Asslamualaikum Wr Wb
Dunsanak sekalian,
ado artikel ringan nan mbo liek di indosiar.com.
Itung-itung selingan dek lah paneh mangecek fulitik
:-)
Wassalam,
Dessy
PS. Coba SBY indak kemaruk mo jadi presiden. Coba kalo amuah
digandeng Amien Rais jadi cawapres. Coba.......
PROFIL
Tidak Lupa Adat Istiadat
indosiar.com - Kebanyakan orang berebut mengejar tempat
basah. Tetapi, ia justru meninggalkan tempat basah demi kebaikan anak-anak dan
istrinya. Siapa sangka keluar dari tempat basah, ia malah menghasilkan usaha
yang bisa diwarisi sampai ke anak cucu. Bagaimana cara pengusaha restoran
Minang, travel dan money changer ini menggaet ratusan pelanggan yang kebanyakan
dari luar negeri itu?
50 tahun lalu, pemuda bernama Rahimi Sutan masih menyibukkan diri di
kepolisian, Dinas Kesatuan Negara. Di tempat ini ia memiliki banyak pengalaman,
seperti 'screening' semua orang asing yang masuk ke Jakarta. Posisi yang
diduduki Sutan saat itupun termasuk tempat yang 'basah'. Mudah sekali untuk
mendapatkan sejumlah uang dalam waktu cepat. Pendeknya, bisa cepat kaya. Tapi
kesempatan itu tidak dimanfaatkan Rahimi Sutan. Di akhir tahun keempatnya
bekerja di tempat itu, Pria kelahiran Payakumbuh tahun 1927 ini malah
mengundurkan diri. Kenapa ia melakukan hal itu ?
"Kalau dipikir-pikir untuk beli susu anak pertama saya saja, susahnya minta
ampun. Kebayang kan gimana besarnya godaan untuk mencari jalan pintas. Tapi
justru itu, saya tidak mau anak saya minum susu dari uang haram. Jadi saya pikir
lebih baik berhenti dan mencari usaha lain yang lebih halal," cerita Sutan.
Niat tulus dibalik mundurnya Sutan ternyata berbuah manis. Tidak lama
kemudian Sutan bisa membuka usaha sendiri meskipun usaha itu masih dijalankan di
garasi rumah lamanya di Taman Tanah Abang III. Usaha itu dinamakan Natrabu
Nasional Travel Biro. Menurut Sutan, usaha itu bisa dijalankannya berkat
pertolongan dari teman-teman dan orang-orang yang dibantunya dulu.
"Disinilah enaknya punya banyak teman. Mereka mengusulkan ide untuk membuka
biro perjalanan mengingat saya sudah punya banyak kenalan orang asing. Dari
mereka juga saya dapat bantuan tas dan alat-alat kantor. Teman-teman yang kerja
di imigrasi dan airlines 'ngasih' kemudahan untuk mengurus ijin dan surat-surat.
Pokoknya modal saya hanya hubungan baik dengan masyarakat," katanya
berkali-kali. Yah, berkali-kali Sutan mengungkapkan rasa bangganya yang tak
terhingga pada relasi dan teman-temannya.
Bagi Sutan, jika tidak ada bantuan dari relasi, ia mungkin tidak akan
sesukses sekarang. Hubungan baik dengan orang lain dijalin Sutan dengan selalu
menjaga keramahan dan menepati setiap janjinya. Ilmu yang satu itu ia dapatkan
dengan membaca buku-buku 'Public Relation', seperti buku karangan Hamka yang
berjudul Pergaulan Dengan Masyarakat.
Sukses menjalankan travel biro, ternyata belum membuat Rahimi Sutan puas. Ia
memutar otak lagi untuk membuka usaha lain. Setelah dipikir-pikir dan melalui
pertimbangan yang cukup panjang, pada tahun 1960 Sutan membuka restoran dengan
masakan khas Minang. Pria ini memang tidak bisa jauh-jauh dari asalnya,
Payakumbuh. Sehingga restoran pun juga dinamakannya dengan Natrabu.
Simbol yang digambarkan pada Natrabu berarti tidak melupakan asal usul adat
istiadat. Hal itu bukan saja ditampilkan pada masakan dan makanan yang berasal
dari Minang, tapi juga ditonjolkan pada seragam para pelayan yang memakai
pakaian adat Minang dan aksesoris di dinding.
Sengaja restoran dipilih Sutan sebagai usaha pendamping travel biro. Ia ingin
memberikan sesuatu yang dibutuhkan para turis. "Setelah 'beli' tiket pasti orang
butuh makan," pikirnya. "Lagipula resikonya tidak besar. Kalau misalnya tidak
laku bisa dimakan oleh keluarga. Mereka juga perlu makan toh, jadi tidak perlu
dua kali masak," lanjut Sutan yang membuka restorannya di Jalan Sabang, Jakarta.
Sebenarnya untuk pertama kali kata Sutan, tempat itu lebih pantas disebut warung
makan Natrabu daripada restoran. Karena masih menggunakan bagasi mobil dan
tempat duduk pengunjungnya masih ditutupi tenda saja.
Sebelumnya Sutan juga sudah berkongsi dengan teman-temannya membuka restoran
Bundo Kanduang yang kemudian berganti nama dengan Sari Bundo di Jalan Tanah
Abang I. Setelah zaman mulai berkembang, Sutan juga mulai mengembangkan usahanya
dengan membeli satu toko di jalan Sabang. Tempat itulah yang dijadikannya
restoran Natrabu khas Minang dengan fasilitas AC.
Sutan tidak pernah ikut campur dengan urusan dapur restorannya. Semua
dilakukan oleh para pegawainya yang berasal dari berbagai macam suku. Tapi
khusus koki inti, memang dipilih yang benar-benar berasal dari Minang. "Saya
hanya belajar bagaimana rasa masakan Minang. Tapi kalau untuk masak, Ibu saya
yang banyak sekali jasanya. Dia yang mencoba semua makanan lalu kalau ada
rasanya yang kurang pasti pegawai saya dipanggil. Tapi karena kecerewetan ibu
saya itu makanya bisa berhasil. Menu makanan jadi enak-enak," paparnya.
Meskipun keberatan memberikan bumbu atau resep utama di restorannya, Sutan
mengatakan yang membuat pengunjungnya kembali adalah berkat mutu makanannya.
Bahan yang bermutu tinggi akan menghasilkan hasil yang tinggi juga. Sutan memang
mengingatkan pegawainya untuk belanja bahan yang bermutu tinggi, seperti daging,
kelapa dan cabe terbaik.
Sembari mengelola restoran, ayah empat anak ini juga melebarkan usaha travel
bironya sampai ke daerah luar Jakarta dan luar negeri. Tapi sejak krisis
moneter, cabang Natrabu travel biro di Amsterdam, Darwin, Jepang dan Fransisco
terpaksa ditutup. Sedangkan cabang di daerah seperti Medan, Irianjaya, Lampung,
Padang masih berjalan normal.
Pengusaha restoran yang merangkul segmen pengunjung dari kalangan menengah ke
atas ini mengaku tidak ada persoalan dengan banyak bermunculannya restoran yang
memiliki segmen mirip dengannya. Kata Sutan, setiap orang punya rezeki
masing-masing. Semuanya tergantung umpan dan tahu selera pengunjung. Kenaikan
bahan bakar yang agak berturut-turut belakangan ini menurut Sutan sangat
mempengaruhi bisnisnya, karena harga bahan makanan juga ikut naik meski sedikit.
Tapi demi kepuasan pelanggannya ia rela keuntungannya berkurang. Sutan menaikkan
harga masakan secara bertahap agar pengunjung tidak kaget.
Untuk menjaring pengunjung tetap, restoran yang membuka cabang di Bali ini
menyuguhkan musik talempong dan tarian minang untuk para turis. Masakan andalan
restoran ini adalah rendang dan gulai singkong. Pengusaha yang memiliki 100
pegawai restoran di seluruh Indonesia ini memberlakukan sistem bagi hasil untuk
para pegawainya. Dengan sistem bagi hasil 60 persen untuk pegawai dan 40 persen
untuknya, Sutan yakin restorannya bisa berjalan lancar.
"Sistem bagi hasil lebih efisien. Keuntungan restoran juga akan dinikmati
oleh pegawai. Dengan begitu, pegawai akan bertanggung jawab dan rasa memilikinya
terhadap restoran juga akan besar. Beban saya jadi tidak akan terlalu besar
memikirkan restoran ini," kata pengusaha yang lebih senang dengan bisnis
restoran daripada travel bironya. Alasannya kata Sutan, biro perjalanan
resikonya lebih tinggi. Banyak turis yang menggunakan kartu kredit, sedangkan di
restoran, orang-orang selalu membayar uang kontan setelah makan.
Hari berganti hari, umur Sutan kian hari juga bertambah. Sutan sadar benar ia
tidak bisa selamanya sendiri mengelola bisnis tersebut. Tapi ia juga tidak bisa
begitu saja mewarisi bisnis tyang dikelolanya bertahun-tahun kepada keempat
anaknya. Untuk itu, ia menyekolahkan keempat anaknya kuliah di Swiss, mengambil
spesialis hotel dan restoran. Dengan modal pengalaman dan ilmu tinggi itu, satu
persatu anaknya sudah mulai diserahi tanggung jawab menjalani restoran. Ada yang
diberikan tanggungjawab menjalani restoran Natrabu di Bali, ada yang di
Indonesia, bahkan ada anaknya yang ingin mendirikan perusahaan baru dengan nama
Natrabu Konstruksi.
Waktu senggang kakek 11 cucu ini disibukkan dengan mengikuti kegiatan
organisasi. Ia tercatat sebagai anggota dan pengurus HIPPI, IPHI, Lemkari dan
Koperasi Pribumi. Bahkan di PP Muhammadiyah, Sutan sempat menjadi bendahara
untuk periode tahun 1995 sampai 2000. Untuk menjaga kebugaran tubuhnya, Sutan
selalu latihan judo, jujitsu dan karate. Olahraga beladiri itu diperolehnya
ketika masih menjadi polisi. Karena kemahirannya berkarate, Sutan juga
mengajarkan bela diri kepada para pegawai restoran. Latihan tiga kali seminggu
itu, menurut Sutan membuat pegawai dan anak-anaknya menjadi gesit dan tidak
mudah tersinggung.
Bisnis Sutan memang terus meroket. Restorannya tidak pernah sepi, Perdana
Mentri Mahathir Muhammad juga selalu mampir ke restorannya kalau datang ke
Jakarta. Sayang, musibah menimpa bisnisnya. Sekitar Januari 2001, restoran
Natrabu di Jalan Sabang habis terbakar. Api berasal dari toko di sebelah dan
merembet ke restorannya tidak menyisakan sedikitpun barang-barangnya. Waktu itu
Sutan berada di Bali.
"Saya langsung ke Jakarta, tapi saya berusaha tidak panik dan shock. Supaya
bisnis tidak putus, saya tetap menjual makanan di trotoar depan restoran yang
habis terbakar. Waktu itu memang dibutuhkan pimpinan yang bertindak cepat. Kami
rapat di Mesjid Sarinah sedangkan masak dilakukan di cabang travel Lippo dan
Bidakara. Pengunjung yang mau pesan juga bisa diantar ke tempat masing-masing,"
ceritanya. Pendeknya, usaha yang dilakukan Sutan waktu itu bukan hanya untuk
kepentingan bisnisnya. Tapi juga untuk pegawai-pegawai dan pengunjung yang sudah
menjadi langganannya.
Di usianya yang memasuki usia 73 tahun, Sutan mengaku tidak punya keinginan
yang luar biasa. Meskipun itu hanya untuk memetik hasil bisnis yang sudah
diperjuangkannya bertahun-tahun. "Kalau mau jual tanah saja mungkin saya bisa
tinggal goyang-goyang kaki. Tapi saya tidak mau, saya hanya ingin berbuat
sesuatu untuk kebahagiaan anak cucu saya,"kata pengusaha yang ingin makin
mengembangkan restoran Natrabunya di masa depan. "Restoran itu sudah punya nama,
mengolahnya lebih gampang," tambah Sutan.**(Elz/Idh)
Last updated: 1/4/2004
11:26:00