(Tulisan di bawah ini dikutip dari artikel Iwan Piliang, supaya contentnya 
lebih fokus) ......................................................
 
Hampir di semua industri, termasuk consumer good, pengemplangan pajak, 
tahun-menahun, tambun-menambun terjadi, khusus di transfer pricing.

Sosok Amin Appa, pembaca Sketsa V, di Abu Dhabi, Persatuan Emirat Arab, 
berkomentar. Ia menuliskan perihal industri consumer good:

Selama ini rakyat banyak ditipu oleh pemilik pabrik industri besar karena 
subsidi dan proteksi. Contoh kecil gandum bahan baku mie instant yang banyak di 
konsumsi rakyat Indonesia. Biji gandumnya dimpor dari AS atau Australia, 
pemerintah mensubsidi biji gandum impor sekitar US $ 50 dollar per ton - - 
perusahaan importir biji gandum didominasi kelompok satu konglomerat. 

Untuk memenuhi kebutuhan pabrik gandum di Indonesia, biji gandum olahan di 
Indonesia, bukannya disebarkan memenuhi kebutuhan rakyat banyak, tapi hanya 
beberapa persen saja dilempar ke pasar untuk kebutuhan kue roti rakyat. Dominan 
gandum tersebut dimasukkan langsung ke pabrik olahan; bagi kepentingan 
pembuatan mie instant atau biskuit - - pemiliknya juga konglomerat pengimpor 
biji gandum.

Akibatnya harga gandum tetap mahal. 

Setelah produk jadi tersebut siap santap, produk jadinya bukan bukan dipasarkan 
murni ke dalam negeri, tetapi sebagian besar malah diekspor. Akibatnya yang 
timbul:

1. Harga gandum, terigu di Indonesia lebih mahal karena sebagian besar 
dijadikan bahan baku produk-produk jadi seperti mie instan.

2. Hasil ekspor produk-produk jadi seperti mei instan, pembukaan LC -nya banyak 
dilakukan di negara tetangga sehingga uang dari hasil penjualan disimpan dan 
didepositokan di sana, maka yang menikmati kesejahteraan adalah negara tetangga 
bukan rakyat Indonesia

3. Untuk menjamin kesinambungan produksi, berkolusilah pejabat dengan 
pengusaha, izin impor biji gandum hanya diberikan kepada beberapa perusahaan 
dalam satu atap dan untuk mencegah harga gandum dalam negeri jadi murah 
proteksi dilakukan, pajak impor tinggi. 

Saya pernah sempat geleng-geleng kepala ketika bertemu dengan salah seorang 
sales menager pabrik gandum Persatuan Emirat Arab (PEA) di Dubai International 
Trade Fair. Sempat sosok itu bercerita bahwa impor gandumnya terhambat masuk di 
Indonesia karena di kenai UU dumping.

Ketika itu saya bertanya dalam hati mengapa pemerintah RI tidak menginginkan 
jika produk gandum lain dari luar negeri masuk ke pasaran Indonesia?

Padalah jika hal itu membuka pasar, membuat murahnya harga gandum lokal. Tapi 
kebijakan, malah sebaliknya mensubsidi impor biji gandum untuk memenuhi 
kebutuhan pabrik gandum di dalam negeri yang nota bene sebagian besar produknya 
di ekspor.

Jika gandum di PEA atau di Oman, Qatar, masuk ke pasaran Indonesia melalui 
pelabuhan Tanjung Priok dan Surabaya, jika tanpa dikenai pajak impor akan jauh 
lebih murah harganya produksi pabrik Bogosari. 

Jadi untuk apa uang rakyat dihambur-hamburkan mensubsidi impor biji gandum jika 
kita bisa memperoleh gandum dari luar negeri lebih murah dibanding produksi 
dalam negeri? Apakah tidak lebih bermanfaat kalau subsidi tersebut dicabut dan 
dialihkan mesubsidi pendidikan atau kesehatan rakyat? 


Kamis pagi, 15 April 2010, saya (Iwan Piliang) mengkonfirmasi kepada seorang 
staf DJP bagian transfer pricing, apakah di kelompok usaha terigu dan produk 
jadi, juga ada indikasi pengemplangan pajak melalui transfer pricing? Sosok itu 
mengamini.

Maka, jika semua perusahaan besar menikmati pasar dan segenap kemudahan subsidi 
dari negeri ini, masih mengatakan di Indonesia high cost economy? Yang membuat 
cost itu high, adalah diri mereka sendiri, dominan pula menjual produksi ke 
perusahaan afiliasi dengan harga separuh harga pasar. Itu artinya separuh 
keuntungan disembunyikan dulu, barang dagangan masuk ke pasaran bebas dengan 
harga riil pasar.

Di negeri inilah saya verifikasi, bahwa prinsip ekonomi itu secara taat kaedah 
dilakukan para pengusaha: modal sekecil-kecilnya, untung setambun-tambunnya, 
jika nol modal, bahkan dimodali bangsa dan rakyat ini, kemudian hisap lagi 
darahnya dari mengakali pajak.

Undang-Undang pun kompromis, penggelapan pajak boleh diselesaikan di luar 
pengadilan




 


      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke