Betul, perdagangan bebas memang bukan kebebasan untuk membangun 
 kesetaraan antarbangsa / negara di muka bumi, tetapi kebebasan untuk 
 melaksanakan neo kolonialisme-imperialisme. 
  
 Segala bantuan dari kapitalis nekolim bukanlah tanpa pamrih. Itu murni 
 pinjaman, utang, dalam kredo perdagangan. Wajib dikembalikan berikut 
 bunga - pun untuk utang-budi semisal restu dari majikan di seberang 
 kepada kucing yang kepingin kencing-keliling menandai wilayah 
 kekuasaannya. Tanpa restu majikan, mustahil si kucing bisa kencing 
 apalagi bertahan kekuasaannya. Itu sebabnya si kucing lebih suka menjilati 
 bokong nekolim ketimbang menceboki jabang bayi sang pemilik masa 
 depan dari wilayah yang dikuasai si kucing. 
  
 Lantas, bagaimana supaya masa depan tidak “lepas dari mulut kucing 
 masuk ke mulut buaya lalu masuk ke mulut harimau, ular” dst? 
 Sebuah rimba persoalan yang menyeramkan memang. Apalagi setiap 
 langkah untuk mencari matahari seringkali membawa bangsa ini semakin 
 terperosok dalam sesat belukar. 
  
 Sebelum terpikir untuk meminta bantuan senjata kimia pemusnah rimba :p 
 ada baiknya duduk tenang sejenak berkonsentrasi ke akar dari rimba 
 persoalan ini; masih bersediakah kita membeli garong dalam karung yang 
 kerjanya cuma berdagang minyak.. eh, sapi...? 
  
 Kalau masih, ya siap-siap saja menjadi bahan tertawaan para bayi yang 
 15-20 tahun mendatang boleh jadi punya kerinduan lebih besar terhadap 
 kemerdekaan, terhadap kehidupan berdaulat. Sekurangnya punya 
 kepercayaan diri untuk keluar dari jebakan utang yang menjerat bangsa ini 
 dalam penjajahan gaya baru. 
  
 “adalah imoril dan bertentangan dengan Pancasila 
 apabila Rakyat dirugikan untuk kepentingan partai,” 
 - bung hatta (Lampau dan Datang) 
  
  
 ps. 
 biar sajalah pihak seberang berkerut kening memecahkan tts. 
 biarkan juga para gedibal berkutat di belukar sesatnya. toh di 
 luar sana, di lapangan hijau, angkatan usia 14-23 tahun yang 
 tergabung dalam tim nasional sepakbola mulai membangun 
 kembali kepercayaan bangsa bagaikan angkatan ramang, 
 kiat sek, maulwi saelan dkk. partai politik harus malu kepada 
 masyarakat sepakbola nasional yang tak kenal lelah mencintai 
 merah-putih sekalipun 1/4 abad terakhir timnya keok melulu. 
 

 wisjnubroto <wisjnubroto@...> wrote:
 
 salam, bung ajegile. buat yang di seberang tentu analogi yang mengesankan ini 
akan dianggap seperti tekateki silang, othak athik gathuk, dalam kultur jawa.
 

 menggunakan analogi sampeyan, di kawasan yang dianggap sebagai pusatnya 
perdagangan bebaspun nggak bebas mutlak juga. masih ada proteksi pada sektor 
yang berpengaruh pada kesejahteraan rakyat banyak. jangan harap bisa mengekspor 
beras ke amrik atau jepang. dan tentu masih banyak lagi hal serupa.
 

 balik ke negara kita, kalau kita baca dan lihat di media, kasus 
ketangkep-tangannya a.m hanya memberitakan bagaimana blingsatannya pejabat 
pemerintahan dalam power-play transaksional. setelah seminggu lebih, bagaimana 
reaksi rakyat terhadap kejadian yang menjijikan itu secara substansial tidak 
ada dalam pemberitaan media. 
 

 demikian juga kelompok-kelompok terdidik (intelektual?) atau partai, tidak ada 
reaksi fundamental untuk menyikapi kejadian yang mengukuhkan trias-koruptica 
(minjem istilah bung bas kompas). sikap2 mereka, sepanjang yang saya tangkap 
dari pemberitaan, masih dalam kerangka gugus-pikir transaksional, 
berjangka-pendek. kalau pakai bahasa sekarang, nggak ada pemikiran dan sikap 
yang out-of-the-box nan mencerahkan dari mereka2 itu. 
 

 rasanya memang masih tiga generasi mendatang kita baru bisa berbangsa dan 
bernegara Indonesia. 
 

 salam, wisj 
 

 * sabda pandita ratu *
 

 "ajeg" <ajegilelu@... mailto:ajegil...@yahoo.com> wrote: 
 Seperti perdagangan, pemilu (pemilihan umum) menawarkan sesuatu untuk dibeli 
(dipilih) masyarakat. Dalam pemilu juga ada “produsen / 
 agen” (partai politik), “promosi” (kampanye), dan “transaksi” (coblosan). 
  
 Bedanya, pemilu samasekali tidak mengenal after sales service. Pemilu 
 cuma bersahabat dengan aji mumpung. Mumpung musim pemilu, 
 semua orang dirayu. Pemilu usai, jangankan yang golput, yang 
 konstituen saja dikhianati. Malah, rekan sekoalisi bahkan kader partai 
 sendiri pun dimusuhi. 
  
 Ditambah dengan kacaunya data pemilih dan terus maraknya politik 
 dagang sapi, maka sempurnalah pemilihan umum menyerupai 
 perdagangan bebas. Ratusan juta rakyat hanya dilihat sebagai pasar 
 yang menggiurkan; puluhan partai kecil disanjung sebagai bukti 
 pertumbuhan demokrasi; dan kekayaan pun bertimbunan di kumpulan 
 yang itu-itu melulu, kumpulan pengusaha kekuasaan. Ya, sejak diberlakukannya 
sistem pemilihan langsung dalam pemilu, 
 negeri kepulauan ini diganyang ribuan “pengusaha” yang mengadu 
 nasib dalam tender kekuasaan. Lalu, para pemenang tender (baik 
 pilkada, pileg, maupun pilpres) rajin berjanji soal kesejahteraan. 
 Padahal, kerja mereka ya cuma memeras rakyat lewat aneka proyek 
 dan kenaikan harga. Persis belaka dengan negara-negara kaya yang 
 menjanjikan kesetaraan global lewat perdagangan bebas. Padahal, itu 
 cuma akal-akalan untuk meraup keuntungan dengan memperdaya 
 pekerja murah - sambil membujuk pemimpin negeri bahwa impor lebih 
 praktis ketimbang memproduksi sendiri. Tentu, kita bisa (dan boleh) 
menyalahkan para pemimpin yang begitu 
 gampang tunduk kepada negara-negara kaya pengemban misi nekolim. 
 Tetapi jangan juga kita lupa menertawakan diri sendiri yang telah 
 menjadikan para bedebah sebagai pemimpin lewat perdagangan bebas 
 di sektor pemilu. 
  
 Sebagai rakyat cerdas yang bisa menertawai pemimpin, mestinya kita 
 juga bisa mengoreksi sistem pemilu yang hasilnya terbukti cuma 
 membenam seluruh rakyat - baik yang memilih si bedebah, memilih 
 bukan bedebah, maupun yang golput bahkan jabang bayi - ke dalam 
 kubangan utang sekalipun para bedebah (pengutangnya) telah pensiun. 
  
 Setengah abad sudah bangsa ini dipaksa tak bekutik lantaran utang. 
 Kita tidak butuh perdagangan bebas yang dinyatakan KTT APEC 2013 
 barusan sebagai cara “memperbaiki peringkat utang”. Kita samasekali 
 tidak butuh perdagangan bebas yang bisanya cuma “memperbaiki 
 peringkat utang”. Bangsa ini ingin berdaulat agar bisa mencapai sendiri 
 kesejahteraannya tanpa dihambat jeratan utang. 
  
 Kita butuh pemimpin-pemimpin yang bisa membebaskan negeri ini 
 dari (jeratan) utang. Bukan bedebah yang terus-terusan kampanye 
 kendati kekuasaannya sebentar lagi gulung tikar. 
  
 Bangsa ini tidak membutuhkan pemilu yang perdagangan bebas, 
 melainkan pemilu yang hasilnya memuliakan seluruh rakyat, baik 
 yang dipilih, yang memilih, yang tidak memilih, maupun jabang bayi. 
 
 
 



-- 




 
 
 

Kirim email ke