Assalamualaikum Wrt Wb

Kato Babuka Jo salam

Salam Babuka Jo Do’a

 Dari : Miftah N.Sabri[1]

 

Dek pitih ndak ado ko eh, ba paste-pasrte se lah imel-imel nan lah masuak ka disket. Sampai di rumah bainok-inok an goresan sanak ko siang jo malam. Ado nan rasah, ado nan “berang”,  ado nan serius,  ado lho nan “santai-santai “ se, ndak saketek lho nan “Utopis-Utopis tangguang”. Ndak Tahan juo ambo akhia nyo untuak menanggapi apo nan lah tacurah dari dado, dari raso nan barauik kadalam kasiah jo rindu ka “Nagari” Hitam-Kuniang Jo Sirah ko. Nagari nan padonyo ado sungaoi nan janiah, ado dananu jo riaknyo nan tannag, ado bukiknyo nan tagak mancakam, gunuangnyo nan gagah manjulang, lambahnyo nan indah nian, guo nyo nan panuah rahasio. Lauiknyo nan biru jo pantainyanyo nan putiah baraisah

 

 Kesimpulan :Menggelitik dan menarik !!  tulisan sanak sudaro kasadonyo di “ota lapau virtual “awak ko. Ragam nan bapuncak kaciek ulu kato nampaknyo. Awak kasadonyo lah samo-samo rasah jo nasib kampuang bangso nan kini ko.Atas polah dungu orang-orang di negeri ini secara umum tapi sialnyo awak nan minang “cadiak” lah jadi pandia polu. Dan awak harus segera babauek sasuatu atau jangan-jangan sekoci dan sasa  pun ndak mampu awak hadirkan.

 

Pendahuluan

Stop! mengenang[2] Hatta, Syahrir, Tan,. Berhenti! Membanggakan HAMKA, Natsir, Salim, Asa’at. Mereka bukan tokoh wayang (!) yang tak pernah ada, yang dibangun atas gemah ripah mimpi yang  tenggelam dalam mitos  yang tak berujung tak berpangkal (atau bahkan mungkin klenik). Mereka adalah manusia realitas yang telah pernah ada, memberikan sedikit pesona dan telah pula membuka langkah dan kata untuk generasi penerus mereka. Mereka bukan untuk dikenang tapi untuk diteruskan , mereka bukan untuk dibanggakan tapi untuk dikoreksi dan dipelajari! Mereka hadir untuk “kita” bukan untuk  diri mereka sendiri. Lantas kenapa kita selalu terpukau tanpa pernah berbuat lebih seperti apa manusia realitas itu pernah lakoni ? Mengapa dan sekelabat mengapa yang harus kita jawab dengan kerja bukan dengan “ota” gadang belaka………..

Minang Dan Realitas “Kini”

 

Ketika kawan kawan Bandung ( ITB, UNPAD, ITENAS Dll) telah mampu mendudukkan kembali “indahnya” sebuah seni alam minangkabau dan bahkan mengelaborasinya dengan teknologi tinggi maka minangakabau seperti mendapatkan kembali puteranya yang hilang. Budaya yang pada prinsipnya bukan klenik dan bisa direkonstruksi sesuai tuntutan zaman menemukan praksisnya yang cerdas di tanah perantauan. Namun rantau justru dikhianati oleh saudara kembarnya sendiri, ‘nagari’, justru memperkosa indah dan tingginya nilai seni leluhur ini. Ketika di perantauan tetarian, musik, randai, saluang, rarab, dirindukan oleh “sebagian”[3] rangmudo minang di rantau sebagai sebuah kebanggan terhadap identitas budaya yang lugas, tegas dan cerdas namun indah. Namun di “kampuang “ anak-anak mudonyo justru merindukan  Goyang Onggek-Onggek[4] yang selalu berpindah dari nagari yang satu ke nagari yang lain lewat-organ-organ tunggal yang mengentak-hentak tak karuan. Goyang yang menghinakan Ninik Mamak [5] di kampua ng halaman goyang yang memaklumkkan pada tujuh penjuru bumi  bahwa Ninik Mamak di Bumi Minang sudah kehilangan kukunya.

Ketika beberapa waktu yang lalu “kita”[6] berkumpul di Jogja Melakukan temu Cendikiawan Minang Se-Indonesia. Tapi adiak-adiak kita di kampuang masih ada yang tak bisa bersekolah. SMU-SMU secara umum masih jauh di bawah standar. Alih-alih hendak menjadi cendikiawan dengan bisa berkuliah di tempat yang terbaik dan mampu menghasilkan pemikiran yang jernih tentang bangsa ini, pengetahuann mereka tentang Perguruan Tinggi, Jurusan-Jurusan, Persiapan Ujian saja masih sangat minim[7]. Bagimana pengetahuan mereka tentang materi-materi yang akan diujikan dan sejauh mana pengetahuan dan informasi yang mereka kuasai tentang pers aingan menuju satu bangku di Universitas. Yang mereka tahu hanya sebatas yang disampaikan guru [8]mereka saja, dan tiba-tiba mereka termenung ketika masanya SPMB tiba. Jadilah meraka “terjebak”dalam Sempit nya ruang informasi yang mereka tahu dan akhirnya mereka terbuai dengan kursus-kursus “abu-abu” yang menjamur di kampung sekarang ini. Mereka tidak lulus bukan karena bodoh, tapi hanya minimnya informasi, d an pepetnya persiapan untuk Ujian. Ini tentu berbeda dengan “anak-anak jawa” yang sudah terbiasa dengan atmosfer kualitas dan tempat informasi bertebaran disana sini. Bayangkan saja maraton pagi saja mereka ke Bulak Sumur, jalan-jalan sore ke Jl Ganesha, olah raga Pagi Ke Kampus Depok, Setiap hari lewat salemba. Secara tidak langsung ini tentu lebih membukakan mata. Bagaimana dengan adiak-adiak kita di kampuang. Jangankan tahu bagaimana Salemba, Bulak Sumur, Jatinangor, Ganesha, Taman Sari, dan sebagainya mendengar kata kuliah saja meraka sudah “meriang”.[9]

 

 Mengapa Pendidikan ?

            Dalam pendidikanlah orang dibebaskan. Dalam pendidikanlah mobilitas sosial secara vertikal menemukan probabilitas  yang lebih besar. Pendidikan akan melintasi batas-batas kekayaan, pendidikan aka memupus sekat-sekat budaya. Pada pendidikanlah apa yang Ali Sariati kemukakan  The Rausan Fik’r akan dihasilkan. Yang akan mampu menggerakkan “revolusi kondisi” minimal bagi diri meraka sendiri, menuju  keluarga , negeri bahkan bangsa ini.

            Dimana Intelektual itu dihasilkan? Di kampus tentunya! Bukan di kursus-kursus, bukan di Organ tunggal! Pada level pergaulan mana ia dihasilkan? Di level yang sangat makro itu pasti! Yang melintas batas suku, bangsa ras, agama, dan  peradaban. Mendialogkan apa yang bagi mereka sebut dengan perbedaan cara memandang dan menilai. Dan menemukan simpulan yang bisa membebaskan,  bukan dari pergaulan picik dengan  kacamata kuda, hanya itu-itu saja, disatu tempat melulu saja. Pa da kondisi inilah “budaya merantau” menghasilkan intelektual yang sesungguhnya dan akan tetap di k enang sejarah. Coba telisik intelektual minang yang tak pernah merantau! Tak kan pernah ditemukan. Jika ada yang membantah Ada, dan anda beseru A.A Navis!. Anda berarti keliru. Navis tak pernah merantau secara zahir tapi lihatlah fikiran-fikirannya selalu ia rantaukan entah itu melalui media-media nasional bahkan internasional. Ia pun orang “kampus “ bukan?  “Ins Kayu Tanam, adalah Markas Besarnya!””.

            Oleh karena itulah bagaimana membangkitkan kembali kesadaran merantau untuk mencari ilmu masuk kde dalam kampus-kampus terbaik Nasional dan Dunia adalah agenda bersama kiyta kaum mudo minang. Sebab tidak mungjkin lagi minangkabau dibangun berdasar insting dan kebanggaan akan masa lalu bel;aka, Minangkabau harus memiliki kerang epistemologisnya yang baru dan maju sebagai budaya yang berintelektual tinggi.

 

Seni Minangkabau : Quo Vadis ?

            UKM menggemparkan Bandung!! Luar Biasa! Itulah simpulan saya untuk sementara. Setelah membaca tulisan sinmgkat sanak kita “Bot Sosani” dari Bandung. Suasana muda yang progresif, inofativ, dan penuh kecanggihan tanpa kehilangan “minang “ yang romantis adalah  sekelabat bayangan yang melintas dalam fikiran ini dalam seketika.

            Namun jika saya coba refleksikan dengan kondisi faktual di nagari, sebagaimana saya utarakan di atas, saya mengurut dada. Lantas bagaimana kalau kawan-kawan UKM ganti saja tahun depan. UKM menggoncang Ranah Minang. Bergandengan dengan kawan-kawan STSI PDPJ, berikanlah hiburan yang “romantis” itu pada pub;lik munang.  Sebab saya yakin kondisi yang terjadi adalah karena kaum mudo tak lagi memiliki tontonan alternatif yang mencerahkan sejkaliguys menggairahkan. Saluang dan piano manalah ada musda-mudi kampuang pernah mendengar. Rabab dan perkusi dengan aransemen yang serba digital, manalah orang di kamppung pernah rasakan.

            Saya termasuk orang yang meyakini bahwa terjerumusnya masyarakat banyak pada hiburran-hiburan sesat sebab pemerintah tidak mampu lagi memberikan hiburan-hiburan alternatif bagi warganya. Nonton Bola kita kalah 6-0, main bulu tangkis gugur di penyisihan. Jadilah Inul dan onggek-onggek pilihan satu-satunya.

            Jika saja kekreatifan romantis yang canggih itu mampu dihadirkan di ranah minang, saya yakin dan percaya indak karami,  gak sorang akan ada anakmuda yang tersentak dan bangkit motifasinya melihat penampilan sang calon insinyur idaman calon  mertua juga mahir berseni secara profesional namun beradab, berklas, dengan citera rasa tinggi dan tak fulgar. Mungkin kawan-kawan bisa buat pagelaran seni Liburan semester di Ranah minang namun duiiringi ekspo pendidikan di paris van java , misalnya dan bimbingan serta bagi-bagi info untuak adiak-adiak kita sekolah menengah  secara merata di seluruh Sumatera Barat.

Saya yakin dan percaya akan tercipta pencerahan.

Dan sedikit demi sedikit meminjam istilah sanak kita Arya Fernandes dari UIN kemarin, “dengan bantuan media” seni alternatif ini bisa kita hadirkan.

           Kita Tunggu Kejutan kongkret di “ranah”” Kito

 

Wassalam

MNS

 

 

  

 



[1] Urang Awak, Kuliah di UI Jurusan Ilmu Politik. Aktif di Ikatan Mahasiswa Minang Universitas Indonesia (IMAMI UI)

[2] Saya justru berfikir kita sudah jadi orang jawa saja. Memitoskan orang tanpa pernah berfikir bagaimana mereka menjadi “sejarah”, menginfentaris modal yang ada, dan bergerak bersama ( bukan berarti menyatu ) untuk sejarah itu sendiri. Si Bung tak pwernah ingin di puja, sangbuya tak pernah ingin diciumi tangannya, haji Selalu bangga dengan tangannya  meskipun sekian mulut dunia  mencemoohnya .

[3] Agak enggan saya menyebutnya “seluruhnya”, sebab fakta pun berbicara dalam bahasanya yang jujur banyak anak minang yang merantau kehilangan jati diri,> Dugem jadi budaya baru, laki-laki lah basubang, padusi lah “baoraek-oraek, pusek lah tangango-ngango. Ambo pernah duduak –duduak sambia maka n di dago, ado nasi padang nan murah , ambo lupo namonyo. “Cewek” babaju tipih sabana tipih, lah modre ndak babaju lai ( Naudzubillahimindzalik), basubang tigo di talingonyo, baduo jo laki-laki. Marokok “Mild Mentol” Pul=pul cek asoknyo. Eeee katiko ambo dakei,,,, sayuik-sayuik sampai sangaik lo totok minangnyo……..

[4] Goyang Yang lebih parah dari inul, kalau boleh saya klasifikasikan begitu. Goyang Bejat. Erotis dan tak senonoh. Goyang yang menikam “adat” yang tinggi padas pada siang hari yang paneh  tagak di tangah-tangah urang rami. Dibawakan oleh “cewek-cewe;” minang murtad  ( tak hendak saya memberinya gelar gadih minang lagi, gadih yang merupakan limpapeh rumah gadang yang begitu mulia, mereka telah saya murtadkan dari minang sebab kalau mereka minang tak mungkin meraka begitu)

[5] Idul fitri yang lalu, ambo barayo ka rumah seorang kawan. Di Koto Marapak. Inilah preseden buruk dan awal dari trauma ambo. Berita miring yang ambo danga salamo ko akhianyo ambo cailak surang di mato kapalo. Paginyo rayo hari pertamo baru, malamnyo di muko musajik gadang koto marapak “si onggek-ongg ek” ko maantak-antak. Ambo bapikia wakatu tu. Ndak sagan lah urang jo niniak mamak kini ko? Baa lah ndak sagan urrang Jo Buya-buya kini ko. Di muko musajik nyo bantai juo bru. “ Fulgar-se fulgar-fulgarnya)

[6] Sengajo ambo pakai kita, bukan beberapa diantara kita. Karano ambo yakin dalam waktu yang beberapa lama kita akan mampu bersama( bukan berarti bersatu) membuat gebrakan besar dengan langkah kongkret yang bisa kita sepakati untuak kampuang halaman yang kita cintai

[7][7] Masalah ini sengaja saya generalisasi. Walaupun memang  pada kondisi lapangan masih banyak anak-anak dari minang yang kuliah di Perguruan Tinggi faforit, tapi kalau kita boleh fair. Masih didominsai oleh siswa s-swa asal Bukitinggi-Padang saja secara mayoritas. Baru disusul Oleh Padang Panjang ( PPJ ini baru mulai   semenjak Generasi Sekoalah Unggul Sumbar yang berada  disana mengeluarkan lulusannya semenjak tahun 2000, kalau tidak saya juga tidak yakin akan semasif sekarang),  payakumbuh, ataupun solok di lapis tengah. Sementara Pesisir, pariaman, lubuk sikaping, Sawah Lunto, amat jarang kita dengar.

[8] Kita tentu sama-sama tahu kualitas guru di Sumbar, tanpa mengurangi rasa hormat kita, bahwa kemampuan dan keinginan untuk meng updating informasi tentu lah sangat kurng dibanding guru-guru di P Jawa ini.

[9] Dalam perjalanan di Kota Padang Ambo pernah tanyo pado seorang anak yang ternyata masih kelas tihgo SMU hendak menyambung kemana. Dengan lantang ia menjawan Kursus X ajo lah da, kan lah yterjamin lapa karajonyo. Tertegun ambo sejenak, beginikah pola pikir generasi minang muda Umumnya? Mana sirit bertarung dan merantau mereka? Bukankah syarat terakhir orang minang di tambo adalah merantau. Sebab dengan merantaiu meraka telah membuka tangkup tempurung yang selama di kampung melingkupi mereka?


Do you Yahoo!?
Win a $20,000 Career Makeover at Yahoo! HotJobs
____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke