Tulisan dari urang sumando kito dari Sulik
Aia.
Untuak manambah wawasan kito
Kang
hasan : tulisanmu tak forward nang milis Minang yoh.. barangkali sampeyan
berminat mlebu nang milis iki.
Dewis, 34
#Kampuang Nan Jauah Dimato Dakek Di
Jari#
-----Original Message----- Sabtu, 12 Juni
2004From: Sutan Paruik Gadang [mailto:hasan] Sent: Saturday, June 12, 2004 9:31 PM OPINI --------------------------------------------------------------------- ----------- Memperbaiki Kualitas Demokrasi Kita Hasanudin; Visiting Researcher Kumamoto University, Jepang DEMOKRASI oleh para penentangnya sering diejek dengan ilustrasi berikut. Ada lima orang yang hendak mendirikan sebuah negara. Kalau tiga di antara mereka adalah maling, dan negara dibangun secara demokratis, maka negara yang dibangun adalah negara berbasis sistem nilai maling. Ini tentu sebuah ejekan yang berlebihan. Menurut para pendukungnya demokrasi ditegakkan di atas nilai-nilai universal, sehingga ia tidak akan menampung gagasan yang bertentangan dengan nilai-nilai itu. Karena itu, sistem nilai maling dalam ejekan di atas tidak mungkin diakomodasi dalam sebuah sistem demokratis. Sungguhpun demikian, sulit untuk membantah bahwa dalam sebuah sistem yang demokratis preferensi publik sangat menentukan warna dan arah kebijakan pemerintah. Preferensi publik ini sayangnya tidak selalu patuh pada nilai. Persoalannya, bagaimana pengaruh preferensi publik ini terhadap tercapainya cita-cita demokrasi? *** Pertanyaan ini penting untuk dijawab mengingat demokrasi sudah menjadi sebuah magis. Demokrasi adalah sebuah keharusan dalam peradaban modern. Tak ada sebuah bangsa atau pemerintah pun yang berani berkata tidak pada demokrasi. Bahkan, pemerintah di beberapa negara komunis-otoriter di era perang dingin seperti Korea Utara dan Jerman Timur sekalipun tak sungkan-sungkan memberi nama Republik Demokrasi pada nama resmi negaranya. Sihir demokrasi dimulai dari definisinya, 'pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat'. Definisi ini menimbulkan harapan (dan juga ilusi) bahwa demokrasi akan membawa keadilan yang menempatkan rakyat pada tempat yang sejajar dalam segala hal, termasuk kemakmuran. Harapan dan ilusi ini diperkuat oleh kesuksesan negara-negara yang menerapkan demokrasi seperti Amerika Serikat serta beberapa negara Eropa dalam pembangunannya. Selanjutnya demokrasi tak lagi menjadi sekadar alat, tetapi sudah berubah menjadi sebuah tujuan. Sayangnya tak semua negara berhasil menjadi makmur dengan menerapkan demokrasi. Banyak studi menunjukkan bahwa penerapan demokrasi, terutama pascapemerintahan otoriter, justru menimbulkan situasi kacau yang menyengsarakan rakyat melebihi kadar kesengsaraan di bawah pemerintah otoriter tadi. Walau masih bisa diperdebatkan, kondisi negara kita saat ini adalah sebuah contoh yang paling dekat. Empat sampai lima tahun terakhir ini kita sudah menerapkan prinsip- prinsip demokrasi dalam pengelolaan negara, namun rakyat tidak merasakan banyak hal yang lebih baik dibanding di era Soeharto yang otoriter. *** Jarang disadari bahwa demokrasi bukanlah sebuah cek kosong yang bisa kita tulis semau kita. Artinya kesejahteraan (yang dijanjikan demokrasi) tidak otomatis terwujud ketika sebuah pemerintah dibentuk dan dijalankan secara demokratis. Yang kemudian lebih menentukan tercapai atau tidaknya kesejahteraan adalah strategi pembangunan yang benar. Dengan kata lain, semboyan demokrasi 'suara rakyat adalah suara Tuhan' tak selalu benar, kalau kita percaya bahwa suara Tuhan menghendaki kesejahteraan untuk umat manusia. Di negara-negara maju, rakyat yang memberikan suara dalam pemilu umumnya adalah mereka yang mampu menilai strategi itu. Mereka juga mampu memahami parameter untuk mengukur gagal atau suksesnya pemerintah yang berkuasa dalam menciptakan, mempertahankan, atau memperbaiki kesejahteraan rakyat. Karena itu, naik turunnya penguasa sangat ditentukan oleh sukses atau gagalnya mereka dalam hal itu. Tak berlebihan kiranya kalau disebut bahwa situasi ini adalah prasyarat bagi suksesnya demokrasi dalam mewujudkan kesejahteraan. Prasyarat ini sayangnya tidak terpenuhi pada banyak negara berkembang yang mencoba menerapkan demokrasi, termasuk negara kita. Dua pemilu legislatif kita yaitu tahun 1999 dan 2004 ini, yang disebut-sebut sebagai pemilu paling demokratis dalam sejarah, menghasilkan Golkar dan PDIP sebagai peraih suara terbanyak. Padahal, kedua partai ini secara logis tidak menjanjikan sesuatu yang konkret terhadap kesejahteraan rakyat. Golkar adalah salah satu pilar penyokong kekuasaan otoriter Presiden Soeharto selama beberapa dekade. Kekuasaan itu kemudian tumbang, dan pemilu demokratis pada tahun 1999 adalah antitesanya. Tetapi, ironis, dalam pemilu ini Golkar masih mampu menempati posisi kedua dalam perolehan suara, yang memberikan tiket kepada para politikusnya untuk terlibat banyak dalam menentukan arah kebijakan. Sementara itu, PDIP yang meraih suara terbanyak juga tidak memperoleh kemenangannya dengan modal program yang benar. Akibatnya, pemerintah dengan unsur PDIP sebagai basis utamanya tidak menunjukkan prestasi yang memuaskan. Kita tidak melihat adanya kebijakan yang memberikan harapan fundamental terhadap masa depan bangsa yang telah diambil oleh pemerintahan itu selama berkuasa. Sungguhpun begitu, kedua partai ini kembali menempati posisi dua besar dalam pemilu yang baru lalu, meskipun terjadi penurunan perolehan suara yang cukup signifikan. Ini adalah ironi dalam logika demokrasi yang dijelaskan di muka. Berbagai analisis menunjukkan bahwa preferensi pemilih kita tidak ditentukan alasan-alasan logis seperti kejelasan platform dan program, namun oleh alasan-alasan emosional. Yang terakhir ini ternyata lebih mudah direkayasa melalui jaringan organisasi partai yang kebetulan merupakan keunggulan kedua partai itu. *** Ini menunjukkan bahwa demokrasi kita adalah demokrasi semu, demokrasi yang bermutu rendah. Demokrasi seperti ini mustahil untuk diharapkan dapat mewujudkan cita-cita kesejahteraan seperti yang telah dicapai oleh negara-negara maju. Lalu, bagaimana masa depan demokrasi kita? Banyak pihak yang mencoba memberi toleransi dengan berbagai apologi. Salah satunya dengan menyatakan bahwa kita masih berada dalam masa transisi menuju demokrasi yang hakiki. Artinya, kita bisa berharap bahwa keadaan akan jadi lebih baik seiring dengan berjalannya waktu. Sayangnya tidak ada jaminan untuk itu. Juga tidak ada jaminan bahwa pemerintah yang terpilih secara demokratis sekarang ini tidak secara perlahan berevolusi menjadi pemerintah yang otoriter sebagaimana dua kali terjadi dalam sejarah kita. Karena itu, kita tidak boleh merasa puas dengan telah terselenggaranya pemilu secara demokratis. Pembangunan demokrasi kita harus menyentuh hal yang lebih fundamental, yaitu perilaku pemilih. Pemilih harus dididik untuk lepas dari pengaruh nonrasional terhadap preferensi pilihan mereka. Ini akan membutuhkan tenaga yang besar serta waktu yang panjang mengingat pengaruh nonrasional itu sudah demikian lama dominan dalam budaya politik kita. ***. |
____________________________________________________ Berhenti/mengganti konfigurasi keanggotaan anda, silahkan ke: http://groups.or.id/mailman/options/rantau-net ____________________________________________________