----- Original Message -----
From: ijp
Sent: Monday, December 10, 2001 7:19 PM
Subject: Fw: Uda Soni : PT SP

Oii, pasie, koq ndak nongol jawaban aden ko. Heran, den, dibueknyao....
 
  
===================

 
Jawaban Saya untuk Uda Soni...
 
IJP
 
=====
  
----- Original Message -----
From: ijp
Sent: Monday, December 10, 2001 1:41 PM
Subject: Re: [RantauNet] Uda Soni : PT SP

Uda Soni dan Rantauers
 
Assalamu'alaikum Wr Wb
 
Terima kasih atas pandangan Uda Soni atas komentar pendek saya.
 
Uda Soni, kita memang harus melihat kepentingan asing secara lebih berimbang. Bagaimanapun, program seperti Marshall Plan juga masuk ke Jerman (Barat) dan Jepang pasca Perang Dunia II. Kedua negara itu toh berhasil menjadi negara maju, yang menempati puncak piramida ekonomi, sebagaimana tergabung dalam G-7. Artinya apa? Bantuan asing apabila digunakan dengan baik, terukur, dan dilandasi oleh kepentingan yang lebih besar, justru terbukti mampu mengangkat perekonomian negara yang dibantu.
 
PT Semen Padang awalnya juga perusahaan Belanda yang menjajah Indonesia. Ketika itu hubungannya antara yang terjajah dengan yang menjajah. Setelah merdeka, hubungannya adalah sesama negara merdeka. bagaimana bisa kemudian negara ini terpuruk, sementara negara-negara lain tidak? Kepentingan modal (kapitalisme dalam skala luas) memang ingin melipat-gandakannya. Tetapi tak masuk diakal, apabila kapitalisme justru berkepentingan dengan tumbuhnya negara-negara miskin di berbagai penjuru dunia. Kenapa? Ketika banyak negara menjadi miskin, justru modal tak bisa lagi dikembangkan disana, dan lama-kelamaan menggerogoti kapitalisme sendiri.
 
Maaf, saya tak bicara soal Cemex secara khusus, karena dalam soal ini saya melihat banyak kejanggalan, sejak awal. Yang saya ingin garisbawahi dari pernyataan Uda Soni adalah:
 
".......Kemudian dilihat dari sudut TNC, tentu tidak akan terlalu sulit bagi Bung untuk memahami bahwa sesungguhnya tidak ada penerima suap jika tidak ada penyuap. Nah, dalam berbagai praktik korupsi di Indonesia, tidak pernahkah terpikir oleh Bung bahwa sesungguhnya TNC sekelas Freeport, Monsanto, Caltex, dan Cemex itulah yang paling besar suapnya kepada para pejabat Indonesia....."
 
Iya, betul, setuju. Tetapi apakah dengan hanya menunjukkan hal ini persoalan menjadi selesai? Orang-orang yang berkategori menerima suap itu justru sekarang banyak yang berlindung dibalik issue Semen Padang!!! Bukankah mereka dulu adalah pejabat-pejabat negara di Jakarta? Tidak akan mungkin persoalan korupsi bisa diselesaikan oleh orang yang masih diragukan apakah bersih dari  korupsi atau tidak. Ini saja secara moral dan etika sudah janggal.
 
Lihatlah, apakah yang berteriak di Padang itu orang-orang miskin? Ataukah mereka adalah orang-orang yang kita kenal juga dulunya sebagai penghamba Cendana dan Jakarta? Saya punya kakak sepupu, seorang pejabat di Pemda Sumbar. Hampir tiap bulan dia ke Jakarta, seminar ini, seminar itu. Dalam setiap pergantian presiden, dia selalu hadir. Dari dialah saya tahu, bagaimana watak pejabat-pejabat di ranah Minang, juga lewat pengalaman tentunya. Lihat itu tender-tender pemerintah, pasti jatuh ke anak-anak pejabat, atau anak jenderal, di Sumbar. Dan patut diingat, bahwa proyek-proyek itu sebagian dibiayai oleh utang luar negeri.
 
Yang saya ingin katakan adalah, persoalan korupsi lebih merupakan persoalan dalam negeri, ketimbang luar negeri. Menyalahkan luar negeri saya kira hanyalah metode pencarian kambing hitam. Bulan lalu ada program penghapusan utang dari pemerintahan Jerman, dengan ganti program-program pemberdayaan masyarakat miskin. tetapi apa lacur? Sampai sekarang  tak ada satupun proposal yang masuk!!! Kenapa? Karena harus bekerja keras, lalu harus mengawasi sendiri programnya, tetapi tanpa bantuan keuangan seperti dulu. Jerman sudah mau berubah, juga negara-negara lain, sedangkan pejabat dalam negeri tak berubah. Korupsi bukannya menjadi makin kecil, malah makin membesar.
 
Kasus lain, soal JPS. Sebagian bukan utang. Tetapi apa lacur? Hampir 90%-nya dikorupsi, termasuk oleh NGO-NGO dan Pemda di Sumbar. Buktinya, baca laporan media massa, juga lihat busung lapar di Sumatera Barat yang dicoba ditutup-tutupi oleh Pemda. lalu apa kepentingan asing dalam soal ini? Lha, mereka kan hanya kasih bantuan, sama dengan kita bantu pengungsi Afghanistan. Nah, ketika bantuan itu dikorupsi, apa asingnya yang bersalah? Ya, sudah, tinggal bilang saja: tolak segala bantuan asing. Go to hell with your aid!!!!
 
Bahkan untuk bantuan kemanusiaanpun dikorupsi!!! Apa pihak asing harus membiarkan kita mati dulu dalam bencana, karena takut nanti mereka dituduh membiarkan korupsi? Atau justru persoalan korupsi ini dahulu yang harus kita selesaikan, pertama dengan menyingkirkan pelaku politik dan ekonomi masa lalu (yang sekarang berdiaspora ke daerah), kedua, menyelesaikan berbagai aturan main, ketika; menghukum pelaku kejahatan ekonomi-politik masa lalu, baru keempat, membangun kembali Indonesia dengan orang-orang dan aturan main baru.
 
Kalau Uda Soni mengatakan ini:
 
"....Bung Indra, rangaian pernyataan saya tersebut bukanlah sekedar upaya untuk mengidealisasikan perjuangan spin-off. Tapi hal itu benar-benar saya utarakan secara terbuka kepada hampir semua pihak yang terlibat dalam perjuangan ini. Artinya, saya hanya akan mendukung perjuangan spin-off sejauh dilandasi pada niat untuk menyelamatkan harta rakyat dari para maling. Pernyataan ini saya kemukakan kepada orang-orang seperti Harun Zain, Azawar Anas, Aisyah Amini, Fahmi Idris, Gubernur Sumbar, Dewan Komisaris PT SP, Direksi PT SP, serta para ninik mamak dan alim ulama....."
 
Saya koq menjadi ragu, ya? Orang-orang yang Uda Soni sebut itukan dulu yang bekerja untuk Cendana, punya usaha banyak, menjadi pejabat pemerintah (pejabat negara dalam kategori Uda Soni sendiri termasuk yang kena suap oleh penyuap asing). Saya koq menjadi semakin pesimis, apakah kita bisa bekerja untuk rakyat, atau justru kita bekerja untuk melindungi orang-orang dahulu, yang kaya raya itu? Apakah yang kita lindungi memang masyarakat, atau orang per orang yang beruntung dimasa Orde Baru? Maaf, Uda Soni, saya dari dulu memang tak suka dengan nama-nama yang Uda Soni sebutkan. Saya dari dulu tak pernah mendapat manfaat apapun dari mereka. Makanya saya tak pernah berutang budi pada mereka.
 
Sebab, sebagian besar dari usaha mereka juga dengan cara memanfaatkan utang, baik utang asing, atau berutang ke bank-bank pribumi, yang kemudian bangkrut itu. Siapa yang menjarah hutan-hutan Mentawai? Siapa yang bertanggungjawab atas rusaknya jalan-jalan di Minang karena dikorupsi? Siapa yang menyebabkan bantuan untuk anak-anak kelaparan tak sampai ke anak-anak itu? Siapa yang makan dana-dana JPS? Siapa yang menyebabkan industri rumah tangga di Minang hancur lebur? Siapa yang mau bertekuk-lutut pada kebijakan penghapusan nagari, lalu sekarang bersyukur atas kembalinya konsep nagari ketika orang sudahmelupakannya? Orangnya itu-itu saja.
 
 
Pernyataan Uda Soni ini mengganggu saya:
 
".....Perlu Bung garis bawahi, BUMN itu adalah perusahaan publik, dalam arti perusahaan seluruh rakyat Indonesia. Sebab itu ia tidak memerlukan go publik. Penerapan konsep go public terhadap BUMN adalah sebuah pemutabalikan fakta. Sebab yang terjadi sesungguhnya adalah proses go privat. Nah, saya, bung, dan sanak RN lainnya, perlu menjamin agar proses peralihan perusahaan publik menjadi perusahaan privat itu tidak dilakukan dengan cara merampas....."
 
BUMN kan perusahaan negara. Negara, selama Orde Lama adalah Soekarno, dan selama Orde Baru adalah Soeharto. Negara juga bisa berarti jenderal-jenderal, menteri-menteri, pejabat-pejabat, serta rekanan pengusaha pribumi dan asing mereka. Saya koq tak melihat mereka itu "publik". Selama konsep negara adalah saya, negara adalah Cendana, negara adalah Megawati, maka tak ada publik didalamnya. Publik hanya dikooptasi secara politik. Kalau kemudian BUMN go publik, idealnya kan orang seperti saya bisa menanamkan modal di BUMN itu, bisa memegang selembar dua lembar saham. Dan itu berarti publik ikut bertanggung-jawab, yakni publik yang punya saham tentunya, apakah perusahaan merugi atau tidak, kinerjanya baik apa tidak. Dan negara tak harus disalahkan lagi, kalau sudah go publik 100%, kalau ada kehancuran di perusahaan itu. perusahaan menjadi milik privat-privat (privat + privat = public).
 
Yang dipermasalahkan sebetulnya adalah privat pribumi atau privat asing, agar jangan terkesan new imperealisme kalau privat asing yang punya. Tetapi, logikanya, kalau privat pribumi sanggup, punya uang, ya, privat asing tak akan bisa masuk. Atau, kalau memang tak ingin perushaan jatuh ke tangan privat asing, sementara belum punya modal untuk membiayai perusahaan, ya, matikan saja perusahaannya. Biarkan PT SP, misalnya, jadi rangka besi, karena tak ada pemodal dalam negeri, tak ada uang negara mengungat negara miskin. Sederhana saja, saya kira.
 
Untuk point ini:
 
"...Sebagai penutup Bung Indra, perlu Bung ketahui bahwa kawan FHB yang bernama Didik Rachbini, yang sangat getol mencerca masyarakat Sumbar, pada saat yang sama adalah anggota KPPU yang merangkap sebagai anggota dewan komisaris PT Pelindo II, dan anggota Oversight Committee BPPN. FHB, selain pernah duduk menjadi anggota Ombudsman BPPN (kemudian mengundurkan diri), saat ini juga duduk sebagai anggota KPPU...."
 
Sebagai informasi: Didik J. Rachbini adalah komisaris Angkasa Pura, bukan Pelindo II. Didik juga Ketua DPP PAN, bidang Litbang, yang menggantikan FHB. (Bagaimana bisa sesama orang DPP PAN, antara Patrialis Akbar dengan Didik-- Juga dengan Bambang Sudibyo, mantan Menkeu, yang juga orang kepercayaan Amien Rais dan gagal menjadi Menkeu Kabinet Mega-- berbeda pendapat soal PT SP? Didik dan Bambang adalah ekonom DPP PAN, sedangkan Patrialis adalah anggota DPR asal Padang).
 
Soal FHB, saya keberatan dengan informasi Uda Soni.  FHB tidak pernah menjadi anggota Ombudsman BPPN, dan tidak pernah mengundurkan diri. FHB memang pernah dikirimin surat kesediaan oleh Cacuk Sudarjanto, akan tetapi karena salah satu klausulnya adalah "...agar tak memberikan keterangan apapun dalam BPPN ke umum...", FHB marah-marah. "Bagaimana kalau BPPN korupsi, masak saya tak cerita?" katanya. Kebetulan, saya yang menerima surat itu (waktu itu saya masih asisten FHB), dan FHB merobek surat itu. Nah, perihal uang Rp. 120 Juta yang dikembalikan ke BPPN, nyatanya masuk ke rekening BNI, sedangkan FHB jarang membuka rekening itu, karena memang menyimpan uangnya di Bank Muamalat. (Salah satu wawancara FHB yang pernah saya baca dengan keras menyebut bank sebagai riba! makanya, FHB tak pernah punya rekening bank, kecuali ketika ada kewajiban seluruh dosen FEUI pake rekening, karena gaji ditrasfer) Rekening BNI hanya untuk terima gaji di FEUI (sebelum mundur dan status quo). Kebetulan yang mengembalikan uang sebesar Rp. 120 Juta itu saya, saya yang tanda-tangan di BPPN, sebagai wakil pihak FHB. Kenapa orang BPPN tahu nomor rekening FHB, karena memang ketika awal, BPPN sering mengadakan diskusi dengan kalangan ekonom, yang honornya sebesar Rp. 750.000,- per pertemuan. FHB hadir beberapa kali.
 
Soal tulisan di Kompas, kalau Uda Soni baca lagi, kan menjelaskan bahwa soal win-win solution itu nyatanya nggak win-win. Sebab, pemerintah pusat dan daerah sama-sama rugi. FHB menawarkan sejumlah cara, yang baru dalam tahap wacana. Setahu saya, FHB memang pernah diminta oleh seseorang untuk menulis soal Cemex, dengan bayaran Rp. 10 Juta. (Saya diceritakan oleh teman saya, yang juga orang Padang, yang termasuk setuju FHB menulis). FHB, setahu saya, menolak tawaran itu, dengan caranya: bepergian kemana-mana. Soalnya, sungkan sama orang yang meminta, karena satu partai!!!! 
 
Uda Soni kan juga pernah diceritakan FHB soal uang "satu koper kecil" yang diterima Amien Rais kan? Bukannya Uda Soni yang mengatakan soal ini dalam seminar di Yogya itu, lalu berbuntut pada konflik-konflik di DPP PAN? Dalam soal ini, bagi saya, analisa Uda Soni bukan kepada tulisannya, tetapi kepada informasi yang tak lengkap soal FHB.
 
Maaf, kalau saya menulis agak panjang.
 
Wassalamu'alaikum Wr Wb
 
IJP 
----- Original Message -----
Sent: Thursday, December 06, 2001 11:38 PM
Subject: Re: [RantauNet] Uda Soni jo Uda Dakhtar, dll: PT SP

Bung Indra yang baik,
 
Assallamualaikum Wr. Wb.,
 
Terima kasih yang sebesar-besarnya atas sumbangsaran anda terhadap persoalan privatisasi PT SMGR yang sedang membelit negeri ini. Berikut tanggapan saya terhadap sumbangsaran tersebut, serta terhadap beberapa bagian tulisan FHB yang Bung lampirkan:
 
Pertama, saya 100% setuju dengan Bung dan sanak-sanak RN lainnya bahwa persoalan korupsi adalah persoalan akut yang membelit Indonesia. Sebab itu, segala upaya untuk mencegah dan menangulangi korupsi perlu mendapat prioritas dalam rangka memulihkan kondisi sosial dan ekonomi bangsa ini. Walau pun demikian, terus terang saya keberatan jika persoalan korupsi yang dihadapi bangsa ini dipandang sebagai persoalan yang sama sekali terpisah dari persoalan eksploitasi yang dilakukan oleh kekuatan modal internasional, baik melalui lembaga-lembaga multilateral seperti Bank Dunia, IMF dan ADB, maupun melalui perusahaan-perusahaan TNC seperti Freeport, Caltex, Cemex dan lain sebagainya.
 
Dilihat dari sudut lembaga-lembaga keuangan multilateral, tentu Bung tahu bahwa kerjasama antara Indonesia dengan lembaga-lembaga tersebut telah berlangsung selama lebih dari 30 tahun. Artinya, melalui kerjasama selama itu, mustahil lembaga-lembaga itu tidak mengetahui bahwa korupsi sangat merajalela di Indonesia. Tetapi apa yang terjadi, selama lebih dari 30 tahun lembaga-lembaga itu tiada putusnya menyokong Indonesia. Tidakkah pernah terpikir oleh Bung, bahwa masalah korupsi yang dihadapi Indonesia pada dasarnya adalah sebuah masalah yang bersifat transnasional, dalam arti melibatkan pula lembaga-lembaga keuangan multilateral tersebut?
 
Belakangan lembaga-lembaga keuangan multilateral itu memang berlagak sok suci dengan menyokong program-program good governance di Indonesia. Saya kira tindakan mereka itu tidak lebih dari upaya cuci tangan terhadap kesalahan-kesalahan yang telah mereka lakukan sebelumnya. Bung mungkin ada baiknya membaca sebuah artikel di New York Times yang mengungkapkan adanya upaya sengaja dari lembaga-lembaga keuangan multilateral itu untuk mengekspose habis-habisan isu korupsi sebagai upaya mereka untuk menghindar dari kegagalan mereka. Agar kita lebih proporsional dalam melihat persoalan ini, mungkin ada baiknya Bung buka kembali berbagai pujian yang sebelumnya pernah dilontarkan Bank Dunia terhadap keajaiban ekonomi Indonesia.
 
Kemudian dilihat dari sudut TNC, tentu tidak akan terlalu sulit bagi Bung untuk memahami bahwa sesungguhnya tidak ada penerima suap jika tidak ada penyuap. Nah, dalam berbagai praktik korupsi di Indonesia, tidak pernahkah terpikir oleh Bung bahwa sesungguhnya TNC sekelas Freeport, Monsanto, Caltex, dan Cemex itulah yang paling besar suapnya kepada para pejabat Indonesia. Jangnkan itu, PM Jepang pun pernah jatuh karena terkena Skandal Lockheed.
 
Nah Bung, dalam konteks kemelut PT SMGR, sesungguhnya perlu pula dipertimbangkan kemungkinan sudah beredarnya berbagai tawaran suap dari Cemex terhadap para penguasa di Jakarta. Bahkan, sejauh informasi yang saya punya, sesungguhnya sudah tidak sedikit tawaran suap yang diluncurkan oleh Cemex dan para penguasa di Jakarta kepada para pemuka masyarakat di Sumbar, baik terhadap Gubernur, anggota DPRD, anggota Dewan Komisaris dan Direksi PT SP, serta terhadap pemuka-pemuka masyarakat lainnya, termasuk kaum intelektual.
 
Gubernur dan para anggota DPRD Sumbar misalnya, pernah ditawari oleh Cemex untuk berkunjung ke Mexico. Sedangkan lembaga Gebu Minang, kalau tidak salah, sudah terlanjur menerima kredit dari Citibank atas jaminan deposito dari PT SMGR. Jadi Bung Indra, bahwa hingga sejauh ini berbagai komponen masyarakat Sumbar yang mendukung spin-off masih teguh pada pendiriannya untuk menolak put-option, saya kira patut dipertimbangkan sebagai pertanda belum mempannya berbagai tawaran suap Cemex dan para penguasa Jakarta itu di ranah Minang.
 
Perlu saya tambahkan, menurut sepengetahuan Bung, dimanakah selama ini para pejabat Indonesia yang korup itu menyimpan uangnya? Bukankah di Bank-bank yang terdapat di Swiss, Luxemburg, London, atau di Caymen Island. Nah, bukankah Bank-bank seperti the Bank of Switzerland, Citibank, Chase Manhathan Bank, Deutch Bank itulah yang selama ini cenderung kita pandang sebagai bank yang menghormati good corporate governance. Ah, Bung, jika tidak karena memutar uang panas mana mungkin bank-bank itu bisa tumbuh menjadi bank besar di dunia. Artinya, kita perlu berhati-hati terhadap standard ganda yang ditampakkan oleh masyarakat dan lembaga-lembaga internasional itu. Menurut saya, mereka itu tidak lebih dari musang berbulu ayam.
 
Kalau kita bekerja diperusahaan-perusahaan itu, mungkin benar gaji kita akan lebih tinggi dari gaji diperusahaan lain. Tapi perlu diingat, atas dasar pengurbanan siapakah sesunguhnya gaji tinggi itu kita peroleh? Bung, saya lahir dan dibesarkan sebagai anak buruh dalam lingkungan PT Caltex. Dan saya hanya bisa melanjutkan studi saya ke PT berkat memperoleh beasiswa dar perusahaan tersebut. Sebagai juara pertama penerima beasiswa itu, lebih-lebih setelah lulus dari UGM, saya kira akan sangat mudah bagi saya untuk diterima bekerja di sana. Tapi sejak semula saya sudah bertekad untuk tidak bekerja di sana. Tidak juga di Citibank, di BNI, atau di Dirjen Perpajakan. Bung tentu bisa menangkap maksud saya bahwa sesungguhnya menjadi manusia merdeka jauh lebih berharga daripada sekedar menerima gaji besar.
 
Kedua, sebab itu Bung Indra, upaya memerangi kapitalisme kasino harus berjalan berbarengan dengan upaya memerangi korupsi. Artinya, dalam konteks perjuangan spin-off, tolong perjuangan ini tidak dilihat sebagai peperangan antara maling-maling lokal melawan maling-maling internasional. Lebih celaka lagi, tolong perjuangan spin-off jangan dilihat sebagai perjuangan yang berdimensi kedaerahan. Disinilah saya kira FHB melakukan kesalahan fatal.
 
Bagi saya, di atas segala-galanya, perjuangan spin-off adalah perjuangan menyelamatkan kekayaan rakyat dari rampasan para maling, baik maling-maling lokal, nasional, maupun maling internasional. Artinya, nomor satu selamatkan dulu harta publik itu agar tetap menjadi harta publik. Kalau toh harus dialihkan menjadi harta privat, maka hal itu hendaknya dilakukan atas partisipasi publik seluas-luasnya, yaitu berdasarkan Undang-undang. Jadi UU bukanlah instrumen untuk memudahkan privatisasi, melainkan untuk melindungi harta rakyat dari perampokan pihak manapun.
 
Perlu Bung garis bawahi, BUMN itu adalah perusahaan publik, dalam arti perusahaan seluruh rakyat Indonesia. Sebab itu ia tidak memerlukan go publik. Penerapan konsep go public terhadap BUMN adalah sebuah pemutabalikan fakta. Sebab yang terjadi sesungguhnya adalah proses go privat. Nah, saya, bung, dan sanak RN lainnya, perlu menjamin agar proses peralihan perusahaan publik menjadi perusahaan privat itu tidak dilakukan dengan cara merampas.
 
Bung Indra, rangaian pernyataan saya tersebut bukanlah sekedar upaya untuk mengidealisasikan perjuangan spin-off. Tapi hal itu benar-benar saya utarakan secara terbuka kepada hampir semua pihak yang terlibat dalam perjuangan ini. Artinya, saya hanya akan mendukung perjuangan spin-off sejauh dilandasi pada niat untuk menyelamatkan harta rakyat dari para maling. Pernyataan ini saya kemukakan kepada orang-orang seperti Harun Zain, Azawar Anas, Aisyah Amini, Fahmi Idris, Gubernur Sumbar, Dewan Komisaris PT SP, Direksi PT SP, serta para ninik mamak dan alim ulama.
 
Sebab itu, Bung, saya sesungguhnya sangat membutuhkan dukungan dari sebanyak mungkin pihak, untuk bersama-sama menyelamatkan harta rakyat itu dari rampasan para maling. Pada tahap pertama, privatisasi harus dibatalkan. Pada tahap kedua, maling-maling Jakarta harus dibongkar dan diadili. Pada tahap ketiga, rakyat Sumbar secara bersama-sama harus membersihkan PT SP dari maling-maling lokal.
 
Nah, sehubungan dengan tuntutan masyarakat Lubuk Kilangan, saya kira persoalan ini akan dapat kita selesaikan dengan mudah jika PT SP yang perusahaan rakyat itu dikelola oleh penguasa dan para direksi yang benar-benar memiliki hati nurani. Tapi apa mau dikata Bung, justru ditengah-tengah saya melontarkan gagasan tersebut, termasuk dihadapan pimpinan masyarakat Lubuk Kilangan, sang ketua masyarakat Lubuk Kilangan Sdr Basril Bashar, serta merta membuat pengakuan publik di dalam pertemuan tersebut bahwa dalam waktu dekat ia akan berangkat ke Jakarta untuk menerima dana dari Cemex sebesar Rp500 juta. 
 
Walau pun pernyataan itu dibuatnya dengan permohonan agar ia tidak dituduh sebagai pengkhianat, tapi bagi saya pengakuan itu adalah bukti telanjang bahwa sebagai maling Cemex ternyata telah membayar persekot terlebih dulu kepada warga Sumbar.
 
Bertolak dari kenyataan itu, maka manfaat PT SP bagi bangsa Indonesia dan rakyat Sumbar, saya sangat tergantung pada sejauh mana setiap orang yang benar-benar ingin memerangi berbagai bentuk perampokan bersedia berjuang bersama-sama dengan landasan keyakinan bahwa sesungguhnya kita mampu menyelamatkan bangsa ini, tanpa harus menghamba kepada bangsa lain, tanpa harus diintervensi oleh IMF dan Bank Dunia, dan tanpa harus melego perusahaan rakyat kepada kekuatan modal internasional.
 
Sebagai penutup Bung Indra, perlu Bung ketahui bahwa kawan FHB yang bernama Didik Rachbini, yang sangat getol mencerca masyarakat Sumbar, pada saat yang sama adalah anggota KPPU yang merangkap sebagai anggota dewan komisaris PT Pelindo II, dan anggota Oversight Committee BPPN. FHB, selain pernah duduk menjadi anggota Ombudsman BPPN (kemudian mengundurkan diri), saat ini juga duduk sebagai anggota KPPU.
 
Menurut Bung masih bisakah kita percaya kepada omongan orang-orang yang secara resmi duduk sebagai anggota Komisi Pengawas Persaingan Usaha, tetapi pada saat yang sama merangkap banyak jabatan dan memihak pada kepentingan konglomerat hitam Mexico, Cemex SA de CV. Ah, kalau Lie Chin Wei dan Syahrir tidak usah ditanya. Bukankah mereka para pemain di pasar modal? Jangan-jangan mereka sudah terlanjur mengantongi saham PT SMGR dengan harapan menangguk untuk secara mudah seandainya put-option berlangsung secara mulus. Wallahualam bish'awab.
 
Wassallamualaikum Wr. Wb.
 
Revrisond Baswir
 
PS. Tolong dibaca tulisan saya "Menggugat Penjarahan Jakarta"
 

Kirim email ke