Wejangan Perdana Reshi Kompatisme Shri Bimo 

Ditulis oleh: Drs. Juswan Setyawan 

at:
http://groups.yahoo.com/group/vincentliong/message/17067
at:
http://groups.yahoo.com/group/Komunikasi_Empati/message/291
at:
http://groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif/message/9526


Selesai pelantikan apapun di negeri ini dan di mana
saja selalu tokoh yang baru dilantik menyampaikan
pidato pelantikannya (oratio credentialis). Tak
terkecuali dengan pentahbisan Reshi Shri Bimo dengan
alias “Pendeta Botak”, suatu gelar kehormatan yang
diberikan sendiri oleh Master Kim Il Sen, “biang
kerok” kompatiologi yang sekaligus sangat dibenci dan
dicintai oleh banyak orang. Ia datang “membawa pedang”
sehingga dunia menjadi semakin chaos untuk sementara
untuk kemudian menjadi semakin sadar akan pentingnya
komunikasi empati antara manusia dengan manusia,
manusia dengan hewan, manusia dengan alam sekitar
(Mother Gaia) dan manusia dengan Sang Pencipta
(hablummin n’Allah wal hablummin an'nas – sorry kalau
salah ejaan/taqlid, yang penting valuenya benar).

 

Kalau hidup hanya untuk mencari makan maka hidup
manusia tidak lebih dari tingkat hidup seekor hyena
yang tidak mengandalkan akalnya untuk mencari makan
tetapi cukup dengan cakar dan moncongnya. Ini inti
pertama wejangan Reshi Shri Bimo yang sejajar dengan
pendapat Dr. Laura Schlesinger dalam bukunya “How
Could You Do That” (HarperCollins Publishers, 1996).

“You know the final excuse that really gets my hackles
to full quivering attention? It’s when callers protest
that they are “only human”. ONLY human? As if one’s
humanness were a blueprint for instinctive, reflexive
reactions to situations, like the rest of the animal
kingdom. I see being “human” as the unique opportunity
to use our mind and will to act in ways that elevates
us above the animal kingdom.”

 

Selanjutnya Laura mengatakan;

And it is largely with the 3 C’s that we accomplish
that (i.e. “We were put on the earth to rise above
nature.”) The 3 C’s are Character, Courage, and
Conscience, without which we are merely gigantic ants
instinctively filling out our biologically determined
destiny.” (Schlesinger, p. 9)

 

Menjadi mirip seperti hyena masih mendingan; bahkan
lebih hina lagi kalau hanya seperti "semut raksasa".
Badannya saja yang gede, otak dan hatinya tidak ada!
Hewan hanya makan saat lapar saja untuk survive
sekaligus demi keseimbangan ekologi tetapi hewan tidak
menumpuk aset. Semut pun menumpuk makanan untuk masa
paceklik dan untuk persediaan bagi anak-anak semut
yang tidak berdaya. (Kalau anak sapi namanya gudel,
anak semut apa ya namanya Bimo?)

 

Lihatlah bagaimana indahnya manuver Bimo dengan “Ilmu
Air”-nya menangkis dan menanggapi serangan “Angin
Beracun” yang saya kirim kemarin. Ia menanggapinya
dengan sersan “serius tapi santai”. Tidak melawan.
Bila anda melempar batu atau tokay ke dalam air, maka
air tidak pernah akan menolak tetapi menerimanya saja.
 Bila anda menepuk air, maka muka anda sendiri yang
kecipratan dan tangan anda sendiri yang akan terasa
pedih akhirnya. Namun air setelah tergoncang sejenak
akan tenang kembali.  Bimo menelan saja “penghinaan”
dengan menganggapnya sebagai lelucon yang
membangkitkan semangat. Bravo, Reshi Bimo, “Anda
memang pantas mendapat bintang!” Betapa banyaknya
insan di negara ini yang langsung angkat kelewang
apabila merasa terhina barang sedikit bahkan saat baru
pada taraf “merasa resah”. Namun, itu adalah ciri khas
reaksi elemen Api dan bukan elemen Air. Maka agamapun
memiliki dua ciri elemen yaitu elemen Api dan elemen
Air, yang masing-masing atau membuat suasana menjadi
panas seperti api neraka atau menjadi sejuk seperti
angin firdaus.

 

Pesan kedua dari wejangan Shri Bimo sarat dengan nilai
apresiasi ekologi. Manusia dalam mengejar kebutuhannya
telah bersikap sangat tidak empati kepada alam.
Sekalipun tujuannya mungkin saja “tidak keliru”.
Misalnya, berapa banyak pohon-pohon tropis ditebang
untuk dijadikan bahan kertas yang selanjutnya akan
dipakai untuk dicetak menjadi buku, majalah atau
koran. “Mencerdaskan manusia” tetapi sekaligus dengan
cara “menghancurkan alam” secara sangat “tidak cerdas”
dan khianat di mana reboisasi dilalaikan, dana
reboisasi dikorupsi, dan hutan dihancurkan tanpa
tebang-pilih sehingga mengakibatkan banjir serta
kekeringan di seluruh negeri. Manusia yang tidak mampu
berkomunikasi empati dengan alam tidak hanya
menghancurkan alam tetapi sekaligus menghancurkan
dirinya sendiri. Segelintir manusia mengantongi devisa
jutaan dollar untuk dirinya sendiri dan pada saat
bersamaan membawa malapetaka bagi banyak rakyat kecil
yang kehilangan segala-galanya. Lumpur panas Sidoarjo
juga begitu intinya. Petani kehilangan sumber
rezekinya karena sawahnya kebanjiran - atau kekeringan
- dan para peladang mengalami kehilangan hal (humus)
yang sama. 

 

Ketiga, Reshi Shri Bimo mengemukan tema “penghematan
makanan”. Dan ini bukan hanya dalam bentuk wacana yang
indah-indah namun kosong melainkan justru dengan
tindakan konkrit yaitu “hanya memakan sisa makanan
yang tidak dihabiskan manusia lain”. Tindakan ini
memang ekstrim dan radha masokhis di mata orang awam.
Namun, bagi seorang Reshi hal itu adalah “suatu laku”
yang biasa-biasa saja. Semoga ini dapat menjadi
momentum bagi gerakan baru yaitu Gerakan Penghematan
Pangan Nasional.

 

Mungkin hal ini kelihatannya sebagai suatu res novum
atau “barang baru” untuk kita - lewat kaca mata di
negeri kita. Tetapi gerakan seperti ini telah lama
terjadi secara alamiah, naluriah, dan merata di
seluruh negeri Jepang misalnya. Duapuluhan tahun yang
lalu saya diundang makan di sebuah restoran Jepang di
Tokyo. Meja penuh dengan hidangan yang disaji dalam
piring-piring mini seukuran piring untuk Tari Piring
orang Padang. Di satu piring ada masakan berupa terong
ukuran kecil dan hanya separuh pula. Pada pinggan yang
lain ada dua tusuk sate. Ya ampun! Bagaimana pula cara
makannya? Saya tidak berani mulai walaupun sebagai
tamu dipersilakan terus. Lalu saya berbisik kepada
rekan saya: “Bagaimana cara makannya?” Saya pikir
terong itu sekali telan saja habis dan sate itu
biasanya saya ambil 5 tusuk sekaligus. Dan kali ini
hanya ada dua tusuk sate untuk enam orang. Rekan saya
yang sudah paham akan dilema ini segera memberi
contoh. Terongnya cuma dipotong dengan ujung sendok
dan diambil secuil saja. Mungkin tidak cukup untuk
mulut bayi pun!  Dan satenya cuma diambil dagingnya
dua potong, potongan lainnya disisakan!  Masya’allah
ribet banget deh!

 

Sepulangnya dari perjamuan, eh rekan saya malah memuji
penghematan model Jepang ini. Katanya, Jepang itu
negara kaya tetapi sumber alamnya sangat terbatas,
maka penduduknya secara alamiah dipaksa untuk hidup
hemat. Kita bisa makan seberapa banyak kita mau. Kalau
sate habis boleh pesan lagi, bahkan pesan seberapa
kali pun. Namun semua pesanan itu akan habis dimakan
dan terjamin tidak ada yang akan tersisa atau dibuang
(seperti di hampir semua restoran kita).

Moral dari tatacara makan seperti itu juga ialah untuk
menanamkan “sikap tahu diri” (self restraint) dan
sikap untuk ‘memikirkan kepentingan orang lain” juga
(altruisme - empatisme). 

 

Dan kini Reshi Shri Bimo ingin kita semua mengadopsi
dan memberi apresiasi terhadap perilaku konsumsi yang
telah menjadi kebiasaan baik di seluruh rumah tangga
dan restoran di negeri Sakura tadi.  Mungkin juga
kebiasaan seperti itu sudah mendarah daging sejak
zaman Ainu atau zaman Bushido di negara tersebut. 
Saya pernah mendengar bahwa dalam kebudayaan Jawa juga
terdapat adat semacam itu. Dikatakan bahwa “Dewi Sri
akan menangis bila anak-anak tidak menghabiskan nasi
di piringnya.” Jadi, Reshi Shri Bimo berkat infusi
“memory floods” dari nenek moyangnya ingin mengangkat
kembali nilai luhur lokal tersebut secara lebih
kontemporer dengan tema modern tentang “Gaia
Movement”. Eh, Bimo, emangnya elo mau segera mendaftar
jadi anggota Green Peace?!

 

Memang untuk semuanya itu perlu dan harus terjadi
suatu “Paradigm Shift” dan diharapkan Reshi Shri Bimo
akan memulai hal tersebut bukan dengan kata-kata
tetapi dengan teladan nyata. Bukan dengan
wejangan-wejangan basi tetapi lewat ilmu baru
komunikasi empati.

Selamat berjuang kawan !  Para psikolog sejawat anda
satu Alma Mater telah mulai antri untuk belajar "ilmu
dekonstruksi memori" langsung dari anda. Dan mereka
pasti tidak akan memboroskan makanan karena pasti akan
menyisakannya untuk anda habiskan!  Benar-benar suatu
"shock therapy" yang luar biasa. Bahkan lebih dashsyat
dari kejutan "kursi listrik" psikiater kuno.  Ha ha
ha...

 

Namaste,

 

Minggu, 20 Agustus 2006.

Mang Iyus

Send instant messages to your online friends http://au.messenger.yahoo.com 


posting : psikologi_net@yahoogroups.com
berhenti menerima email : [EMAIL PROTECTED]
ingin menerima email kembali : [EMAIL PROTECTED]
keluar dari milis : [EMAIL PROTECTED]
----------------------------------------
sharing artikel - kamus - web links-downloads, silakan bergabung di 
http://psikologi.net
---------------------------------------- 
Yahoo! Groups Links

<*> To visit your group on the web, go to:
    http://groups.yahoo.com/group/psikologi_net/

<*> To unsubscribe from this group, send an email to:
    [EMAIL PROTECTED]

<*> Your use of Yahoo! Groups is subject to:
    http://docs.yahoo.com/info/terms/
 


Kirim email ke