Assalamu'alaikum wr.wb. PEMILU (DAN PARTAI-PARTAI ISLAM)
Saya bukan orang politik. Bukan kader partai politik tertentu. Apalagi pengurusnya. Apalagi calegnya untuk tingkat RW sekalipun. Bukan. Tapi saya juga harus ikut berpartisipasi dalam kegiatan politik umum seperti PEMILU. Saya tentu saja juga harus menentukan pilihan. Harus memilih. Menggunakan hak suara saya. Ada juga yang bertanya-tanya, partai apa sih afiliasi saya? Kepada partai mana sih saya cenderung? Yang bertanya-tanya itu adalah orang-orang yang sehari-hari bergaul dengan saya, baik sesama karyawan di kantor, baik sesama warga RT di lingkungan, baik sesama jamaah di mesjid. Kepada mereka-mereka ini, jawaban saya biasanya hanya senyum saja. Bahkan ketika istri dan anak-anak saya bertanya, partai mana yang pantas dipilih, saya hanya menjawab, pilihlah yang paling reasonable menurut kamu, dan ingat, urusan pilih memilih ini tanggung jawab kalian dunia akhirat. Tanggal lima April saya sekeluarga pergi memilih ke TPS nomor 87 di lingkungan kami. Si Bungsupun ikut memilih karena usianya sudah lebih tujuh belas tahun. Tidak tahan dengan kepenasaranannya barangkali, sehabis memilih di bilik penjoblosan, si Bungsu kembali bertanya. Partai apa tadi yang saya pilih. Karena toh untuk kami, untuk urusan pilih-memilih, the game is already over, saya jawab, saya memilih PPP. Anak-anak saya terkesima. ‘Pa, itu kan partai sudah ketinggalan kereta. PPP itu, is the past. Kok papa masih memilih itu?’ ‘Begini,’ saya bilang. ‘PPP itu pernah jadi wadah bersama umat Islam. Sejak jaman pemerintahan Soeharto. Meski tak henti-hentinya diobok-obok Soeharto. Sejak partai itu dibuat (oleh Soeharto waktu itu), sejak pemilu tahun 1977, papa selalu memilih PPP. Biar diintimidasi, biar ditakut-takuti, biar disantiaji sebelum memilih, papa tidak pernah bergeming dari memilihnya. Kenapa. Karena dia itu partai Islam dan tempat umat Islam Indonesia pernah di’satu partai’kan. Yang dibutuhkan umat Islam ini supaya bisa dihargai, supaya bisa didengar tidak lain adalah persatuan itu. Meskipun bukan aktifis partai, bukan orang yang tertarik berpolitik, cukuplah keinginan untuk bersatu dalam satu jamaah menjadi alasan papa untuk tetap istiqamah memilihnya,’ jawab saya. ‘Tapi...... bagaimana dong? Kan partai itu sekarang sudah ditinggalkan orang Islam? Ditinggalkan Zainuddin MZ. Ditinggalkan Yusril. Ditinggalkan Nurwahid, bahkan Amin Rais pun tidak tertarik bergabung. Apalagi Gus Dur?’ tanya si Bungsu kritis. ‘Karena mereka orang-orang politik. Sedang papamu bukan. Karena mereka orang-orang yang berusaha untuk tampil sendiri-sendiri dan mengabaikan kebersamaan dalam jamaah. Karena mereka merasa ‘ana khairu min hu, nahnu khairu minhum’. Dan mungkin memang begitulah politik. Yang rugi siapa lagi kalau bukan umat Islam? Untunglah papa bukan orang politik jadi tidak merasa ikut kalah. Walaupun miris, kalau istilah Soeharto dulu. Miris. Bagaimana tidak akan miris. Ditilik-tilik, umat Islam itu masih menunjukkan jumlahnya yang sangat dominan di negeri yang memang umat Islamnya mayoritas ini. Cobalah jumlahkan. 13.54% + 8.23% + 6.87% + 6.29% + 2.34% + 2.08% + 0.76%. Lebih dari 40%. Dalam wadah-wadah yang tidak dapat tidak memang wadahnya umat Islam. Belum kalau dari yang berjaket kuning itu juga diajak ikut berjamaah. Belum kalau yang dari moncong putih itu juga diajak ikut berjamaah. Dan dulu, mereka padahal pernah bersatu. Tapi begitu terbuka katup kebebasan bersuara yang terbendung berpuluh tahun, ‘semua orang’ bereuphoria. Ingin tampil Ingin jadi pemimpin. Ingin jadi imam. Ingin kedudukan. Mereka tidak lagi mendahulukan kebersamaan berjamaah. Tapi mereka sibuk rebutan posisi imam. Seperti orang yang tidak tahu bahwa imam itu nanti akan diminta pertanggungjawabannya atas keimamannya. Padahal sudah sama kita lihat tidak ada ‘imam’ itu yang langgeng. Kenapa mesti rebutan? Kenapa tidak saling berbasa saja menyuruh satu orang jadi imam? Lalu dikontrol, diingatkan, ditegor kalau memang imam itu salah? Kenapa tidak satu orang jadi imam seperti shalat berjamaah di Masjidil Haram itu lalu kita ramai-ramai jadi makmum. Dan yang dijadikan imam itu yang paling amanah di antara ‘kita’. Lalu setelah dia dijadikan imam dan kita jadi jamaah kita tunjukkan keutamaan Islam? Bahwa Islam adalah tidak kemaruk? Bahwa Islam itu tidak zhalim? Islam itu tidak semena-mena. Tapi Islam itu adalah kebajikan. Islam itu adalah harga diri. Islam itu adalah ketaatan tanpa reserve terhadap Allah. Jadi Pemimpin Islam pasti bukan koruptor by default. Kalau dia korupsi juga maka makmum yang banyak akan menghukumnya, akan menurunkannya dari keimamannya?’ saya yang bukan orang politik berbicara politik panjang lebar dengan takaran saya. Anak-anak saya terkesima. ‘Salah dong kami memilih PKS,’ ujar si Tengah. ‘Óh tidak. Kita ini kan hanya memilih. Kamu memilih sesuai dengan hati nuranimu, yang mudah-mudahan tidak salah. Siapa pula yang akan menyalahkan?’ ‘Tapi, pa. Mudah-mudahan saja mereka-mereka itu mau bersatu sesudah ini. Mudah-mudahan saja Gus Dur, Hamzah Haz, Amin Rais, Nurwahid, Yusril, Zainuddin MZ dan yang lainnya itu mau bergabung sesudah itu. Berjamaah kembali. Bersatu kembali. Berkoalisi kembali,’ ujar si Sulung. ‘Doakan saja! Mudah-mudahan Allah membukakan hati mereka untuk bersatu, membentuk satu jamaah. Tidak seperti selama ini. Ketika mereka menegakkan jamaah masing-masing dengan keakuannya masing-masing. Doakan saja!’ kata saya menutup diskusi sehabis mencoblos di hari PEMILU. ===== St. Lembang Alam __________________________________ Do you Yahoo!? Yahoo! Small Business $15K Web Design Giveaway http://promotions.yahoo.com/design_giveaway/ ____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________