsumsi rokok meningkat. 
Pertum-buhan itu di atas laju pertumbuhan jumlah penduduk yang hanya 
sekitar 1,8 persen. Di samping itu, belakangan ini banyak bermunculan 
merek rokok baru yang gencar berpromosi.


Walaupun demikian, 
kebu-tuhan tembakau untuk rokok putih masih memerlukan suplai impor. 
Perkembangan impor da-lam lima tahun terakhir berkembang relatif 
kecil. 
Namun, volumenya lebih besar dibandingkan dengan ekspornya, yakni 
rata-rata 42,95 ton per tahun. Selain impor tembakau, Indonesia juga 
mengimpor rokok kretek dari Malaysia dan rokok putih dari Eropa dan 
Amerika Serikat. Namun, impor itu cenderung menurun dari tahun ke 
tahun.

***

Permasalahan utama yang dihadapi 
khususnya oleh industri rokok kretek saat ini adalah tingginya kadar 
nikotin dan tar. Untuk SKT rata-rata sebesar 60 mg dan 3 mg. SKM 
rata-rata 50 mg dan 2,5 mg. Padahal, PP No 81/1999 Pasal 4 menetapkan 
(sesuai ketentuan WHO) bahwa batas kadar maksimum kandungn nikotin 
dan 
tar pada setiap batang rokok yang beredar di wilayah Indonesia tidak 
boleh melebihi kadar nikotin 1,5 mg dan tar 20 mg.

Usaha yang 
perlu dilakukan untuk mengatasi masalah tersebut di atas antara lain 
dalam jangka pendek, menetapkan kawasan tanpa merokok di lokasi umum 
seperti sekolah, rumah sakit, dan restoran; tempat kerja; dan 
angkutan 
umum. Dalam jangka panjang, bersama instansi terkait dan dunia usaha 
menyusun program penurunan kandungan nikotin dan tar secara bertahap 
melalui rekayasa genetika tembakau dan cengkeh bekerja sama dengan 
Ditjen Perkebunan, serta teknologi pengolahan tembakau dengan mutu 
seragam.

Di samping itu, beberapa industri penunjang/pendukung 
yang cukup dominan dalam penentuan daya saing ternyata belum 
berkembang.

Industri
 yang masih tergantung diimpor itu antara lain industri kertas mild 
sigaret, bahan baku filter (asetat tow), bahan pengemas (cellophan 
film,
 aluminium foil, dan tear tape), serta mesin/peralatan proses (mesin 
pembuat dan pengemasan sigaret).

Pada sub-sektor hasil tembakau 
terjadi penurunan produktivitas tenaga kerja, tetapi keluarannya 
(output) meningkat, dan cenderung bergerak ke arah industri yang 
bersifat padat modal. Pemakaian mesin mulai menggantikan sebagian SKT.

***

DAYA
 saing industri ini ditentukan sejumlah faktor. Tembakau salah 
satunya. 
Luas tanaman dan produksi tembakau sampai dengan 1997 mengalami 
kenaikan. Namun, pada tahun 1998 baik luas tanaman dan produksi turun 
hingga mencapai 221.802 ha dengan produksi 138.746 ton. Hal ini 
disebabkan curah hujan yang tinggi dan pengaruh iklim La Nina. Dari 
keseluruhan luas tanaman tembakau 1998, sekitar 98 persen yakni 
218.402 
ha adalah perkebunan rakyat. Sisanya, 3.400 ha adalah perkebunan 
besar 
negara.

Bahan baku tembakau selama ini tumbuh baik di Indonesia. 
Suplai bahan baku artinya cukup kecuali untuk jenis virginia tertentu 
yang belum dihasilkan di dalam negeri. Begitu pula dengan kertas 
rokok 
dan filter masih sangat tergantung dari impor.


(HCB Dharmawan) 


      


Kirim email ke