Dr Salim Segaf Al-Jufri
"Negeri ini Hancur Karena Riba"
Fatwa Majelis Ulama Indonesia (MUI) tentang haramnya bunga bank, oleh
beberapa kalangan, dinilai memicu keresahan. Alasannya, implikasinya
yang tidak sederhana. Tapi tidak bagi DR. Salim Segaf Al-Jufri, pakar
syariah dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Bahasa Arab (LIPIA)
itu.
Wawasannya yang luas dan sikapnya yang tegas membuat kupasannya
tentang
riba menjadi cair dan mudah dicerna. Itu tidak lain karena pria yang
meraih gelar doktor di bidang Syariah dari Universitas Islam Madinah
(1986) ini pernah menulis tesis berjudul Riba dan Dampaknya bagi
Masyarakat.
Doktor Salim, demikian akrab disapa, tidak lain adalah Ketua Dewan
Syariah Pusat Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Di sela-sela
kesibukannya
yang terbilang padat, kini ia menggarap sebuah penelitian mengenai
Kaidah-kaidah Syariah tentang Hubungan Internasional. Rencananya,
penelitian ini akan digunakan untuk memenuhi gelar Profesor.
Selasa pekan lalu, salah seorang Anggota Dewan Syariah Nasional (DSN)
ini meluangkan waktunya untuk menerima wartawan SABILI Eman Mulyatman
dan M. Nurkholis Ridwan serta ditemani fotografer Arif Kamaluddin
untuk
berbincang-bincang tentang Riba dan Fatwa MUI itu. Sayang, harapan
Dosen
Pasca Sarjana Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta
dan Pengawas Syariah di beberapa perusahaan agar MUI tetap eksis
dengan
fatwanya tidak tercapai. Sebab, MUI dikabarkan menunda fatwa haram
bunga
bank yang sudah dikeluarkan.
Berikut petikannya:
Baru-baru ini Majelis Ulama Indonesia (MUI) membahas fatwa bunga
bank?
Mestinya, sudah lama dikeluarkan. Sebab, haramnya bunga bank itu
tidak
sekarang. Bahkan kalau kita lihat, negeri ini cukup tertinggal dari
negeri Islam lain. Tapi secara umum, masyarakat pun sudah tahu itu
haram. Cuma (fatwa) ini skalanya menasional. Mungkin yang tadinya
ragu-ragu, makin jelas. Kita salut, dan kita menginginkan tetap
konsisten dengan fatwa tersebut. Jangan ada keinginan ditinjau
kembali,
karena keharamannya sudah jelas. Saya yakin, seluruh yang ada di MUI
itu
mengetahui bahwa itu haram. Mungkin ada yang mengatakan timing dan
sebagainya. Tapi itu bukan alasan untuk menunda keharaman bunga bank
konvensional tersebut.
Fatwa MUI menetapkan terbatas, kalau di daerah itu tidak ada bank
syariah boleh di Bank Konvensional?
Jadi harus kita bedakan antara fatwa haramnya bunga bank dengan
meletakkan uang. Jadi kalau meletakkan uang, saya sependapatlah.
Tetapi
tetap fatwa haram itu jelas. Karena meletakan uang pun, bentuknya
apa?
Karena dia butuh aman. Cuma yang penting di sini, bunganya tidak di
makan. Bunganya diambil dan digunakan untuk kepentingan umum (semacam
membangun jalan, jembatan, dll, red).
Kalau begitu, di Jakarta, sudah tidak tepat menaruh uang di Bank
Konvensional?
Betul, karena bank syariah tersedia. Tapi dibolehkan dengan alasan
untuk
kepentingan yang bank syariah belum bisa menghandle. Jadi kita
memberi
peluang sesuai dengan kebutuhan. Mungkin orang bisnis dalam kondisi
tertentu. Mungkin dari segi LC (Letter of credit) dia eksportir,
fasilitas tadi belum ada jaringan sehingga mereka menggunakan bank
tertentu.
Tapi di luar kebutuhan itu?
Umpamanya di kampungnya ada bank tertentu yang tidak punya fasilitas,
mau tidak mau dia harus menggunakan bank konvensional, dia harus
menggunakan sistem tadi untuk alat transfer. Jadi agama kita ini
memiliki fleksibilitas yang sangat tinggi.
Meski haramnya bunga bank sudah lama diketahui masyarakat, fatwa itu
memiliki implikasi yang luas?
Saya melihat hal ini tidak perlu dikhawatirkan. Semestinya bank-bank
konvensional melihat bahwa ini peluang bagi mereka. Bahwa ada
masyarakat
kita yang tidak menabung di bank konvensional dan memang uangnya
disimpan di rumah. Apakah itu tidak merugikan negeri ini. Itu adalah
peluang, buat counter syariah. Siapkan SDM, sebanyak mungkin. Kita
tidak
memaksa mereka untuk mengubah sistem mereka, tetapi pasar ini harus
dimanfaatkan. Itulah yang dilakukan Citibank di Bahrain.
Atau ada politisasi?
Jadi memang ada kelompok-kelompok yang tidak mengerti. Itu perlu
penjelasan. Tapi ada juga kelompok-kelompok yang melakukan
demarketing.
Atau ingin melakukan upaya-upaya agar sistem ekonomi Islam itu tidak
eksis di negeri ini. Ini yang harus kita lawan. Kalau mereka
menangkap
ini sebagai peluang maka yang terjadi adalah win-win solution.
Mengapa Islam sedemikian tegas melarang riba?
Hakikat riba itu perbedaan yang mendasar, dengan jual beli. Kalau
riba
memberikan pinjaman dengan pengembalian disertai bunga. Sebenarnya
mengenai riba ini bukan sesuatu yang baru. Sebelum Islam pun, filosof
Yunani seperti Socrates itu mengatakan uang tidak melahirkan uang!
Untuk
itu mereka sudah memahami. Karena untuk orang yang suka riba, selalu
mementingkan diri sendiri. Dia taruh uang, dia ambil bunga, orang
kelaparan atau tidak, dia tidak mau tahu. Dalam Islam yang diinginkan
uang, misalnya 5 milyar itu, dirasakan manfaatnya oleh sekian banyak
orang. Bukan untuk pribadi kamu sendiri. Kedua, dalam berbisnis itu
ada
untung dan rugi. Kalau riba hanya untung saja, sehingga tidak
berkembang. Otak buntu. Sehingga di negara yang sudah maju, bunga
bank
sangat rendah. Di Jepang dan Amerika tidak lebih dari 2% saja. Jadi
sangat kecil, karena yang diinginkan untuk investasi.
Tapi nilai uang bisa menyusut karena inflasi?
Itu alasan yang terkuat untuk ekonom. Tapi pada dasarnya orang
meminjam
itu butuh kita tolong. Orang pinjam itu karena minta dibantu. Riba
tidak
mengajarkan solidaritas. Yang ada bagaimana uang itu kembali dan
untung.
Tapi kalau memang dia berniat untuk usaha, kita buka secara Islami.
Anda menulis tesis tentang riba dan bahayanya bagi masyarakat.
Sebenarnya, apa dampak buruk riba?
Pertama, dari segi keberkahan, tidak ada berkahnya. Riba itu uang
panas.
Mengikis habis keberkahan. Sudah terbukti negeri kita ini salah satu
sebab kehancurannya karena memakai sistem ekonomi ribawi. Jadi untuk
individu sangat merugikan, karena muncul manusia egois. Membuat orang
kikir, bakhil dan mementingkan diri sendiri. Untuk masyarakat, tidak
ada
ukhuwah dan solidaritas. Kemudian berpindahnya uang itu yang dari
fungsinya sebagai alat tukar menjadi komoditi. Ini juga sangat
membahayakan.
Riba juga mencakup asuransi, pegadaian?
Setiap pinjaman yang diiringi tambahan, itu adalah riba. Apakah
dilakukan oleh lembaga atau individu.
Kalau kerja di bank konvensional apa hukumnya?
Saya tidak mengharamkan orang yang kerja di bank konvensional. Tapi
yang
jelas apa yang dia terima pasti ada syubhatnya. Kalau kita bisa
mendapatkan yang lebih bersih maka harus kita tinggalkan. Mungkin itu
yang bisa kita lakukan.
Kalau mau pindah harus di tempat yang lebih baik?.
Dalam sebuah hadits disebutkan, Rasulullah saw bersabda,"Akan datang
suatu masa, kalau engkau tidak memakan riba engkau akan terkena
debunya." Mungkin ada orang yang berusaha tidak menyimpan di bank
riba
namun ia tak menyadari dari gajinya ada debu riba. Mungkin dari gaji
pegawai negeri, semua di bank konvensional. Semua terkena. Sehingga
kita
tidak merasakan keberkahan dalam kehidupan kita. Itu kondisi yang
kita
hadapi sekarang.
Kalau skalanya sudah global seperti ini, bagaimana mengatasinya?
Sebenarnya banyak pinjaman-pinjaman tidak perlu. Contohnya, beberapa
saat yang lalu ungkapan Kwik Kian Gie untuk apa sampai tiga milyar
pinjaman dari ICG. Padahal yang digunakan cuma 1,2 ?1,3 milyar.
Sisanya
justru bunganya menjadi beban bagi kita. Waktu dulu pinjaman dari IMF
sebesar 8-10 milyar US$ yang sudah dikembalikan, itu kita simpan
saja.
Akhirnya bunganya hanya membebani kita. Kita taruh di BI tapi tidak
boleh dipakai. Apa itu bukan suatu kebodohan.
Ada makar tertentu?
Mereka ingin agar negeri ini selalu dalam kondisi susah. Sebab kalau
orang dalam keadaan miskin dan susah, itu bisa diatur. Padahal
Malaysia
lebih berani. Pemimpin bangsa ini harus memiliki kecerdasan dan mesti
mampu menggalang kekuatan internal dan nasionalisme yang kuat dan
solid.
Bangga dengan produk kita, bangga dengan negeri kita. Itu harus
dibuktikan.
Mungkinkah di negeri kita ini tidak ada lagi praktik riba?
Itu kembali pada masyarakat.
Ada contoh?
Mungkin tetap ada bank konvensional. Kalau saya katakan tidak ada,
tidak
juga. Sebab, mereka berhak punya. Sebab diperlukan untuk transfer,
bank
asing pun diizinkan untuk buka di setiap negara. Kalau bank asing ada
berarti sistem ribawi ada. Tapi kalau masyarakatnya tidak berkenan
untuk
meletakkan uang di situ, mereka akan cari peluang, apa yang
diinginkan
masyarakat. Untuk dihapuskan memang sulit, tapi peluang mereka
semakin
kecil. Untuk di negeri-negeri tertentu yang tidak berkenan dengan
sistem
ribawi mereka akan bentuk apa yang diinginkan oleh masyarakat.
Bahrain
bisa menjadi contoh.
Ada pendapat, terjadi peningkatan nasabah di bank syariah, tapi tidak
memancing rush. Alasannya, karena masyarakat sudah sekuler?
Memang masyarakat itu terbagi-bagi, ada yang syariah loyalis. Untuk
mereka tidak ada kompromi, dan jumlahnya relatif kecil, mungkin 10%.
Yang saya amati, memang ada dua pendapat, kemungkinan sekitar 15-80
trilyun, yang akan dikonversi ke Bank Syariah, dari jumlah tabungan
yang
ada di bank-bank konvensional. Kemungkinan yang saya amati, tabungan
yang ada di bank konvensional itu sekitar 800 trilyun. Yang 10
trilyun
itu milik masyarakat, yang 700 trilyun itu dimiliki oleh korporasi.
Jadi
saya pikir bertahap. Karena yang loyalis tadi ada 10%, maka di 2004
ini
ada 10 % yang berpindah.
Atau mereka tidak percaya bank konvensional dan bank syariah belum
siap?
Saya tidak yakin, sebab yang membuka bank syariah ini bank kuat juga.
Tapi ada kekhawatiran soal kemampuan bank syariah?
Ini dari kelompok yang tidak memahami atau dari mereka yang tidak
suka
bank syariah eksis.
Tapi sayangnya mereka berasal dari kalangan Islam?
Saya lihat mereka banyak berinteraksi dengan kelompok yang tidak
paham,
itulah ungkapan mereka, sehingga mudah terpengaruh. Tapi kalau sudah
mendalami, melihat, mungkin akan terjadi perubahan. Sebab direktur
bank
syariah itu bukan orang baru. Mereka juga lama di bank konvensional.
Kedua, bank syariah itu bukan baru setahun dua tahun, kita sudah
terlambat. Bank syariah sudah eksis sejak 20 tahun lalu. Dan bank
konvensional pun membuka counter syariah. Itu kan bukti.
Ekonomi syariah menjadi jargon dan ikon penerapan syariat Islam.
Bagaimana peran MUI?
Kewajiban MUI untuk memberikan penyadaran kepada masyarakat tentang
penerapan syariah di semua lini. Jadi kita tidak mengatakan dari
segia
ekonomi saja, tapi juga menyangkut akidah. Dulu di masa HAMKA
(almarhum
Buya HAMKA) luar biasa.
Fatwa ini tidak akan menjadi macan kertas?
Yang penting sudah disampaikan. Sebab MUI tidak punya kekuatan
memaksa.
Masyarakat punya satu kepastian dan saya harap MUI tetap eksis, tidak
mundur.
Harapan Anda?
Saya inginkan kalau ada pendapat pribadi tolong jangan diungkapkan
dalam
skala nasional, artinya ketika umat sudah memberikan satu sikap.
Fatwa
MUI itu adalah satu sikap dari sekian banyak mayoritas, jumhur dari
ormas Islam, setahu saya ada 60 ormas. Jadi kalau ada pendapat
pribadi
jangan dibenturkan. Jangan masing-masing menjadi mufti. Saya lihat
ada
orang-orang yang pengetahuan agamanya dangkal berbicara yang menukik.
____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________