Nyaris 365 hari dalam satu tahun, Arafah sebuah dataran lembah yang
terletak sekitar 25 mil di sebelah timur kota suci Makkah hanyalah
sebuah padang tandus yang sunyi, walaupun di sana sini merimbun sejumlah
pohon, mereka menyebutnya pohon Sukarno, karena penanamannya memang atas
saran Presiden RI pertama itu. Tetapi siang tadi, padang tandus itu
dipenuhi oleh lebih dari dua juta manusia dari berbagai warna kulit,
suku dan bangsa yang datang dari seluruh penjuru dunia, seluruhnya
berpakaian ihram, yang bagi jemaah pria hanyalah dua potong kain yang
tidak dijahit, tidak lebih dan tidak kurang, umumnya berwarna putih.
untuk melaksanakan puncak kegiatan ibadah haji, menuruti titah Al
Mustafa Rasulullah: ”Al Hajju Arafah”, (puncak) haji itu di Arafah.
Tatkala matahari tergelincir, mereka melaksanakan wukuf, berdiam diri di
dalam ribuan tenda yang menghampar sejauh mata memandang, merenungi dan
menghitung perangai badan diri, bermunajah, memanjatkan limpahan rakhmah
dan maghfirah kepada Dzat Yang Maha Kuasa, Maha Pengasih dan Maha
Penyayang. Selebihnya adalah gelombang perasaan, yang tidak mungkin
diungkapkan dengan kata-kata, kecuali dengan cucuran air mata.
Pada bulan-bulan tertentu, temperatur di padang gersang itu mencapai
lebih dari 50 derajat celcius, dan terik matahari dapat menyebabkan
kulit kepala melepuh, tetapi Arafah menyembunyikan misteri yang tidak
dapat diungkapkan dengan kata-kata, kecuali air mata, yang menyebabkan
padang tandus tersebut tetap terasa menyejukkan dan mempunyai magnit
yang tidak bisa diukur dengan alat pengukur apapun.
Arafah juga merupakan perlambang yang sangat telanjang mengenai
kesetaraan manusia, bahwa segala atribut yang melekat, warna kulit,
pangkat, derajat dan martabat hanyalah sesuatu yang sementara dan
niscaya akan berakhir.
Seorang Malcom X cukup satu kali menunaikan ibadah haji dan berada di
Arafah untuk menyadari bahwa perjuangannya sebelumnya yang berdasarkan
rasisme sebuah kekeliruan. Dan dalam sebuah suratnya, seperti yang
dikutip Michael Wolfe (1993), Malcom X antara lain menulis: ” Selama
sebelas hari terakhir di sini, di dunia muslim, saya telah makan dari
piring yang sama, dan minum dari gelas yang sama, dan tidur di kasur
atau permadani yang sama---juga berdoa kepada Tuhan yang sama---dengan
saudara-saudara muslim yang lain, yang matanya paling biru dari yang
biru, rambutnya yang paling pirang dari yang pirang, kulitnya paling
putih dari yang putih...Dan dalam kata-kata dan tindakan dan amalan
orang-orang muslim ’kulit putih’, saya rasakan ketulusan yang sama
sebagaimana yang saya rasakan di kalangan muslim-muslim dari benua
Afrika hitam, Nigeria, Sudan dan Ghana”.
Setelah matahari terbenam, sekitar dua setengah juta manusia tersebut
akan bergerak dengan berbagai kendaraan dan berjalan kaki menuju Mina
dengan bermalam atau mabit di Muzdalifah
Dan esok, yang merupakan hari pertama para jamaah melempar tiga jamarat
di Mina---sebuah kegiatan wajib haji yang sarat makna---seluruh kaum
muslimin sedunia akan merayakan Iedul Adha dengan melakukan Salat Ied di
masjid-masjid atau tanah-tanah lapang terbuka. Takbir akan
dikumandangkan dan hewan kurban akan disembelih dan dagingnya akan
dibagikan kepada kaum fukara dan masakin.
Seperti difirmankanNya, darah daging-daging kurban tidak sampai
kepadaNya, yang sampai adalah takwa kita.
Allah Maha Besar, segala puji bagiMu
Selamat Idul Adha bagi yang merayakan
Wassalam, Darwin
____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke:
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________