Title: Fw: Kursi Kekuasaan dimata Nasruddin & Bahl ul

Pelajaran buat yang mo jadi pejabat :-)

dari www.pikiran-rakyat.com

***Kursi Kekuasaan di Mata Nasruddin & Bahlul***

JANGAN berikan tampuk kepemimpinan kepada orang yang menginginkannya. Itu sabda Nabi Muhammad saw. Artinya, bukan melarang orang menjadi pemimpin. Bahkan di dalam ajaran Islam, kehadiran pemimpin itu wajib adanya. Akan tetapi, jika seseorang menampakkan ambisi ingin menjadi pemimpin, harus dilihat-lihat dulu. Mengapa begitu ambisius? Mungkin karena punya anggapan bahwa menjadi pemimpin itu akan kaya raya, mendapat berbagai fasilitas menggiurkan. Dihormati orang. Dengan menjadi pemimpin terbuka peluang untuk meningkatkan taraf hidup diri, anak istri, sanak kerabat, dan kroni-kroninya.Dengan demikian, bagi orang yang memegang teguh amanat Rasulullah saw., di atas, tampuk kepemimpinan ibarat bara api di atas telapak tangan, panas, menghanguskan. Pantaslah ketika Umar bin Abdul Aziz ditunjuk menjadi khalifah menggantikan Sulaiman, langsung mengucapka n, "Innalillahi wa inna ilaihi raji'un."Bagi Umar bin Abdul Aziz, seorang khalifah Bani Umayyah yang terkenal adil dan jujur, takhta kerajaan dianggap musibah. Dianggap kabar buruk yang harus disambut dengan ucapan menyambut kematian.Akan tetapi, zaman telah berubah. Sunnah Rasulullah saw., telah lama disingkirkan dari derap kehidupan sehari-hari. Kepemimpinan bukan tidak lagi bernuansa kematian, malah mungkin semacam gula-gula menggiurkan. Sekarang, ambisi menjadi pemimpin tidak lagi ditutup-tutupi, bahkan dibuka lebar-lebar. Siapa pun boleh menyatakan ingin menjadi presiden, gubernur, wali kota, bupati, dan seterusnya. Pemimpin zaman sekarang diperoleh dari pencalonan, bukan didesak, diseret, serta dipaksa seperti zaman Nabi saw., dan zaman Umar bin Abdul Aziz dulu. Seorang yang terpilih tidak mengucapkan innalillahi, melainkan sorak kemenangan diikuti pesta-pora, istilahnya syukuran. Karena kepemimpinan sekarang dianggap nikmat, anugerah, berkah, dan prestasi gemilang, bukan lagi musibah yang membebani.Soal mampu atau tidak mampu, bagaimana nanti saja. Toh, tidak pernah ada penilaian otentik mengenai hal itu. Pendapat Bahlul, seorang tokoh tolol dan idiot di dunia sufi, barangkali dapat dipakai perbandingan, "Bahlul, kabarnya engkau mencalonkan diri sebagai Gubernur Khurasan?" tanya seorang kepada Bahlul  , "Betul sekali," jawab Bahlul kalem.  "Apa engkau punya keahlian?"  "Tidak, tetapi sering orang yang tak punya keahlian apa-apa, terpilih menjadi pemimpin. Termasuk menjadi gubernur."   "Tujuan menjadi gubernur apa?" kawan itu mendesak.  "Jawaban saya untuk itu ada dua macam. Jawaban hati dan jawaban mulut. Mana yang kau inginkan?"  "Jawaban hati."  "Ingin dapat gaji besar, fasilitas cukup, dan penghormatan dari orang-orang."  "Kalau jawaban mulut?"  "Ingin membela rakyat, memajukan daerah, dan lainnya yang biasanya tak pernah terbukti."  "Jika berhasil menduduk i jabatan gubernur, engkau punya kewajiban yang harus dipertanggungjawabkan."  "Tak pernah ada gubernur selama ini, dimintai tanggung jawab kemudian dihukum karena tidak mampu menjalankan kewajibannya. Enteng kerjanya, tetapi mahal upahnya." Malik bin Dinar, seorang tokoh sufi abad 8 M (wafat tahun 748), berhasrat menjadi pengurus Masjid Raya Umawi di Kota Damaskus. Maklum, pengurus masjid kebanggaan Bani Umayyah itu, mendapat fasilitas hebat. Sekaligus menjadi inner circle kepercayaan khalifah dalam berbagai urusan. Agar mendapat perhatian, Malik bin Dinar memgambil tempat di pojok depan. Tekun beribadah di situ. Siang malam tiada henti. "Jika orang-orang mengetahui aku rajin salat, tentu mereka akan merekomendasikanku kepada khalifah untuk diangkat menjadi pengurus masjid," begitu pikir Malik bin Dinar. Waktu berlalu. Hari, minggu, dan bulan, Malik bin Dinar semakin menampakkan kesalehan. Akan tetapi, jika jemaah masjid sudah sepi, ia tidur nyenyak atau keluyuran ke tempat-tempat keramaian. Setahun sudah, tak ada sedikit pun perhatian orang. Malik bin Dinar kesal, kemudian sadar.  "Mengapa aku mengorbankan usia dan tenaga dalam beribadah hanya untuk sebuah kedudukan? Mengapa aku tidak beribadah hanya untuk Allah SWT., semata, Zat Pemberi Karunia Nikmat untuk segenap makhluk-Nya?" Malam itu, mulailah Malik bin Dinar salat dengan tulus ihlas. Menghadapkan jiwa dan raganya kepada Allah SWT.  Pagi hari, orang-orang ribut menyaksikan dinding masjid retak-retak.  "Kita perlu mengangkat petugas untuk mengawasi kondisi masjid," kata mereka.  "Orang yang suka salat di pojok depan, kiranya cocok untuk memangku jabatan itu," beberapa orang mengusulkan.  Dua puluh pemuka Damaskus segera mendatangi Malik bin Dinar di pojok. Meminta kesediaannya menjadi pengawas masjid.  "Ya Allah!" Malik bin Dinar tersedu sambil bersujud. "Setahun aku beribadah demi sebuah kedudukan, tak ada seorang manusia pun datang memperhatikan. Akan tetapi, baru sekali saja aku salat demi kesucian dan keagungan-Mu, 20 orang beramai-ramai datang ingin mengangkatku ke kedudukan yang dulu kuidam-idamkan. Tidak, aku tidak akan menerima tawaran itu. Rahmat karunia dan ampunan-Mu telah amat cukup bagi hidup dan kehidupanku kini dan nanti." Ibrahim bin Adham juga seorang tokoh sufi abad VIII, melakukan perjalanan jauh. Seorang pemuda bermaksud mengikutinya.  "Baiklah," jawab Ibrahim bin Adham. "Akan tetapi, kita harus menentukan dulu siapa pemimpin dan siapa yang dipimpin."  "Anda, ya Syaikh yang patut menjadi pemimpin," pemuda itu merendahkan diri.  "Sebagai orang yang dipimpin, engkau harus taat kepada pemimpin," Ibrahim bin Adham berpesan dan si pemuda menyetujui.  Di tengah perjalanan mereka istirahat. Ibrahim bin Adham segera memasang tenda untuk berteduh, kemudian menyiapkan air minum dan makanan. "Wahai Syeikh, Anda pemimpin. Tinggallah di sana. Biar s aya yang melayani Anda," si pemuda mencoba menahan langkah Ibrahim. "Tidak, seorang pemimpin punya kewajiban untuk melayani orang yang dipimpinnya. Engkau harus patuh kepadaku, sebagaimana janjimu tadi," Ibrahim bin Adham memperingatkan. Selesai istirahat, mereka siap meneruskan perjalanan. Si pemuda meminta tukar kedudukan.  "Biarlah saya sekarang menjadi pemimpin agar dapat melayani orang yang dipimpin," pintanya. "Baiklah," jawab Ibrahim.  Ketika beristirahat lagi, Ibrahim mendahului memasang tenda, mengambil air, dan menyalakan api untuk memasak.  "Wahai Syaikh, sayalah sekarang pemimpin, maka saya yang patut melayani Anda," seru Si Pemuda.  "Sebagai orang yang dipimpin, saya wajib memuliakan orang yang memimpin dengan cara memberikan pelayanan yang prima," tukas Ibrahim.  Ketika menjadi pemimpin, mampukah kita bertindak seperti Ibrahim bin Adham? Ketika menjadi pemimpin, patutkah kita mendapat pelayanan dan penghormatan prima d ari orang yang dipimpin? Orang-orang memuliakan pemimpinnya jika mereka mendapat timbal balik yang setimpal. Jika orang-orang yang kita pimpin senantiasa menjadi objek pemerasan, terabaikan hak-haknya, tertindas, dan teraniaya, hanya dibutuhkan suara dan dukungannya, patutkah kita mendapat penghormatan dari mereka?  Sayyidina Ali bin Abi Thalib ketika menjabat Khalifah didatangi seorang penduduk.  "Ali," kata penduduk itu dengan suara keras. "Zaman pemerintahan Abu Bakar, Umar, dan Utsman, keadaan tenang dan aman. Tidak kacau seperti zaman pemerintahanmu sekarang. Bagaimana ini?" "Engkau harus tahu," jawab Khalifah Ali tenang. "Pada zaman Abu Bakar, Umar, dan Utsman, rakyatnya semua seperti aku, beradab, dan berbudi pekerti halus. Pada zaman aku memerintah sekarang, rakyatnya semua seperti engkau, kasar dan biadab." Jika menjadi pemimpin, dapatkah kita meniru keberanian Sayyidina Ali, menunjukkan kelemahan sikap dan sifat rakyat yang dipimpinnya atau akan bungkam seribu bahasa tatkala digugat seperti itu, mengingat kondisi kita sama-sama kasar dan biadab, mudah naik darah, suka menganiaya, pandai bersilat lidah, menutup-nutupi kesalahan dan malas mencari kebenaran, sok kuasa, serta rela mengorbankan darah dan aspirasi rakyat demi kelanggengan kekuasaan? Padahal, duduk di tampuk kekuasaan sangat tidak enak. Ini dialami Nasruddin Hoja, tokoh humor di dunia sufi. Suatu hari, ia masuk ke ruang istana. Ketika ia melihat kursi tempat duduk raja sedang kosong, timbul niatnya untuk mencoba. Ia ingin merasakan keempukan tilam tahta raja perkasa. Baru saja pantat Nasrudin menyentuh bibir kursi, pengawal istana berdatangan. Nasruddin digusur, digebuki, ditendang, dan diusir ke luar gerbang. "Astagfirullah, masya Allah!" Nasruddin geleng-geleng kepala. "Betapa tidak enaknya duduk di kursi raja. Baru sedetik saja, badan sudah remuk redam begini. Bagaimana nasib mereka-mereka yang ingin duduk di situ bertahun-tahun, ba hkan seumur hidup? Mungkin lebih parah dari aku sekarang." (H. Usep Romli H.M.)***

NEW!! Plasagroups experience ...

____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke