Dalam aturan disiplin tentara, memang seorang bawahan tidak boleh mengkritik atasannya secara terbuka (melalui media umum). Seorang tamtama atau bintara bahkan tidak boleh mempertanyakan keputusan komandannya. Seorang perwira, apalagi perwira menengah, boleh mempertanyakan atau mengusulkan kebijakan kepada atasannya sebelum keputusan diambil, tetapi secara internal, misalnya dalam rapat staf. Sekali sudah diputuskan oleh komandan, maka setuju atau tidak setuju ia harus mengikutinya. Kapten Agus anak SBY mungkin mengemukakan pendapat ke umum tetapi bukan mengkritik kebijakan atasan. Meskipun begitu ia harus minta ijin atasannya dulu sebelum bericara di muka umum. Bisa jadi ia sudah melakukannya dan sudah mendapat ijin. Kalau seorang perwira mengetahui atasannya tidak benar (korupsi, misalnya), maka ia dapat mengadukannya ke atasan dari atasannya itu melalui prosedur yang berlaku. Kalau perwira tidak setuju dengan kebijakan presiden atau rajanya, ia dapat melakukan perebutan kekuasaan (kudeta) kalau ia merasa kuat, atau mengundurkan diiri dari dinas tentara. Lalu ia dapat mengkritik presiden atau rajanya itu sebagai orang sipil. KM
----Original Message---- From: rifkyp...@yahoo.com Date: 09/09/2010 11:35 To: <ekonomi-nasio...@yahoogroups.com>, <eramus...@yahoogroups.com>, <Forum-Pembaca- kom...@yahoogroups.com>, <indonesia-ris...@yahoogroups. com>, <mediac...@yahoogroups.com>, <nongkrong_bare...@yahoogroups.com>, <ppiin...@yahoogroups. com>, <ppiindia@yahoogroups.com>, <sab...@yahoogroups.com>, <syiar-is...@yahoogroups.com>, <wartawan- indone...@yahoogroups.com>, <wartawanindone...@egroups. com>, <zama...@yahoogroups.com> Subj: [ppiindia] Kolonel Kutu Kupret “Itu, seorang Kolonel Kutu Kupret, apa dia tidak sadar sebagai anggota TNI ?”. Demikian kata Ruhut Sitompul dalam mengomentari sosoknya Kolonel Adjie Suradji yang menuliskan opini berjudul ‘Pemimpin, Keberanian dan Perubahan’, dimana tulisan opini dari Perwira Menengah TNI AU itu telah dianggap menyentil Presiden SBY (Susilo Bambang Yudhoyono). Berkait dengan opini dari Kolonel Adjie Suradji itu, tak kurang dari Presiden SBY sendiri pun mengatakan bahwa prajurit dan perwira aktif sebenarnya tidak ada ruang untuk mengkritik atau menyerang atasan. Bisa jadi memang benar begitu, bahwasanya seorang tentara anggota TNI itu memang dilarang keras untuk melakukan kritik tentang apapun juga kepada atasannya. Dan, apakah dengan demikian maka hal itu dapat diartikan bahwa tentara itu tidak boleh beropini atau mengkritik walau ia melihat secara kasat mata tentang adanya kerusakan sistem dan tindakan penyimpangan serta maraknya praktik korupsi ?. Jika ia maka celakalah negara ini, karena dengan mengatasnamakan Sapta Marga dan Sumpah Prajurit maka tentara TNI harus membiarkan saja negaranya digerogoti oleh kerusakan sistem serta maraknya tindakan penyimpangan dan praktik korupsi. Berkait dengan mengemukakan opininya, tak hanya Kolonel Adjie Suradji saja yang melakukannya. Adabeberapa anggota TNI aktif lainnya yang juga melakukan hal yang serupa, mengemukakan opininya. Diantaranya mungkin dapat kita lihat bagaimana Kapten Agus Harimurti Yudhoyono beropini dalam bentuk buku, yang malahan dibagikan secara gratis di Istana Presiden pada saat usai pelaksanaan upacara resmi kenegeraan dalam memperingati Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia. Bahkan Kapten Agus Harimurti Yudhoyono pernah mengemukakan opininya di ruang publik berkait persoalan geopolitik. Opininya yang diberinya judul ‘Tantangan Geopolitik Indonesia Abad 21 : Pandangan Seorang Prajurit’ itu dibawakannya pada forum Komunikasi Alumni Certified Property Analyst yang diselenggarakan oleh Panangian School of Property di Hotel Sahid Jaya. Namun apapun juga argumentasinya, mungkin memang sudah demikian halnya, sudah merupakan suratan takdir yang berbeda nasib antara Kolonel Adjie Suradji dengan Kapten Agus Harimurti Yudhoyono. Terlepas dari itu semua, sesungguhnya ada hal terpenting yang terlupakan didalam perdebatan seputar opini yang dikemukakan oleh Kolonel Adjie Suradji, yaitu soal subtansi dari opini yang ditulisnya. Subtansi, itu jelas hal yang teramat penting untuk terlupakan. Atau, memang sengaja agar dilupakan ?. Benarkah kita memang ingin melupakan bahwa kasus BLBI, Lapindo, Bank Century, dan perilaku penyelenggara negara yang suka mencuri, berbohong, dan malas tidak akan menjadi warisan abadi negeri ini ?. Benarkah kita memang ingin melupakan bahwa seluruh rakyat Indonesia tetap berharap agar Presiden SBY bisa membawa perubahan signifikan bagi negeri ini ?. Jika memang sengaja dilupakan maka celakalah nasib reformasi yang telah berjalan selama dua belas tahun, sia-sialah pengorbanan harta dan raga serta jiwa yang telah terenggut karena memperjuangkannya. Jika memang begitu, maka sesungguhnya siapa yang paling pantas disebut sebagai ‘Kutu Kupret’ ?. Wallahualambishshawab. * Kolonel Kutu Kupret http://politik.kompasiana.com/2010/09/09/kolonel-kutu- kupret/ http://politikana.com/baca/2010/09/09/kolonel-kutu-kupret. html * [Non-text portions of this message have been removed]