http://www.ambonekspres.com/index.php?option=read&cat=53&id=31006

KAMIS, 02 September 2010 | 299 Hits


Suara Para TKW yang Sudah Tidak Tahan Tinggal di Negeri Jiran
Nur Bisa Bawa Gaji, Santi Ingin Kuliah Lagi 


Sekitar 80 tenaga kerja Indonesia (TKI) di Johor Bahru, Malaysia, menunggu 
deportasi karena tidak memiliki dokumen resmi. Mereka harus hengkang dari 
negeri jiran itu sebelum Lebaran nanti. Berikut laporan wartawan Jawa Pos 
NUNGKI KARTIKASARI dari tempat penampungan sementara mereka. 

KAMIS (26/8) malam, sesudah buka puasa bersama, satu per satu TKI yang tinggal 
di penampungan keluar, menuju aula kantor Konsulat Jenderal Republik Indonesia 
(KJRI) Johor Baru untuk salat tarawih. Selama Ramadan, setiap malam, di aula 
tersebut diadakan salat Tarawih berjamaah yang dilanjutkan dengan ceramah dan 
tadarus Alquran. Saat Jawa Pos (Group Ambon Ekspres) mengunjungi penampungan 
tersebut, ada sekitar 80 TKI plus enam balita (anak di bawah lima tahun) yang 
menunggu pemulangan (deportasi) ke tanah air. Sebagian besar adalah tenaga 
kerja wanita/TKW (74 orang) dan enam laki-laki. Pelanggaran mereka beragam. Ada 
yang tidak memiliki paspor, masuk dengan paspor ilegal, atau bermasalah dengan 
majikan. Tempat penampungan itu terletak di sekitar 20 meter dari Kantor KJRI 
Johor Bahru. Terdiri atas tiga bangunan. Sebuah bangunan berukuran 10 x 7 meter 
untuk menampung TKW. 

Di ruangan tersebut terdapat sebuah pesawat TV, sebuah lemari es, 13 lemari 
pakaian yang diletakkan berimpitan dengan dinding ruangan, serta puluhan kasur 
yang ditumpuk di setiap sudut. Ada juga ruangan khusus untuk menampung TKI 
laki-laki. Ruangan itu lebih kecil daripada ruangan khusus TKW. Ukurannya 
sekitar 5 x 5 meter dan hanya berisi kasur serta lemari pakaian. Sementara itu, 
satu bangunan lagi berisi enam kamar mandi yang bersebelahan dengan dapur. 
Nurhayati merupakan salah seorang di antara 80 TKI bermasalah yang akan 
dipulangkan tersebut. Wanita 24 tahun itu rencananya dipulangkan ke tanah air 
sebelum Lebaran. Nur menceritakan, dirinya merantau ke Malaysia setelah tergiur 
penawaran dari sebuah perusahaan jasa 2tenaga kerja Indonesia (PJTKI) untuk 
menjadi pembantu rumah tangga (PRT). S

esampai di Malaysia, wanita asal Kecamatan Cililin, Bandung, itu bukannya 
bekerja sebagai PRT. Tapi, dia dipekerjakan sebagai buruh tani di perkebunan 
kelapa sawit. ''Kerja saya siang sampai malam, tak ada libur,'' ungkapnya. 
Meski tidak sesuai dengan perjanjian, dia menjalani pekerjaan tersebut dengan 
baik. Dia tak pernah membolos kerja. Nur mengungkapkan, dalam kondisi sakit 
pun, dirinya harus tetap bekerja. ''Saya tidak bisa menghindar dari 
pekerjaan,'' terang TKW yang sudah empat tahun bekerja di Malaysia sebelum 
akhirnya terancam dideportasi akhir Ramadan nanti tersebut. Suatu hari, PJTKI 
menyuruh Nur untuk memperpanjang sendiri paspornya ke kantor KJRI Johor Bahru. 
''Nah, saat itulah saya ditanya-tanya oleh petugas KJRI. Baru saya tahu bahwa 
ternyata saya telah dibohongi oleh PJTKI,'' ungkapnya. 

Berdasar data di PJTKI, masa kerja Nur hanya dihitung dua tahun. Padahal, 
sesuai dokumen dan paspornya, anak keempat di antara enam bersaudara itu sudah 
bekerja selama empat tahun. ''Saya tak pernah hitung hari dan tanggal selama 
bekerja di kebun. Yang saya ingat, pekerjaan saya sangat lama. Selama itu pula 
saya tidak pernah pegang uang karena tidak digaji,'' ujarnya. Dari masalah 
itulah, akhirnya Nur dibawa ke penampungan TKI bermasalah di kantor KJRI. Tidak 
hanya itu, KJRI juga mengupayakan untuk meminta gaji Nur selama empat tahun 
bekerja di perkebunan kepada perusahaan tempatnya bekerja. ''Alhamdulillah, 
uang saya ada. Paspor saya juga bisa diperpanjang,'' tegasnya. Karena itu, Nur 
tidak sampai sebulan berada di penampungan. Minggu lalu, dia menandatangani 
surat kepulangan dari KJRI. Nur tidak pulang dengan tangan kosong. Wanita 
berambut ikal itu membawa hak upahnya selama empat tahun Rp 50 juta. 

Dengan uang tersebut, wanita kelahiran 3 Februari 1986 tersebut berencana 
merenovasi rumahnya di kampung. ''Saya ingin menyenangkan bapak-ibu. Saya akan 
meminta maaf karena pergi dari rumah tanpa pamit,'' katanya. Senasib dengan 
Nur, Yustina Wiyanti merupakan TKI lain yang juga akan pulang sebelum Lebaran. 
Wanita 22 tahun itu mengaku minggat dari majikan karena tidak pernah mendapat 
makanan sehat selama 1,5 tahun bekerja sebagai PRT. ''Saya hanya makan nasi dan 
mi instan setiap hari. Tidak ada yang lain,'' ucapnya. Badan Yustina tampak 
kurus. Rambutnya tipis awut-awutan. Dengan tinggi sekitar 150 sentimeter, berat 
Yustina tidak sampai 40 kilogram. ''Alhamdulillah, ini sudah gemuk sedikit 
dibanding saat pertama saya datang enam bulan dulu di sini (penampungan, 
Red),'' ungkap wanita asal Kabupaten Lampung Utara tersebut. Memang, Yustina 
tak pernah mengalami kekerasan fisik dari majikan. Namun, dia tidak betah 
dengan peraturan majikannya yang tidak manusiawi. Misalnya, dirinya tidak boleh 
libur sehari pun, tidak diizinkan mudik Lebaran, dan tidak mendapat makan 
selayaknya. Dia juga tidak bisa keluar dari rumah majikan. Namun, suatu hari, 
Yustina mendapat kesempatan untuk melarikan diri dari rumah majikan. Meski 
tanpa membawa apa-apa, dia merasa lega bisa bebas. Dia kemudian ditolong 
orang-orang yang berempati terhadap masalah yang dihadapinya. ''Saya lalu 
dibawa ke penampungan KJRI ini,'' kisahnya. Yustina sudah sangat ingin pulang 
ke kampung halaman. Dia ingin berkumpul dengan keluarga dan membantu orang tua 
bekerja di sawah. ''Saya ingin membantu orang tua menyekolahkan adik hingga 
bisa kuliah,'' tegas gadis lulusan SD itu. 

Tidak semua bisa pulang sebelum Lebaran. Beberapa TKW terpaksa merayakan Idul 
Fitri 1431 H di penampungan sambil menunggu giliran dipulangkan ke tanah air. 
Salah satunya, Situm. Wanita 59 tahun tersebut sudah satu tahun tujuh bulan 
tinggal di penampungan, namun belum jelas kapan akan dipulangkan. Meski tak 
sabar menunggu giliran dideportasi ke Indonesia, Situm tetap harus bertahan 
hidup di penampungan. ''Sebenarnya saya sudah bosan begini. Hanya makan dan 
tidur. Saya ingin pulang,'' tuturnya dengan ekspresi memelas. Ibu tujuh anak 
itu juga menyesal termakan PJTKI yang tidak bertanggung jawab. Sebab, selama 
2,5 tahun bekerja sebagai PRT, dirinya tidak pernah mendapat gaji dari majikan. 
Padahal, sebelumnya, wanita asal Solo itu dijanjikan gaji Rp 400 ribu per 
bulan. ''Saya tidak pernah mendapat upah sepeser pun,'' ujarnya. Tak kuat 
menahan penderitaan tersebut, Situm melarikan diri dari rumah majikan dan 
melapor ke polisi. Dari situlah awal Situm menghuni penampungan TKI bermasalah 
di KJRI. Sebab, tak lama setelah melapor ke polisi, dirinya dijemput petugas 
KJRI Johor Bahru untuk dibawa ke penampungan. Saat melapor ke polisi, Situm tak 
memiliki identitas apa pun. ''Semua barang saya tinggal di rumah majikan,'' 
paparnya. Selama di penampungan, Situm bekerja membantu memasak di kantin KJRI. 
Masakan Situm terkenal enak dan sesuai selera konsumen. ''Jamu buatan saya 
paling laku. Orang-orang Indonesia di sini banyak yang pesan,'' cerita dia. 
Situm berencana membuka warung jamu di rumahnya jika pulang kelak. Dia begitu 
trauma dengan tindakan semena-mena sejak dibawa PJTKI ke Malaysia hingga 
bekerja di rumah majikan. ''Majikan saya kalau marah suka mukul,'' katanya. 
Nasib seperti Situm juga dialami Susanti Eka Sari. Wanita kelahiran 28 tahun 
itu juga menanti giliran untuk dipulangkan ke Indonesia. Dia juga merasa ditipu 
oleh PJTKI yang mengantarnya ke Malaysia. 

Sebelum berangkat, Susanti dijanjikan bekerja menjadi staf di salah satu hotel 
di negara Melayu itu. ''Tapi, sesampai di sini (Malaysia, Red), saya dipaksa 
jadi babu (pembantu, Red),'' tegas wanita asal Magelang itu. Karena pekerjaan 
yang dia jalani selama enam bulan tidak sesuai dengan perjanjian, Santi -sapaan 
akrab Susanti- akhirnya melarikan diri dari rumah majikan. 
Sayangnya, dokumen pribadinya disita majikan. ''Ya pendek cerita, akhirnya saya 
dibawa ke sini,'' ungkapnya tanpa ingin menceritakan perjalanannya hingga 
sampai di penampungan. Alumnus D-3 Akademi Sekretaris dan Manajemen Marsudirini 
(ASMI) Santa Maria Jogjakarta jurusan bahasa Inggris itu sudah enam bulan 
tinggal di penampungan TKI. 

Wanita kelahiran 13 Juni 1982 tersebut menanti giliran dipulangkan ke 
Indonesia. ''Mungkin Lebaran kali ini saya merayakannya di penampungan,'' 
tuturnya dengan mata berkaca-kaca. Santi menyatakan sangat ingin segera tiba di 
Indonesia. Dia tidak hanya ingin bisa cepat berkumpul dengan keluarga. Tapi, 
anak kelima di antara enam bersaudara itu juga sudah ngebet ingin melanjutkan 
kuliah program sarjana di Jogjakarta. ''Saya sangat ingin nerusin kuliah S-1,'' 
katanya. Setelah lulus nanti, Santi tidak ingin bekerja lagi ke luar negeri. 
Dia berencana menjalani kuliah sekaligus bekerja. ''Kalau tahu begini akhirnya, 
mending saya membuka usaha di rumah saja,'' ujarnya. 








[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke