http://www.ranah-minang.info/content.php?article.14

Tradisi dan Pemikiran Ulama Minangkabau
oleh Silfia Hanani pada Saturday 14 February 2004

Minangkabau merupakan salah satu suku bangsa yang memiliki sistem
kekerabatan matrilineal. Suku bangsa ini, mempunyai alur sejarah penyebaran
penduduk yang unik dan dijelaskan "agak" mistik atau penuh dengan cerita
"carito" yang dituangkan dalam "kitab" yang diberi dengan "tambo".

Diceritakan wilayah Minangkabau dulunya merupakan proses geologi dari Gunung
Merapi, dengan daerah yang sangat kecil, namun karena terjadi proses alamiah
penyusutan air laut, maka terbentuklah wilayah yang luas, seperti adanya
sekarang ini. Daerah yang pertama di huni oleh masyarakat diberi nama dengan
Pariangan, dan sampai saat ini diakui sebagai daerah tertua di Minangkabau.

Pada awalnya masyarakat menjalankan kehidupan secara almiah, kemudian akibat
perkembangan jumlah individu dan terbentuknya daerah-daerah yang baru maka
di deklarasikan nagari sebagai sistem pemerintahan. Menurut penilikan
sejarah yang dilakukan De Rooy, pada awalnya nagari terada akibat akumulasi
dari empat proses pemukiman yang dibentuk dalam masyarakat Minangkabau;
yakni pemukiman yang disebut denga taratak, dusun, koto dan nagari. Dalam
pemukiman taratak, masyarakat hidup dengan sederhana dan belum hidup
berkelompok-lompok, baru pada masyarakat dusun terbentuk kelompok.
Masyarakat dusun yang terdiri sekurang-kurangnya dari tiga kelompok,
dinamakan dengan pemukiman koto, dan setelah itu barulah nagari.

Nagari adalah, kelompok sosial terkecil masyarakat Minangkabau, yang
mempunyai sistem dan struktur kepemimpinan tersendiri. Dalam sistem
kepemimpinan dikenal dengan tripartit kekuasaan yang satu sama lain
terintegrasi dalam musyawarah dan mufakat. Tripartit terdiri dari ulama,
umara dan cerdik pandai.

Namun, dalam proses NKRI ketika pemerintahan orde baru, pemerintahan nagari
ini sempat tidak berfungsi akibat digantikan oleh sistem pemerintahan desa
melalui UU no 5 tahun 1979, kemudian orde reformasi dengan sistem otonomi
daerah geologis hidup bernagari kembali dijabarkan, melalui Perda no 9 tahun
2000. Namun, berbagai kasuistik reaktualisasi ke negarai itu bermunculan dan
kadang-kadang menjadi polemik. Di samping itu, ada ketidakjelasan konsep
dalam menghidupkan nagari itu.

Dari segi kulturalis adat istiadat, orang Minangkabau dipisahkan oleh dua
kubu adat yang agak tegas, yakni adat Koto Piliang dan adat Bodicaniago.
Adat Koto Piliang berada di bawah pengaruh Datuk Ketumanggungan, sedangkan
Lareh Bodicaniago dibawah pimpinan Dt. Parpatih Nan Sabatang.

Dilihat dari praktik kesehariannya, Lareh Koto Piliang cenderung menjalankan
sistem adat agak konservatif, sementara itu Lareh Bodi Caniago lebih
demokratis. Geologis kedua kubu ini lahir akibat adanya konflik dalam
dinamaka keadatan dan agama dalam masyarakat Minangkabau itu sendiri.
Walupun demikian kedua kubu ini tetap dalam satu kesatuan Minangkabau, dan
sebagai formulasi Minangkabau pluralitas dalam praktik sosio kultural.

A. Sejarah Singkat Islam di Minangkabau

Wilayah Minangkabau berdasarkan geologis sosiografis terdiri dari dua kutup
yakni, rantau dan darek. Masing-masing mempunyai tipologi dan
restrukturisasi adat dan agama, namun saling melengkapi. Wilayah rantau
merupakan wilayah geologis yang terletak di pesisir pantai sedangkan darek,
terletak di wilayah pegunungan yang subur dan penghasil agrikultural.

1. Rantau Dalam Konstelasi Agama di Minangkabau

Dalam penyebaran Islam di Minangkabau wilayah rantau mempunyai arti penting
untuk dikaji dan dijadikan pijakan sejarah, karena kedatangan Islam di
nusantra tidak luput dari proses interaksi ekonomi antara pedagang luar
dengan ekonom pribumi. Namun, tidak itu saja wilayah pesisir lebih
metropolis dari pada wilayah pegunungan, Mengingat pesisir sebagai wilayah
perlintasan transportasi yang sering dijadikan sebagai persinggahan para
ekonom asing.

Kontak budaya dan agama, lebih cepat diakses dan diakumulasi oleh masyarakat
pesisir. Dalam penyebaran Islam di Minangkabau, wilayah pesisir atau rantau
menjadi wilayah sentral perkembangan Islam. Informasi sejarah tentang ini
dapat dilacak melalui tradisi keagamaan yang dilakukan oleh seorang ulama di
pantai Ulakan Pariaman, yang bernama Burhanuddin.

Burhanuddin, setelah usai menuntut ilmu dengan Abdurrauf Singkel di Aceh,
menyebarkan Islam di Ulakan dengan tradisi halaqah atau salaf. Yakni sebuah
tradisi penyebaran Islam yang face to face, kemudian berkembang menjadi
sistem pendidikan pengajaran Islam. Pada masa face to face, Burhanuddin
melakukan pendekatan secara persuasif dan dengan hati-hati mencoba
menerapkan Islam dalam kehidupan. Misalnya, diceritakan Burhanuddin pernah
mengajar Bismillah kepada anak yang bermain kelereng, setiap mengawali
permainan dengan Bismillah tersebut si anak terus menang, kemudian Bismillah
dijelaskan sebagai pembuka dari segala kegiatan, sebagai mohon restu dari
Tuhan dalam mengerjakan sesuatu.

Penyebaran yang persuasif ini, berkembang dan direspon oleh masyarakat,
kemudian Burhanuddin lebih leluasa menyebarkan agama Islam, dan didirikanlah
sebuah surau untuk menyebarkan ilmu keagamaannya lebih lanjut. Inilah pada
awalnya, surau dijadikan media transformasi pendidikan keagamaan masyarakat
Minangkabau.

Ketika itu, berlaku tradisi penyebaran Islam dengan halaqah. Halaqah juga
berlaku dalam jemaah suluk tariqat, yakni sebuah tradisi ke Islaman yang
dilakukan dengan ritualisasi-ritualisasi tersendiri, dengan maksud untuk
mencapai makrifatullah. Tradisi penyebaran Islam awal ini, nampaknya cukup
berhasil menjadikan daerah pesisir Ulakan menjadi pusat kebangkitan Islam
pertama di Minangkabau. Tradisi halaqah surau mempercepat penyebaran Islam.

Di sekitar surau Burhanuddin berdiri banyak surau kecil, yang dihuni oleh
santri-santri dari berbagai daerah yang menuntut ilmu agama kepadanya. Pada
masanya, Burhanuddin telah membuat sebuah kota santri, yang mempunyai
pengaruh besar terhadap ke Islam-an masyarakat Minangkabau.
Sampai saat ini, jejak dan kiprah Burhanuddin ini masih dapat dilihat di
Ulakan. Disini berjejer surau-surau kecil yang diberi nama sesuai dengan
asal daerah yang membangunnya. Dalam keseharian, ada yang dihuni dengan
kegiatan sumbayang ampek puluah oleh orang tua-tua. Dan yang pasti setiap
bulan safar ramai dikunjungi oleh penziarah untuk melakukan ritual safar
yang telah mentradisi. Umumnya penziarah ini beraliran tariqat Syatariah,
sesuai dengan tarikat yang dikembangkan oleh Burhanuddin.

2. Darek Dalam Konstelasi Adat Minangkabau

Darek merupakan daerah geologis alam Minangakabau, yakni tempat pusat adat
dipancarkan, tempat berkembangnya adat, yang ditandai dengan kedigdayaan
pusat kerajaan Minangkabau di Pagaruyung. Sekaligus sebagai daerah pertanian
yang subur.

Yang terpenting adalah, darek pusat kultural Minangkabau yang dibangun oleh
tiga kekuatan Luhak, yakni; Luhak Nan Tuo, Agam dan Lima Puluh Kota. Luhak
Nan tuo, merupakan luhak yang paling tua, dan sekaligus menjadi pusat dari
kerajaan alam Minangkabau dimana Pagaruyung sebagai metropolisnya dan
sekaligus menjadi nama kerajaan, yang diperintah oleh raja pertama yang
bernama Aditiyawarman.

Kerajaan Pagaruyung diperintah oleh raja yang beragama Islam baru ketika,
Raja Sultan Alif. Dalam catatan sejarah, ketika masa raja inilah Islam di
Minangkabau ditancapkan sebagai, adat basandi syarak, syarak basandi
kitabullah. Berdasarkan dimensi sejarah ini, ada yang menyimpulkan bahwa
Islam sebenarnya sudah diterima oleh masyarakat Minangkabau semenjak
kekuasaan Raja Alif.

Bahkan di masa ini struktur kekuasaan raja dibagi menjadi dua kekuasaan,
yakni raja ibadat dan raja adat. Raja ibadat bertugas untuk membumikan
syariat, sedangkan raja adat berkewajiban dan bertanggungjawab terhadap
pelestarian adat Minangkabau itu sendiri. Kedua raja ini, tetap di bawah
kekuasaan raja Alam Minangkabau yang berkedudukan di Pagaruyung.

Di samping itu, darek juga telah meletakkan dasar adat basandi syarak,
syarak basandi kitabullah, dengan dilakukannya perjanjian kesepahaman antara
kaum agama dengan kaum adat di Bukit Marapalam pada tahun 1668. Perjanjian
itu merupakan momentum diterimanya Islam sebagai agama bagi masyarakat
Minangkabau. Dengan diterapkannya norma kehidupan tradisional cupak nan dua
yang terdiri dari cupak usali dan cupak buatan. Cupak usali (takaran yang
asli) yaitu norma-norma agama sebagai pegangan hidup yang tidak dapat
digugat atau dalam istilah pembagian adat disebut dengan adat nan sabana
adat. Sedangkan cupak buatan (takaran yang dibuat) adalah norma yang dibuat
secara bersama oleh manusia dan kemudian dimodifikasi menjadi sumber hukum,
inilah yang disebut dengan adat nan diadatkan.

3. Adat Manurun, Syarak Mandaki

Dari dua kutub dan kultur darek dan rantau di atas dapat ditarik suatu
kesimpulan, bahwa adat adalah kekuatan yang terpancar di bumi darek,
sedangan agama adalah kekuatan yang memuncrat dari rantau. Dua kekuatan itu
dalam perjalanannya saling mengisi dan saling melengkapi.
Wilayah rantau, sebagai wilayah perkembangan Islam, membentangkan sayap ke
Islamannya ini ke bumi darek, sehingga Islam diterima sebagai agama oleh
orang darek, begitu pula dengan adat ia diturunkan oleh orang darek ke
pesisir atau rantau. Makanya dalam konteks ini disebut dengan adat manurun
(turun) dan syarak mandaki (mendaki).

Proses menyeberangan adat ke pesisir tentu tidak bisa dilepaskan dari proses
interaksi antara komunitas pedagang darek dengan pedadang pesisir. Sementara
itu penyebaran Islam ke darek dipengaruhi oleh murid-murid Burhanuddin, yang
telah selesai "nyatri" dengannya. Kemudian kembali ke kampung halaman
mendirikan cabang-cabang sekolah (surau) yang sealiran dengannya.

Di samping itu, juga berkembang pusat studi Islam yang dikomandoi oleh
Tuanku Nan Tuo di Koto Tuo tahun 1784. Menurut catatan sejarah, pada awal
berdirinya surau Tuanku Nan Tuo memiliki murid lebih dari 1000 0rang, yakni
jumlah yang sebanding dengan jumlah murid Burhanuddin, sang guru dari Tuanku
Nan Tuo. Sepak terjang Tuanku Nan Tuo, ini merupakan langkah awal di daerah
darek membangun sebuah perkampungan santri, sekaligus merupakan agent
transformasi sosial kultural masyarakat petani menuju keberagamaan.

Sementara itu, pengaruh adat yang dimunculkan di darek tidak sepenuhnya
berakar di pesisir atau daerah rantau pariaman. Hal ini dapat dilihat dari
perbedaan-perbedaan gelar yang diberikan. Di darek, gelar berkaitan langsung
dengan adat, yang diturunkan dari seorang mamak kepada kemanakan, sementara
di rantau terutama rantau pesisir Pariaman, gelar itu diturunkan dari
seorang bapak kepada anak laki-laki, gelarnya hanya terdiri dari tiga
sebutan yakni; sidi, bagindo dan sutan.

Gelar ini, dipengaruhi oleh kebudayaan Islam. Terutama sekali akibat ada
kontak Syi'ah dengan masyarakat pesisir. Kontak tersebut terjadi sekitar
abad ke 6 atau 7. Bukti terjadinya kontak dengan Syiah ini, dapat dilihat
dari tradisi tabuik yang digelar oleh masyarakat Pariaman setiap tanggal 10
Muharram. Tradisi Tabuik, adalah memperingati kematian dari cucu Nabi
Muhammad di Padang Karbala.

Berkaitan dengan ini, Y.A Puar menyimpulkan bahwa Islam sebenarnya sudah
masuk ke pesisir timur Minangkabau sejak abad ke-7, namun terhenti dan
hilang pengaruhnya, kemudian terjadi hubungan dengan Syi'ah. Namun, banyak
yang belum terungkap tentang peran Syi'ah di Minangkabau, sehingga ada yang
meragukan kehadiran Syi'ah di Minangkabau, bahkan ada yang lebih ekstrim
seperti Baroroh Baried menyebutkan bahwa Syi'ah tidak punya pengaruh di
kepulauan Melayu.


____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke