http://www.pikiran-rakyat.com/cetak/2006/052006/03/0901.htm
Investasi & Defisit Pertumbuhan Oleh H. EDDY JUSUF TUNTUTAN Undang-Undang No. 17/2003 tentang Keuangan Negara, pada dasarnya adalah rencana pembangunan jangka menengah (RPJM), pengganti Repelita yang populer di era Orba. Kita tahu bahwa RPJM 2004-2009 tersebut telah ditetapkan melalui Peraturan Presiden No.7/2005, yang dijadikan tatanan baru, sebagai pedoman menyusun rencana kerja tahunan pemerintah (RKTP). Sasarannya, tiada lain guna mengurangi angka kemiskinan pada akhir RPJM menjadi 8,2 persen dan angka pengangguran terbuka menjadi 5,1 persen. Harapan tersebut, didasarkan pada sejumlah asumsi, seperti pertumbuhan ekonomi rata-rata 6,6 persen per tahun dan pertumbuhan ekonomi satu persen menambah lapangan kerja baru sebanyak 400-500 ribu. Namun, perkiraan tersebut akan meleset apabila pertumbuhan ekonomi hanya satu persen dan hanya mampu menambah lapangan kerja baru lebih kurang separuh dari asumsi. Sehingga asumsi itu, sulit dicapai, karena realisasi investasi masih di bawah target sebagaimana ditetapkan dalam RPJM yakni Rp 1.000 triliun per tahun. Dalam perekonomian modern, suatu negara biasanya semakin penting intervensi pemerintah melalui anggaran. Contoh, AS negara yang paling liberal perekonomiannya, mulai menggunakan kebijakan ekonomi makro untuk mengintervensi perekonomian negara. Tepatnya sejak teori Keynes tentang campur tangan pemerintah dalam perekonomian memengaruhi keputusan kongres AS dalam membuat kebijakan ekonomi negara itu. Termasuk Dana Moneter Internasional (IMF), AS banyak terlibat dalam merumuskan kebijakan ekonomi makro di negara-negara yang menjadi "pasien"-nya. Investasi Dalam hal investasi, bisa dilihat dari realisasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) selama kuartal I pada 2006 dari segi projek mengalami penurunan sebesar 21,31 persen, dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya. Investasi PMDN yang masuk selama Januari sampai Maret 2006 mencapai 48 projek, bandingkan dengan tahun lalu sebanyak 61 projek. Namun, dari segi nilai investasi, pertumbuhannya lumayan tinggi yakni mencapai 87,83 persen, dari Rp 4,54 triliun menjadi Rp 8,53 triliun pada 2006. Dari analisis tersebut, umumnya pengusaha masih ingin melihat realisasi dari Inpres No. 3/2006 tentang paket kebijakan iklim investasi dan pengesahan RUU Penanaman Modal yang ditargetkan selesai pada bulan Juni tahun ini, apakah sesuai dengan harapan mereka. Berdasarkan realisasi investasi PMDN yang cukup menonjol, yakni bidang industri logam, mesin, dan elektronik dengan total empat projek senilai Rp 2,977 triliun, jasa lainnya sebanyak empat projek senilai Rp 1,519 triliun. Sektor tanaman pangan dan perkebunan sebanyak enam projek senilai Rp 1,34 triliun, industri makanan sebanyak delapan projek dengan nilai Rp 1,315 triliun dan di sektor transportasi, gudang, dan komunikasi sebanyak enam projek senilai Rp 383,7 miliar. Sedangkan jumlah tenaga kerja yang berhasil diserap dari PMDN pada kuartal I-2006 sebanyak 26.819 orang. Bagaimana dengan kondisi dan stimulus kebijakan fiskal dalam strategi pembangunan ekonomi nasional. Hal ini mestinya ini perlu dikaitkan dengan rencana kerja pemerintah setiap tahunnya. Harus disadari bahwa mesin ekonomi Indonesia hingga kini masih bertumpu pada konsumsi. Seharusnya sudah bergerak ke investasi, terutama dari Foreign Direct Investment (FDI) atau investasi asing langsung. Pada dasarnya strategi awal yang dilakukan pemerintah adalah ekspor konsumsi. Karena export consumption itu memiliki basis ganda, yaitu sisi permintaan dan pasok yang keduanya harus seimbang. Dari identifikasi masalah melalui berbagai riset, disimpulkan agar ekspor dan investasi harus digenjot. Namun, harus didukung dengan iklim investasi, terutama dukungan dari sisi birokrasi yang selama ini kurang sehat. Persoalannya, banyak kebijakan yang mendistorsi investasi atau pada level institusi. Misalnya, birokrasi kita yang tidak efisien, banyak pungutan tidak jelas, aturan jelas tapi implementasinya tidak baik. Kemudian, apakah ketika investor ke Indonesia sudah tersedia listrik, jalan, telefon, keamanan dan kepastian hukum? Dari tiga level ini mudah diidentifikasi tapi tidak mudah diselesaikan. Belum lagi bila membicarakan masalah infrastruktur, lebih 90 projek kebutuhan investasi senilai Rp 600 triliun, ternyata ada masalah dalam policy-nya. Persoalan lain dari sudut fiskal, yakni tools untuk mencapai tujuan pembangunan, orientasinya adalah pertumbuhan ekonomi, perluasan lapangan kerja, dan penurunan kemiskinan. Ini adalah tools, namun bukan fiskal sebagai tujuan akhir. Percuma saja fiskalnya terkonsolidasi, defisitnya 0%, utang harus dihabisin, bila hal ini menjadi tujuan. Kalau fiskalnya bagus dan tertata rapi, tapi ekonomi tidak jalan, tidak ada gunanya karena ekonomi sangat kaku. Defisit Dalam menjaga defisit dan tetap menjadikan APBN 2006 dan RAPBN 2007 nanti sebagai stimulus memang perlu pengelolaan yang luwes agar tercapai stabilitas, namun bukan merupakan tujuan akhir. Memang suatu perekonomian tidak bisa tumbuh bagus, bisa mengurangi pengangguran, dan kemiskinan, kalau ekonomi makronya tidak baik. Tampaknya ada komunikasi politik atau persepsi keliru mengenai pengelolaan ekonomi makro. Seolah-olah menjaga makro ekonomi menjadi satu-satunya tujuan. Padahal tidak demikian. Masyarakat harus melihat APBN, mana ruang untuk instrumen investasi. Dalam pemanfaatan APBN sebagai invetasi negara harus mengutamakan kualitasnya. Dalam membelanjakan modal, bukan sekadar nilainya tetapi juga kualitas belanjanya. Dengan UU Keuangan Negara, negara dan pemerintah "dipaksa" untuk mengubah perilaku penggunaan anggaran yakni dengan mengitegrasikan anggaran belanja rutin pembangunan sehingga proses penganggaran akan menjadi lebih transparan dan memudahkan proses penyusunan dan pelaksanaan anggaran yang berorientasi kinerja. Anggaran belanja pemerintah pusat dirinci menurut organisasi, fungsi dan sektor ekonomi. Memang sulit untuk mensinkronisasikan antara kebijakan tarif, kebijakan fiskal, asumsi makro, yang harus diputuskan bersama BI, Bappenas, BPS, DPR dalam membuat APBN. Semua institusi ini harus duduk bersama, karena ketiga-tiganya bermuara ke APBN. Dalam realitanya bagus untuk APBN belum tentu bagus untuk sektor, bagus untuk sektor belum tentu bagus untuk makro. Jadi kebijakan selalu tidak mungkin menyenangkan semua pihak. Demikian pula halnya dari penerimaan fiskal sektor pajak, kebanyakan ingin melihat dari sisi tax ratio (rasio antara penerimaan pajak dan PDB) meningkat. Namun indikator tersebut tidak tercermin dalam peningkatan penerimaan sektor pajak. Hal ini bisa jadi banyak yang bayar pajak dengan tidak semestinya. Bisa jadi karena begitu rumitnya pengisian SPT (surat pemberitahuan tahunan) pajak sehingga menjadi lahan bisnis. Jadi antara wajib pajak dan petugas pajak harus saling memperbaiki diri. Biasanya conduct-nya, oknum petugas pajak menggunakan informasi ini untuk memeras. Jadi sudah merupakan tugas pemerintah untuk memastikan bahwa negara butuh pembiayaan defisit fiskal, yang pembiayaannya dengan bunga paling rendah. Strategi yang konvensional tentunya harus mampu mengidentifikasi biaya paling murah dan bunga terendah supaya pengelolaan utang tidak menjadi kendala bagi yang lain. Sasaran ekonomi Dalam menghadapi tantangan ekonomi saat ini, setidaknya ada tiga sasaran yang perlu pemerintah lakukan yakni, interest rate, inflation rate, dan exchange rate. Dalam menciptakan kestabilan makro ekonomi tiada lain harus menekan inflation rate menjadi single digit 8 persen yang menyangkut ke tiga elemen tersebut. Semua itu saling memengaruhi satu sama lain dan tidak saja harus stabil tetapi juga berada dalam tingkat kewajaran. Artinya ketiga elemen ini harus mampu menggerakan roda perekonomian secara sehat. Inilah yang disebut makroekonomi stabil. Sebagai ilustrasi, kebijakan moneter dalam menciptakan makro ekonomi yang stabil yakni interest rate yang berjalan di Indonesia harus merujuk pada BI rate. Sejak ditetapkannya BI rate sebagai patokan (benchmark) untuk suku bunga perbankan di Indonesia pada Juli 2005 lalu, ternyata BI rate menunjukkan peningkatan. Pada awalnya BI rate berada pada posisi 7,84 persen dan sekarang telah mencapai posisi 12,75 persen (Maret 2006). Peningkatan BI rate seperti ini harus dimaknai sebagai kebijakan moneter ketat (tight money policy). Kebijakan ini dimaksudkan untuk mengantisipasi inflation rate yang cenderung tinggi. Melalui kebijakan moneter yang ketat agar masyarakat tertarik untuk memegang rupiah dan sekaligus menaikkan nilai tukar (exchange rate) atas rupiah. Jika masyarakat tertarik untuk memegang rupiah berarti permintaan untuk mata uang asing adalah kecil. Terkecuali untuk penggunaan produksi oleh dunia usaha. Dengan tingginya exchange rate secara gradual, diharapkan tidak menimbulkan masalah pada kinerja ekspor. Dengan demikian daya saing ekspor dapat dipertahankan bahkan mungkin menjadi semakin kuat. Pada intinya bagaimana kita mampu melakukan pengelolaan exchange rate dan ekspor. Situasi sekonomi yang stabilitas dan dinamis tentunya sangat diharapkan para pelaku ekonomi. Mereka lebih memberikan apresiasi kepada momentum ini daripada profit tinggi yang diterima karena dalam momentum seperti ini bagi pelaku ekonomi bisa bekerja dalam jangka panjang. Jika kondisi ini terus berjalan maka setiap orang akan bersedia mengurangi margin yang ia terima dari setiap kegiatan ekonomi yang ia lakukan. Pelaku bisnis lebih menghargai suatu kondisi makro ekonomi yang stabil dinamis daripada menerima margin besar dalam jangka pendek. Dengan makroekonomi stabil dinamis maka aktivitas ekonomi bisa berjalan sehat untuk jangka panjang dan pelaku bisnis dapat menjalankan kegiatannya secara tenang tanpa keraguan. Sejalan dengan itu BI rate pun akan turun dan akan mempengaruhi suku bunga perbankan dan mendorong pertumbuhan ekonomi pada tingkat yang lebih tinggi. Menurunnya BI rate berpengaruh pada turunnya suku bunga perbankan dan akan mendorong investor menanamkan modalnya lebih banyak. Aktivitas perekonomian terus berputar, mampu menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang lebih besar secara bertahap sehingga pendapatan masyarakat akan ikut naik. Akhirnya jumlah tenaga kerja yang menganggur akan berkurang dan masalah kemiskinan dapat dikurangi. Yang menjadi pertanyaan adalah dapatkah inflation rate ditekan menjadi single digit, 8 persen pada tahun 2006. Sasaran ini dianggap terlalu optimistis. Jika kita melihat pada tahun 2005, inflation rate rata rata 10 persen. Pertanyaannya adalah mampukan kita menurunkannya menjadi 8 persen karena faktor penentu inflation rate itu tidak dari sektor moneter saja. Di samping skenario penjelasan yang disampaikan (menekan inflasi melalui tight money policy). Jika gangguan atas kinerja perekonomian dapat diatasi dengan baik perekonomian akan terus berkembang. Untuk selanjutnya pemerintah tinggal mengawal makroekonomi yang berjalan. Perkembangan ekonomi yang berjalan secara terus-menerus dapat mengubah hubungan antarelemen dan dapat menghilangkan kedinamisan elemen-elemen tersebut. Jika ini terjadi, gangguan terhadap makro ekonomi akan terjadi. Yang harus dipikirkan adalah bagaimana agar makroekonomi tidak terganggu di tengah dinamika ekonomi yang berjalan. Jawabannya adalah dengan menciptakan kebijakan moneter dan kebijakan fiskal yang mampu mengakomodasi perubahan yang berjalan. Jadi, pengamatan atas perkembangan ekonomi harus dilakukan secara terus- menerus, oleh BI dan pemerintah. *** Penulis, Pembantu Rektor I Unpas, dosen Kopertis dpk Unpas, Ketua Bidang Ekonomi Paguyuban Pasundan, dan Wakil Ketua LP3E Kadin Jabar. [Non-text portions of this message have been removed] Post message: [EMAIL PROTECTED] Subscribe : [EMAIL PROTECTED] Unsubscribe : [EMAIL PROTECTED] List owner : [EMAIL PROTECTED] Homepage : http://proletar.8m.com/ Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/proletar/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/