Refleksi :  Apa komentar Anda sebgai orang beriman, terhadap pertanyaan : "Jika 
kita memang beragama, kenapa  korupsi  merajalela? 


http://www.analisadaily.com/index.php?option=com_content&view=article&id=54664:jika-kita-memang-beragama-kenapa-ada-trend-korupsi&catid=78:umum&Itemid=139


      Jika Kita Memang Beragama, Kenapa Ada Trend Korupsi?      
      Oleh : Rayenda Khresna Brahmana 

      Pidato pengukuhan guru besar Prof. Fauziah Md Taib di Universiti Sains 
Malaysia bulan lalu sangat menginspirasi. Pidato tersebut menjelaskan bagaimana 
40.000 neuron di jantung (heart) lebih memiliki andil dalam kognasi manusia 
dibanding dengan milyaran neuron di otak (brain).

      Artinya, tindakan perilaku manusia sebenarnya lebih banyak dipengaruhi 
oleh neuron atau sel pikir dari jantung. Hal ini selaras dengan Armour dan 
Ardell (1994) yang menyatakan jantung merupakan "otak kecil" yang turut andil 
dalam afeksi, kognisi, dan kognasi. Otak kecil pada jantung inilah yang kita 
kenal sebagai hati nurani.

      Secara logika, jika otak kecil di jantung (baca: hati nurani) memiliki 
andil dalam perilaku, ditambah dengan landasan etika dan moral yang baik dari 
agama, kenapa kasus kecurangan dan korupsi tetap ada? Lalu dimana peranan 
agama? Hal ini mengingatkan penulis dengan wawancara antara Susno Duaji dengan 
Tabloid Suara Islam. Berikut petikannya:

      "Saya kira solusinya kita perbaiki moral melalui agama seluruh pimpinan 
negara ini. Sekarang ini kan orang tidak takut lagi sama Tuhan. Mereka tetap 
Sholat lima waktu tetapi korupsinya jalan terus. Kalau mereka ketemu daging 
babi muntah muntah, tetapi aspal dan pasir masuk perut." Hal yang menjadi 
catatan adalah ungkapan Susno Duaji bahwa Agama dan Korupsi merupakan dua hal 
yang bisa saja berjalan beriringan. Seseorang meskipun telah melakukan sholat 
lima waktu atau pergi ke gereja setiap minggu, tetap memiliki probabilitas yang 
besar untuk melakukan korupsi. 

      Pendapat Susno Duaji tentu saja sejalan dengan bukti empiris seperti 
oknum yang telah pergi haji tetapi tetap tergoda melakukan korupsi atau para 
Mafia Cosa Nostra yang tetap pergi ke gereja setiap minggu. Secara teoritis, 
Paldam (2001) mengpostulasi hubungan agama dan korupsi berdasarkan the good 
competition theory-nya Adam Smith dan dynamic group collusion-nya David Hume. 
Paldam menjelaskan bahwa negara dengan jumlah keberagaman agama dan kepercayaan 
yang tinggi akan memiliki tingkat korupsi yang relatif lebih rendah daripada 
negara satu agama. Sayangnya, hal ini mungkin tidak berlaku di Indonesia. Di 
negara kita, Agama dan Korupsi seakan dua hal yang bersinergi.

      Bukti-bukti empiris ini membuat kita kembali bertanya, jika otak kecil di 
jantung kita memiliki nilai agama yang kuat, lalu kenapa Indonesia tetap jadi 
sarang korupsi? Jika seharusnya keberagaman agama mengeliminasi tingkat 
korupsi, kenapa Indonesia tetap "membudayakan" korupsi? Kenapa kita beragama, 
jika trend korupsi tetap ada di Indonesia?

      Disonasi Kognisi

      Penjelasan paling sederhana untuk menjawab pertanyaan tersebut adalah 
disonasi kognisi (Cognitive Dissonance). Teori ini menyatakan bahwa manusia 
mencari rasionalisasi dibalik penyesalan atas tindakan. Misalnya saja, 
seseorang akan memberi Zakat atau persepuluhan lebih besar kepada mesjid atau 
gereja ketika dia sadar dia telah melakukan korupsi. Contoh lainnya adalah 
seseorang akan lebih rajin beribadah ketika dia telah melakukan korupsi. Secara 
disonasi kognisi, tindakan ini diambil oleh koruptor sebagai cara untuk mencuci 
dosa korupsi. Hati nurani pun "berpikir" bahwa ritual dan ibadah agama adalah 
cara paling mudah untuk menghapus dosa korupsi. Ini mengindikasikan bahwa agama 
menjadi alat melenggangkan korupsi. Singkatnya, koruptor membutuhkan (ritual) 
agama sebagai media menghapus dosa. Bagi koruptor, agama adalah rasionalisasi 
termudah dan tersederhana untuk mencuci dosa.

      Neuroteologi

      Dalam ilmu neuroteologi, agama dan Tuhan diuraikan sebagai 
pengejawantahan atas neuron. Tuhan lebih bersifat hasil pemikiran daripada 
sebuah jiwa. Jika teori ini benar, hubungan sinergi antara agama dan korupsi 
mengindikasikan syaraf dalam tubuh kita telah permisif terhadap korupsi. Rasa 
bersalah dan cemas dapat ditekan oleh syaraf karena rasa penebusan dosa melalui 
agama. Lebih parah lagi, jika titik Tuhan (God Spot) dalam syaraf manusia telah 
tergantikan oleh tindakan permisif korupsi. Ini berarti bahwa agama mampu 
memberikan ketenangan jiwa bagi koruptor karena digunakan untuk penebusan rasa 
bersalah korupsi. Korupsi pun dapat beralih menjadi hal yang dapat ditebus 
dengan melakukan ritual keagamaan. Manusia pun akan berjamaah melakukan korupsi 
karena ada agama.

      Penyakit Mental

      Harmonisnya agama dan korupsi dalam kehidupan bisa juga mengindikasikan 
penyakit mental. Bagaimana mungkin agama yang mengajarkan nilai kehidupan yang 
baik menjadi tameng para koruptor untuk melakukan korupsi? Bagaimana mungkin 
Agama yang mengamalkan nilai moral yang tinggi diletakkan terpisah dengan 
tindak tanduk jahat koruptor? Jika proposisi ini benar, apakah ini berarti 
koruptor di Indonesia sedang mengalami penyakit kejiwaan (mental sickness)? 
Teoritisnya, Indonesia yang memiliki keberagaman kepercayaan seharusnya 
memiliki tingkat korupsi yang kecil. Namun faktanya, korupsi seolah menjadi 
darah dan daging. Dispersi inilah mengindikasikan bahwa koruptor yang berjamaah 
tadi sedang mengalami penyakit mental.

      Universalisme Moral

      Momok yang harus ditakutkan adalah ketika budaya korupsi menjadi 
universalisme moral. Artinya, korupsi diterima secara bersama sebagai moral 
yang buruk tetapi dapat dilakukan karena dosanya dapat ditebus melalui ritual 
agama. Ketika korupsi menjadi hal yang awam dan ditambah disonasi kognisi, maka 
neuron hati nurani akan merespon bahwa tindakan korupsi merupakan hal yang 
wajar untuk dilakukan. Hal ini akan semakin parah jika institusi agama telah 
ikut di "bail-out" oleh koruptor dan tidak dapat menjadi pengingat moral (moral 
reminder). Sehingga ketika hati nurani bertanya: "apakah korupsi melanggar 
ajaran agama ataupun moral?", hati kita pun menjawabnya, "Korupsi tidak salah 
secara universalisme". Otak kecil di jantung tadi tidak memberi respon rasa 
takut dan cemas atas dosa. Lalu korupsi pun menjadi agama baru buat kita. 
Semoga ini tidak terjadi.***

      Penulis Kandidat PhD di Universiti Sains Malaysia, alumnus University of 
Birmingham, Pendiri Financial Market Community Unpad.
     


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke