Dek sabanta lai ka mamiiah RI-2 jo 2, ambo cubo Fwd kan tulisan dari kang eep ko, sakadar panamba2 pangatahuan awak.
Wassalam, ----- Original Message ----- From: Eep Saefulloh Fatah <fatah.1@ Eep Saefulloh Fatah (fatah.1@ Survei membuktikan bahwa pemilih di Indonesia lebih menghitung figur ketimbang program, ideologi, identifikasi dengan partai politik, atau faktor lain. Inilah antara lain yang menjelaskan komposisi hasil Pemilu 1999 lampau: PDI-P dipilih karena figur Megawati, PAN karena Amien Rais, Golkar (oleh pemilih di Indonesia Timur) karena Habibie, dan seterusnya. Bagaimana halnya dengan Pemilu 2004? Tanpa perlu menunggu survei, kita boleh jadi perlu merevisi pernyataan dalam konteks Pemilu 1999 itu. Yang dipandang pemilih ternyata bukan sekadar "figur" melainkan "figur besar". Buktinya, sekalipun dalam pemilu untuk DPR/DPRD pemilih punya kesempatan memilih figur, nama kandidat, secara langsung, ternyata umumnya mereka lebih senang memilih partai saja. Ini menunjukkan bahwa yang penting ternyata figur besar, bukan sekadar figur -- bukan figur berskala lebih kecil atau lokal. Saya ingin sebut ini sebagai "pesona figur besar". Tentu saja, gejala ini tak bisa menjelaskan seluruh kecenerungan pemilih. Ia gagap menjelaskan bertahannya popularitas Golkar ketika Akbar Tanjung adalah figur besar yang tak terlampau populer. Ia juga terbata-bata menjelaskan kenaikan dramatis suara PK(S) yang lebih banyak berkaitan dengan citra identitas dan tawaran perilaku partai itu ketimbang ketersediaan figur besar. Tetapi, sekalipun demikian, pesona figur besar tetap berguna untuk, misalnya, menjelaskan kejutan Partai Demokrat. Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjadi magnet yang menyedot kartu suara pemilih ke partai baru ini. Gejala serupa -- dalam konotasi negatif -- terjadi pada PDI-P. Dengan menjadi Presiden, Megawati menjalani metamorfosis dari sebuah figur mitologis (yang terbungkus mitos-mitos, kepercayaan yang belum terbuktikan) menjadi figur historis (yang terlihat kasat mata sisi terang dan, terutama, gelapnya). Suara PDI-P pun turun. Di Indonesia, pesona figur besar bukan sekadar gejala di sekitar pemilu. Ia tampaknya membatin dalam banyak perkara. Ketika Suharto, sejak akhir 1980-an, mulai menggunakan simbol-simbol agama sebagai perlengkapan baru legitimasi, banyak kalangan Islam yang serta merta terpesona. Keterpesonaan itu bahkan menenggelamkan kesadaran bahwa dalam periode yang sama praktik KKN makin berkembang menjadi-jadi. Pesona figur besar itu pula yang ada di belakang kebiasaan simplifikasi atau penyederhaan sejarah. Sebagian kita cenderung melihat sejarah sebagai hikayat orang-orang besar ketimbang narasi masyarakat. Karena sebab itulah buku-buku sejarah resmi dipenuhi oleh cerita dan gambar para pahlawan. Atas nama simplifikasi sejarah ini pula, sebagian kita gemar menobatkan seseorang sebagai "bapak": Amien Rais dijadikan "Bapak Reformasi", Mohammad Hatta jadi "Bapak Koperasi", A.H. Nasution jadi "Bapak Angkatan Darat", dan seterusnya. Sukarno tahu betul tabiat buruk itu. Maka, di akhir kekuasaannya, untuk memperkuat "legitimasi" kediktatorannya, ia pun menyematkan (atau disemati) banyak gelar besar yang meneguhkan kebesaran figurnya: Pemimpin Besar Revolusi, Penyambung Lidah Rakyat Indonesia, Waliyul Amri adh-Dhurari bisy-Syaukah. Pesona figur besar hampir selalu merupakan kabar buruk -- bahkan ketika ia merambah dunia susastra. Saya tercekam oleh tetralogi Bumi Manusia-nya Pramoedya Ananta Toer, tapi tidak oleh novel tebalnya, Arus Balik. Dalam tetralogi Bumi Manusia, Pram menempatkan Minke, sang tokoh utama, bukan sebagai figur besar. Ia hanya menjadi debu di tengah padang pasir sejarah pergulatan kebangsaan Indonesia. Tetapi, dalam Arus Balik, Wiranggaleng menjadi orang besar yang dengan segenap kesaktiaannya seolah-olah bisa menyeret-nyeret sejarah perniagaan dan politik masa itu, ke arah mana sesukanya. Bagi saya, Arus Balik menjadi kurang menarik karena penyakit pesona figur besar. Seusai Pemilu legislatif awal bulan ini dan menjelang Pemilu Presiden hampir dua setengah bulan depan, ada baiknya kita menyadari bahaya pesona figur besar ini. Selayaknya kita hilangkan penyakit ini dan mulai belajar menakar kandidat bukan dari pesona sosok atau figurnya belaka, melainkan gagasannya, ide-idenya, isme atau fahamnya, serta apa yang ia nyatakan dan kerjakan. Selayaknya kita tak lagi lagi terpesona oleh kebesaran mitologis seseorang melainkan menimbang sosok historisnya yang kasat mata dan bisa diukur-diperbadingkan. Selayaknya kita tak memandang kandidat sebagai "sang bintang nun jauh di atas sana," melainkan manusia biasa yang mesti mengemban mandat dan kepercayaan kita. James Reston, penulis Amerika yang produktif, pernah membuat pesan yang semetinya sampai ke alamat kita. "Sebuah pemilu," katanya, "adalah pertaruhan untuk masa depan, bukan ujian popularitas masa lalu." Ya, Pemilu Legislatif kemarin dan Pemilu Presiden besok selayaknya tak menjadi kontes popularitas belaka, melainkan pengujian kelayakan kandidat bagi kebutuhan perebutan masa depan yang lebih baik. Dengan menanggalkan pesona figur besar tak berarti seluruh persoalan sudah selesai. Pemilu kerapkali tak memberi kita pilihan mudah. Sebagai pemilih kita selayaknya memilih bukan sekadar "orang besar" melainkan "orang besar yang mampu dan terpercaya". Tetapi, celakanya, orang besar macam itu biasanya tak menjadi kandidat. Selain itu, menanggalkan pesona figur besar juga bisa menjerumuskan kita pada jebakan lain: phobia figur besar. Orang mengeritik figur besar bukan karena pengetahuannya yang cukup tentang gagasan, ide, faham, pernyataan dan figur besar itu, melainkan hanya karena sosok dan ketokohannya saja. Phobia semacam ini bisa melekat pada figur apa saja: phobia tokoh Islam, phobia mantan tentara, phobia kandidat perempuan, phobia tokoh non-Islam, phobia tokoh muda, dan seterusnya. Pesona dan phobia sama-sama bisa menjadi karang berbahaya. Pemilih yang cerdas mesti mendayung di antara dua karang ini. Sebagai pemilih tak selayaknya kita terperangkap pesona atau phobia, melainkan cukup menjadi penimbang yang berpengetahuan (minimal) dan kritis. Di tangan pemilih seperti inilah kualitas pemilu demokratis dipertaruhkan. ____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________