Forward-ed from: http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/10217 http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/1026
--- In [EMAIL PROTECTED], audifax - <[EMAIL PROTECTED]> wrote: Saya minta pendapat siapapun mengenai hal di bawah ini. Semoha bisa menjadi bahan diskusi kita. Para anggota milis psikologi transformatif semestinya pernah tahu tentang artikel yang saya posting, berjudul "The End of Humanity". Saya posting Minggu siang 24Juli 2005. Pada saat yang sama artikel itu juga diposting ke sejumlah milis lain. Pada hari Senin 25 Juli 2005, saya menemui artikel saya diposting oleh seorang guru besar dan dosen psikologi di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia, yaitu Bapak Sarlito Wirawan Sarwono. Sekedar info, Bapak Sarlito ini begitu dihormati, termasuk oleh dosen-dosen saya dulu di Fapsi Universitas Surabaya. Beberapa buku dan tulisannya menjadi acuan terutama untuk psikologi sosial. Vincent Liong kelak di Fapsi Atmadjaya kayaknya juga akan mempelajari pemikiran-pemikiran Bapak satu ini, terutama untuk kuliah-kuliah psikologi sosial. Menariknya, ketika Bapak Guru BesarPsikologi ini mem-forward ke milis dosen-dosen psikologi UI, Judul dan nama penulisnya dihilangkan. Sehingga orang tak sadar (dan tak tahu) siapa yang menulis. buat yang gak cermat mungkin akan mengira ini tulisan Pak Sarlito sendiri di milis lain. Ini saya rasa juga memiliki keterkaitan pula dengan apa yang sempat saya posting pada surat terbuka pada Vincent Liong & cc: Members. Ini masalah etika. Dalam sains, ada sebuah penghormatan pada siapa saja yang memang lebih dulu membahas. Saya rasa sebagian rekan di psikologi transformatif sudah menyadari ini. Ketika menulis tentang Nicholas 'Gie' Saputra, Mang Ucup meminta ijin saya untuk mem-forward. Beberapa kali saya lihat Pangestu juga meminta ijin Mang Ucup untuk mem-forward. dan sejauh pengetahuan saya,baik yang di-forward Mang Ucup maupun Pangestu, sama sekali tidak menghilangkan penulisnya. Vincent Liong bahkan memberi tawaran kompensasi ketika hendak mem-forward tulisan saya mengenai "Psikologi dan Lingkaran kekuasaan: Pengkategorian Ilmuwan Psikologi dan Psikolog" Saya pribadi tak keberatan dengan pem-forward-an tulisan-tulisan saya. Tapi bagi saya menggelikan ketika ada orang yang "mengakui" isi dari tulisan ini, tetapi "tak mau mengakui" siapa yang menulisnya. Tulisan ini selain saya posting ke milis psikologi transformatif (www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif) juga saya kirim ke e-mail Pak Sarlito. Salam kenal Pak. Anggap saja ini undangan untuk bergabung dengan milis ini, terutama untuk menjelaskan pada penghuni milis psikologi transformatif. Kebetulan ada topik yang sedikit mirip yang sempat disinggung Vincent Liong mengenai "kutip-mengutip". Saya dan segenap penghuni milis menunggu hadirnya penjelasan dari anda agar momen ini bisa jadi suatu penambahan wawasan dan pembelajaran bagi kita semua. Regards, Audifax [EMAIL PROTECTED] wrote: Dari milis tetangga: (apa yang kita, komunitas psikologi, sudah lakukan?) sws ===== Pagi ini, 24 Juli 2005, saya membaca berita yang menggambarkan satu lagi peristiwa pengeboman. Dalam sebulan ini setidaknya ada sejumlah berita pengeboman yang mengguncang dunia. Belum habis perbincangan mengenai pengeboman di Inggris pada 7 Juli 2005, yang diikuti pengeboman kedua di negeri kerajaan itu. Dua hari setelah teror kedua di stasiun kereta bawah tanah di London, Inggris, aksi terorisme kembali muncul di kawasan Laut Merah. Tiga bom mengguncang Sharm el-Sheikh, kawasan wisata terkemuka Mesir di Semenanjung Sinai. Sedikitnya 88 orang tewas -termasuk sembilan turis asing- dan 119 luka-luka dalam ledakan yang menyerang sebuah hotel mewah serta kafe. Serangan bom itu tercatat yang terburuk sepanjang sejarah Mesir. Selama ini, Sharm el-Sheikh merupakan kawasan wisata favorit di Laut Merah. Bahkan, lokasi tersebut sering dipakai sebagai lokasi konferensi dan pertemuan antara para pemimpin Timur Tengah dan negara-negara Barat. Apa yang dicari orang-orang ini? Di awal Mei lalu, di sebuah kafe di Bandung, Saya bersama Yasraf Amir Piliang, Donny Gahral Adian, Alfahthri Adlin, Kurniasih dan seorang dosen dari Unpar berdiskusi mengenai militansi para pelaku pengeboman yang mengatasnamakan agama sebagai pembenaran perilakunya. Salah satunya kami memperbincangkan kontekstualisasi dari salah satu pemikiran Roland Barthes, seorang semiolog dari Perancis. Barthes pernah mengatakan bahwa kejahatan itu layaknya sebuah palung yang begitu dalam, yang menyerap hal-hal baik yang ada di atasnya. Logika ini tak bisa dibalik. Ya, perbincangan itu kembali menemukan kontekstualisasinya pada sejumlah pengeboman itu. Agama, yang pada dasarnya mengajarkan kebaikan, telah terserap dalam palung tafsir yang akhirnya justru menghasilkan kejahatan. Celakanya, karena ia mengatasnamakan agama, maka tak pernah ada kesadaran bahwa yang dilakukan adalah sebuah kejahatan. Saya akan mencoba me-review kembali berita mengenai pengeboman serupa yang terjadi hampir 3 tahun lalu di Bali, agar kita bisa menelisik kembali logika yang ada di benak pelaku pengeboman. Begitu dijatuhi hukuman mati di depan sidang kasus bom Bali di Gedung Narigraha Denpasar, Rabu (10/9), terdakwa Abdul Azis alias Imam Samudra (33), langsung memekikkan gema takbir "Allahu Akbar, Allahu Akbar." Tidak pernah ada sikap atau perasaan menyesal sekalipun dari Imam Samudra atas perbuatan yang telah dilakukannya, yang tidak saja telah menimbulkan banyak korban jiwa, juga harta benda dan fasilitas umum lainnya. Bahkan, kata hakim, saat jaksa menuntut yang bersangkutan dengan hukuman mati pun, mimik wajah dan sikap Imam Samudra tetap tidak menunjukkan perubahan. "Terdakwa tetap bermimik wajah menantang dan sepertinya tidak pernah merasa berdosa," ujar hakim[2]. Ada suatu logika bahwa apa yang dilakukannya atas nama Tuhan. Implikasinya, mereka merasa kematian justru akan menghantar mereka menuju surga. "Tanah Terjanji" yang kerap dijanjikan oleh pemuka-pemuka agama pada umatnya. Inilah implikasi dari ajaran-ajaran mengenai "Tanah Terjanji" yang diberikan sebatas kontekstual. "Saya tidak takut dihukum mati, karena apa yang selama ini saya lakukan telah berada di jalan Allah, dan sesuai dengan ajaran Islam," kata Imam Samudra saat menyampaikan pledoi di depan sidang kasus bom Bali, di Denpasar, Senin (11/8). Di hadapan majelis hakim diketui I Wayan Sugawa SH, Imam menegaskan, meski tidak takut dihukum mati, namun pernyataannya ini tidak dimaksudkan untuk menantang hakim. "Saya tidak bermaksud menantang hakim, namun tidak lebih dari sekadar ungkapan jiwa yang merasa bertanggung jawab atas semua operasi jihad yang selama ini dilakukan kaum muslim," ucapnya. Imam justru menyayangkan pernyataan sejumlah muslim yang ikut-ikutan mengutuk adanya aksi pengeboman di sejumlah negara. "Mereka ikut mengutuk, seperti apa yang dilakukan orang Amerika. Padahal belum tentu tahu persis, apa tujuan seseorang meledakkan bom tersebut," ucapnya. Selama bom untuk tujuan jihad, yakni memerangi musuh-musuh Islam yang selama ini melakukan penindasan seperti Amerika Serikat dan sekutunya, justru harus didukung oleh kaum muslim. "Bukan ikut-ikutan mengutuk," jelas Imam Samudra. Karena itu juga, dirinya menyatakan sangat mendukung aksi bom di Bali, yang adalah untuk memerangi Amerika dan sekutunya. "Hanya orang-orang yang tidak mengerti Islam, yang mau menyesali perbuatan itu," ucapnya, menandaskan. Namun demikian, Imam mengakui pada kenyataannya memang ada kaum muslim dan orang Indonesia yang lain, yang juga ikut menjadi korban dari ledakan bom di Kuta. "Untuk ini, saya mohon maaf," tambahnya[3]. Ya, dengan mudah ia meminta maaf bagi orang-orang tak bersalah yang ikut jadi korban. Seolah itu sudah merupakan harga yang pantas untuk sebuah perjuangan. Ini adalah sebuah titik nadir kehidupan di mana humanitas telah mati. Manusia sudah mencapai suatu logika pemahaman bahwa "tanah terjanji" bisa dicapainya melalui perjuangan-perjuangan mengatasnamakan "kebaikan yang menumbalkan berlaksa-laksa nyawa". Kebaikan itu sendiri pun sudah sampai pada titik yang tak jelas lagi maknanya bagi humanitas. Kebaikan hanya sebatas tafsir-tafsir pada ayat-ayat Kitab Suci yang membuat humanitas melenyap di sana. Agama, yang pada awalnya begitu lekat dengan humanitas, di atas tafsir-tafsir itu, kini justru meniadakan humanitas. Tak usah bicara dalam konteks pengeboman. Dalam kehidupan sehari-hari pun humanitas itu telah mati. Jika anda memperhatikan wawancara-wawancara artis, maka ketika ditanya kriteria pasangan hidup, hampir selalu dijawab "mencari yang seiman (baca: seagama)". Tak jarang ada yang putus gara-gara tak seiman. Di sini tak berlaku pameo "Cinta adalah segalanya". "Seiman" seolah menjadi jaminan, padahal faktanya perceraianpun banyak terjadi di kalangan artis. Fenomena ini juga menjadi cerminan kehidupan masyarakat. "Seiman' itu seolah segalanya, menunjukkan bahwa manusia tak bisa lagi melihat "cinta" sebagai landasan relasi. Donna Haraway, dalam tulisannya yang berjudul Cyborg Manifesto, menjelaskan bahwa dunia menuju pada suatu keadaan nirmaknawi. Manusia sudah berubah menjadi cyborg. Fenomena-fenomena "artifisial" yang menyemarak akhir-akhir ini adalah salah satu petanda. By the late twentieth century, our time, a mythic time, we are all chimeras, theorized and fabricated hybrids of machine and organism; in short, we are cyborgs. Ths cyborg is our ontology; it gives us our politics. The cyborg is a condensed image of both imagination and material reality, the two joined centres structuring any possibility of historical transformation.[4] Layaknya Cyborg, manusia hidup dalam suatu tatanan mekanis, tatanan sibernetik raksasa. Seperti kutipan lagu "Toy Soldier" yang saya hadirkan sebagai pembuka, manusia pun tak lebih dari boneka-boneka yang digerakkan oleh tafsir akan tanda. Ia mati. Tak lagi mampu merasakan sesamanya. Persis seperti logika pemikiran Imam Samudra berikut ini: Imam mengaku, aksi bom yang dilakukan sebagai sebuah operasi jihad atas perintah "Allah" menyerang kaum kafir yang memusuhi umat Islam, yakni Amerika Serikat dan sekutunya. "Untuk menyerang Amerika, kenapa harus meledakkan bom di Bali ?," tanya hakim. Imam mengutip ayat Al-Quran, yang menyebutkan, "Perangilah orang-orang kafir dimanapun mereka berada." Atas dasar itu pula, terdakwa mengatakan, Bali yang telah dipakai tempat maksiat oleh kaum kafir, yakni para "bule", beralasan untuk dijadikan sasaran peledakan bom. Namun pada kenyataannya, para korban tidak semuanya "bule", malah ada umat muslim-nya, tanya hakim. "Itu namanya 'error'," jawab Imam Samudra, berdalih. "Apakah 'error' bisa dibenarkan ?," kejar hakim. Dalam pelaksanaan jihad, kemungkinan "error" dibenarkan. "Ini sesuai dengan Surat Anissa ayat 92," ucap terdakwa, menjelaskan[5]. Begitu mekanisnya! Permainan tanda yang melenyapkan humanitas: "Kafir", "Bule", "Bali" dan entah apa lagi di kemudian hari. Seakan tak ada lagi "hati". Sebuah drama tragis matinya kemanusiaan. Manusia, tak lebih dari boneka-boneka; ia tak mampu lagi menyadari kemanusiaannya. Inilah dasman yang dijelaskan oleh Martin Heidegger. Jika Friedrich Nietzche mengatakan "God is Dead" saya pikir itu karena manusiapun telah mati. God is dead, because humanity is dead. Tafsir-tafsir atas Tuhan hanya diletakkan sebatas kontekstual. Tuhan yang hidup, tak pernah tersentuh. Orang sibuk memuja dan menafsirkan Tuhan-tuhan transenden yang kosong (abskonditus) dan meletakkannya juga dalam imanensi kehidupan kosong mereka. Orang bisa mengalahkan "cinta" demi "iman" terhadap Tuhan kosong itu. Tuhan telah mati dalam sejarah dan tafsir atasnya. Tuhan tak bisa menemukan Ketuhanannya jika tak menyatu dengan hidup manusia. Dalam kasus ini, Tuhan hanya ditempatkan sebagai objek dan ada jeda antara manusia dan Tuhan. Jeda ini kemudian diisi oleh berbagai tafsir yang membuat Tuhan hanya sebatas ilusi. Ilusi inilah yang berfungsi sebagai palung, seperti dijelaskan oleh Barthes, yang menelan semuanya, termasuk humanitas. Manusia, semuanya, jatuh ke dalam palung itu. We all fall down like toy soldiers Milis Staf Pengajar Fakultas Psikologi, Tempat informasi di kirimkan ke para Dosen Fakultas Psikologi UI --------------------------------- YAHOO! GROUPS LINKS Visit your group "DosenFPSIUI" on the web. To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] Your use of Yahoo! Groups is subject to the Yahoo! Terms of Service. --------------------------------- --------------------------------- Start your day with Yahoo! - make it your home page --- End forwarded message --- posting : psikologi_net@yahoogroups.com berhenti menerima email : [EMAIL PROTECTED] ingin menerima email kembali : [EMAIL PROTECTED] keluar dari milis : [EMAIL PROTECTED] ---------------------------------------- sharing artikel - kamus - web links-downloads, silakan bergabung di http://psikologi.net ---------------------------------------- Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/psikologi_net/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/