http://www.indomedia.com/bpost/102005/22/opini/opini1.htm
Manifestasi Sikap Kecintaan Kepada Daerah Oleh: AI Anshari Beberapa bulan lalu santer terdengar, beberapa elemen masyarakat yang diwakili aktivis LSM mempertanyakan pola sikap sebagian pejabat daerah yang belum menunjukkan rasa cintanya kepada daerah. Salah satu manifestasi sikap kecintaan terhadap daerah itu adalah agar pejabat daerah bertempat tinggal (baca: bermukim) di Barito Kuala (Batola). Logika sederhana yang mungkin bisa ditangkap adalah kalau pejabat daerah bermukim di Batola, mereka akan lebih mengetahui dan memahami kondisi daerah yang pada gilirannya diharapkan menjadi lebih peka dan peduli terhadap daerah dan masyarakatnya (sense of belonging). Atas dasar sense of belonging pejabat daerah, akan menyemangati pola pikir dan implementasi kinerja mereka dalam membangun Batola. Sebagai orang awam, kita cukup maklum logika demikian. Mengutip pepatah Jawa: Witing tresno jalaran soko kulino (cinta tumbuh karena sering ketemu). Kalau bertemu pun jarang atau malah tidak sama sekali, bagaimana bisa cinta? Sejalan waktu, setelah pejabat daerah memberikan argumen bahwa pejabat daerah yang tidak bermukim di Batola tidak menjadi masalah karena selama ini mereka tetap menunjukkan kinerja yang baik, akhirnya pembicaraan tentang kecintaan (melalui bermukim) kepada daerah (Batola) tidak pernah lagi terdengar. Selesai? Mungkin ya, karena seperti yang diharapkan pejabat daerah kita menunjukkan kinerja yang baik selama ini dalam membangun Batola walaupun mereka tidak bermukim di daerah. Lantas? Mungkin pernah terbersit pertanyaan: Dengan indikator apa dan tolok ukur yang bagaimana kinerja dikatakan baik? Apa dari pengukuran capaian aktivitas pada tataran masukan (input), proses, keluaran (output), hasil (outcome)? Atau sudah ditambah pengukuran capaian aktivitas pada tataran manfaat (benefits) dan dampak (impact)? Atau mungkin pengukuran capaian aktivitas telah dilengkapi sampai pada tataran ekonomi, efisiensi, efektivitas, pelayanan prima (excellence), keadilan (equity) dan kepuasan pengguna? Mengingat, di era sekarang sudah sedemikian besarnya tuntutan publik pada kepemerintahan yang baik (good governance) melalui akuntabilitas publik, memerlukan adanya perubahan paradigma pada prinsip kinerja pemerintah daerah. Sementara ini, penulis belum merasa berkompetensi untuk menilai (mengomentari). Lagipula, masyarakat dan stakeholder lainnya yang sangat berkepentingan seperti legislatif daerah. Jika indikator kinerja jelas dan terukur serta metode pengukuran yang dapat dipertanggungjawabkan, bisa dijadikan pedoman dalam melakukan penilaian terhadap laporan pertanggungjawaban. Namun pemerintah daerah belum pernah menanggapi secara intens. Artinya, kita semua mengiyakan (mengamini) atas argumen yang dikeluarkan pejabat daerah tadi. Sebagai warga biasa yang bermukim di Batola, melalui tulisan ini, penulis cuma menyampaikan urun saran dari sisi tinjauan yang berbeda yaitu: Andai pejabat daerah atau lebih luas lagi pegawai daerah bermukim di Batola. Pendekatan ini sekadar mencoba mengalkulasi cost kebutuhan hidup per orang yang akan dikeluarkan (dibelanjakan), kalau pegawai daerah ditambah keluarga (isteri dan anak) yang selama ini tidak bermukim di Batola dapat bermukim di Batola. Misalkan: 100 pegawai + 100 isteri + 100 anak. Berarti, ada 300 orang yang akan membelanjakan uangnya di Batola. Untuk cost makan dan minum sehari-hari, kalau rata-rata setiap orang membelanjakan Rp10.000, maka jumlahnya sebesar Rp3.000. 000 per hari yang dibelanjakan dan beredar di Batola. Tentunya, angka ini secara signifikan akan menggerakkan roda ekonomi daerah. Uang ini cuma dari cost makan sehari-hari. Kalkulasi selanjutnya seperti cost tempat tinggal, pakaian, pendidikan, kesehatan, rekreasi, hiburan dll, bisa dibayangkan sendiri. Ditinjau dari konsep pengembangan wilayah yang menetapkan Marabahan sebagai salah satu pusat pertumbuhan (growth pole) daerah, maka akan berpengaruh besar terhadap perekonomian wilayah sekitar (hinterland) baik atas dasar basis komoditas (forward and backward linkage) maupun pengembangan wilayah di sekelilingnya melalui proses tetesan ke bawah (trickle-down effect). Berdasarkan analisis tersebut, tentunya hal ini dapat dijadikan sebagai faktor penentu (determine factor) dan pemacu (leverage factor) bagi percepatan pembangunan daerah. Mungkin tinjauan ataupun cara pandang seperti ini banyak kekurangan, kelemahan, perlu koreksi, penyempurnaan dsb, nantinya banyak argumen yang akan mengemuka, mengapa masih ada sebagian pejabat/pegawai daerah tidak bermukim di Batola, keterbatasan kualitas pendidikan, pelayanan kesehatan, rekreasi, hiburan, dll. Kita mengakui, semua keterbatasan itu cuma bagi pejabat/pegawai daerah, apa lantas dijadikan alasan untuk tidak bermukim. Merujuk pada kalimat optimis yang sering kita dengar: setiap tantangan (baca: keterbatasan) yang dihadapi dapat menjadi peluang bila diselesaikan dengan kerja cerdas dan berfikir cermat. Sebagai contoh, dengan alasan kualitas jasa penjahit daerah masih rendah, maka kita melirik pun tidak dan selalu menggunakan jasa penjahit di Banjarmasin. Memang, tidak ada yang salah pada argumen demikian. Cuma pertanyaan buat kita: Apakah sudah cukup upaya yang dilakukan untuk meningkatkan kualitas jasa penjahit daerah ke taraf seperti taylor di Banjarmasin? Rasanya, fungsi pemerintah daerah melalui pejabat/pegawai daerah sebagai regulator, fasilitator, dinamisator pembangunan yang harus menjawab tantangan ini. Kadang miris juga mendengar komentar abang becak atau acil wadai huntuk di pasar: "Kada papa haja jua buhannya tu jadi pagawai atawa pajabat, buhannya wan kaluarganya ja kada pernah naik di becaku atawa manukar huntukku, sakaluargaan buhannya tu kada badiam di sini jua." Komentar demikian mungkin ada benarnya. Pandangan awam seperti ini bisa saja terlalu sederhana dan linear, karena yang melatari alasan/argumen masing-masing pejabat/pegawai daerah mungkin juga begitu kompleks. Namun kalau pejabat/pegawai daerah tetap pergi pulang (pp) dari tempat tinggal di luar Batola ke Marabahan, ada pertanyaan lain yang mengemuka. Seperti, berapa cost yang dikeluarkan pejabat/pegawai daerah kita untuk pp, apa dapat terpenuhi dari gaji mereka sebulan? Kalau selama ini mereka bekerja berbarengan dengan memikirkan cost untuk pp yang cukup besar, salut juga kita buat mereka jika tetap menunjukkan kinerja yang baik. Yang ditakutkan, mereka malah cuma memikirkan berapa uang yang harus didapat untuk cost pp setiap hari. Pada Jumat memikirkan, berapa yang bisa didapat dan dibawa untuk cost weekend di Banjarmasin. Mudahan ketakutan seperti ini belum benar dan tidak berasalan. Semoga tulisan ini dapat menjadi urun saran, masukan, dan rembugkan. Minimal menjadi bahan bacaan (renungan), bahwa pilihan atas apa pun (pekerjaan) yang ditetapkan, didalamnya terkandung konsekuensi atas pilihan tersebut. Belum lagi jika dikaitkan dengan kepercayaan (jabatan) yang diberikan pimpinan, tentunya dengan (atas) pertimbangan integritas, kompetensi, kapabilitas, loyalitas dsb, pada intinya ada beban tanggung jawab dan amanah yang diemban untuk menyejahterakan masyarakat Batola secara keseluruhan. Pemerhati sosial kemasyarakatan, tinggal di Marabahan [Non-text portions of this message have been removed] ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Get fast access to your favorite Yahoo! Groups. Make Yahoo! your home page http://us.click.yahoo.com/dpRU5A/wUILAA/yQLSAA/uTGrlB/TM --------------------------------------------------------------------~-> Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/