Indonesia sebagai negara maritim, lautan yang ditebari pulau-pulau besar dan kecil, memang seharusnya kekuatan militer tiga angkatan harus dapat berimbang dan saling topang-bantu. Pendapat Pak Daoed Joesoef hipotetis sesuai dengan sitkon geografis dan sitkon geo-politis serta geo-ekonomis. Dan jawaban SBY yang meremehkan intelegensi para warga sipil (kesulitan cari calon menteri pertahanan yang handal) dalam hal pemahaman dan pemikiran kemiliteran adalah kesombongan militer profesional model KNIL yang pernah menggusur para pejuang asal warga sipil yang berjiwa patriotik besar di zaman RI 1946-1948 dari komando satuan-satuan TNI, semacam ex-KNIL Soeharto.
From: Satrio Arismunandar Sent: Wednesday, September 01, 2010 1:49 PM To: news Trans TV ; kampus tiga ; aipi_poli...@yahoogroups.com ; Forum Kompas ; ppiindia ; sastra pembebasan ; jurnalisme ; Indonesia Rising ; ex menwa UI 2 ; HMI Kahmi Pro Network ; angkasa readers Subject: [ppiindia] Bangsa yang (Dibuat) Kecil - Oleh Daoed Joesoef http://www.suarapembaruan.com/index.php?detail=News&id=24067 2010-08-31 Bangsa yang (Dibuat) Kecil Oleh : Daoed Joesoef Penangkapan tiga petugas Kementerian Kelautan dan Perikanan oleh Polisi Diraja Malaysia di perairan Indonesia, dua hari menjelang HUT ke-65 dari Kemerdekaan RI adalah satu tamparan bagi kita, selaku satu negara bangsa. Pelanggaran kedaulatan wilayah kelautan kita oleh negeri jiran yang pongah ini bukan terjadi baru sekali ini, sudah berkali-kali. Insiden di antara dua negara yang selalu digembar-gemborkan serumpun ini sepintas kelihatan aneh. Yang kecil (Malaysia) kok berani “menampar” yang relatif lebih besar (Indonesia). Secara fisik, Indonesia memang “besar”, in terms of jumlah penduduk, keluasan wilayah nasional, potensi kekayaan negeri. Namun, secara metafisika ia “kecil” karena ia terus-menerus dipimpin oleh warganya yang berjiwa kerdil. Hal ini lagi-lagi merupakan kesalahan kolektif kita, selaku satu Negara-Bangsa. Kita pasrah, membiarkan berbagai bidang kehidupan bersama diperintah oleh elite politik dan pejabat teknis berjiwa kerdil. Kekerdilan jiwa ini, pertama, tercermin dalam pernyataan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono di depan peserta The Future Defence Leaders Workshop 2010 tanggal 26 – 30 Juli di Jakarta. Dia mengaku sempat mengalami kesulitan mencari calon Menteri Pertahanan dan pejabat teras di Kementerian Pertahanan berlatar belakang nonmiliter. Kesulitan itu juga ditemuinya, ketika hendak mengirim orang untuk menghadiri berbagai konferensi, seminar, dan simposium di luar negeri tentang pertahanan, keamanan, dan hubungan internasional. Pernyataan ini tidak betul. Membohongi masyarakat. Kalau saja dia tidak berjiwa kerdil, mau melihat lebih jauh dan melewati tembok berlapis dari opini para penasihat yang “memagari” dan “melindunginya”, dia pasti bisa membaca tulisan-tulisan saya mengenai masalah pertahanan, keamanan (hankam) dan hubungan internasional yang dibutuhkannya. Atau tulisan-tulisan serupa dari para staf analis dan peneliti dari lembaga CSIS. Tulisan-tulisan konseptual tersebut bisa saja berbeda, bahkan berlawanan, dengan apa-apa yang dipikirkannya di bidang itu. Namun, ini kan bukan berarti bahwa pemikiran di bidang hankam dari pihak sipil tidak ada. Saya adalah warga negara sipil (civilian citizen). Di pertengahan tahun 50-an abad lalu, selaku dosen FE-UI, saya sudah mulai menulis tentang hubungan pertahanan dan ekonomi (defence economics). Dalam periode yang sama, dalam rangka kebijakan “Ganyang Malaysia” dari Presiden Soekarno, lagi-lagi selaku “orang sipil”, saya menjadi anggota tim penasihat Inspektur Jenderal Territorial dan Pertahanan Rakyat (Irjentepra). Sebelum menulis itu, saya pernah berkecimpung di bidang militer. Pengalaman kemiliteran saya peroleh selama periode revolusi fisik (1945-1949). Berawal sebagai kadet di Akademi Militer Darurat di Berastagi, lalu sebagai perwira di Divisi IV TKR Sumatera Timur, kemudian selaku anggota Tentara Pelajar selagi ber-SMA di Yogyakarta dan setelah penyerahan kedaulatan aktif kembali sebagai militer di Komando Militer Kota Besar Jakarta Raya (1950-1951) selaku liaison officer. Saya keluar dari dinas kemiliteran, memilih menjadi warga sipil, ketika fakultas ekonomi didirikan oleh Universitas Indonesia. Walaupun begitu, perhatian saya pada masalah hankam dan ketahanan nasional tetap hidup. Ketika mengikuti program S-3 di Sorbonne, saya mengikuti perkuliahan tentang “strategi dan taktik” dari Jenderal Beauffre, veteran perang di Afrika, Perang Dunia II dan Vietnam dan disebut sebagai Bapak persenjataan nuklir Prancis. Tanpa perintah siapa pun, atas kesadaran sendiri, di sela-sela riset dan penulisan tesis doktoral, saya menyusun tiga konsep pembangunan Indonesia yang saling berkaitan, yaitu “Pembangunan Sistem Hankam”, “Pembangunan Ekonomi dalam rangka Pembangunan Nasional”, dan “Pembangunan Sistem Pendidikan dan Kebudayaan”. Berprasangka Mencampuri Sewaktu menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam Kabinet Pembangunan III, saya pernah membicarakan pokok-pokok pemikiran saya tentang pembangunan sistem hankam itu dengan Presiden Soeharto sendiri. Saya pikir kebijakan pemerintah di bidang tersebut selama ini keliru. Bagaimana pertahanan nasional bisa fungsional dan efektif kalau kekuatan di darat jauh lebih diutamakan daripada kekuatan di laut, sedangkan negeri kita dua pertiga terdiri dari laut dengan aneka kekayaan yang dikandungnya. Jangan lupa bahwa Indonesia bukan sekadar “negara maritim” tetapi above all an archipelagic state. Jadi, bukan terdiri atas pulau-pulau yang dikelilingi laut, tetapi lautan yang ditaburi oleh kira-kira 13.000 pulau besar dan kecil. Untuk mengamankan dan melindungi (wilayah) lautan ini diperlukan suatu Angkatan Laut yang tangguh. Ternyata pikiran strategis saya tidak diterima sewajarnya oleh Presiden Soeharto. Dia malah berprasangka ada kehendak mencampuri urusan pertahanan yang selama ini tertutup bagi pikiran sipil, yang secara de facto merupakan hak prerogatif pikiran militer, mau mengalihkan “hegemoni” Angkatan Darat dalam penanganan masalah ketahanan nasional ke angkatan laut, menggoyah “dwi fungsi ABRI”, ingin “menggurui” dan tidak “njawani”. Padahal, kalau jiwa Pak Harto tidak kerdil ketika itu dan bersedia mengikuti koreksian saya terhadap kelemahan-kelemahan konsep hankam yang dipegangnya, saya yakin Malaysia sekarang dan kapan saja tidak akan gegabah mengganggu kedaulatan nasional di wilayah kelautan kita, karena harus menghadapi Angkatan Laut yang relatif lengkap alat persenjataannya. Saya paparkan ini bukan hendak menyombongkan diri. Tapi, ingin mengingatkan betapa kekerdilan jiwa Presiden Soeharto sudah berakibat fatal. Betapa kekerdilan jiwa Presiden SBY telah menutup matanya terhadap keberadaan konsep hankam yang dibuat oleh warga sipil yang bertanggung jawab. Saya tidak mengklaim bahwa konsep saya itu yang paling benar, tidak pula berpretensi menjadi Menhankam. Saya hanya hendak mengatakan bahwa konsep yang dianggap oleh Presiden sebagai “tidak ada”, sebenarnya sudah lama ada, sudah dipublikasi dan terbuka untuk setiap orang. Bahkan, konsep itu sudah dijadikan rujukan oleh seorang sarjana Amerika dalam menyiapkan Ph D tesisnya di bidang ilmu strategi. Mengenai “Pertahanan Negara” UUD-45 Pasal 30 menegaskan bahwa “tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pembelaan negara”. Usaha ini, kalau mau correct, lebih dahulu harus berupa “konsep”, baru “aksi di lapangan”. Penyusunan konsep ini merupakan suatu tantangan par excellence terhadap penalaran intelektual dan akademisi sipil. Sadarilah bahwa war is too important to be left to generals alone. Harus diakui bahwa kekerdilan jiwa juga menguasai tindak-tanduk dan keputusan di kalangan penguasa sipil, bahkan di lingkungan komunitas ilmiah. Di paruh kedua tahun 60-an mulai berpulangan pemuda-pemuda kita yang selama di Jerman Barat mempelajari teknologi perkapalan karena mereka menyadari bahwa Indonesia, tanah airnya, terdiri atas lebih banyak lautan daripada daratan. Namun, mereka ditolak untuk bekerja sebagai insinyur di galangan kapal nasional dan sebagai dosen di perguruan tinggi hanya karena mereka keturunan etnis Tionghoa Kekerdilan jiwa juga terdapat di kalangan penganut agama terbanyak di negeri kita. Sambil berteriak “Allahu Akbar” dengan beringas mereka menghancurkan rumah ibadah kelompok Muslimin yang berbeda interpretasi dalam kepercayaan. Mereka pun tidak segan-segan mencegah warga beragama lain untuk menjalankan ibadah yang sesuai dengan keimanannya, bahkan merobohkan gerejanya. Padahal, UUD menyatakan bahwa “Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agama dan kepercayaannya itu”. Kekerdilan tercermin dalam kecenderungan kita yang berlebihan mendatangkan pakar asing. Kita minta bantuan mereka membuat undang-undang yang bisa menarik investor asing, demi keuntungan sesaat dari generasi sekarang, tetapi akhirnya sangat merugikan kepentingan beberapa generasi penerus. Parpol-parpol yang menjamur, dengan alasan disiplin kepartaian, malah memupuk kekerdilan jiwa di kalangan para anggotanya. Mereka dibiasakan untuk percaya bahwa di luar lingkungan mereka yang sempit tidak ada orang yang lebih berkemampuan berpikir dan berbuat. Pencalonan untuk menjadi presiden, anggota jajaran legislatif, eksekutif, dan yudikatif harus datang dari parpol. Mereka tidak bersedia melihat, apalagi mengakui bahwa di luar sistem parpol ada cukup dan semakin banyak jumlah tokoh-tokoh independen yang terdidik, berpengalaman, dan berdedikasi tinggi terhadap kepentingan murni Negara-Bangsa. Negara-Bangsa Indonesia berpotensi besar untuk bisa menjadi “besar”. Namun, bagaimana mungkin begitu kalau ia ditangani oleh warga yang berjiwa “kerdil”. Momen besar telah berkali-kali muncul, tetapi lewat begitu saja karena tidak direspons dengan tepat oleh pemimpin yang berjiwa kerdil. Penulis adalah alumnus Universite Pluridisciplinaires Pantheon – Sorbonne [Non-text portions of this message have been removed] [Non-text portions of this message have been removed]