----- Original Message -----
From: nfn Ikranagara
To: Dear Friends

Dear Friends;

Di bawah ini saya FW-kan pemaparan singkat tentang kiprah, pengabdian dan
pencapaian di bidang politik yang dijalani salah seorang penerima grant
Fulbright yang tidak asing lagi namanya: Mochtar Naim. Sungguh menarik, dan
patut dijadikan suri tauladan, yang secara diam-diam dia telah menjelma
sebagai salah seorang Bapak Bangsa lewat karya dan perbuatannya, bukan
dengan khotbah yang muluk-muluk.

Dari paparan yang dikutip dari Kompas, Kamis, 6 Mei 2004, menjadi jelas
bahwa sebenarnya bentuk negara kita sekarang ini sudah mendekati (atau
justeru sudah tiba pada?) bentuk federal ("serikat") tanpa harus pasang
merek. Alhamdulillah! Dan kekhawatiran bahwa kita belum siap untuk
memberikan "hak otonomi yang diperluas" terbukti tidak benar, dan salah satu
contohnya adalah ketokohan Mochtar Naim, seorang yang berhasil memenangkan
kursi Senator dari Sumatera Barat. Bahwa manusia Indonesia yang berhasil itu
adalah hanya mereka yang berhasil menjadi "orang Jakarta," sehingga diberi
nilai tinggi, disanjung oleh media, ucapannya dikutip dari waktu ke waktu,
ternyata rumusan ini sebuah mitos yang tidak berdasar. Ketokohan Mochtar
Naim ini bukan saja punya derajat nasional, melainkan dengan karya sepuluh
jilid bukunya itu telah mengindikasikan derajatnya meningkat ke
internasional. Saya percaya, banyak tokoh-tokoh lain derajatnya setinggi
dia, bertebaran di berbagai wilayah propensi kita, mereka yang bekerja
dengan tekun, sepi dari pamrih yang mokal--mokal, yang patut diekspos ke
permukaan oleh media kita sehingga berlian-berlian itu merefleksikan cahaya
universalnya bagi kita sekalian.

Sehubungan dengan masalah dwifungsi ABRI dalam tulisan di bawah ini, yang
dikatakan itu semua telah dipangkas habis dari "balairung"
(baca:legislatif), sehingga tentara kita sekarang telah kembali menjadi
"hulubalang" (baca: tentara professional), saya masih punya catatan.

Apa yang kita kenal sebagai "dwi fungsi" di zaman Suharto berjaya, pada
hakikatnya adalah sebuah multi-fungsi. Yang menyolok sekarang adalah fungsi
ABRI yang belum dipangkas sama sekali adalah di bidang bisnis dan ekonomi.
Masalahnya memang tidak semudah membalikkan tangan, saya faham itu. Tapi
bagaimana pun ini adalah salah satu masalah. Malah bisa-bisa membahayakan,
karena masalah ini telah melahirkan adanya faksi-faksi atas dasar
bisnis/ekonomi di kalangan tentara kita (ke dalamnya termasuk yang sudah
pensiun, atau yang non-tentara tapi diperlukan untuk menjalankan fungsi
kebisnisan in).

Timbullah pertanyaan di benak saya: Apakah persaingan antara Wiranto, SBY
dan Prabowo, atau ditambah entah siapa lagi, yang sekarang tampak di depan
mata kita di panggung pemilihan presiden 2004 ini, bukan merupakan
kelanjutan tangan dari faksi-faksi bisnis/ekonomi yang saling bertarung di
dalam tubuh militer kita?

Sudah waktunya kefungsian bisnis/ekonomi di kalangan tentara ini diungkai
untuk diketahui dengan pasti apa masalahnya, apa penyakit yang ada di
dalamnya, apa bahaya yang mungkin meledak dari dalamnya, dan dengan demikian
kita bisa mengantisipasi sejak dini kemungkinan-kemungkinan buruk yang
muncul dari sana dengan diagnose yang jitu. Sehingga, dwi-fungsi tentara di
bidang bisnis/ekonomi ini segera bisa diakhiri.

Mari kita fikirkan bersama!

Nah, silahkan membaca paparan yang saya FW-kan di bawah ini sebagai awal
dialog kita. Silahkan Anda ungkapkan apa saja masalah yang masih terkait
yang perlu kita bahas bersama.

Terimakasih saya ucapkan kepada Bung Piet Hendrardjo yang menjaga warung
MFI, dan dari sana saya mendapatkan paparan tentang Mochtar Naim ini,
paparan yang sungguh berharga untuk disimak.

Salam,

Ikra
===

Piet Hendrardjo <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
To:
From: "Piet Hendrardjo"
Subject: [mfi] Re: Fulbrighter Mochtar Naim is elected as Senator from West
Sumatra province


Note from AMINEF: From the 128 newly elected Senators of the newly
promulgated House of Regional Representatives (Dewan Perwakilan Daerah),
one of them is Dr. Mochtar Naim, a Fulbright program alumnus who just
completed his five months research at the University of Michigan, Ann
Arbor (2003-2004). He is one of the four Senators representing the
province of West Sumatera.

The project he was working on between October 2003 and February 2004 at
Ann Arbor was to classify the verses of the Qur'an in a topical manner
following more or less the usual classification of scientific themes
(Physics and Geography, Biology and Medicine, Botany and Zoology,
Economics, Law, History, Social Ethics, Theology, Eschatology, and a
collection of the verses of Prayers. The first five volumes have
already been published.

Congratulations Pak Mochtar!

Kompas, Kamis, 6 Mei 2004

Mochtar Naim, "Hulubalang" Tua yang Terus Berjuang

MESKI usianya terus bertambah, sosiolog Dr Mochtar Naim (72) tetap tak
berubah. Pada Selasa (27/4) itu penampilannya masih seperti dulu:
sederhana dan santun, kaya dengan pemikiran jernih, tajam, kritis,
analitis, dan konsisten. Dan yang terpenting, waktu 24 jam tetap
digunakan untuk berkarya.

SALAH satu sumbangan berharga bagi dunia keilmuan adalah ketika setahun
terakhir di sela-sela kesibukannya menjadi dosen/peneliti tamu di Leeds
University, Inggris, selama enam bulan dan di University of Michigan,
Ann Arbor, MI, AS selama lima bulan, dia berhasil menulis 10 jilid buku
tentang kompendium (himpunan) ayat-ayat Al Quran yang disusun
berdasarkan topik dengan indeks konkordansi.

"Saya sudah jajaki negara-negara Timur Tengah, Turki, Eropa, Amerika,
dan datang kepada ahli-ahli yang menguasai buku-buku keagamaan, ternyata
apa yang saya tulis belum pernah ada sebelumnya. Menurut para ahli, ini
karya pertama yang pernah ada secara internasional. Alhamdulillah, saya
bisa memberi sumbangan berharga," kata Mochtar.

Lima dari 10 jilid buku tersebut, antara lain Himpunan Ayat-ayat Al
Quran yang Berkaitan dengan Fisika dan Geografi, Kata Pengantar Prof Dr
HA Baiquni (469 halaman); Himpunan Ayat-ayat Al Quran yang Berkaitan
dengan Biologi dan Kedokteran, Kata Pengantar Dr H Kartono Muhammad (390
halaman); Himpunan Ayat-ayat Al Quran yang Berkaitan dengan Botani dan
Zoologi, Kata Pengantar Dr Taufik Ismail (226 halaman); Himpunan
Ayat-ayat Al Quran yang Berkaitan dengan Ekonomi, Kata Pengantar oleh
Prof Drs M Dawam Raharjo (260 halaman); dan Himpunan Ayat-ayat Al Quran
yang Berkaitan dengan Hukum, Kata Pengantar Prof H Bismar Siregar SH
(762 halaman).

Buku-buku tersebut diakui Mochtar sebagai yang membuatnya bisa maangok
(bernapas lega, menghidupi secara ekonomi), karena buku yang ia
terbitkan sendiri itu sudah dipesan lebih dari 7.000 set.

Kesibukan sosiolog asal Banuhampu, Kabupaten Agam, Sumatera Barat
(Sumbar), ini tidak hanya melakukan penelitian dan menulis buku, tetapi
juga menulis di berbagai media cetak dan menulis berbagai makalah yang
ia presentasikan di dalam dan luar negeri. Ia juga sering diundang
memberi ceramah agama.

MENJELANG masa kampanye pemilu legislatif, Mochtar Naim tidak seperti
calon-calon Dewan Perwakilan Daerah (DPD) lain yang kasak-kusuk mencari
dukungan, berkampanye, dan banyak mengeluarkan uang. Sebagai intelektual
Minang ia sudah sangat dikenal berbagai kalangan sebagai putra daerah
dan intelektual Minang yang berani bersuara lantang melawan
ketidakadilan, terutama selama masa Orde Baru. Makanya, meski tanpa
kampanye, ia mampu bersaing dengan 23 calon DPD lainnya dan duduk di
DPD.

Yang menarik dan sejarah akan mencatatnya, ia adalah salah satu pencetus
ide sistem dua kamar (sistem bikameral) dan terbentuknya DPD. "DPR dan
DPD adalah dua lembaga legislatif yang terpisah dan analog dengan
Kongres bagi DPR dan Senat bagi DPD. Dengan diciptakannya sistem dua
kamar tersebut, maka sistem keanggotaan ganda seperti sekarang, yakni di
mana anggota DPR juga sekaligus menjadi anggota MPR, hilang, dan Fraksi
Utusan Daerah dilebur ke dalam DPD dengan sistem pemilihan yang
disesuaikan dengan sistem pemilihan DPD," kata Mochtar menjelaskan.
"Pemisahan menjadi dua kamar ini praktiknya seperti yang berlaku di
negara penganut sistem federal seperti di Amerika Serikat, Kanada,
Australia, India, dan beberapa negara lain."

Lebih dari itu, sebagai anggota MPR Utusan Daerah Sumbar, sejak 1999
sampai sekarang dan selama 30 bulan di antaranya (Oktober 1999-Maret
2002) duduk di Badan Pekerja MPR mewakili Fraksi PBB dan kemudian Fraksi
Utusan Daerah, ia juga dikenal sebagai pencetus konsep lepasnya
TNI-Polri dari politik praktis.
Sampai akhirnya ia digelari "hulubalang" oleh teman-temannya di MPR
karena analogi yang dipakainya terhadap hulubalang (dubalang) di
Minangkabau yang tidak turut naik ke balairung dan tidak ikut dalam
politik praktis, tetapi menjaga keamanan di sekitar kampung dan nagari.

"Kalau TNI-Polri masih tetap berpolitik praktis, bukan saja memberi
peluang dan melegitimasi mereka untuk terus mencampuri urusan politik
kenegaraan seperti selama ini, tetapi bertentangan dengan prinsip
demokrasi yang menekankan pada rule of law yang berlaku sama untuk
semua, kesetaraan, namun juga kesediaan berbeda pendapat. Ini semua
tidak ada dalam kamus militer," katanya memaparkan.
"Dalam bahasa prosais untuk membungkus ketajaman pisau yang saya
pakaikan, saya katakan salah satu penyebab kegagalan Orde Baru adalah
akibat ikut naiknya para "hulubalang" ke balairung. Mereka tidak hanya
ikut, bahkan terus duduk ke anjungan untuk memimpin dan mengendalikan
proses pengambilan keputusan dengan gaya dan cara militer," kata Mochtar
Naim.

Banyak ide lain, termasuk aktivitasnya mengegolkan konsep otonomi daerah
dan bersikap kritis terhadap praktik yang berlaku. Semua itu ia tuangkan
dalam buku Suara Wakil Rakyat (Penerbit CV Hasanah, 2002, 326 halaman).
Buku tersebut ia bagikan gratis kepada berbagai pihak, yang baginya
merupakan laporan dan pertanggungjawaban tertulis kepada rakyat. Boleh
dikata, Mochtar Naim adalah satu-satunya dari 700 anggota MPR yang
memberikan laporan pertanggungjawaban.

Menyelesaikan S2 dan meraih gelar MA di McGill University (1960),
kandidat doktor di New York University (1960-1964), dan kemudian meraih
gelar PhD dari University of Singapore dengan disertasi cukup dikenal,
yakni Merantau: Minangkabau Voluntary Migration (1974), Mochtar Naim
dari segi umur memang tidak muda lagi, tetapi memiliki stamina dan
kegairahan kerja yang jarang anak muda bisa menandinginya.

Prinsip suami Asma M Naim dan ayah empat anak serta kakek dari delapan
cucu ini mudah-mudahan tetap tidak berubah seperti selama ini:
sederhana, jujur, dan teguh dalam pendirian. Itu yang bisa kita lihat
dari rumahnya yang sederhana, kamar kerja yang menyatu dengan kamar
tidurnya, rumah tinggalnya yang tidak memiliki garasi mobil, dan
keberaniannya menolak masuk Golkar ketika Orde Baru berkuasa sehingga
dia dipaksa berhenti sebagai dosen di Universitas Andalas. (YURNALDI)


____________________________________________________
Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: 
http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net
____________________________________________________

Kirim email ke