Semoga indak ado nan mangecek indak bakaitan jo Minang do.
Salam
SBN
 
Syariat Islam, Intervensi Negara, dan Matinya Pluralitas
Oleh Mustofa Muchdhor

Tanggal 1 Muharram 1423 H (atau 15/3/2002 Masehi), adalah saat paling
bersejarah bagi masyarakat Muslim di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Pada
hari itu negeri yang kerap diguncang konflik dan dibayang-bayangi bahaya
disintegrasi itu secara resmi memberlakukan syariat Islam bagi penduduk
Muslim yang ada di Aceh. Sumber hukum pelaksanaan syariat Islam tersebut
didasarkan pada Undang-Undang Nomor 44 1999 tentang Keistimewaan Aceh.

Dalam undang-undang itu ada empat substansi penting. Pertama,
penyelenggaraan kehidupan beragama. Kedua, penyelenggaraan kehidupan adat.
Ketiga, penyelenggaraan pendidikan dan keempat, peran ulama dalam penetapan
kebijakan daerah. Undang-undang itu bahkan kerap disebut sebagai
Undang-Undang Syariat Islam. Dasar hukum itu diperkuat lagi oleh
Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Nanggroe Aceh Darussalam.
Substansi baru dari undang-undang itu adalah tentang kewenangan berdasarkan
qanun, Mahkamah Syar'iyah, sumber pembiayaan dan kepolisian khusus syariat.
Tak ada satu pun provinsi di negeri ini yang memiliki keistimewaan seperti
Aceh.

Dukungan negara terhadap pelaksanaan syariat Islam di wilayah yang dikenal
dengan sebutan "Serambi Mekah" itu merupakan salah satu komitmen pemerintah
dalam menjaga keutuhan negara kesatuan RI. Inilah kali pertama dalam sejarah
pasca-kemerdekaan Republik kita syariat Islam diberlakukan secara resmi dan
didukung dengan pelbagai undang-undang dan peraturan daerah. Untuk mendukung
pelaksanaan syariat Islam itu, 2.500 polisi syariah akan direkrut. Mereka
bertugas mengawasi dan mengamankan jalannya pelaksanaan syariat Islam.

Pertanyaannya, apakah negara dibenarkan untuk mencampuri urusan keagamaan
seseorang? Seberapa efektif campur tangan negara itu dalam menaikkan dan
mendongkrak keimanan seseorang? Dapatkah ia mendatangkan kemaslahatan
bersama, tak saja bagi umat Islam sendiri tapi juga bagi kemanusiaan secara
umum? Dan last but not least, apakah dibenarkan memaksakan satu perspektif
tentang isi syariat Islam untuk diikuti oleh orang lain yang mungkin saja
berbeda pemahamannya dan dengan sanksi hukum pula?

Tampaknya tak seorang penganut agama pun yang tak berniat untuk menjalankan
ajaran agamanya secara sempurna (kaffah). Kalaupun ada, pastilah ia bukan
seorang penganut agama yang "baik". Yang menjadi persoalan, jika pelaksanaan
syariat Islam itu meminta bantuan atau campur tangan negara. Pasalnya, ini
menyangkut hal substansial seperti disebut di atas, yakni soal kewenangan
negara.

Selain itu, patut ditanyakan pula, apakah masyarakat benar-benar menjalankan
syariat Islam itu secara ikhlas dan penuh kesadaran. Sebab jangan-jangan
mereka menjalankan syariat Islam itu karena "dipaksa" oleh kekuatan
eksternal yang mengontrol mereka, dan bukan datang dari kesadaran dan
penghayatan keagamaan yang tulus-ikhlas. Jika itu yang terjadi, maka sungguh
tragis, syariat Islam yang mestinya menjadi elan transformatif justru
melahirkan kemunafikan.


Etika Idealistik

Di Indonesia, negara telah memberikan kebebasan yang besar bagi semua
pemeluk agama untuk menjalankan agama dan kepercayaannya. Penganut agama
Islam, misalnya, diberi keleluasaan untuk menikah, bercerai, dan melakukan
rujuk sesuai dengan agamanya. Mereka pun bebas melaksanakan ibadah-ibadah
lain, seperti haji, zakat, puasa, tanpa halangan sedikit pun dari negara.
Bahkan negara juga tak melarang suatu pemeluk agama untuk mengikuti madzab
pemikiran dan fikih yang berbeda dengan mainstream (Ahlus Sunnah wal
Jamaah).

Para penganut Madzab Syiah di Indonesia, misalnya, memiliki kebebasan untuk
menjalankan ritus-ritus atau perayaan keagamaan seperti memperingati
syahidnya Imam Husein pada 10 Muharram (24/3/2002) lalu di Lapangan Tenis
Indoor Senayan, sesuai dengan keyakinan agamanya tanpa takut ditangkap
aparat negara.

Umat Islam pun bebas membayar zakat, infak, dan sedekah ke lembaga mana pun
(resmi atau swasta) yang dinilai paling kredibel dan amanah. Mereka pun
bebas memilih bank (konvensional atau bank syariah). Dalam konteks
pelaksanaan ajaran agama, negara hanya berfungsi sebatas fasilitator belaka
dan tak berhak menginterupsi atau mengontrolnya. Dalam ibadah haji misalnya
tampak kuat peran negara sebagai fasilitator. Meskipun dalam jangka panjang,
peran negara harus diminimalisasi.

Jika pelaksanaan syariat Islam itu dipersempit hanya mencakup hal-hal
simbolik seperti memakai jilbab atau menutup aurat, tampaknya telah terjadi
distorsi yang cukup radikal terhadap syariat Islam itu sendiri. Syariat
Islam telah diperciut sekadar masalah fikihiyah dan akhlak. Pada titik ini
sungguh tepat sinyalemen sejarawan-budayawan dan intelektual Muslim
Kuntowijoyo bahwa sistem pengetahuan umat Islam sekarang ini hanya
menekankan amar ma'ruf nahi munkar moral. Dengan kata lain, umat Islam masih
menganut apa yang disebut Kunto sebagai etika idealistik.

Cara berpikir dan sistem pengetahuan seperti di atas harus diubah. Menurut
Kun- towijoyo yang diperlukan umat Islam sekarang adalah etika profetik yang
berisi tiga substansi penting, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi.
Umat Islam jangan hanya terpukau pada perbaikan moral, tapi juga
keberpihakan pada orang-orang miskin dan yang dimiskinkan oleh struktur
politik dan ekonomi yang timpang.

Kunto menunjuk contoh dari etika profetik ini. Nabi Muhammad berpihak pada
perempuan dan budak; Nabi Isa a.s. pada proletariat Roma; Nabi Musa a.s.
pada orang tertindas Bani Israel; Nabi Nuh a.s. pada orang non-elite. Dengan
begitu, kata Kunto, nahi munkar harus dibuat lebih konkret dan dengan tajam
mata gerakan Islam tidak hanya terarah pada moral-ibadah, tetapi juga
ekonomi, sosial, dan politik.

Aksi massa yang cenderung anarkis dan kasar seperti membakar tempat-tempat
maksiat yang belakangan menjadi trend di kalangan masyarakat, menunjukkan
betapa sistem pengetahuan mereka belum banyak beranjak dari paradigma lama,
yaitu paradigma syariat idealistik.

Mengapa energi mereka tak dicurahkan untuk memperbaiki demokrasi, menuntut
transparansi, dan menggugat konglomerasi, korupsi, kolusi, dan nepotisme
yang keberadaannya juga sangat kasat mata?


Menafikan Pluralitas

Pewajiban memakai jilbab oleh para pendukung syariat Islam telah menafikan
khilafiyah (baca: pluralitas penafsiran) yang masih dijumpai dalam hukum
memakai jilbab bagi perempuan Muslim. Ada sementara kalangan yang menyatakan
bahwa hukum memakai jilbab bagi perempuan Muslim adalah tidak wajib.
Perintah memakai jilbab, kata pendukung pandangan ini, secara historis
diturunkan setelah peristiwa menghebohkan yang dikenal dengan hadist al-ifki
(berita bohong) yang menyangkut Aisyah istri nabi dan ketika situasi Madinah
sedang kacau. Tujuannya agar perempuan-perempuan Muslim gampang dikenali dan
tidak diganggu.

Jadi ada situasi khusus yang mengharuskan perempuan untuk melakukan tindakan
preventif ("mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh"- meminjam bunyi teks
Al-Quran) guna menghindari hal-hal yang tidak diinginkan. Sementara itu, di
sudut lain berdiri kalangan yang berpendapat sebaliknya, yaitu bahwa memakai
jilbab hukumnya wajib. Pandangan itu didasarkan pada penafsiran atas
teks-teks (nash) Al-Quran (QS Al-Ahzab [33]: 59 dan QS Al-Nur [24]: 31).

Jika di kalangan ulama saja masih terjadi silang pendapat, mengapa para
pendukung pelaksanaan syariat Islam ini "mewajibkan" dan "memaksakan" para
perempuan Muslim untuk memakai jilbab? Lebih dari itu, atas dasar apa mereka
(mungkin para "polisi syariah") "menghukum" seseorang padahal hukum itu
sendiri masih bersifat khilafiyah? Dan bagaimana jika perempuan itu meyakini
hal yang sebaliknya?

Satu aba-aba sehat patut dikemukakan di sini. Perdebatan dan wacana seputar
jilbab selama ini, terlebih dalam pelaksanaan syariat Islam di Aceh, lebih
sering berkutat pada masalah akidah: keislaman seseorang dinilai dari bentuk
pakaian yang dipakai. Padahal tidak memakai jilbab bukanlah suatu
pelanggaran hukum (jarimah) yang harus dikenakan sanksi hukum (Nasaruddin
Umar: 1996).

Dalam konteks ini pandangan Syekh Muhammad Syahrur (1992) menarik disimak
dan direnungkan. Persoalan jilbab, kata Syahrur, lebih merupakan persoalan
aib dan malu secara adat ('urf) daripada persoalan halal dan haram. Meskipun
demikian, memakai jilbab tetap memiliki segi-segi positif bagi si pemakai:
ia bisa mencegah timbulnya fitnah, pelecehan seksual, penistaan, dan
membangkitkan harga diri.

Kesalahan terbesar rezim Taliban adalah karena mereka memaksakan syariat
Islam. Mereka keliru karena memaksakan satu pendapat tentang syariat Islam
dan mengabaikan pendapat-pendapat lain yang berbeda. Padahal, apa yang
disebut syariat Islam itu bisa berbeda- beda. Pemaksaan tentu bukan khas
Islam. Sebaliknya pemaksaan adalah karakteristik kalangan fundamentalis, apa
pun agamanya (Jalaluddin Rakhmat: 2001). Memaksa orang memakai jilbab dan
menghukumnya jika melanggar adalah suatu kesalahan dan pelanggaran terhadap
hak asasi seseorang dan keyakinan seseorang. Demikian pula melarang orang
untuk memakainya seperti pernah terjadi di negeri ini.


Mendukung

Syariat Islam mestinya bisa mendukung terbentuknya masyarakat yang
manusiawi, berkeadaban, berperadaban, menjunjung tinggi hak asasi manusia
dan responsif terhadap persoalan kontekstual seperti keadilan sosial,
politik dan ekonomi. Semua itu hanya bisa diwujudkan jika mereka bisa
menangkap substansi (ruh) syariat Islam, dan tak sekadar merasa puas dengan
hanya menjalankan ritus-ritus dan hal-hal simbolik lainnya seperti mengganti
papan nama atau nama jalan dengan bahasa Arab.

Satu hal dapat disimpulkan, sebagian umat memang lebih tertarik pada hal-hal
simbolik. Munculnya partai-partai berbasis keagamaan di lingkungan umat
sendiri merupakan contoh paling artikulatif dari kecenderungan itu.


Padahal di aras praktis, mereka sangat mungkin menelingkung misi ajaran
Islam itu sendiri.

Dapat digugat, misalnya, seberapa besar dan serius mereka memperjuangkan
nilai-nilai keadilan, kebenaran, kebebasan, supremasi hukum, dan demokrasi
sepanjang kiprah mereka di pen- tas politik nasional pasca-Orde Baru ini?
Apa peran mereka dalam menegakkan hukum, memberantas korupsi, kolusi,
nepotisme, konglomerasi, dan penindasan yang jelas-jelas ditentang Islam?
Dan tidakkah mereka terhanyut dalam permainan kotor dan lingkaran setan KKN
tersebut?

Seperti telah disebut di atas, syariat Islam mestinya bisa mendukung
nilai-nilai universal seperti tegaknya supremasi hukum, egalitarianisme
(al-musbwah), demokrasi (sy'ra), penghormatan terhadap HAM dan terwujudnya
masyarakat madani (civil society) dan civic culture. Bukan malah "merampas"
hak orang Islam untuk mengikuti pandangan resmi (mainstream) yang dianut
oleh "rezim syariat" sembari meminggirkan keyakinan agamanya sesuai dengan
ilmu (penafsiran, madzab) dan imannya.

Jika itu yang terjadi sungguh ironis, atas nama syariat Islam masyarakat
justru terkungkung dan terbelenggu pada otoritarianisme baru berupa
pewajiban syariat berdasarkan penafsiran atas ajaran agama dan lebih sempit
lagi berdasarkan madzab atau aliran fikih tertentu saja. Semua itu akhirnya
akan menutup peluang munculnya penafsiran baru yang berbeda atas suatu
ajaran agama. Orang menjadi takut tampil beda dalam hal penafsiran agama
karena ada "kekuatan" yang mengontrol mereka. Gagasan-gagasan inovatif dan
konstruktif sulit berkembang di atas lahan seperti ini.

Dukungan negara bukan saja terasa anakronis, tapi juga salah arah. Negara
tidak berhak menelusup masuk ke dalam hubungan antara manusia dengan
Tuhannya. Dengan kata lain, negara tak berhak mengintervensi kehidupan
keagamaan seseorang. Yang mendesak dilakukan sekarang adalah menciptakan
suatu format kehidupan demokratis yang berkeadaban (civility) dan format
kewargaan yang inklusif (inclusive citizenship) tanpa menelikung
ajaran-ajaran normatif suatu agama.

Dan itu sulit terwujud jika pemeluk agama hanya puas menerapkan hal-hal
simbolik dan menafikan hal-hal substansial yang menjadi inti (core) agama.
Pewajiban syariat Islam (baca: pemaksaan mengikuti satu tafsir resmi)
hanyalah simptom bahwa format kehidupan yang demokratis dan kewargaan yang
inklusif tengah menemukan sandungan terbesarnya.


Penulis adalah alumnus Teologi dan Filsafat IAIN Jakarta dan Pondok
Pesantren Pabelan, Muntilan, Jawa Tengah. Analis dan peneliti di Forum Anak
Bangsa (ANGSA) Jakarta.

e -----
From: Evi
Sent: Tuesday, May 07, 2002 7:58 AM
Subject: Re: [RantauNet] RN Watch: Pro Chitanooga

 
----- Original Message -----

Sabalum memulai menulis di milis, apakah sekadar merespon, membaca atau menulis artike (one-line katanya dilarang), ada baiknya senyum-senyum kecil dulu. Ingat diri siapa, lagi mengapa, mau apa, manfaatnya apa, akan kemana. Senyum kecil. Sekali lagi, awali dengan senyum kecil. >>

Salam keluarga kecil, sehat dan bahagia dalam monogami,

Demi senyum kecil, kalau sudah ingat diri siapa, lagi mengapa, mau apa, dan manfaatnya apa sih epri badi masih no problemo lah. Cuma yang sedikit refot adalah "akan kemana" itu sebab kebanyakan sering salah2 tembak, maunya ke Merapi eh yang kena malah Singgalang.

Evi

 

Kirim email ke