Raksasa Itu Masih Tidur...
                
                
                 
        
         
      
                
        
        
                
        
        Jumat, 16 April 2010 | 05:33 WIB
            
            Potensi kelautan Indonesia tidak terkira. 
Luas lautan Indonesia yang mencapai 5,8 juta kilometer persegi menyimpan
 kekayaan laut yang luar biasa, mulai dari potensi perikanan, industri 
kelautan, jasa kelautan, transportasi, hingga wisata bahari. Meski 
demikian, potensi yang melimpah tersebut belum dimanfaatkan secara 
optimal.Masyarakat juga masih memandang laut dengan sebelah mata.
 Panjang garis pantai Indonesia yang mencapai 95.000 kilometer tak 
dimanfaatkan secara optimal. Begitu pula lautan dangkal yang luasnya 24 
juta hektar dan teluk yang luasnya 4,1 juta hektar masih disia-siakan.Produksi
 ikan tangkap Indonesia hingga saat ini cuma sekitar 3,1 juta ton. Jauh 
di bawah China yang mencapai 46 juta ton atau India yang mencapai 
sekitar 3,2 juta ton. Produksi ikan Indonesia nyaris disalip Filipina 
yang hampir 3 juta ton, serta Thailand dan Vietnam masing-masing sekitar
 1,6 juta ton.”Padahal, luas wilayah laut negara-negara itu jauh 
lebih kecil dibandingkan dengan Indonesia,” kata Menteri Kelautan dan 
Perikanan Fadel Muhammad.Konsumsi ikan penduduk Indonesia pun 
sangat rendah, rata-rata hanya 20 kilogram per kapita per tahun. 
Penduduk di Jawa konsumsi ikannya lebih rendah lagi, rata-rata cuma 16 
kilogram per kapita per tahun. ”Kami menginginkan konsumsi ikan 
masyarakat naik menjadi 30-31 kilogram per kapita per tahun sehingga 
kualitas gizi masyarakat naik dan kondisi kesehatan masyarakat pun 
membaik,” kata Fadel.Untuk mencapai keinginan ini, tentu saja 
sejumlah langkah harus dipenuhi, terutama dari sisi budidaya perikanan, 
meningkatkan produksi ikan tangkap, dan membenahi kondisi kapal-kapal 
nelayan. Faktor yang ketiga ini menjadi sangat penting karena sekitar 98
 persen kapal nelayan yang beroperasi saat ini berukuran kecil, bahkan 
36 persen di antaranya tanpa motor. Dengan kondisi seperti ini, mustahil
 nelayan bisa melaut jauh sampai ke tengah lautan.Nelayan hanya 
bisa melaut di perairan dangkal, yang jaraknya hanya beberapa mil dari 
bibir pantai. Karena kapasitas kapal dan bahan bakar terbatas, nelayan 
pun hanya mungkin sehari pergi menangkap ikan dan pulang keesokan 
harinya.Ikan yang ditangkap pun hanya ikan-ikan laut dangkal yang
 harganya jauh sangat murah dibandingkan dengan ikan-ikan laut dalam 
yang harganya mahal dan relatif stabil. Inilah salah satu penyebab 
kesejahteraan nelayan tak kunjung membaik.Tentu ada faktor lain 
yang memengaruhi rendahnya kesejahteraan nelayan. Dari sisi 
sosial-ekonomi, misalnya, ketergantungan nelayan pada tengkulak atau 
juragan sangat tinggi. Harga ikan pun fluktuatif, terutama saat musim 
panen ikan. Jaminan keselamatan pada nelayan juga tidak ada, padahal 
mereka bekerja dengan risiko tinggi. Belum lagi keterbatasan permodalan 
bagi nelayan.”Selain terbatas, bunga pinjaman untuk nelayan 
sangat tinggi. Jika China memberikan bunga 5 persen dan Malaysia 4,5 
persen, Indonesia jauh di atas itu,” kata Riza Damanik, moderator 
diskusi yang juga Sekretaris Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan. 
Selain bunganya tinggi, sangat sedikit pula bank yang mau memberikan 
pinjaman kepada nelayan karena tidak jelasnya agunan.Kondisi ini 
diperparah oleh keterbatasan infrastruktur perikanan, mulai dari 
minimnya stasiun pengisian bahan bakar untuk kapal hingga terbatasnya 
fasilitas pendingin (cold storage). Jadi, lengkaplah sudah penderitaan 
nelayan Indonesia yang jumlahnya saat ini sekitar 2.775.794 orang, 
tetapi lebih dari 50 persen atau 1.466.666 orang berstatus kerja tidak 
tetap atau sambilan. Adapun tenaga kerja di sektor budidaya ikan 
mencapai 2.916.000 orang.Kebijakan
 komprehensifUntuk membenahi karut-marut persoalan 
perikanan, kebijakan tidak bisa dilakukan secara spasial, tetapi harus 
komprehensif. Dalam hal ini, Kementerian Kelautan dan Perikanan sudah 
menyusun sejumlah kebijakan.”Kita sebut arah kebijakannya adalah 
blue revolution. Revolusi biru,” kata Fadel. Visinya adalah menjadikan 
Indonesia sebagai penghasil produk kelautan dan perikanan terbesar di 
dunia pada 2015.Potensi untuk ini terbuka luas, terutama jika 
ingin mengembangkan perikanan budidaya seperti diisyaratkan Organisasi 
Pangan dan Pertanian (FAO). Selain garis pantai yang mencapai 95.000 
kilometer dan laut dangkal seluas 24 juta hektar, Indonesia juga 
memiliki teluk seluas 4,1 juta hektar, pantai berlumpur 2,4 juta hektar,
 danau 630 hektar, sungai 5,9 juta hektar, dan berbagai sumber daya alam
 lainnya. Tinggal lagi kebijakan dan implementasi yang tepat yang harus 
segera diwujudkan.Dalam kebijakan ini, Kementerian Kelautan dan 
Perikanan akan membenahi sektor pemasaran, memperkuat kelembagaan, 
mengelola sumber daya yang tersedia, meningkatkan produktivitas, serta 
memperluas pasar domestik dan internasional. Selain itu, potensi 
kelautan dan perikanan di setiap wilayah juga akan dipetakan dalam 
konsep yang mereka sebut minapolitan. Dalam konsep ini, daerah akan 
dikembangkan sesuai potensinya, seperti untuk pengembangan rumput laut, 
budidaya udang, ikan kerapu, bandeng, dan beragam potensi lainnya.Subandono
 Diposaptono mengingatkan, tak mudah mencapai target yang sudah 
ditetapkan, terutama akibat kondisi pesisir Indonesia yang sudah 
terdegradasi, baik oleh alam maupun ulah manusia. Kondisi ini ditambah 
lagi dengan terjadinya perubahan iklim yang dampaknya sudah mulai 
dirasakan, seperti perubahan pola angin, kenaikan paras muka air laut, 
dan gelombang tinggi.Suhana juga mengingatkan, Indonesia tidak 
boleh terlena dengan produksi ikan yang posisinya ketiga atau keempat 
terbesar di dunia. Faktanya, walaupun Thailand dan Vietnam produksinya 
jauh lebih rendah daripada Indonesia, nilai ekspornya justru lebih 
tinggi. ”Artinya, mereka menangkap ikan-ikan yang bernilai tinggi di 
pasaran dunia,” kata Suhana.Diingatkan pula, FAO sudah 
memublikasikan bahwa 52 persen kawasan perikanan tangkap dunia sudah 
full exploited, artinya tak bisa lagi dieksploitasi lebih lanjut. 
Negara-negara di Eropa sejak 2003 bahkan sudah mengurangi jumlah 
tangkapan ikan hingga 50 persen karena selama ini terjadi eksploitasi 
berlebihan.Indonesia, walaupun lautannya sangat luas, harus sudah
 mulai menyusun kebijakan yang mengarah pada ikan budidaya, bukan lagi 
pada ikan tangkap. Potensi ini lagi-lagi Indonesia memilikinya: mulai 
dari pesisir, teluk, hingga pantai berlumpur yang sangat luas.Tinggal
 sekarang bagaimana memanfaatkannya secara optimal. Jangan lagi kita 
dituding sebagai raksasa yang sedang tidur....
Sumber : 
http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/04/16/0533366/raksasa.itu.masih.tidur...


Send instant messages to your online friends http://uk.messenger.yahoo.com 

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke