Tulisan ini juga disajikan dalam website http://umarsaid.free.fr

yang sampai sekarang sudah dikunjungi  lebih dari   639  950   kali



 = = = =   = = =   = = =



Rakyat, pemuda dan mahasiswa,

duduki saja gedung DPR !!!

Kalau rencana pembangunan gedung baru DPR

ngotot mau diteruskan juga



Di bawah berikut ini disajikan sebuah tulisan yang diambil dari
Kompasiana.Com (Kompas) tanggal 4 September 2010. Tulisan yang bagus ini
secara tajam dan terus-terang – yang diselingi dengan berbagai ungkapan yang
sinis tetapi tepat -- mengemukakan fikiran dan perasaan banyak orang
mengenai rencana pembangunan gedung baru DPR.

Rencana ini  -- yang merupakan gagasan gila dari orang-orang yang sudah
miring otaknya dan mempunyai tujuan yang haram atau bathil --  sudah menjadi
sasaran kritik pedas (termasuk cemooh atau hujatan) dari banyak kalangan
yang marah.

Namun, ketua DPR yang merangkap sebagai Ketua BURT (Badan Urusan Rumah
Tangga), Marzuki Alie, tetap ngotot mau terus melaksanakannya, walaupun
banyak suara yang menentang. Ia mengatakan, antara lain, bahwa rencana
pembangunan gedung baru DPR ini tidak bisa dihentikan, karena sudah
dikeluarkan beaya untuk konsultan dan lain-lain.

Melihat berbagai pernyataan dari para pendukung pembangunan gedung baru DPR
ini sampai sekarang, maka ada kemungkinan bahwa mereka akan berusaha sekuat
mungkin  - dan dengan segala cara dan jalan – untuk tetap meneruskan
rencana gila-gilaan ini.

Oleh karena itu, seluruh kekuatan demokratis dalam masyarakat, tidak peduli
dari golongan apapun juga (nasionalis, agama dan sosialis atau komunis)
perlu bersuara dengan lantang, dan juga berramai-ramai melancarkan berbagai
macam aksi, untuk melawan diteruskanya projek pembangunan gedung baru DPR
ini.

Kalau suara dan aksi-aksi oleh berbagai golongan ini tidak digubris juga
oleh para pejabat dan tokoh-tokoh yang bertanggungjawab tentang rencana ini,
maka seperti ditulis dalam Kompasiana itu, perlulah diadakan shock therapy,
yang berbentuk cara-cara yang lebih radikal. Umpamanya,  dengan  “massa
rakyat/mahasiswa menyerbu dan menduduki gedung DPR itu, sebagaimana pernah
dilakukan oleh massa mahasiswa untuk menurunkan Presiden Soeharto pada Mei
1998.

“Karena rasanya tabiat segerombolan orang yang katanya terhormat ini semakin
mirip dengan rezim Orde Baru saja,yang rakus kekuasaan, rakus harta, dan
rakus kemewahan di atas kemiskinan rakyat. Untuk itu terapinya harus sama
dengan terapi ketika berhasil menjatuhkan Orde Baru itu.” tulis artikel
panjang dalam Kompasiana tersebut.

Pendudukan gedung DPR oleh massa rakyat/pemuda/mahasiswa ini tidaklah
berarti melecehkan simbol-simbol negara, melainkan sebagai tindakan untuk
menyelamatkannya, dan bahkan mendudukkannya di tempat yang sesuai dengan
jiwa dan fungsi dewan yang betul-betul mewakili rakyat.

Pendudukan  (walaupun untuk sementara waktu) gedung DPR, yang merupakan
shock therapy ini, berarti bahwa kepercayaan rakyat terhadap DPR  (yang
sekarang ) sudah hancur sama sekali, dan respek publik juga sudah hilang
sama sekali, karena adanya rencana gedung baru itu.

Paris, 6 September 2010

  1.. Umar Said


=  = =

 Berikut adalah teks artikel dalam Kompasiana tanggal 4 September 2010, yang
disajikan secara utuh atau selengkapnya :

“Setelah alasan untuk membangun gedung baru DPR yakni gedung lamanya sudah
miring tujuh derajat, dan takut kalau gempa nanti gedungnya roboh,
dipatahkan, DPR rupanya tidak kehilangan akal. Sebenarnya sudah kehilangan
akal, yakni akal sehatnya.

Yang tidak hilang itu akalnya yang rupanya yang miring tujuh derajat.
Sehingga gedungnya normal dia bilang miring. Berarti yang miring bukan
gedungnya, tetapi otak para DPR-wan. Maka, tidak heran yang keluar dari
mereka itu rada-rada miring juga.

Dengan demikian kalau pun benar nanti ada gempa bumi, dan gedungnya sampai
roboh, barangkali kita harus merelakan mereka yang punya otak miring itu
sampai seperti orang kecanduan narkoba, ngeyel tetap mau membangun gedung
yang baru itu, tertimbun reruntunhan gedungnya sendiri.

Barangkali perlu setiap anggota DPR itu diperiksa tingkat kewarasannya oleh
psikater yang berpengalaman.

Bagaimana tidak dikatakan miring otaknya, misalnya, dari ucapan anggota BURT
DPR Michael Wattimena,  yang bilang bahwa salah satu alasan dibangunnya
fasilitas kolam renang di lantai 36 (paling atas) tersebut karena kolam
renang itu bisa berfungsi ganda, selain dipakai sebagai kolam renang, juga
air kolamnya dapat difungsikan sebagai pemadam kebakaran jika terjadi
kebakaran di gedung itu! (detik.com, 04/09/2010).

Kalau otaknya tidak miring, tentu para DPR-wan dengan melihat kondisi
ekonomi negara yang seperti sekarang ini, pengangguran dan rakyat miskin
yang makin banyak, kondisi rawan pangan yang semakin mengkhawatirkan, plus
kinerja mereka yang sangat memprihatinkan itu, tidak akan ngeyel terus untuk
membangun gedung baru itu.

Bukan hanya baru, tetapi dengan klasifikasi super mewah. Bagaimana tidak
super mewah, kalau biaya pembangunannya saja bakal memakan biaya sedikitnya
Rp. 1,6 trilun! Itu baru biaya pembanguan gedungnya saja. Belum dengan
interior,  perlengkapan kantornya, perabot-perabotnya, dan tak kalah
besarnya adalah biaya perawatan rutinnya.

Kompas  menghitung, dengan anggara sebesar itu, berarti untuk setiap satu
ruangan kerja anggota DPR bakal menghabiskan minimal Rp. 2,8 miliar! Akan
ada 560 ruangan super meah yang seperti ini. (Kompas, Kamis, 02/09/2010).

 Jika ditambahkan dengan interior, perlengkapan kantor, dan
perabot-perabotnya yang sudah pasti harus baru dan mewah, entah negara harus
menambah berapa rupiah lagi untuk setiap ruangan kerja anggota DPR yang akan
didampingi satu orang sekretaris dan lima orang staf ahli, yang berarti juga
menambah anggaran untuk menggaji mereka itu.

Semua gambaran bagaimana nanti supermewahnya gedung baru DPR itu yang setara
dengan hotel bintang lima berlian itu tentu Anda semua sudah tahu.

Kalau semua itu terwujud, berarti Indonesia yang masih terbelit dengan
masalah ekonomi dan rakyat yang susah pangan dan papan ini bakal mengungguli
semua negara di dunia ini. Betapa tidak, rasanya negara semaju apapun dan
sekaya apapun tidak ada yang punya gedung DPR semewah Republik Indonesia
punya.

Demi terwujudnya gagasan gila ini, logika pun dibalik-balik. Tidak perduli
publik mau menerimanya atau tidak. Yang penting supaya tidak dikatakan tidak
responsif. Rakyat berteriak, orang gila tetap berlalu.

Seperti yang dinyatakan Ketua DPR Marzuki Alie bahwa rencana pembangunan
gedung baru DPR itu tidak dapat dihentikan. Sebab, panitia kerja pembangunan
juga sudah bekerja. Juga sudah membayar panjar ke pihak arsitek dan
kontraktornya.

“Mau tidak mau, suka tidak suka, apapun kritik dari masyarakat, kami terima
saja. Tetapi, pembangunan tetap harus dijalankan,” katanya.

Siapa yang suruh kalian jalan sendiri tanpa mau dengar suara rakyat, tanpa
mau perduli dengan anggaran yang pasti sangat membebani negara ini? Kalau
semua memang sudah kerja, kenapa tidak bisa distop? Kalau telanjur sudah
bayar panjar kepada arsitek dan kontraktor, dan tidak bisa diminta kembali,
ya, kalian yang harus menggantikannya ke kas negara.

 Pemerintah yang diharapkan bisa mencegah rencana gila tersebut, ternyata
ikut-ikutan tidak waras dengan mengatakan bahwa pemerintah tidak bisa
mencegah rencana DPR tersebut dengan alasan sudah dianggarkan dan
diputuskan.

Ketika ditanya, kenapa wakil pemerintah tidak menolak rencana pembangunan
gedung DPR yang super mewah itu, Menteri Koordinator Perekonomian Hatta
Rajasa menjawab bahwa karena waktu itu pemerintah tidak terlalu
memperhatikan, tidak terlalu merinci melihat usulan dan rancangan
pembangunan gedung tersebut, dan lain-lainnya.  Karena rincian tersebut
adalah wewenang DPR.

Bukankah ini suatu jawaban yang tidak waras juga? Bagaimana bisa dengan
tidak melihat secara rinci, kok pemerintah sebegitu mudahnya menyetujuinya?
Hanya orang tidak waras saja yang menganggap anggaran jumbo sebesar Rp 1,6
triliun sampai Rp. 1,8 tiliun itu merupakan jumlah yang tidak perlu terlalu
diperhatikan, sehingga dengan mudah setuju saja ketika diajukan untuk
membangun sebuah gedung.

Dalam situasi negara yang serba memprihatinkan ini; krisis ekonomi, angka
pengangguran dan kemiskinan yang terus meningkat,  krisis pangan dan papan,
dan hutang luar negeri yang hampir mencapai Rp 1.700 triliun. Memberatkan
APBN yang harus mencicilnya Rp. 100 triliun setiap tahun. Eh, DPR malah
menambah beban negara demi memuaskan nafsu hedonis mereka dengan rencana
pembangunan gedung baru DPR  yang super mewah tersebut.

Padahal kinerja DPR  periode ini juga sangat, sangat memprihatinkan, seperti
yang datanya saya cantumkan di bagian akhir tulisan ini.

Salah satu logika yang dibalik-balik adalah bahwa karena kinerja DPR selama
ini tidak memuaskan, maka perlu dibangun gedung baru DPR yang supermewah
tersebut. Dengan demikian, maka akan memotivasi DPR bekerja lebih baik.
Singkatnya gedung super mewah ini akan memperbaiki kinerja DPR!

Alasan yang sangat absurd. Seharusnya, tunjukkan dulu prestasi, kinerja
kalian semua. Kalau sudah betul-betul sangat bagus dan memuaskan, barulah
menuntut macam-macam. Itu pun kalau memang kalian bekerja demi pamrih
pribadi. Bukan semata-mata demi bangsa dan negara sebagaimana isi sumpah
jabatan anggota DPR kalian. Karena pejabat negara yang sungguh bekerja tanpa
pamrih tentu walaupun dia kerja dengan sungguh-sungguh dengan hasil
terbaiknya, tidak akan menuntut macam-macam.

Sebaliknya dengan DPR kita ini, sudah dapat gaji dan berbagai tunjangannya
yang besar, plus berbagai fasilitas serba mewah yang memanjakan, tetapi
masih saja belum puas; tetap korup, tetap malas, tetap tidak punya prestasi
apa-apa, malah sekarang menuntut yang jauh lebih fantastis lagi.

Alasan lain, karena kapasitas gedung DPR yang sekarang ini sudah tidak
mencukupi, maka perlu dibangun gedung baru DPR itu.

Pertanyaannya, kalau pun memang betul demikian, apakah perlu dibangun gedung
yang super mewah seperti itu? Kenapa tidak dibangun gedung yang jauh lebih
sederhana saja?

Seorang pengamat mengatakan bahwa kalau memang alasan kapasitas, sebetulnya
bisa dibangun gedung baru yang hanya memerlukan biaya sekitar Rp 400 miliar.

Tapi, menurut saya, kalau memang kapasitas gedung sudah tidak mencukupi
untuk memuat 560 anggota DPR, yang dipangkas itu jumlah anggota DPR yang
terlalu banyak dan mubazir itu saja.

Untuk apa punya 560 orang wakil rakyat, tetapi sebagian besarnya kerjanya
hanya bermalas-malasan, suka tidur di sidang,  dan suka membolos itu?
Tinggal dihitung saja, berapa dari 560 orang itu yang suka bermalas-malas,
tidur di sidang DPR, atau membolos itu. Mereka itu saja yang dibuang. Karena
selama ini hanya membuat sesak gedung DPR, dan membuat negara harus membayar
gaji buta mereka.

Sebagai tindak lanjut sebaiknya jumlah partai politik dalam pemilu-pemilu
mendatang perlu dikurangi. Jangan sebanyak seperti sekarang ini. Cukup dua,
atau paling banyak tiga saja. Supaya lebih efektif dan efesien baik dari
aspek ekonomi, maupun politik itu sendiri.

Sikap pemerintah yang begitu kompromis, atau lebih tepat dikatakan
kooperatif dengan DPR  sangat patut diduga bahwa ini bagian dari semacam
tawar-menawar kompensasi dalam meluluskan berbagai kebijakan masing-masing
yang di masa akan datang pasti bakal ada lagi. Khususnya kebijakan-kebijakan
yang kontroversial seperti rencana pembangunan gedung DPR ini.

Pemerintah sengaja memenuhi nafsu hedonis DPR ini sebagai bagian dari
kompensasi agar kelak DPR juga akan mendukung hal-hal yang serupa dari
pemerintah. Juga sebagai bagian dari bargaining power  masing-masing untuk
saling menutupi dan melindungi kebobrokan masing-masing.

Contoh: Dalam kelanjutan pengusustan kasus skandal Bank Century,  dan
pembahasan RUU tentang Pencegahan dan PemberantasanTindak Pindana Pencucian
Uang.

DPR yang kita dikuasai partai pendukung pemerintah tidak akan melanjuti
pengusutan lebih dalam kasus skandal Bank Century yang bisa mengarah kepada
pucuk kekuasaan. Sebaliknya, sebagai kompensasinya, pemerintah akan
(diam-diam) mendukung DPR  dalam pembahasan RUU Tindak Pidana Pencucian
Uang.

Dalam pembahasan RUU tersebut, entah apa alasan sebenarnya, DPR keberatan
kalau wewenang KPK diperluas sampai pada penyidikan kasus dugaan tindak
pidaan pencucian uang. DPR juga keberatan dengan perluasan wewenang KPK
untuk mengakses data dari  Pusat Pelaporan Analisa dan Transaksi Keuangan
(PPATK), dan perluasan wewenang PPATK untuk melakukan penyelidikan dan
pemblokiran rekening bank yang transaksinya mencurigakan. Hanya orang yang
berbuat jahat dan yang bermaksud berbuat demikian yang punya alasan
penolakan seperti itu.

Indikasinya sudah terlihat di DPR, yakni antara lain arah kesepakatan yang
membatasi wewenang KPK dengan hanya boleh memperoleh kopi Laporan Hasil
Akhir  PPATK. PPATK juga tidak diberi kewenangan untuk melakukan
penyelidikan dan pemblokiran rekening mencurigakan.

Kalau  fenomena ini benar, Indonesia akan menjadi seolah-olah dipimpin oleh
segerombolan orang-orang yang rakus kekuasaan dan harta. Yang hanya
menjadikan jabatan dan kekuasaan sebagai prasarana untuk mencapai maksud dan
tujuan mereka tersebut.

Untuk memperkuat posisinya mereka memang harus bersatu untuk saling
mendukung dalam upaya memperdayai rakyat dengan berbagai alasan dan logika
yang terbalik-balik itu.

Ketua DPR Marzuki Alie yang tempo hari mukanya pucat menghadapi anggota DPR
yang marah dan menyerbu ke arahnya ketika dia sebagai pimpinan sidang,
menutup secara mendadak sidang paripurna DPR tentang kasus Bank Century pada
2 Maret 2010 lalu, sekarang sudah tumbuh nyalinya dan bisa bersuara keras.
Ini seiring dengan setelah junjungannya Presiden SBY berkompromi dengan
Ketua Umum Golkar, membuat posisi mereka semakin kuat di DPR.

Menghadapi berbagai kritik dari publik, dan kalangan internal DPR sendiri,
Marzuki Alie marah. Marahnya ala Orde Baru. Katanya, kritikan-kritikan
tersebut dilontarkan oleh pihak-pihak yang berkeinginan melemahkan DPR. Dan,
terhadap anggota DPR yang tidak setuju, dia berkata: “Kalau ada anggota DPR
yang menolak, itu atas nama siapa? Kalau ada yang mencari panggung untuk
bicara, silakan saja!”

Marzuki barangkali lupa bagaimana kalau yang benar-benar marah itu
rakyatnya. Setelah diingatkan, dikiritik, dan dikecam terus-menerus, tidak
pernah mau mendengar. Malah seolah-olah mau menantang dengan terus
memperlihatkan perilaku tak terpuji mereka, puncaknya dengan rencana gila
pembangunan gedung baru DPR yang memakan biaya paling sedikit Rp 1,6 triliun
itu, barangkali sudah tiba waktunya rakyat menunjukkan kemarahan
sesungguhnya langsung kepada DPR. Karena segala cara telah dilakukan, tetapi
gagal.

Tidak cukup dengan cara seperti yang pernah dilakukan oleh aktor Pong
Harjatmo yang menulisi atap gedung DPR dengan tulisan pada 31 Juli 2010:
“Jujur,  Adil, Tegas”,  yang malah ditanggapi salah satu anggota DPR dengan
menuding Pong hanya mencari muka saja.

Cara seperti ini bagi anggota-anggota DPR itu hanya seperti melempari
kerikil di tengah samudera. Tiada terasa efeknya sama sekali.

Barangkali yang harus dipakai cara yang jauh lebih radikal. Seperti massa
rakyat/mahasiswa menyerbu dan menduduki gedung DPR itu, sebagaimana pernah
dilakukan oleh massa mahasiswa untuk menurunkan Presiden Soeharto pada Mei
1998. Karena rasanya tabiat segerombolan orang yang katanya terhormat ini
semakin mirip dengan rezim Orde Baru saja,yang rakus kekuasaan, rakus harta,
dan rakus kemewahan di atas kemiskinan rakyat. Untuk itu terapinya harus
sama dengan terapi ketika berhasil menjatuhkan Orde Baru itu.

Setidaknya, memang diperlukan semacam shock therapy yang keras seperti ini
untuk DPR yang tingkat kewarasannya semakin diragukan ini. (artikel dalam
Kompasiana selesai)



***


[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke