Refleksi : Kapal Century tengelam sebelum berlayar! Siapa akan berani dan 
berhasil mengangkatnya dari dasar laut? 

http://cetak.kompas.com/read/xml/2010/05/31/02354453/tenggelamnya.kapal.century


Tenggelamnya Kapal Century
Oleh Donal Fariz


Senin, 31 Mei 2010 | 02:35 WIB

Sekretariat Bersama Partai Koalisi bentukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono 
tidak hanya berhasil membenamkan kasus Bank Century. Lebih dari itu, dalam 
konteks yang lebih luas keberadaannya amat berpotensi menyandera penegakan 
hukum jangka panjang.

Melalui Sekretariat Bersama, Aburizal Bakrie diplot oleh SBY sebagai pemecah 
ombak (breakwater) gelombang politik yang semakin membesar belakangan ini. Arus 
deras kelompok oposisi telah mengancam kursi kekuasaan SBY. Untuk meredam hal 
ini, terjadilah tawar-menawar kekuasaan (political bargaining). Alhasil, dengan 
sangat cepat Golkar berpindah ke lain hati jadi partai koalisi pemerintah. 
Walau dianggap melanggar fatsun politik, ini realitas. Publik pun jamak 
mengetahui bahwa dalam politik tak ada musuh yang abadi dan kawan yang sejati. 
Karena hanya kepentinganlah yang abadi.

Kini, dengan jubah Golkar, Aburizal jadi satu gerbong kereta dengan pemerintah. 
Jabatan sebagai ketua harian forum koalisi memberikan porsi kekuasaan besar. 
Bahkan, sebagian kalangan menilai teramat besar. Sebagai ketua, ia berwenang 
memanggil menteri untuk hadir pada rapat tertentu. Ini jelas telah menyusupi 
kekuasaan pemerintah.

Di sisi lain, sebagai ketua forum koalisi, Aburizal tentu berperan untuk 
merapikan barisan koalisi di parlemen. Di belakang layar, Aburizal bertugas 
sebagai invisible hand (tangan-tangan tak tampak) untuk "menyeiramakan" suara 
parlemen yang belakangan bernada sumbang terhadap pemerintah.

Perkawinan kepentingan ini jelas telah menimbulkan politik kartel di negara 
ini. Secara teori, Meitzer berpendapat, politik kartel muncul dari sebuah 
koalisi besar di antara elite politik. Sistem ini digunakan untuk meminimalkan 
kerugian pihak yang kalah, entah dalam pemilu atau dalam koalisi. Kartel lebih 
mengutamakan mekanisme perangkulan (incorporation) dari elite yang memiliki 
latar belakang ideologi yang berbeda. Dalam politik kartel, dorongan 
berpartisipasi dalam kabinet dan struktur kepemimpinan di komisi, misalnya, 
adalah karena kepentingan partai-partai untuk mengamankan kebutuhan finansial 
bersama.

Apa yang terjadi saat ini mencerminkan sebuah kepentingan pragmatis yang jauh 
dari unsur ideologis. Partai oposisi versus partai pemerintah yang sebelumnya 
begitu sengit berkompetisi di satu hal akan dengan mudah menjadi kooperatif 
dalam hal lain. Intinya, mereka terlibat di pemerintah atau parlemen bukan demi 
perjuangan program atau ideologi partai, melainkan patut diduga demi 
mengamankan sumber-sumber rente.

Semakin meyakinkan kita jika melihat latar belakang para politikus Senayan. 
Dalam catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), setidaknya 44 persen anggota 
DPR periode 2009-2014 merupakan pengusaha. Dominasi pengusaha di ranah politik 
semakin menguatkan akan ancaman persekongkolan antara penguasa dan pengusaha.

Dibentuknya Sekretariat Bersama (Sekber) tidak bisa dilepaskan dari pertautan 
di atas. Bagaimanapun publik tahu Sekber lahir dari benih megaskandal Century. 
Tak berlebihan rasanya jika Sekber memang sangat berpotensi menyandera 
penegakan hukum di negeri ini karena lembaga ini akan menjadi benteng kuat 
dalam menahan serangan hukum terhadap para politisi hitam.

Kapal Century

Jika kepentingan politik sudah menggumpal antarpihak "bermasalah", semua cara 
tentu bisa dihalalkan. Lihat saja pernyataan Ketua DPP Partai Golkar Priyo Budi 
Santoso yang siap memetieskan proses politik kasus Century (7/5). Jelas sangat 
kontraproduktif dengan semangat berapi-api partai beringin ini pada masa angket 
Century.

Memori publik masih sangat kuat merekam saat paripurna hak angket Century, 
dengan lantang 104 kader Golkar memilih opsi C. Pilihan dengan kesimpulan ada 
penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran hukum dalam proses bail out Bank 
Century. Lompat pagar Golkar ke dalam partai koalisi sudah barang tentu diikuti 
peralihan sikap politik bahwa tidak ada yang bermasalah dengan Bank Century.

Manuver ini jelas membahayakan penuntasan kasus Bank Century secara 
keseluruhan. Kasus ini mustahil sampai pada Peradilan Konstitusi karena peta 
dan kalkulasi politik di parlemen sudah berubah secara drastis. Kondisi 
sekarang menunjukkan setidaknya 58 persen suara parlemen sudah berada pada opsi 
A. Jumlah ini jelas tidak memenuhi syarat untuk sampai pada hak menyatakan 
pendapat dan pemeriksaan di Mahkamah Konstitusi. Apa yang dilakukan Lily Wahid 
untuk menguji pasal-pasal hak menyatakan pendapat dalam UU Nomor 27 Tahun 2009 
agaknya tak memiliki daya guna untuk kasus Century saat ini.

Bagitu pula halnya penuntasan kasus Bank Century di KPK. Tidak bisa dimungkiri 
proses penegakan hukum butuh dukungan politis. Jika melihat kondisi KPK saat 
ini, lembaga ini jelas sangat membutuhkan dosis besar untuk menyelesaikan kasus 
Century. Salah satu sumber dosis ini tentu berasal dari kekuatan parlemen.

Amat disayangkan kondisinya sekarang jauh berbeda. Bahkan, kekuatan koalisi tak 
mustahil justru akan memberikan warning kepada KPK agar kasus ini tak 
dilanjutkan hingga tahap berikutnya. Forum koalisi sebagai jurus politik 
Yudhoyono jelas tak ada manfaatnya bagi kepentingan publik. Keberadaannya jelas 
hanya sebagai "bilik" kompromi elite politik. Hingga akhirnya hari ini, kita 
harus menerima kenyataan kasus Bank Century telah sampai pada titik antiklimaks.

Kisah Bank Century ini mengingatkan kita kepada roman Tenggelamnya Kapal Van 
Der Wijck karya Hamka. Roman ini mengisahkan kisah cinta tak berbalas Zainuddin 
terhadap seorang gadis bernama Hayati. Berbeda halnya dengan cerita Bank 
Century. Tenggelamnya Kapal Century telah melahirkan kisah "romantis" antara 
penguasaan dan pengusaha di negeri ini

Donal Fariz Peneliti Hukum Indonesia Corruption WatchDivisi Hukum dan 
Monitoring Peradilan


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke