http://www.suarapembaruan.com/News/2005/09/21/index.html
SUARA PEMBARUAN DAILY Diplomasi Agama, HAM, dan Kerja Sama Pembangunan Josef P Widyatmadja PERISTIWA serangan teror 911 di New York, bom teror di London dan Madrid, serta berkembangnya agama-agama di Eropa menyebabkan Kementerian Luar Negeri Belanda meminta dua badan pembangunan, yaitu ICCO dan Cordaid serta ISS (Institute of Social Study), menyelenggarakan konferensi "Religion: A source of human rights and development cooperation". Menteri Kerja Sama Pembangunan Belanda Agnes van Ardenne-Van der Hoeven menjelaskan maksud penyelenggaraan konferensi itu. Pertama, memperdalam peranan agama dalam memerangi HIV/AIDS atas dasar kemitraan gender. Kedua, forum akan membantu Pemerintah Belanda merumuskan policy baru, di mana delegasi Belanda akan dibekali dengan petunjuk praktis apabila mereka berkunjung ke lapangan. Ketiga, forum itu merupakan kemitraan antara Pemerintah Belanda dengan civil society. Pembicara antara lain Sekretaris Jenderal Dewan Gereja Belanda Ineke Bakker, Direktur ISS Gerri ter Haar, Farid Esack dari Ohio-AS, Ketua Humanism and Islam Nasr Abu Zayd Ibn Rushd, Agnes van Ardenne, Internasional Director of ICCO Hans Bruning, konsultan pembangunan dari Kenya Agnes Aboum, Minister of State dari Turki Mehmed Aydin, Melba Padilla-Maggay dari Filipina. Agama dan Orang Miskin Agnes van Ardenne dalam makalahnya menyitir, para nabi sangat memperhatikan orang miskin. "There is a key for everything, and the key to paradise is love for the poor," kata Nabi Muhammad. Semua agama dipanggil untuk peduli kepada orang miskin. "Clothe the naked, visit the sick, comfort the mourner, bury the dead", demikian bisa dibaca dalam Talmud. Lebih lanjut Agnes berujar mengutip kata-kata dalam kitab suci Buddha maupun Hindu, yang intinya anjuran untuk tidak mengumbar keserakahan dan kepentingan diri sendiri. "These days, we only hear about war in the name of religion". Di sini kita dihadapkan dengan kenyataan antara anjuran para pendiri agama (nabi) yang terdapat dalam kitab suci dengan kenyataan sehari hari di mana atas nama agama dan atas nama "Allah" manusia saling membunuh, membenci pengikut agama lain. Buah-buah dari agama bukannya cinta kasih untuk mengulurkan tangan kepada orang yang telantar, tetapi sebaliknya memerangi sesamanya yang berbeda kepercayaan. Kalau Allah tidak marah melihat pengikutnya yang menyalahgunakan namanya untuk mengumbar keserakahan dan keganasan, yang menimbulkan kemelaratan dan kesengsaraan pada jutaan manusia, maka jangan-jangan benarlah kata Friedrich Nietsche, bahwa "God is death". Sudah tentu pernyataan Nietsche bisa menimbulkan protes dari kita yang sering kali pergi ke rumah sembahyang. Allah adalah Allah yang mahasabar dan adil. Allah masih memberikan kesempatan kepada manusia untuk bertobat dan memperbaiki pikiran dan perbuatannya. Nyatanya, kita menyaksikan jutaan pengikut agama membanjiri upacara di rumah sembahyang untuk mendengar khotbah dan ajaran iman dari pengkhotbah kondang. Bila terpukau pada pengkhotbah kondang, para pengikut agama tak segan-segan merogoh kocek untuk memberikan persembahan. Dengan harapan sedekah yang sudah diberikan akan mampu menyucikan dosa sepekan dan membuka jalan masuk ke surga. Nietsche dalam hidupnya tak pernah memperkirakan kebangkitan kepercayaan pada Allah atau agama akan membuat pusing para pengambil keputusan di seluruh dunia. Kalau kepercayaan agama tidak ada hubungan dengan upaya untuk mewujudkan perdamaian, keadilan, dan pengurangan kemiskinan, maka semua kerja sama dan usaha pembangunan yang dilakukan banyak negara akan sia-sia. Tanpa peran agama, dipastikan Millennium Development Goal yang hendak dicapai PBB akan gagal. Ratusan juta dolar yang telah dikeluarkan badan pembangunan seperti USAID, Ford Foundation, ICCO, Cordaid akan berakhir dengan kekecewaan. Mengapa? Setelah lima tahun kiprah badan pembangunan seperti ICCO, Cordaid, kemiskinan bukan berkurang tetapi bertambah. Gap antara Utara dan Selatan dan gap antara desa dan kota bukan berkurang tetapi makin melebar. Transfer kekayaan bukan dari Utara ke Selatan tetapi sebaliknya. Apa sebabnya? Dalam seminar tersebut berlangsung pula diskusi Religion and Economic Justice. Penulis berkesempatan memberikan tanggapan atas pidato Menteri Agnes van Ardenne. "Mungkinkah kerja sama pembangunan yang dilakukan oleh Belanda melalui ICCO dan Cordaid mampu mengurangi kemiskinan apabila Belanda dan negara Eropa tidak mewujudkan global fair trade baik dalam subsidi pertanian, international financial system, dan intellectual property rights?" Subsidi pertanian Uni Eropa kira-kira berjumlah 50 miliar dolar setara dengan seluruh nilai produksi petani di Afrika? Mungkinkah petani di Afrika bersaing dengan petani di negara maju yang mendapatkan subsidi dari pemerintah mereka? Sebagai gambaran dari laporan UNDP 2004, Pemerintah Amerika mengeluarkan ratusan miliar dolar hanya untuk menyubsidi 20.000 petani berdasi di Amerika. Sidang Umum PBB 2005 juga gagal meminta negara maju untuk menggunakan 0,7 persen dari GNP (PDB)-nya untuk kerja sama pembangunan. Tepat apa yang diucapkan oleh Jeffrey Sach, ekonom Amerika di Jakarta, Agustus 2005. "Kemiskinan menjadi akar terorisme sebab negara maju gagal mengalokasikan 0,7 persen dari GNPnya." HAM di Indonesia Dalam perjalanan pulang dari Belanda, di pesawat hati penulis gelisah karena membaca artikel berjudul "Churches Under Siege, a Land Divided" yang ditulis oleh Marianne Kerney di harian Today, 14 September 2005. Lebih lanjut South China Morning Post, harian di Hong Kong, 17 September 2005 memuat berita "The Liberal Islamists Dicing with Death". Berita kedua harian itu memprihatinkan semua pihak tentang citra penegakan HAM dan kerukunan beragama di Indonesia. Seolah-olah Pemerintah Indonesia mengalami kendala dalam menuntaskan kerukunan agama. Sebentar lagi rakyat Indonesia akan mengenang peristiwa September berdarah 1965 sebagai tragedi pelanggaran HAM terbesar dalam sejarah Indonesia. Masalah HAM dan pelurusan sejarah sering tak bisa dipisahkan dengan dilema politik. Sejak Soeharto lengser, empat presiden belum berhasil meluruskan dan mendamaikan sejarah September Berdarah 1965 dan memberikan keadilan pada korban. Entah korban itu dari angkatan darat, anggota PKI, atau siapa pun yang menjadi korban patut diberi keadilan dan direhabilitasi. Apakah adil kalau orangtua bersalah, anak cucu harus menanggung dosa orangtuanya? Dalam semangat rekonsiliasi dan demi Indonesia bersatu para korban harus membuka hati untuk memberikan maaf kepada pelaku kejahatan apabila mereka yang bersalah bersedia mengakui kesalahan masa lalu. Dalam hal ini peran dan tekad pemerintah dan pemimpin agama sangat penting. Tidak ada pihak yang tak bersalah sampai terjadinya peristiwa September Berdarah 1965, termasuk kelompok agama. Banyak lembaga agama ikut bersalah karena baik sebelum dan sesudah peristiwa September Berdarah 1965 agama sering kehilangan panggilannya untuk menjadi cahaya di tengah kegelapan, obat untuk menyembuhkan yang luka, pembela bagi mereka yang diperlakukan tidak adil. Dalam semangat musyawarah untuk mufakat, seluruh komponen bangsa perlu berpikir jernih dan membangun Indonesia dari keterpurukan. Tujuh tahun (1998-2005) cukuplah dan jangan diperpanjang keterpurukan bangsa Indonesia. Kalau kerukunan agama, pemberantasan korupsi, penegakan hukum dan rekonsiliasi sejarah tidak terwujud, bagaimana mungkin Indonesia bisa membangun masa depan yang lebih baik? Indonesia akan tetap dipandang dengan sebelah mata oleh banyak bangsa di dunia bila persatuan, kerja keras, kejujuran tidak segera diwujudkan. Apa itu yang kita kehendaki? * Last modified: 21/9/05 [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/