IPK [INDEKS PRESTASI KEPATUHAN] Oleh: AUDIFAX[1] Dalam dunia perguruan tinggi, dikenal istilah IPK [Indeks Prestasi Kumulatif] yang seringkali dijadikan rujukan kualifikasi kemampuan seseorang, terutama kelak ketika mencari kerja. Saya tak memungkiri bahwa pernah pula bertemu orang dengan IPK tinggi yang berkualitas, namun sejujurnya pula saya katakan itu hanya sedikit dibandingkan jumlah lebih banyak lagi yang justru saya pertanyakan kemampuannya. Usut punya usut, ternyata orang-orang ini dulunya ketika kuliah memang menjalani mekanisme kepatuhan seperti: Masuk kelas, mencatat, menghafal, ujian, dapat nilai bagus, lulus mata kuliah, melupakan mata kuliah yang telah lulus (agar memori siap diisi hafalan baru), mengambil mata kuliah baru, masuk kelas lagi, dan seterusnya. Jadi IPK, kemudian lebih menunjukkan Indeks Prestasi Kepatuhan.
Apakah saya sedang menyalahkan atau mengkritisi mahasiswa? Sama sekali tidak. Saya justru memuji mereka, karena kepatuhan yang mereka berikan itu menunjukkan betapa taktis mereka membaca situasi untuk bisa survival dalam sebuah pabrik ijazah yang penekanannya memang pada angka. Berbagai angka-lah yang bermain di sini, sebut saja: Angka IPK, angka tes potensi akademis atau IQ yang menentukan diterima tidaknya seseorang sebagai mahasiswa, angka jumlah kelulusan yang sering berusaha dipenuhi dengan berbagai cara yang kerap jauh dari cermin kualitas, angka untuk memeroleh akreditasi, angka yang harus disediakan mahasiswa untuk bisa mengikuti pendidikan, dan banyak angka-angka lain. Seperti pernah dikatakan Yesus: Berikanlah pada Kaisar apa yang menjadi hak Kaisar; berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi hak Tuhan. Nah, inilah yang saya katakan taktis. Mahasiswa-mahasiswa ini tahu persis bahwa institusi-institusi yang menamakan diri perguruan tinggi itu, berikut sejumlah dosen di dalamnya, sebenarnya adalah mesin-mesin yang mesti diberi bahan bakar kepatuhan. Ya, mesin besar ini hanya akan bergerak mencetak angka dan ijazah bagi mahasiswa jika telah memamah kepatuhan yang dihidangkan mahasiswanya. Dengan tepat para mahasiswa ini tahu benar sajian mana yang sesuai dengan selera penyelenggara pendidikan di institusi perguruan tinggi itu. Inilah sebuah dunia di mana humanitas sudah bertransformasi menjadi mesin. Tak salah jika di awal modernitas, Rene Descartes memandang tubuh sebagai l homme machine, suatu mesin yang digerakkan oleh naluri-naluri hewani. Mesin yang digerakkan kepatuhan akan menghasilkan repetisi. Sedangkan tubuh yang patuh akan bergerak menurut skema-skema objektif yang ditirunya, misalnya komando, norma sosial, ideologi; dapat kita sebut dengan satu kata disiplin. Mengapa mesti patuh dan meniru skema-skema itu? Frans B. Hardiman menjelaskan bahwa itu semua bermuara pada Urmotiv (motif purba) untuk survival. Semakin tinggi desakan untuk survival, semakin besar pula kecenderungan untuk meniru skema-skema itu, jika hal ini membantu pelaksanaan Urmotiv itu[2]. Di depan ancaman D.O. misalnya, tubuh bergerak menurut skema komando orang di belakang pengambil keputusan untuk men-D.O. Sanksi juga dapat mendorong tubuh untuk mengikuti dan mematuhi skema yang berlaku. Namun, bukan hanya sanksi (punishment) yang berperan di sini, melainkan juga imbalan (reward) yang dapat mempercepat pendisiplinan tubuh-tubuh. Berarti rasa sakit akibat punishment dan rasa nikmat akibat reward adalah dua macam kode bagi tubuh untuk patuh[3]. Tubuh di sini kemudian sungguh telah menyerupai mesin. Tanpa interioritas dan melulu digerakkan oleh hasrat eksternal. Tubuh mahasiswa yang patuh adalah mesin kecil yang bertemu mesin lain yang lebih besar. Mesin kecil, memiliki peran penting untuk menggerakkan mesin besar. Mesin kecil memproduksi kepatuhan, mesin besar bergerak karena dipasok kepatuhan. Pada situasi ini, pengenalan manusia sebagai individu relatif lebih sulit dalam rangkaian mesin-mesin ini. Ortega Y. Gasset pernah menulis: Zaman kita, menderita sakit karena hanya ada terlalu sedikit manusia dan terlalu banyak orang. Dalam rangkaian mesin-mesin ini di lingkup akademis ini individualitas dari yang individual melenyap dalam kolektivitas dari yang kolektif. Manusia dengan segala keunikan dan perbedaan individualnya, ditenggelamkan dalam kerumunan yang bernama mahasiswa. Kata mahasiswa tidak merujuk pada siapa-siapa, ia hanya merujuk pada kerumunan orang yang dianggap memiliki karakterisasi tertentu. Ini adalah sebuah kesalahan dalam sistem pendidikan kita yang berimplikasi pada rendahnya kualitas SDM. Namun, karena kesalahannya dilakukan bersama-sama dalam sebuah jaringan, maka kemudian menjadi kehilangan esensi moralnya dan dianggap jamak. Lalu, tubuh-tubuh yang kehilangan potensi pembangkangannya karena menindas nurani mereka sendiri, telah bertransformasi menjadi komponen-komponen mesin kekuasaan yang efektif. Coba lihat, berapa banyak mahasiswa yang mengamini bahwa dirinya bodoh hanya karena IPK-nya rendah? Seolah ukuran kualitas kepandaian di dunia yang plural dan kompleks ini bisa ditentukan dengan mudahnya hanya dengan angka. Sampai tua pun, ia akan tetap terstigma sebagai manusia bodoh jika ia tercecer dalam peroleh angka IPK. Tapi itulah kenyataannya. Mereka tak ubahnya tubuh-tubuh konformis, tubuh mesin yang terdiri atas kombinasi kode-kode kenikmatan, ancaman, hirarki dan ditambah satu lagi: kultur-feodal. Memang diperlukan kedok untuk menutupi kepatuhan tubuh, maka dibuatlah apa yang dinamakan sistem penilaian yang disebut IPK, yang dikonstruksi sedemikian rupa dan dihegemonikan agar seolah mencerminkan kemampuan, walau sebenarnya lebih tepat mencerminkan kepatuhan. Itulah nilai-nilai kultural. Jika anda menonton film Matrix, maka itulah Matrix yang menutupi realitas seperti dikatakan Morpheus pada Neo. Realitas bahwa mahasiswa lebih mirip seorang budak yang patuh pada majikannya. Mahasiswa lahir dalam institusi yang bernama perguruan tinggi dengan keadaan terkekang, lahir dalam penjara yang tak bisa mereka endus, rasakan atau sentuh. Sebuah penjara bagi pikiran kreatif karena semua harus menjawab sesuai apa yang diajarkan. Semua harus belajar sesuai apa yang telah digariskan. Di luar itu tak ada harganya. Seperti dikatakan Morpheus bahwa tak ada yang bisa menyadarkan apa itu Matrix, maka seperti itu pula dengan Matrix yang menutupi realitas pendidikan perguruan tinggi. Jika anda ingin tahu, maka anda harus melihatnya sendiri. Maka, jika anda yang membaca esei ini kebetulan berstatus mahasiswa, maka saya juga akan mengajukan penawaran seperti halnya tawaran Morpheus pada Neo: Inilah kesempatan terakhirmu, selagi kau masih berstatus mahasiswa. Setelah ini kau tak bisa kembali lagi. Maka silahkan pilih, Kau telan pil biru, ceritanya berakhir, kau bangun di ranjangmu dan percaya apapun yang mau kau percayai. Kau telan pil merah, kau tinggal di Negeri Ajaib dan lihat, rasakan, persoalkan, kritisi serta eksplorasilah sejauh mana lubang kelinci yang telah kau masuki. Ingat, saya hanya menawarkan realitas. Tak lebih dari itu © Audifax 21 Desember 2005 -------------------------------------------------------------------------------- CATATAN-CATATAN: [1] Peneliti di Institut Ilmu Sosial Alternatif (IISA); penulis buku Mite Harry Potter (2005, Jalasutra) [2] Frans Budi Hardiman; (2005); Memahami Negativitas Diskursus tentang Massa, Terror, dan Trauma; Jakarta: Penerbit Kompas; hal 120 [3] Frans Budi Hardiman; (2005); Memahami Negativitas Diskursus tentang Massa, Terror, dan Trauma; Jakarta: Penerbit Kompas; hal 120 Saya mem-posting esei ini ke milis Psikologi Transformatif, Vincent Liong, R-Mania, Pasar Buku, Alumni St. Louis dan Forum Studi Kebudayaan. Mungkin akan ada rekan-rekan dari milis-milis tersebut yang akan mem-forward esei ini ke sejumlah milis lain. Karena keterbatasan waktu, saya hanya akan menanggapi diskusi di milis Psikologi Transformatif. Melalui esei ini pula saya mengundang siapapun yang tertarik untuk berdiskusi dengan saya untuk bergabung di milis psikologi transformatif (http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/join) Ikut membaca &/ ber-interaksi dalam diskusi tema ini, klik: http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/3708 http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/13131 NOTE: Email ini disebarluaskan oleh forwarder email [EMAIL PROTECTED] Vincent Liong secara pribadi telah sejak lama memilih melakukan menelan pil merah; tentunya dengan segala konsekwensi didalamnya; cekal di lima matakuliah dalam satu semester di fakultas Psikologi Universitas Atma Jaya, dianggap eksentrik, aneh, menentang arus oleh para mahasiswa penelan pil biru, para Smith (individu-individu di dalam sistem yang sadar tidak sadar berusaha menjaga sistem matrix dari keberadaan penelan pil merah; lihat trilogi film Matrix)... Tertarik bergabung?! Join Psikologi Transformatif & Vincent Liong: http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/join http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/join Send instant messages to your online friends http://au.messenger.yahoo.com ------------------------ Yahoo! Groups Sponsor --------------------~--> Fair play? Video games influencing politics. Click and talk back! http://us.click.yahoo.com/u8TY5A/tzNLAA/yQLSAA/wf.olB/TM --------------------------------------------------------------------~-> posting : psikologi_net@yahoogroups.com berhenti menerima email : [EMAIL PROTECTED] ingin menerima email kembali : [EMAIL PROTECTED] keluar dari milis : [EMAIL PROTECTED] ---------------------------------------- sharing artikel - kamus - web links-downloads, silakan bergabung di http://psikologi.net ---------------------------------------- Yahoo! Groups Links <*> To visit your group on the web, go to: http://groups.yahoo.com/group/psikologi_net/ <*> To unsubscribe from this group, send an email to: [EMAIL PROTECTED] <*> Your use of Yahoo! Groups is subject to: http://docs.yahoo.com/info/terms/