Catatan laluta:

 

Tanggal 01 Oktober 2005 tepat waktu makan malam, empat ledakan berturut-turut 
mengguncang kawasan Jimbaran dan Kuta, Bali. Jumlah korban tewas akibat 
sejumlah ledakan di Bali sampai saát ini belum bisa dipastikan. Yang pasti, 
angka terus merambat naik. 

 

Beberapa jam kemudian keluarlah pernyataan awal dari Alwi Shihab, yang menjawab 
pertanyaan wartawan di Surabaya a.l.: "Pemerintah tidak punya niat mengorbankan 
anak bangsa. Itu suatu imajinasi yang sangat distorsif, ... Jika pemerintah 
berniat mengalihkan isu kenaikan harga BBM, banyak hal bisa dilakuan tanpa 
mengorbankan pariwisata, pikiran, dan energi..." (berita selengkapnya: 
www.tempointeraktif.com/hg/nasional/2005/10/01/ ) 

 

Tanggal 1 Oktober 1965 misteri dari penculikan, kematian yang disusul dengan 
pemburuan dan pembunuhan massal, diakhiri dengan hukuman pemenjaraan terhadap 
puluhan ribu anak bangsa tanpa proses pengadilan. Bahkan 40 thn lamanya 
pencarian dalang dari "Gerakan 30 September 1965" (G30S 1965) disebut pula 
sebagai "Gerakan 1-Oktober" yang disingkat GESTOK. masih merupakan lembaran 
hitam dalam sejarah kehidupan berbangsa dan bernegara.  

 

Maka "Siapa yang merancang dan mengendalikan G30S1965 adalah satu sisi gelap 
sejarah yang hingga kini belum juga berhasil dibuat terang..."  Untuk itu 
kusajikan Ekspresi dan Refleksi diri Eep Saefulloh Fatah melalui karya 
tulisannya berjudul "Mencari Dalang Gerakan 30 September 1965 [Urgensi 
Rekonstruksi Sejarah Kita]" (sumber buku Antologi "Tragedi Kemanusiaan 1965 - 
2005)

 

La Luta Continua!

 

***

 

Mencari Dalang Gerakan 30 September 1965 [Urgensi Rekonstruksi Sejarah Kita]

 

Oleh Eep Saefulloh Fatah 

 

Universitas Indonesia
([EMAIL PROTECTED])


Salah satu episode sejarah kita yang masih remang-remang, bahkan gelap, dan 
karenanya mengundang kontroversi yang tak habis-habis hingga kini adalah 
“Gerakan 30 September 1965” (G30S1965) – atau “Gerakan 1 Oktober” (Gestok), 
atau apapun Anda mau menamainya *[1].  Salah satu pertanyaan utama yang 
jawabannya hingga sekarang masih kabur dan menggantung adalah: Siapa 
sesungguhnya dalang dari gerakan itu? Partai Komunis Indonesia (PKI), Sukarno, 
Soeharto, Angkatan Darat (AD), kekuatan(-kekuatan) asing, atau siapa?

 

Di masa Orde Baru, ketika negara memposisikan dirinya sebagai pemonopoli tafsir 
atas sejarah, kita hanya diperkenankan mengakses satu versi tunggal produk 
negara. Menurut versi ini, pihak yang paling bertanggung jawab atas G30S1965 
adalah PKI. Singkatan G30S/PKI pun dimassalkan sebagai penamaan resmi peristiwa 
itu.

 

Sepeninggal Soeharto, dalam rentang waktu lebih dari tujuh tahun ini, negara 
tak lagi berkuasa menjadi pemonopoli tafsir atas sejarah. Maka beragam versi 
tentang episode gelap sejarah ini pun mulai termasalkan, bisa diakses secara 
leluasa oleh masyarakat. Berbagai literatur yang berusaha memotret peristiwa 
tersebut dengan perspektif yang beragam dan dalam beberapa hal saling 
bertentangan, diterjemahkan dan diterbitkan ulang. Belakangan, kekayaan 
pemahaman kita atas peristiwa itu bahkan diperkaya dengan terbitnya sejumlah 
memoir, biografi dan otobiografi yang ditulis oleh atau tentang tokoh-tokoh 
yang sedikit banyak berkaitan – langsung maupun tidak – dengan peristiwa itu. 
Maka, sebetulnya secara otodidak siapapun bisa melakukan rekonstruksi atas 
episode sejarah yang belum juga terang itu.


 

Sekalipun demikian, sejatinya belum ada upaya resmi, terlembagakan yang 
sungguh-sungguh, sistematis, terorganisasi, seksama untuk melakukan 
rekonstruksi sejarah di seputar peristiwa tragis itu. Tulisan ini berusaha 
menggarisbawahi urgensi rekonstruksi sejarah peristiwa G30S1965 untuk 
mendudukkan sejarah secara patut sebagai pijakan penting bagi perebutan masa 
depan yang lebih demokratis, adil, dan terbuka.

 

Memfokuskan diri pada diskusi soal dalang G30S1965, tulisan ini akan dibuka 
dengan pengungkapan kembali berbagai versi yang sempat beredar tentang 
G30S1965. Bagian berikutnya merekonstruksikan perdebatan yang terjadi di 
penghujung Orde Baru (akhir 1980-an hingga akhir 1990-an) yang dikristalisasi 
oleh terbitnya versi resmi Orde Baru yang lebih dikenal sebagai Buku Putih. 
Akhirnya, akan digarisbawahi unsur-unsur gelap dalam sejarah G30S1965 yang 
masih tersisa sepeninggal Soeharto hingga hari ini. Masih terus tersisanya 
sisi-sisi gelap ini menggarisbawahi betapa penting dan mendesaknya rekonstruksi 
sejarah atas peristiwa G30S1965 itu.

 

*[1] Tulisan ini akan menggunakan istilah Gerakan 30 September (G30S) sebagai 
istilah yang netral, bertolak dari fakta sejarah bahwa geger berdarah di tahun 
1965 ini memang bermula secara konret dari gerakan yang terjadi pada 30 
September 1965. Istilah lain, misalnya G-30-S/PKI, akan digunakan sejauh memang 
tercantum dalam kutipan langsung dari literatur yang digunakan.


 

Beragam Versi

 

Sebagai sebuah peristiwa besar, G30S1965 telah mengundang perdebatan politik 
dan akademik yang cukup ramai. Berikut adalah beberapa contoh analisis 
terkemuka mengenai peristiwa berdarah itu yang ditulis oleh beragam kalangan 
dengan beragam perspektif.

 

[1] Artikel Hall dan Cornell Paper

 

Tak lama setelah peristiwa G30S1965, setidaknya ada dua analisis yang muncul 
dari pengamat asing yang, menariknya, keduanya bertentangan. Dalam Reader's 
Digest edisi November 1966, Clerence W. Hall  menggambarkan G30S1965 sebagai 
manuver PKI dan Sukarno untuk melanjutkan skenario politik yang telah mereka 
susun selama Demokrasi Terpimpin. Dalam versi Hall, PKI dan Sukarno adalah 
dalang di belakang peristiwa berdarah itu.

 

Nyaris bersamaan dengan publikasi tulisan Hall, muncul Cornell Paper; makalah 
Benedict R.O.G. Anderson dan Ruth McVey berjudul A  Preliminary  Analysis  of 
The October 1, 1965, Coup in Indonesia (1966). Anderson dan McVey menyimpulkan  
bahwa G30S1965 adalah persoalan intern Angkatan Darat. PKI bukanlah dalang. 
Menurut versi ini keterlibatan PKI terjadi dalam saat-saat akhir, itupun karena 
PKI "dipancing untuk masuk" dan akhirnya benar-benar terseret masuk. 
Keterlibatan PKI, menurut Cornell Paper, hanya  bersifat insidental belaka.

 

Banyak yang meragukan kesahihan  artikel Hall maupun Cornell Paper. Kedua 
analisis ini dibuat pada saat Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) masih 
menyidangkan para pelaku G30S1965 dan banyak dokumen belum terungkap. Wajar 
jika Cornell Paper -- yang memang lebih terkenal ketimbang artikel Hall -- pun 
mendapatkan reaksi dari pelbagai penjuru.

 

[2] Bantahan terhadap Cornell Paper

 

Dari dalam negeri, dua tahun setelah publikasi Cornell Paper, muncul bantahan 
dari Nugroho Notosusanto dan Ismail Saleh melalui buku The Coup Attempt of The 
September Movement in Indonesia (1968). Ismail Saleh dan Notosusanto membantah 
versi Anderson dan McVey dengan menunjukkan bahwa PKI lah yang mendalangi kup 
yang gagal di penghujung September itu.

 

Menurut versi ini, Angkatan Darat sama sekali tidak menduga akan terjadi 
peristiwa berdarah itu. Dengan begitu, versi ini membantah analisis Anderson 
dan McVey bahwa peristiwa itu adalah ekspresi persoalan intern di dalam tubuh 
Angkatan Darat.

 

Pada tahun yang sama (1968) terbit pula buku John Hughes berjudul The End of 
Soekarno. A Coup that Misfired: A Purge that Ran Wild. Buku ini menunjukkan 
G30S1965 lebih sebagai kup PKI daripada persoalan intern Angkatan Darat. Hughes 
-- sebagaimana Ismail Saleh dan Notosusanto -- melihat militer sebagai 
penyelamat keadaan, bukan dalang di belakang tragedi besar itu.

 

Bantahan terhadap Cornell Paper juga datang dari Anthonie C.A. Dake melalui dua 
karyanya: In The  Spirit of Red Banteng dan The Deviuos Dalang: Sukarno and the 
So-Called Untung Putch. Eyewitness Report by Bambang S. Widjanarko. Dake 
menilai bahwa Sukarno lah dalang G30S1965. Sukarno -- menurut Dake -- tidak 
sabar menghadapi tokoh-tokoh Angkatan Darat yang tidak suka program 
revolusinya. Melalui konspirasinya dengan kekuatan komunis -- "musuh" Angkatan 
Darat sepanjang Demokrasi Terpimpin -- Sukarno merasa perlu untuk melakukan 
"pembersihan".

 

Versi Dake tersebut memperoleh dukungan antara lain dari David Lowenthal 
seorang profesor ahli Soviet-Jerman. Dengan mendasarkan diri pada 
dokumen-dokumen otentik pemeriksaan Widjanarko, Lowenthal menunjukkan secara 
eksplisit keterlibatan Sukarno dalam G30S1965. Menurut Lowenthal -- sebagaimana 
dikutip Soerojo (1989; xxvii) -- Sukarno mengkreasi peristiwa itu untuk 
menghilangkan kerikil-kerikil yang mengganjal jalannya "revolusi yang belum 
selesai".

 

[3] Keterlibatan Amerika

 

Versi lain mengungkapkan CIA sebagai dalang di belakang peristiwa G30S1965. 
Versi ini antara lain diungkapkan melalui sebuah tulisan Peter Dale Scott -- 
Guru  Besar Universitas California, Berkeley -- yang  termuat dalam Pacific 
Affairs (1984).

 

Setelah publikasi versi Dale, pada Juli 1990, kontroversi soal keterlibatan CIA 
kembali diungkap oleh Kathy Kadane, wartawati kantor berita States News Service 
Amerika Serikat. Kadane menyatakan bahwa CIA lah yang memberikan daftar 5000 
nama tokoh PKI kepada TNI Angkatan Darat pada 1965. Tokoh-tokoh yang ada dalam 
daftar itulah yang kemudian dihabisi seusai kegagalan G30S1965.

 

Sebelum muncul artikel Kadane, ada bahan lain yang mengungkapkan  keterlibatan 
CIA, yakni buku CIA-KGB yang ditulis oleh Celina Beldowska dan Jonathan Bloch 
(1987). Dalam buku ini tertulis tegas: "pada 1965, CIA dengan sukses 
mengorganisir kampanye  propaganda untuk menggulingkan Sukarno".

 

Dua belas tahun sebelum terbitnya buku Beldowska dan Bloch -- tepatnya April 
1975 -- dalam Konferensi "CIA dan Perdamaian Dunia," Winslow Peck (analis 
intelijen Dinas Keamanan AU Amerika) secara gamblang juga mengungkap 
keterlibatan CIA. Peck menyebut penggulingan Sukarno di akhir 1960-an adalah 
sukses CIA yang disokong oleh pelbagai pihak pro-Barat di Asia, terutama Asian 
Regional Organization.

 

Versi keterlibatan Amerika -- terutama melalui CIA -- tersebut ditentang oleh 
sejumlah kalangan. Dari kalangan resmi pemerintah AS, Marshall Green -- Duta 
Besar Amerika di Jakarta yang menyaksikan sendiri perpindahan kekuasaan dari 
Sukarno ke Soeharto --  mengajukan bantahan  melalui bukunya Dari Sukarno ke 
Soeharto: G 30 S - PKI dari Kacamata Seorang Duta Besar (1992).

 

Dalam ulasannya -- dengan bahasa diplomasi yang kental -- Green menilai 
G30S1965 memiliki kaitan dengan gerakan komunis internasional yang saat itu 
memang sedang menggencarkan perluasan ideologi komunis di Asia tenggara, 
terutama melalui Vietnam dan Indonesia. Green bahkan menunjuk adanya sejumlah 
indikasi keterlibatan RRC di belakang manuver PKI yang gagal itu.

 

Howard Palfrey Jones, mantan Dubes Amerika untuk Indonesia sebelum Green, juga 
memaparkan versi yang serupa. Dalam bukunya Indonesia: The Possible Dream 
(1971) Jones menggambarkan G30S1965 sebagai kudeta abortif kekuatan komunis di 
Indonesia untuk melenyapkan  pimpinan teras Angkatan Darat serta lebih lanjut 
membangun pemerintahan kiri. Amerika, di mata Jones, tidak ikut serta 
mengkreasi kudeta itu atas nama kepentingan politik apa pun.

 

Dari kalangan akademisi, bantahan semacam itu pernah datang dari H.W. Brands, 
asisten profesor pada sebuah Universitas di Texas. Melalui artikelnya, "The 
Limits of Manipulation: How the United States Didn't Topple Sukarno" (termuat 
di Journal of  American History edisi Desember 1989), Brands membantah 
keterlibatan Washington dalam penumbangan Sukarno. 

 

Dengan menggunakan bahan yang sebagian besar diperoleh dari perpustakaan Lyndon 
B. Johnson, Brands misalnya mengungkapkan betapa Amerika "tidak mengenal 
Soeharto". Atas dasar itu, menurut Brands, adalah tak mungkin Amerika ada di 
belakang penggulingan Sukarno di penghujung 1960-an itu.

 

Debat di Penghujung Orde Baru: 


Soegiarso, Manai, dan Buku Putih

 

Dalam rentang waktu sekitar satu dekade terakhir Orde Baru, ada setidaknya dua 
perdebatan besar yang terjadi mengenai dalang G30S1965. Pertama, perdebatan 
yang terus berlanjut hingga akhir tahun 1980-an di sekitar penerbitan buku 
Soegiarso Soerojo, Siapa Menabur Angin akan Menuai Badai. Kedua, kontroversi 
yang meramaikan terbitnya dua buku: karya Manai Sophiaan, Kehormatan Bagi yang 
Berhak, dan Buku Putih yang diterbitkan Sekretariat Negara (1996).

 

Pandangan Soegiarso tentang G30S1965 tertulis di halaman 391 bukunya: "Kudeta 
itu dilakukan PKI dengan dukungan dari luar dan dari dalam negeri, di samping 
dukungan diam-diam dari Kepala Negara yang kebetulan juga seorang Marxis 
konsekuen sejak muda."

 

Untuk mendukung pandangannya, Soegiarso menunjukkan argumen untuk mendukung 
teori berperannya PKI, adanya pelbagai dukungan terhadap PKI dan keterlibatan 
Sukarno. Dasar argumentasi Soegiarso kebanyakan didasarkan pada bukti-bukti 
yang tersertakan dalam keputusan-keputusan MPRS soal pidato Nawaksara Sukarno 
dan pelengkapnya maupun pada sejumlah indikasi yang ditemui Soegiarso dalam 
praktek Demokrasi Terpimpin.

 

Lebih jauh Soegiarso bahkan sampai pada kesimpulan: "Maka menurut penulis, 
segalanya memang sudah diatur rapi, bertahun-tahun sebelumnya, berdasarkan 
suatu skenario tertentu. Siapa sutradaranya, menurut nalarku ya Pemimpin Besar 
Revolusi itu sendiri" (hal. 392).

 

Soegiarso menguatkan tesisnya ini dengan menunjukkan betapa Sukarno tidak 
bersikap tegas menghadapi pemberontakan PKI 1948, memberi angin bagi pembesaran 
PKI sehingga berhasil menjadi salah satu partai di antara empat besar dalam 
Pemilu 1955, membangun Demokrasi Terpimpin yang memberi peluang kepada PKI 
untuk berkembang melalui konsep "kabinet berkaki empat", selalu memihak  dan 
melindungi PKI dalam Demokrasi Terpimpin. Peranan Sukarno dalam G30S1965, 
menurut Soegiarso, adalah puncaknya.

 

Buku Manai Sophiaan mengajukan versi yang bertentangan dengan versi Soegiarso. 
Manai secara gamblang menuturkan-ulang versi Sukarno sendiri tentang G30S1965. 
Bahwa peristiwa berdarah itu terjadi karena tiga faktor: (1) keblinger-nya 
pemimpin PKI; (2) lihainya kekuatan Barat atau kekuatan Nekolim (Neo 
Kolonialisme dan Imperialisme); dan (3) adanya "oknum yang tidak benar".
  
Menurut Manai, para pemimpin PKI menjalankan gerakan itu tanpa persetujuan dari 
bawah. Mereka terjebak oleh isu kudeta Dewan Jenderal. Berbeda dengan versi 
resmi selama ini -- yang menganggap PKI sendirilah yang merekayasa isu Dewan 
Jenderal itu -- Manai mencurigai intelijen Barat sebagai perekayasa isu.

 

Para pemimpin PKI kemudian keblinger karena khawatir dengan kemungkinan kudeta 
yang akan dijalankan oleh para jenderal Angkatan Darat. Maka Biro Khusus PKI 
pun mendahuluinya dengan Gerakan 30 September. Karena kekhawatiran itu pula -- 
menurut Manai -- PKI kemudian menjadikan para jenderal AD sebagai sasaran utama 
dan pertama yang harus mereka bersihkan.
      
Lebih lanjut Manai juga menyebut soal kedekatan Amerika dengan pihak AD (A.H. 
Nasution adalah nama yang disebut Manai sebagai jenderal AD yang dekat dengan 
Amerika itu). Pihak-pihak yang dekat dengan Amerika inilah  yang disebut 
Sukarno (dan juga Manai) sebagai "oknum yang tidak  benar".
   
Dengan memaparkan kedekatan Amerika-AD ini, Manai sepertinya ingin menunjukkan 
bahwa Amerika memang memiliki peran dalam pemanasan suhu politik saat itu. Para 
pemimpin PKI kemudian terpancing untuk mempercepat sebuah gerakan untuk 
menyelematkan kepentingan PKI di tengah suhu politik yang makin panas. 
Sementara Sukarno -- dalam pandangan Manai -- tidak terlibat dalam pergolakan 
yang terjadi sebagai akibat memanasnya hubungan PKI dengan Angkatan Darat itu. 
Sukarno tidak  mengetahui, apalagi menjadi dalang, gerakan yang dilakukan para 
pemimpin PKI yang keblinger itu. Sukarno --  simpul Manai -- tak terlibat 
G30S1965.

 

Jika Soegiarso dan Manai sampai pada kesimpulan-kesimpulan yang tegas dan 
eksplisit, Buku Putih menghindari penyimpulan semacam itu. Buku Putih memang 
secara gambling menunjuk PKI sebagai dalang G30S1965. Berbagai anasir yang 
terlibat dalam gerakan ini, menurut Buku Putih, merupakan bagian dari kudeta 
(gagal) yang dikendalikan oleh PKI. Namun, berbeda dengan buku Manai dan 
Soergiarso yang memposisikan diri secara tegas menunjukkan dengan terang 
ketidakterlibatan dan keterlibatan Sukarno dalam G30S1965, Buku Putih mengambil 
posisi yang lebih "tersamar". 

 

Dari Buku Putih tidak akan kita temui tuduhan tegas soal keterlibatan Sukarno 
dalam peristiwa G30S1965. Bab VII buku ini -- dengan judul "Sikap Presiden 
Sukarno terhadap Gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia" -- hanya 
menunjukkan fakta-fakta sejarah tentang ucapan dan tindakan Sukarno di seputar 
peristiwa itu.

 

Dalam konteks itu Ada tiga alinea penting dalam Bab ini. Yakni:

 

"Kenyataan yang terlihat dengan jelas adalah bahwa, baik pimpinan PKI maupun 
jajaran Biro Khusus PKI memanipulasikan secara cerdik untuk kepentingan PKI dan 
gerakan komunisme internasional seluruh peluang yang terbuka oleh kebijaksanaan 
politik Presiden Sukarno yang terpusat pada konsepsi Nasakom" (hal. 141).

 

"Pada periode epilog G-30-S/PKI, banyak sikap/tindakan Presiden Sukarno yang 
bernada membela atau menguntungkan G-30-S/PKI. Sikap dan tindakan Presiden 
Sukarno tersebut, bahkan identik dengan saran-saran D.N. Aidit yang disampaikan 
melalui suratnya kepada Presiden Sukarno, setelah D.N. Aidit melarikan diri dan 
bersembunyi di Jawa Tengah" (hal. 147).
 
"Apa yang dilakukan oleh Presiden Sukarno setelah gagalnya G-30-S/PKI adalah 
mengarah kepada menyelamatkan organisasi PKI dan paham komunisme sebagaimana 
diinginkan oleh D.N. Aidit" (hal. 150).

 

Dalam mengembangkan ketiga alinea penting itu, Buku Putih menyikapi keterkaitan 
Sukarno dengan G30S1965 dalam beberapa sikap berikut. Pertama, G30S1965 dinilai 
oleh Buku Putih sebagai klimaks dari manuver PKI untuk mengarahkan jalannya 
perpolitikan Demokrasi Terpimpin menuju "kemenangan PKI dan gerakan komunisme 
internasional". Dalam konteks ini, Sukarno tidak dinilai (secara eksplisit) 
sebagai aktor yang aktif dalam manuver itu. 

 

Sukarno hanya dieksplisitkan sebagai seorang aktor politik yang pasif. Sukarno 
hanya memberi peluang kepada PKI untuk memenuhi ambisi politiknya itu melalui 
konsepsi Nasakom. PKI lah yang dengan cerdik memanfaatkan konsepsi Sukarno itu 
untuk tujuan dan ambisi politiknya.  

 

Inilah yang membedakan Buku Putih dengan buku Manai dan Soegiarso. Jika Manai 
sama sekali membersihkan nama Sukarno, Soegiarso sebaliknya menempatkan Sukarno 
sebagai dalang, Buku Putih berhenti pada "kesimpulan yang mencari aman".

 

Kedua, Buku Putih hanya memberi informasi mentah tentang sikap Sukarno di 
seputar peristiwa G30S1965. Buku Putih tidak menuding Sukarno, melainkan hanya 
mengajukan sejumlah indikasi tegas yang  menunjukkan betapa Sukarno bersikap 
sangat lunak terhadap pelaku G30S1965. Sukarno -- yang hanya menganggap 
peristiwa besar itu sebagai "kejadian biasa dalam revolusi" -- dinilai 
kompromistis terhadap para pelaku kudeta yang gagal itu.

 

Ketiga, Buku Putih menampilkan -- sambil menyayangkan -- tindakan Sukarno yang 
membela PKI dan faham komunis  dalam epilog peristiwa G30S1965. Buku Putih 
merepresentasikan sikap "pendukung Orde Baru" yang menyayangkan ketidakmauan 
Sukarno membumihanguskan PKI beserta kekuatan-kekuatan di seputarnya. 
Sebaliknya, Sukarno justru menunjukkan pembelaan yang tegas terhadap kekuatan 
komunis setelah kup PKI yang gagal itu.

 

Dalam kerangka itu, Buku Putih menyajikan sejumlah fakta yang menunjukkan sikap 
dan tindakan Sukarno  yang lunak terhadap PKI bahkan  cenderung menyelamatkan 
partai komunis dan faham komunismenya itu. (Lihat Tabel)

 

Tabel
Pernyataan Sikap dan Tindakan Sukarno yang Lunak terhadap PKI

 

Pernyataan Sikap
1 Pidato kepada KAMI, 12 Desember 1965
2 Pidato 13 Desember 1965
3 Pidato 18 Desember 1965
4 Pidato HUT Dwikora, 21 Desember 1965
5 Pidato di depan Delegasi GMKI, 24 Desember


 

Tindakan


1 Tidak menindak Men/Pangau Omar Dhani sebaliknya mengizinkan Omar Dhani 
menginap di Istana Bogor dan memberi penugasan ke luar negeri antara 19-10 s.d. 
20-12-1965


2 Tidak mengambil tindakan hukum terhadap pimpinan pelaksanaan G-30-S/PKI, 
Brigjen Soepardjo


3 Tidak menindak Aidit bahkan memberi tanggapan positif terhadap surat Aidit 
dari persembunyiannya di Jawa Tengah


4 Mengizinkan Njoto (anggota Politbiro CC PKI) menyampaikan sikap PKI terhadap 
masalah G-30-S-PKI dalam Sidang Paripurna Kabinet Dwikora  (6-10-65). Bahwa 
G-30-S/PKI adalah gerakan intern AD dan PKI mendukung pembersihan di dalam 
Angkatan Darat


5 Sukarno yang berjanji akan memberikan political solution terhadap masalah 
G-30-S/PKI malah membentuk Kabinet 100 Menteri  yang di dalamnya terekrut 
orang-orang yang jelas pro PKI.  


6 Membubarkan KAMI pada 25 Februari 1966


7 Tatkala Sidang Umum IV MPRS memberi peluang kepada Sukarno untuk  memberikan 
pengertian kepada rakyat tentang G-30- S/PKI, Sukarno justru menunjukkan 
keengganan dan kealpaan untuk memenuhi kewajiban-kewajiban konstitusionalnya; 
dan pertanggungjawaban Sukarno melalui pidato Nawaksara tidak cukup memberikan 
pertanggungjawaban atas terjadinya G-30-S/PKI bahkan tidak menyinggung peranan 
PKI dalam  gerakan tersebut.


Urgensi Rekonstruksi Sejarah 1965

 

Setelah kejatuhan Soeharto, 21 Mei 1998, jalan bagi rekonstruksi peristiwa 
G30S1965 mulai terbuka. Sejauh ini, telah terbentuk setidaknya tiga modus 
operandi bagi upaya rekonstruksi ini. Pertama, diskusi terbuka melalui media 
massa yang menghirup kebebasan baru setelah berbagai kebijakan liberalisasi 
pers dijalankan. Kedua, penerjemahan dan penerbitan ulang dalam bahasa 
Indonesia berbagai versi – yang antara lain diringkaskan di bagian terdahulu – 
yang sebelumnya tak diperbolehkan diakses oleh masyarakat. Ketiga, penulisan 
memoir, biografi dan otobiografi yang ditulis oleh atau tentang para pelaku 
sejarah yang berkait langsung maupun tidak dengan peristiwa G30S1965.

 

Karena Soeharto sudah tak lagi berkuasa, maka salah satu spekulasi yang banyak 
didiskusikan melalui tiga modus operandi itu adalah kemungkinan keterlibatan 
Soeharto di dalam peristiwa berdarah itu. Di masa awal reformasi, misalnya, 
sejumlah diskusi mengarahkan fokusnya pada terbukanya kemungkinan bahwa 
Soeharto, tokoh yang selama ini dikenal sentral sebagai pembasmi PKI, bisa jadi 
terlibat atau paling tidak mengetahui tapi membiarkan kup berdarah tersebut.

 

Salah satu titik yang menjadi benang merah ke arah kesimpulan ini adalah 
kedekatan mantan presiden tersebut dengan tokoh-tokoh G30S1965, seperti Letkol 
Untung, Kol. Latief, dan Brigjen Soepardjo. Selain itu, Soeharto juga dikenal 
aktif di sebuah kelompok diskusi politik yang dikenal sebagai ''Kelompok 
Pathuk'', Yogyakarta di masa awal kemerdekaan. Di kelompok inilah ia mengenal 
Sjam Kamaruzaman dan Untung, dua tokoh lain yang menjadi tokoh kunci peristiwa 
G30S1965.

 

Pengakuan Latief melalui pledoi pengadilan Mahmilub pada 1978, yang antara lain 
mengaku telah memberitahu Soeharto mengenai ''Dewan Jenderal'' serta rencana 
sekelompok perwira untuk mencegah percobaan kup untuk menyingkirkan Bung Karno, 
juga disinggung dalam laporan berbagai media. Tabloid Adil misalnya, mengutip 
Latief: ''Saya sudah lapor kepadanya bahwa malam itu (30 September) sejumlah 
jenderal akan diculik.”

 

Diamnya Soeharto (tidak melaporkan soal ini ke MenPangab Letjen Ahmad Yani), 
kedekatannya dengan tokoh-tokoh kunci G30S1965, membuat sejumlah orang membuat 
hipotesis mengenai kemungkinan keterlibatan Soeharto dalam peristiwa tersebut. 
Sebetulnya, ini bukan hipotesis baru. W.F. Wertheim, dalam Whose Plot? New 
Light on The 1965 Events yang   diterbitkan pada 1979, telah menulis bahwa plot 
G30S1965 dirancang oleh sebuah komplotan dalam klik Angkatan Darat: Sjam, 
Kepala Biro Chusus Central PKI, yang (menurut Wertheim) bertugas membangun 
jaringan di tubuh Angkatan Darat.

 

Menurut Wertheim, Biro Chusus bekerja bebas dari PKI sebagai partai dan 
organisasi. Aidit, Ketua Comite Central tak melaporkan kegiatan Sjam ke 
organisasi. Menurut  tesis ini pula, klik antara Sjam dan Soeharto yang 
menyusup ke PKI itulah yang menjadi dalang dibalik peristiwa G30S1965.

 

Tentu saja diperlukan penelusuran dan pembuktian lebih lanjut terhadap tesis 
itu. Tetapi, bagaimanapun, reformasi telah memberi peluang bagi upaya 
pembongkaran kembali data-data sejarah di seputar peristiwa penting ini. Dalam 
sebuah analisisnya, sejarawan LIPI, Asvi Warman Adam, mencatat bahwa ada enam 
sampai tujuh versi yang berkembang dalam diskusi di awal masa reformasi itu. 
Ada versi yang mengatakan PKI dalang peristiwa tersebut. Ada versi yang 
menyebut dalangnya Sukarno. Ada versi yang mengatakan peran Soeharto tidak bisa 
diabaikan begitu saja dalam peristiwa tersebut. Ada versi yang mengatakan 
dalangnya adalah satu klik di AD. Ada pula versi yang mengemukakan faktor 
eksternal, yakni keterlibatan CIA dalam konteks perang dingin antara Amerika 
Serikat dan Uni Soviet.

 

Siapa yang merancang dan mengendalikan G30S1965 adalah satu sisi gelap sejarah 
yang hingga kini belum juga berhasil dibuat terang. Dalam kerangka ini, 
dibutuhkan upaya rekonstruksi sejarah yang seksama sehingga bisa terbangun 
versi yang paling bisa dipertanggungjawabkan secara akademik sekaligus secara 
politik.

 

Selain soal perancang dan pengendali G30S1965, sisi gelap lain yang perlu 
dibuat terang adalah mengenai jaringan pelaku, tentang mereka yang secara 
massif memang terlibat. Versi resmi pemerintah Orde Baru memposisikan siapa 
saja yang terkait dengan PKI atau bahkan sekadar gerakan kiri di masa itu, 
sebagai mereka yang terlibat dan mesti bertanggung jawab atas gerakan itu. 
Pendekatan gebyah uyah (generalisasi serta merta) ini terbukti mendatangkan 
masalah.*[2]  Banyak sekali orang yang akhirnya diberi sanksi – yang bahkan 
berlapis-lapis hingga ke keturunan mereka secara bertingkat-tingkat – atas 
kesalahan yang tak mereka lakukan.

 

Sebagai akibat dari pendekatan yang tak bertanggung jawab itu, 
terparaktikkanlah perlakuan politik yang tak manusiawi terhadap mereka yang 
diberi stigma “komunis”. Maka, upaya rekonstruksi sejarah bukan saja dibutuhkan 
untuk mengklarifikasi siapa saja yang selayaknya dimintai pertanggungjawaban 
atas gerakan berdarah itu, melainkan juga untuk merehabilitasi status politik 
dan hukum dari banyak sekali orang yang telah dimintai pertanggungjawaban untuk 
peristiwa yang sejatinya mereka tak ikut terlibat di dalamnya.


 

Sisi gelap lainnya yang juga membutuhkan upaya rekonstruksi dan 
penjawaban-ulang tak main-main adalah soal jumlah korban. Sejauh ini tersedia 
data jumlah korban yang beragam. 

 

Sumber-sumber resmi tentu saja menyebutkan jumlah korban yang minimal. Fact 
Finding Commission yang dibentuk segera setelah peristiwa G30S1965 terjadi, 
misalnya, menyebut jumlah korban 78.000 orang. Data itu jauh lebih kecil dari 
yang disebutkan oleh Kopkamtib – sebagaimana dikutip oleh Frank Palmos (“One 
Million Dead?”, The Economist, 20 Agustus 1966) dan Robert Cribb (ed., The 
Indonesian Killings of 1965-1966, 1990) – yang menyebutkan jumlah korban 
sebesar 1 juta jiwa.

 

Cribb (1999) sendiri menyebut 500.000 jiwa sebagai jumlah korban yang wajar. 
Sementara Iwan Gardono (dengan menjumlahkan dan merata-ratakan jumlah korban 
yang disebut oleh 39 literatur) menyebut angka 430.590 orang. Terlepas dari 
ketidaksepakatan mengenai jumlah korban itu, dibutuhkan upaya sungguh-sungguh 
untuk menelusuri kembali berbagai sumber sejarah yang tersedia guna memperoleh 
data jumlah korban yang kredibel.

 

Dalam konteks kontroversi peristiwa G30S1965 yang tak kunjung habis, Asvi 
Warwan Adam (2005) pun menyebut 1965 sebagai “tahun yang tak pernah selesai.” 
Pengaruh tahun 1965 hingga sekarang tak kunjung menyurut. Bukan hanya itu, 
implikasi peristiwa di tahun itu terhadap kehidupan sejumlah besar orang hingga 
saat ini masih terus berjalan. Sejumlah mantan tahanan politik akibat peristiwa 
1965 itu, misalnya, masih terus mencari keadilan hingga sekarang.

 

Sejarah memang penting bukan ketika peristiwanya terjadi melainkan karena apa 
yang kemudian mengikutinya. Sejarah 1965 menjadi penting karena pengaruhnya 
terasa hingga waktu-waktu setelah itu, hingga saat ini. Celakanya, sejarah 
lazimnya dibuat oleh mereka yang menang. Setiap zaman pun akhirnya punya 
tuturan sejarah sesuai dengan pemegang kendali kekuasaan di masa itu. Lalu, 
bagaimana halnya dengan kita di hari ini, ketika demokratisasi terjadi dan 
semestinya kehidupan menjadi lebih transparan, terbuka dan bertanggung jawab?

 

Demokratisasi sejatinya adalah usaha untuk mereposisi para pemegang kekuasaan 
sehingga akhirnya penguasa sesungguhnya adalah orang banyak. Benar bahwa tak 
pernah ada system demokratis yang secara ideal menjadikan orang banyak sebagai 
pemegang kedaulatan politik tertinggi senyatanya dan sejatinya. Namun demikian, 
sistem yang lebih demokratis seyogianya memfasilitasi perumusan ulang sejarah 
atas nama tingkat kejujuran, objektivitas dan akuntabilitas yang lebih terjamin.

 

Maka, selayaknya, atas nama peningkatan kualitas demokrasi, upaya rekonstruksi 
sejarah peristiwa G30S1965 dilakukan segera secara terlembagakan, seksama, dan 
terorganisir. 

 

Pemerintah selayaknya menugaskan Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) 
untuk segera membentuk tim yang independen secara politik dan kredibel secara 
akademik/intelektual yang beranggotakan para ilmuwan – khususnya sejarawan – 
yang kompeten. Tim ini selayaknya bekerja secara profesional dengan 
memanfaatkan secara optimal sumber-sumber sejarah yang ada, mulai dari 
literatur yang sesungguhnya kaya hingga para pelaku sejarah yang terkait dengan 
peristiwa G30S1965 yang masih hidup.

 

Kita terlanjur mengenal peribahasa “bangsa yang besar adalah yang menghormati 
para pahlawannya”. Sesungguhnya, ada rumusan yang lebih tepat dan komprehensif: 
“Bangsa yang besar adalah yang pandai menghargai waktu sebagai tiga lipat masa 
kini: masa lalu sebagai alat peringatan dan memori bagi masa kini, masa kini 
sebagai tempat kerja keras dan memperbaiki diri, dan masa depan sebagai harapan 
masa kini.” Rekonstruksi sejarah peristiwa G30S1965 adalah salah satu (dari 
sekian banyak) pembuktian sebagai bangsa yang besar itu. 

 

***

*[2]Sejumlah karya sastra telah (dengan caranya sendiri yang khas) telah 
mengeritik pendekatan ini dengan memperlihatkan betapa banyak orang yang tak 
berdosa akhirnya terkena getah G30S1965 dan mesti menjalani hukuman atas 
kesalahan yang tidak mereka buat. Untuk sekadar menyebut karya sastra itu: 
trilogi Ronggeng Dukuh Paruk-nya Ahmad Tohari dan Para Priyayi-nya Umar Kayam.


 

***

Biodata Singkat Penulis:

Eep Saefulloh Fatah lahir di Cibarusah, Bekasi, 13 November 1967. Profesi staf 
pengajar Ilmu Politik FISIP Universitas Indonesia,juga memimpin, pernah menjadi 
anggota MPR Utusan Golongan (1 Juli 1998 – 8 September 1998), anggota Tim 11 
(Panitia Persiapan Pembentukan Komisi Pemilihan Umum 1999, P3KPU), menulis dan 
menerbitkan sepuluh judul buku tentang politik dan demokratisasi di Indonesia 
serta aktif menulis di jurnal ilmiah dan media massa Indonesia, Anggota [EMAIL 
PROTECTED]  

 





Information about KUDETA 65/ Coup d'etat '65, click: http://www.progind.net/   
http://geocities.com/lembaga_sastrapembebasan/ 






                
---------------------------------
Yahoo! for Good
 Click here to donate to the Hurricane Katrina relief effort. 

[Non-text portions of this message have been removed]



------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> 
Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page
http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM
--------------------------------------------------------------------~-> 

Post message: [EMAIL PROTECTED]
Subscribe   :  [EMAIL PROTECTED]
Unsubscribe :  [EMAIL PROTECTED]
List owner  :  [EMAIL PROTECTED]
Homepage    :  http://proletar.8m.com/ 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/proletar/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 



Kirim email ke