Refleksi :  Takhayul, hantu, iblis, seythan, gendruwo  etc perlu ada di sekitar 
kita, supaya para pekerja dan pakar ilmu surgawi mempuyai  pekerjaan 
se-hari-hari, jadi  dengan lain kata setan, iblis  itu  majikan pemberi 
pekerjaan. Kalau tidak ada mzjikan maka  para petinggi seperti imam, haji muhti 
 dikenakan PHK; mereka menjadi penganggur dan nafkah mereka  hilang.  Kita  
dibutuhkan untuk selalu diingatkan oleh para petinggi agama tsb adanya bahaya 
setan iblis. hehehe
     
     
     
     


http://www.antaranews.com/berita/1283507128/hubungan-nasib-dengan-takhayul

Hubungan Nasib dengan Takhayul
Jumat, 3 September 2010 16:45 WIB | Iptek | Sains | 

Sekelompok penari Nupeng dengan pakaian dan topeng ala hantu hutan mengikuti 
irama Gubang dalam suatu acara pertemuan masyarakat Anambas di Tanjungpinnag, 
Kepri, Sabtu malam 3/7. (ANTARA/Feri)

Jakarta (ANTARA News) - Menurut riset mahasiswa tingkat akhir Kansas State 
University, mereka yang percaya nasib dan takdir mengendalikan hidup mereka 
adalah cenderung mempercayai takhayul, ironisnya ketika dijemput ajal, mereka 
malah meninggalkan takhayul itu.

Riset pimpinan Scott Fluke, sarjana muda lulusan Kansas State University bidang 
studi psikologi, ini terfokus pada kepribadian seseorang yang mengantar pada 
takhayul. 

Fluke menerima dana senilai 500 dolar dari Doreen Shanteau Undergraduate 
Research Fellowship pada 2009 untuk bekerja dengan tim Russel Webster, 
mahasiswa psikologi, Shorewood, Illinois, dan Donald Saucier, seorang profesor 
psikologi.

Demi proyek, "Re-Examining the Form and Function of Superstition," tim peneliti 
ini mendefinisikan takhayul sebagai kepercayaan dalam hubungan kasual antara 
tindakan, obyek atau ritual dan hasil yang tidak berkaitan. 

Prilaku yang mempercayai takhayul seperti itu bisa termasuk tindakan-tindakan 
seperti mengenakan kaos keberuntungan atau jimat keberuntungan.

Setelah menyelenggarakan dua penelitian, para periset membuat tiga alasan untuk 
tiga prilaku yang mempercayai takhayul: seseorang menggunakan takhayul untuk 
mengendalikan ketidakpastian, untuk mengurangi perasaan tidak berdaya, dan 
karena adalah lebih mudah mempercayai takhayul ketimbang menemukan strategi 
untuk mengatasi masalah. 

"Orang kadang bersandar pada takhayul sebagai rintangan. Itu alat yang mereka 
pikir bisa membantu," kata Saucier, seperti dikutip ScienceDaily.

Pada penelitian pertama, para periset mengajukan kuisoner kepada 200 mahasiswa 
tingkat akhir, menanyakan seberapa pesimis mereka, apakah mereka mempercayai 
nasib dan takdir, apakah mereka suka mengendalikan dirinya, dan sejumlah 
pertanyaan lainnya.

Salah satu penemuan terpenting adalah orang yang mempercayai nasib dan takdir 
mengendalikan hidup mereka kemungkinan percaya takhayulnya lebih besar. 

Pada penelitian kedua para periset ingin mengetahui bagaimana reaksi peserta 
riset terhadap kematian, dan meminta mereka menuliskan perasaan mereka mengenai 
kematiannya sendiri. 

Tim terkejut saat menemukan tingkat kepercayaan peserta riset terhadap takhayul 
menurun saat mereka memikirkan kematian mereka sendiri, yang membuat para 
periset menyebut kematian sebagai situasi ketidakpastian yang ekstrem.

"Kami berteorisasi bahwa saat orang memikirkan kematian, mereka akan lebih 
mempercayai takhayul guna meningkatkan kontrol atas keadaan itu. Yang tidak 
kami kira adalah pemikiran mengenai kematian akan membuat orang merasa tidak 
berdaya dan ini benar-benar akan menggerus kepercayaan mereka pada takhayul," 
kata Fluke.

Fluke mendapat ide untuk risetnya ini saat menyadari ada banyak pertanyaan yang 
tidak terjawab mengenai psikologi dan takhayul. Dia memutuskan mengejar topik 
ini lebih lanjut sebagai proyek risetnya.

"Saya tertarik pada takhayul karena itu membuat saya frustasi saat orang 
berbuat sesuatu yang tidak masuk akal," kata Fluke. 

Dia melanjutkan, "Itu membuat saya ragu saat orang lebih tergantung pada jimat 
keberuntungan untuk mengerjakan ujian dengan baik daripada belajar. Kami ingin 
tahu mengapa orang mau melakukan hal yang justru merugikan dirinya sendiri."

Riset ini adalah bagian dari program riset Saucier secara keseluruhan, dan tim 
saat ini menyiapkan hasil-hasil penelitian untuk dipublikasikan.

Saucier menawarkan beberapa tips agar kita tidak mempercayai takhayul:

*Jangan percaya kata sial dan kendalikanlah situasi. Kadang-kadang kita 
menggunakan kesialan untuk membenarkan kita menyalahkan diri sendiri. Tetapi, 
kita harus fokus pada apa yang bisa kita lakukan untuk mengatasi situasi sulit 
di kali pertama.

*Jadilah orang yang tegas dan proaktif. Orang yang kurang tegas lebih 
mempercayai takhayul, sementara mereka yang proaktif akan kurang mempercayai 
takhayul.

*Jangan berada dalam keadaan di mana Anda harus mempercayai nasib buruk (sial). 
Kesialan tidak akan pernah ada jika hanya hal baik yang terjadi. Saat sesuatu 
yang buruk terjadi yang Anda sebut sial, maka gunakan itu sebagai mekanisme 
unbtuk mengatasi masalah setelah kejadian, bukan sebelum peristiwa terjadi.(*)






[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke