Kalau dibaco,
Kalau dipikia,
Kalau di inok inok i,
Urang minang dulu hebat hebat kalau dibandiang jo jamannyo.

Tapi baa kini kok makin memprihatinkan.
Cubo kalau dulu pendidikan agamo dinusantara berkiblat ka
urang awak.
Kiniko yang ngetop pondok pesantren di jawa.
Kalau dulu pengarang terkenal dari urang awak, tapi kini
sudah indah dikenal lai doh
Kalau dulu banyak media yang bapangaruah dari urang awak,
tapi indak lamo lai mungkin urang awak labiah banyak ba
kiblat ka Riau Pos.

Manuruik ambo mungkin sajo, SDM awak yang santiang santiang
jo nan canggih canggih alah manjadi aset urang lain,
sahinggo nagari awak manjadi maranggeh sarupo kini ko.



On Fri, 22 Mar 2002 03:56:38 -0800
 "Indra Piliang" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>       Suratkabar Minang
> 
>       Konfigurasi pemikiran yang menakjubkan.
> 
>       Oleh: KHAIRUL JASMI
>      
>       ERS Sumatra Barat adalah pers yang relatif tua.
> Pada 1859, atau 25 tahun seusai Perang Paderi, perang
> yang melibatkan orang Minang melawan Belanda, terbit
> suratkabar bernama Sumatera Courant di Padang. Meski
> suratkabar ini lahir sebelum abad XX, tapi dinamika
> persuratkabaran di sana baru terasa pada awal abad XX
> hingga menjelang kemerdekaan Indonesia. 
> 
>       Sejumlah nama penting dalam dunia jurnalisme masa
> itu antara lain: Mahyuddin Datoek Soetan Maharadja,
> Rohana Kudus, Sa'adah Alim, Abdullah Achmad, dan
> Adinegoro serta Hamka pada generasi berikutnya. Tercatat
> pula nama yang tak kalah pentingnya, Achmad Chatib,
> pemilik suratkabar Djago Djago dan Pemandangan Islam. 
> 
>       Sejak 1859 sampai kemerdekaan, tercatat 81
> penerbitan di Minangkabau. Sejak kemerdekaan hingga kini
> tercatat 41 suratkabar, termasuk 23 yang terbit setelah
> jatuhnya presiden Soeharto. Daftar panjang suratkabar ini
> jadi bukti sejarah bahwa Minangkabau telah lama akrab
> dengan teks dan kata-kata. 
> 
>       Kepiawaian menulis atau mengeluarkan pendapat
> berpendaran di halaman-halaman suratkabar. Media massa
> jadi sarana melancarkan perbincangan dan polemik.
> Mula-mula tentang kebangkitan Asia, Jepang, lalu format
> masa depan negara. Tak luput juga tentang bagaimana agama
> Islam seharusnya dipahami dan dijalankan. Pesertanya kaum
> tua dan muda. Perdebatan agama inilah yang malah
> berlangsung tajam.
> 
>        
>       Di masa Datuk Soetan Maharadja yang lebih dikenal
> dengan sebutan Datuk Bangkit, Pelita Ketjil mengambil
> peran yang luas dalam isu tadi. Pelita Ketjil, seperti
> terbaca dalam buku Propinsi Sumatera Tengah, adalah koran
> yang terbit pertama kali pada 1882 dan dipimpin H.A.
> Mess, seorang Belanda Indo, lalu B.A. Dosseau, dan
> terakhir dipimpin Datuk Soetan Maharadja. Datuk, seperti
> dicatat B. Schrieke dalam buku Pergolakan Agama di
> Sumatera Barat, Sebuah Sumbangan Bibliografi (1973),
> mengarahkan penanya kepada ulama Syekh Achmad Chatib. 
> 
>       "Kita orang Minangkabau harus mengusahakan jangan
> sampai kita kehilangan kemerdekaan kita dengan
> menyerahkan diri kepada orang-orang Mekkah. Bukankah
> negeri Minangkabau yang indah ini dengan wanita-wanitanya
> yang cantik ini sendiri sudah merupakan taman firdaus
> dibandingkan dengan Arab yang panas terik, di mana kaum
> lemah (yang kurang cerdas) secara tepat memakai kudung,"
> tulis Datuk. 
> 
>       Pada saat itu suratkabar Pelita Ketjil memiliki
> koresponden di Mekkah, yang otomatis mengirimkan berita
> perkembangan Islam di sana. 
> 
>       Bapak jurnalisme Melayu ini mengkal benar hatinya
> membaca tulisan Syekh Achmad Chatib, pemimpin redaksi
> suratkabar Pemandangan Islam dan Djago-Djago, yang
> menyerang para penganut garis keturunan matriarkat,
> sesuatu yang lazim di Minangkabau. Syekh Achmad Chatib
> mengatakan mematuhi hal itu sama halnya dengan mematuhi
> lembaga-lembaga kafir, yang berasal dari setan, dari
> Datuk Perpatih Nan Sabatang dan Datuk Ketumanggungan (dua
> tokoh legendaris Minangkabau). Matriarkat tak sesuai
> dengan ajaran Islam. Karena itu, katanya, seluruh
> perkawinan yang sudah terjadi di Minangkabau harus
> diulang. Harta pusaka tinggi, yang tak bisa
> diperjualbelikan dan diatur menurut garis ibu, yang
> dikuasai kemenakan harus dikembalikan kepada anak
> mamaknya. Jika tidak, sama halnya dengan merampas harta
> anak yatim. 
> 
>       Datuk Soetan Maharadja menulis dan membela kaum
> adat tak hanya dalam Pelita Ketjil, melainkan kemudian di
> Warta Berita, suratkabar yang didirikannya pada 1891.
> Tulisan-tulisannya juga muncul di Oetoesan Melajoe.
> Itulah contoh perdebatan para pemikir Minangkabau. 
> 
>       Pada 1900, di Padang terbit pula suratkabar
> Padanger, gabungan Sumatra Courant dan Nieuw Padangsch de
> Padanger Handelsblad. Setahun sesudahnya, kaum muda, para
> guru, dan pegawai bumiputra berpendidikan Barat
> melahirkan sebuah jurnal bernama Insoelinde. Mereka,
> golongan ini, yakin kemajuan harus dicapai melalui
> pendidikan modern. Mereka kurang suka pendidikan sekolah
> agama.
> 
>       Menurut Taufik Abdullah dalam bukunya, Shcools and
> Politics: The Kaum Muda Movement in West Sumatera
> (1927-1933), para pengasuh Insoelinde tergila-gila pada
> prestasi Jepang. Kata kuncinya: kaum muda, sekolah, dan
> politik. Jurnal ini memiliki koresponden dari seluruh
> Nusantara. Kebanyakan memuat artikel yang mendesak
> kemerdekaan Indonesia. Insoelinde juga membedah persoalan
> harta pusaka tinggi dan harta pusaka rendah, sebuah
> perdebatan yang hampir satu abad kemudian tetap menarik
> untuk dilakukan.
> 
>       Pusaka rendah dalam konsep adat Minangkabau ialah
> harta pencarian suami-istri yang diwariskan kepada
> anak-anak mereka. Adapun harta pusaka tinggi berupa harta
> yang diatur menurut garis keturunan ibu. Harta ini
> warisan turun-temurun dari nenek moyang sehingga tak
> boleh diperjualbelikan dan diwariskan kepada kemenakan
> (keponakan) dari garis ibu.
> 
>       Berbeda dengan Insoelinde, suratkabar Wasir Hindia
> serta Bintang Sumatera yang terbit pada 1903 memuat
> banyak artikel tentang kemajuan Asia terutama Jepang.
> Pada 1905 terbit pula Sinar Sumatera, disusul Warta
> Hindia pada 1908. 
> 
>       Oetoesan Melajoe muncul pada 1910, dan pada tahun
> berikutnya, Soenting Melajoe. Kedua suratkabar ini
> didirikan Datuk Soetan Maharadja, orang dari Sulit Air
> itu. 
> 
>       "Chauvinismenya sangat tinggi. Ia selalu
> membangkitkan semangat keminangkabauan orang Minang.
> Karena itulah ia digelari Datuk Bangkit," kata Kamardi
> Rais Datuk P. Simulie dari Persatuan Wartawan Indonesia
> Sumatra Barat. Datuk Kamardi Rais mengenal Datuk Bangkit
> lewat tulisan-tulisannya dan "sering bertanya pada yang
> tua-tua." 
> 
>       Oetoesan Melajoe berusaha membangun rasa bangga
> masyarakat Minangkabau atas keminangkabauan mereka. Hal
> ini tercermin dalam moto Oetoesan Melajoe: "Jang Poenja
> dan Jang Mentjitak Snelpersdrukkerij Orang Alam
> Minangkabau." Kedekatan hati Datuk Bangkit pada
> Minangkabau dan Melayu yang terpantul dalam
> tulisan-tulisannya, mungkin menjadi alasan Ph. S. Van
> Ronkel -seorang filolog dan pembuat katalog naskah Melayu
> lama- menggelarinya "Bapak Jurnalis Melayu." 
> 
>       Datuk Bangkit pernah juga terlibat polemik panjang
> dengan Sa'adah Alim, kelak jadi pemimpin redaksi Suara
> Perempuan, tentang pergaulan muda-mudi. Sa'adah ingin
> melihat dunia perempuan sebagai dunia yang tak dikekang
> terlalu erat. Sa'adah mengeluh betapa sulitnya seorang
> gadis hendak pacaran di Minangkabau. Datuk berpaham
> sebaliknya. Alasannya, pacaran itu tak sesuai dengan
> adat-istiadat. Wanita, apalagi seorang gadis, harus suci
> sehingga tak boleh bergaul terlalu bebas. 
> 
>       Isi tulisan Datuk Bangkit yang sangat memihak kaum
> adat membuat Abdullah Achmad, pendiri Yayasan Syarikat
> Oesaha Adabiah, terilhami menerbitkan suratkabar Al Munir
> pada 1911. Banyak orang pintar menulis di sana, antara
> lain Buya Rasul dan Syekh Muhammad Thaib dari Sungayang.
> Dua ulama ini tak saja menulis bagaimana menjalankan
> agama secara baik, tapi juga perkembangan pemikiran Islam
> di dunia. 
> 
>       Pada 1915, Al Munir pindah terbit di Padang Panjang
> dengan nama baru Al Munirul Mannar. Walau tirasnya kecil,
> jangkauannya luas sampai ke Malaysia. Ia jadi bacaan
> wajib kalangan ulama Minangkabau. 
> 
>       Tahun-tahun berikutnya, artikel yang muncul di
> suratkabar Padang lebih mengarah pada soal politik,
> khususnya semangat anti-Syarikat Islam. Malahan ada yang
> sampai pada kesimpulan bahwa Islam tak memerlukan
> Syarikat Islam lagi, padahal Syarikat Islam partai
> politik pertama di daerah ini dengan tokoh utamanya Abdul
> Muis, seorang intelektual muda. Banyak penghulu dan
> pegawai negeri yang menilai partai politik sebagai
> perusak otoritas pemerintah dan pendukung adat. 
> 
>       Setelah Padang, Padang Panjang mengambil peranan
> cukup penting dalam perdebatan agama, komunis, dan
> pembaharuan Islam. Hal serupa ternyata meluas ke
> kota-kota lain, seperti Padang Japang, Batusangkar,
> Sungayang, Maninjau, Parabek, dan Sulit Air. 
> 
>       Perdebatan tersebut melibatkan hampir semua ulama
> terkenal, sesuatu yang tak pernah lagi terjadi di alam
> kemerdekaan, berpuluh-puluh tahun kemudian. 
> 
>       Dari sekian banyak media cetak yang terbit pada
> awal abad ke-20, satu di antaranya media anak-anak Rantai
> Mas terbitan Indische National School Kayutanam. Empat
> suratkabar khusus perempuan juga meramaikan dunia
> persuratkabaran Sumatra ini, masing-masing Soenting
> Melajoe (1911) di Padang yang dipimpin Ratna Djuita yang
> akrab disapa Rohana Kudus, Soeara Perempuan (1919) yang
> dipimpin Sa'adah Alim, Soeara SKIS (Serikat Kaum Ibu
> Sumatra, 1938) di Padang Panjang yang dipimpin Encik
> Djusa'ir, serta Soera Poetri di Bukittinggi yang dipimpin
> Djanewar Djamil dan Sjamsidar Jahja. 
> 
>       Minat baca masyarakat di Sumatra Barat tak hanya
> tercermin melalui wajah penerbitannya sendiri, tapi juga
> kiriman buku-buku dari Timur Tengah. Semangat juang yang
> menggelora pun terlihat dari jumlah pemesan Indonesia
> Merdeka, suratkabar terbitan Perhimpunan Indonesia di
> Belanda. Dari 280 pelanggan Indonesia Merdeka di Hindia
> Belanda pada 1924, pelanggan tertinggi berada di Jawa
> Tengah sebanyak 68 orang dan Jakarta 45 orang. Sementara
> Sumatra Barat berada pada urutan ketiga dengan 37
> pelanggan, satu-satunya daerah di Indonesia, di luar
> Jawa, yang mengakrabi media cetak secara menakjubkan.
> 
>       Sebanyak 10 suratkabar di Padang memakai judul yang
> memikat dan menggelorakan roh perjuangan, seperti Pelita
> Ketjil, Djago-Djago, Boeka Mata, Soeloeh Melaju, Bintang
> Tionghoa, dan Perubahan. Dari 107 suratkabar dan majalah
> yang diterbitkan kaum terpelajar Indonesia -seperti
> dicatat B. Schrieke, penasihat pemerintah Belanda urusan
> bumiputera- suratkabar di Padang dan Semaranglah yang
> memakai nama-nama bernuansa perjuangan semacam itu. 
> 
>       Sumbangan suratkabar sebelum kemerdekaan terasa
> bernasnya. Mereka membangun masyarakat yang berpikir,
> menghargai pendapat, memberi ruang bagi pengembangan
> ide-ide. Tapi, pada periode berikutnya, mungkin karena
> medan perjuangan yang juga berbeda, kehadiran suratkabar
> dan majalah lebih berbicara pada rencana setelah
> kemerdekaan. Lambat-laun mereka masuk dalam
> kusut-masainya persoalan bangsa.
> 
>            
>             ENGAN rapi, Goenawan Mohamad -pemimpin
> redaksi majalah Tempo- menukilkan di kumpulan eseinya
> Catatan Pinggir I (1982): "Jangan Loepa! Djangan Laloe!
> Dan djangan maoe ketinggalan! Pemandangan Islam tersedia
> untuk membela Ra'jat yang melarat dan tertindas."
> 
>             Iklan itu tipikal Indonesia pada 1920-an yang
> resah, mengabarkan kelahiran sebuah suratkabar
> perjuangan. Ia dimuat 11 November 1923 dalam suratkabar
> perjuangan lain, yang namanya sampai kini tak tertirukan:
> Djago Djago.
> 
>             Yang menarik, baik Pemandangan Islam maupun
> Djago Djago membawa bendera Islam juga panji komunisme.
> Keduanya didirikan Achmad Chatib gelar Haji Datuk Batuah,
> orang Koto Lawas, yang bagi para ulama dan penghulu adat
> di Sumatra Barat waktu itu, mencengangkan sekaligus
> mencemaskan. 
> 
>             Djago Djago terbit tiga kali seminggu dan
> tampil sebagai bacaan yang keras. Kondisi rakyat yang
> melarat menjadi bahan propaganda di suratkabar ini.
> Sementara itu, Pemandangan Islam, tampil lebih ilmiah
> sebagai jurnal teoritis tentang komunisme Islam. 
> 
>             Achmad Chatib tokoh yang agresif. Ia murid
> Haji Rasul di Thawalib, Padang Panjang. Ia kemudian
> menjadikan Thawalib basis kegiatan politiknya, meski
> akhirnya gagal.
> 
>             Melalui kedua suratkabarnya itu, Achmad
> Chatib menyemai paham komunisme di Minangkabau. Thawalib
> secara mengejutkan menampilkan murid-murid yang cenderung
> berpolitik, sesuatu yang ditentang orang-orang pesantren
> di Parabek, yang apolitis. 
> 
>              
>             Pengaruh komunisme di Minangkabau tak dapat
> dipungkiri. Sejarah Indonesia mencatat bahwa
> pemberontakan pertama terhadap pemerintah Belanda
> digerakkan oleh kaum komunis yang terjadi di Silungkang
> pada 1927. Tujuannya memerdekakan rakyat dari penjajah. 
> 
>             Pemberontakan tersebut berhasil ditumpas
> kolonial. Di lain pihak, Tan Malaka, salah seorang tokoh
> mereka yang terkemuka, juga tak merestui pemberontakan
> yang dianggap belum matang itu. Sejumlah pemimpin Partai
> Komunis Indonesia akhirnya ditangkap dan dibuang ke
> Digul, Papua Barat.
> 
>             Djago Djago dan Pemandangan Islam merupakan
> bagian dari 20 penerbitan berhaluan komunis di Indonesia
> yang tersebar di berbagai kota sepanjang 1920-an. Di
> Sumatra Barat saja, selain di Padang Panjang, suratkabar
> sehaluan terdapat di Padang (Petir, Buka Mata, dan
> Torpedo), Bukittinggi (Doenia Achirat), dan Solok
> (Sasaran Ra'jat). Surakarta yang terbanyak, memiliki enam
> suratkabar, disusul Semarang dan Bandung, masing-masing
> empat suratkabar. 
> 
>             Baik yang terang-terangan membawa suara kaum
> komunis maupun yang tidak, hampir semua suratkabar
> terbitan 1920-an berhaluan radikal revolusioner.
> Sebagaimana yang dicatat Goenawan Mohamad, "Indonesia di
> tahun 20-an memang memungkinkan banyak hal, yang ramai."
> Namun, jumlah penerbitan atau suratkabar berhaluan kiri
> ini jauh lebih kecil dibanding yang diterbitkan kalangan
> Islam sendiri. 
>            
> 
>      
> 
>       ETIKA Jepang berkuasa di Sumatra Barat, praktis
> semua penerbitan gulung tikar. Sepanjang 3,5 tahun itu,
> hanya ada tiga suratkabar yang sepenuhnya dikendalikan
> Jepang. Ketiganya, Padang Nippo, Sumatra Simbun, dan
> Domei. Begitu Indonesia merdeka, suasana pun berubah.
> Para wartawan yang dulu memiliki suratkabar, berkeinginan
> menghidupkan kembali suratkabarnya yang dulu mati suri. 
> 
>       Masyarakat sangat haus akan berita, terutama
> mengenai perjuangan dan pergolakan yang berlangsung di
> Pulau Jawa. Rasa haus itu terpuaskan oleh Bustanuddin
> yang menghadirkan majalah bulanan Berdjuang yang terbit
> di Padang Panjang pada September 1945. Di kota yang sama,
> tiga bulan kemudian, muncul harian Demokrasi yang
> diterbitkan Yusdja dengan pemimpin redaksi M. Joesoef. 
> 
>       Pada 1946, Hamka dan Haskim kembali menghadirkan
> sebuah majalah di Padang Panjang dengan nama Menara.
> Majalah ini membawa suara golongan Muhammadiyah. 
> 
>       Setelah di kota hujan itu, pada September 1945 di
> Padang hadir pula harian Utusan Sumatera yang diterbitkan
> Bariun A.S. bersama Mulkan, Muchtar Mahyuddin, Marah Alif
> dan, sejumlah nama lain. Masih di Padang, pada bulan yang
> sama lahir Suara Sumatera yang diterbitkan Lie Un Sam.
> Suratkabar ini dipimpin S. Alaudin. Usianya singkat.
> Tapi, pemiliknya menerbitkan suratkabar lain, Harian
> Penerangan. 
> 
>       Adinegoro, kelak nama tokoh pers nasional ini
> diabadikan sebagai nama Balai Wartawan Padang, tak mau
> ketinggalan. Ia menerbitkan suratkabar Kedaulatan Rakyat
> pada Oktober 1945 di Bukittinggi. Ia berhasil
> memperjuangkan alat-alat percetakan, kertas, dan tinta di
> Kayu Ramang, lalu mempercayakan Anwar Luthan menjadi
> pemimpin redaksi koran ini.
> 
>       Sementara itu, Kasoema yang menjadi wartawan
> Demokrasi di Padang Panjang pada 1948, menerbitkan
> suratkabar Haluan di Bukittinggi, kemudian kantor harian
> ini pindah ke Padang. Sebelum Haluan milik Kasoema, pada
> 1926 pernah terbit suratkabar bernama sama di Padang.
> Haluan sama radikalnya dengan suratkabar Boeka Mata yang
> dipimpin Muhammad Sahak. Motonya saja berbunyi, "Haluan
> menerangkan macam-macam kesesatan dan kegelapan yang
> telah ditaburkan oleh beberapa pembohong dan pendusta,"
> tanpa menjelaskan siapa yang dimaksud "pembohong dan
> pendusta" itu. Sejumlah suratkabar lainnya juga
> memperkaya konfigurasi jagad pers Minang, seperti Suara
> Merdeka, Pelopor, Nyata, dan tabloid Kemudi.
> 
>       Kedaulatan Rakyat satu-satunya suratkabar di
> Sumatra Barat, juga dikenal dengan Sumatra Tengah, yang
> bertiras paling tinggi masa itu. Oplahnya mencapai 14
> ribu eksemplar. 
> 
>       Dengan tiras sebanyak itu, dalam keadaan sulit
> karena Sekutu setiap saat mengancam, Kedaulatan Rakyat
> terus menggelorakan semangat rakyat untuk mempertahankan
> kemerdekaan. 
> 
>       Ketika Adinegoro pindah ke Jakarta, Kedaulatan
> Rakyat berubah nama menjadi Daulat Rakyat, lalu berganti
> lagi dengan Utusan Rakyat. Barangkali suratkabar yang
> sering berganti nama memang tak berumur panjang. Tak
> berapa lama, bahan-bahan percetakan sulit didapat.
> Situasi bertambah buruk saat pemerintah menyita
> percetakan suratkabar ini. Riwayat Kedaulatan Rakyat,
> sebuah suratkabar terbesar yang pernah ada di Sumatra
> Barat pun tamat. Namun, sejarah tetap menulisnya.
> 
>       Itulah riwayat pers Sumatra Barat, yang melalui
> teks, perdebatan, konflik, dan jatuh-bangun, telah
> menyumbangkan pemikirannya untuk pers Indonesia. ***
>      
>       Copyright © 2001-2002, PANTAU 
> KHAIRUL JASMI, koresponden harian Republika di Padang,
> cerita pendeknya Siul juara pertama sayembara penulisan
> cerita pendek Universitas Deakin, Australia, 1999, juga
> menulis Biografi Kaharoeddin Datuk Rangkayop Basa,
> Gubernur di Tengah Pergolakan, bersama Hasril Chaniago
> dan Mestika Zed menulis Indarung: Sejarah Industri Semen
> Indonesia, kini menyelesaikan biografi tokoh milisi Timor
> Timur Eurico Guterres.

Yan Caniago <[EMAIL PROTECTED]>

RantauNet http://www.rantaunet.com

Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
===============================================
Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

ATAU Kirimkan email
Ke/To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
-mendaftar--> subscribe rantau-net [email_anda]
-berhenti----> unsubscribe rantau-net [email_anda]
Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
===============================================

Kirim email ke