Suatu ketika terjadi
percakapan antara K.H.Agus Salim (ulama) dan Sutan Takdir Alisyahbana
(ilmuwan rasional). Keduanya orang arif dari Minang. Berkata STA kpd
KHA. Saya heran melihat pak Haji ini, mengapa masih sembahyang. Bagi
saya sembahyang itu tidak masuk akal. Maksud Kamu
bagaimana ? Tanya KHA. "Ya, saya tidak mau terima sesuatu yg tdk masuk
akal, yg tdk bisa dibuktikan." Kata STA. Oh, begitu. Baik. Kamu kan  orang 
Minang seperti saya, dan sekali2 kamu pulang ke Minang kan ? Kata  KHA.Ya,
memangnya kenapa ? Tanya STA. Nah, kalau kamu pulang naik apa ? Tanya
KHA. "Naik Kapal !" Jawab STA. (Wkt itu pesawat blum ada ke Minang).Nah,
kamu naik kapal itu sudah tidak konsisten, krn kamu naik ke geladak
kapal, maka yang lebih banyak berfungsi itu, "percaya", bukan "tahu".Percaya
bhw kapal itu pergi ke Padang, bkn ke Pontianak, percaya bhw nanti
mesinnya tdk macet, percaya bhw kapal itu tdk pecah, pokoknya semua
percaya dasarnya. Kalau kamu menunggu sampai kamu paham,
kamu harus pelajari dulu kapal itu, baru naik kapal, dan itu mustahil.
Kata KHA kepada STA.Lalu dia lanjutkan lagi, "Kalau kamu konsisten  dengan cara 
berfikir seperti itu, mudik ke Minang kamu harus berenang. Singkat
cerita, STA belakangan mulai berubah, yg menurut Buya Hamka itu krn STA
telah memperoleh "lailatulqadr" yaitu ketika dia tiba-tiba menyadari
bahwa hidup ini ada kelanjutannya, justru karena menyadari banyak
persoalan yg belum bisa dia mengerti. Seperti yg diceritakan  kembali oleh 
Nurcholish Madjid (alm) Semoga bermanfaat.


 



  






      

[Non-text portions of this message have been removed]

Kirim email ke