Artikel menarik buat yang suka "main-main" dengan email terutama di
mailing list, dimanakah anda memposisikan dirimu???

Harapan saya ... agar kita semua dapat memahami kelebihan-kekurangan,
sisi positif-sisi negatif mailing list ... tanpa terjerumus kedalam
permainan dari sisi negatifnya milis, khususnya di Palanta RantauNet
ini. Karena disinilah kita berdiskusi, bertukar pikiran, bertukar
informasi dan berkomunikasi tentang seputar masalah Minangkabau dan
Sumatera Barat khusunya tanpa menghilangkan silaturahmi di antara kita.
--------
MIKO - Administrator
--------
e-mail: [EMAIL PROTECTED]

-----Original Message-----
From: Farid Gaban [mailto:[EMAIL PROTECTED]] 
Sent: 09 Mei 2002 23:07


Salam,

Berkaitan dengan kasus ini, saya kirim tulisan saya yang dimuat di Koran
Tempo akhir April lalu. Sebagian dari isinya merupakan otokritik
terhadap profesi jurnalistik yang saya tekuni.

Just in my humble opinion.

salam,
fgaban
---

Rizal Mallarangeng dan Rumor di Internet

Oleh Farid Gaban

STRANGE and unexpected turns. "Hidup penuh dengan tikungan yang aneh dan
tak terduga," tulis Rizal Mallarangeng, seorang doktor ilmu politik dan
pembawa
acara terkenal Indonesia Recovery di Metro TV. Ada nada pasrah dalam
kata-kata Rizal itu.

Tulisan Rizal di mailing-list Internet itu menanggapi sebuah pesan tak
mengenakkan yang dikirim seorang peserta mailing-list lain bernama Esty
Angela. Mengaku
diri seorang mahasiswi di New Delhi, India, Esty intinya melaporkan:
"ada banyak anggota delegasi Presiden Megawati Soekarnoputri--pejabat,
intelektual dan wartawan--yang memesan pelacur" ketika berkunjung ke
sana. Meski tak menyebut nama, Esty membuat deskripsi detil tentang
salah satu tokoh yang memesan pelacur. Cukup detil sehingga banyak orang
bisa menyimpulkan bahwa tokoh itu tak lain adalah Rizal Mallarangeng.

Sungguh tidak mengenakkan. Hidup pribadi dan keluarga Rizal terguncang
karenanya. "Seminggu saya dibuat susah dan sulit tidur," katanya (Koran
Tempo, 20 April 2002). 

Merasa tidak melakukan seperti yang dituduhkan, Rizal berusaha keras
membuat klarifikasi. Dia antara lain melakukan korespondensi via email
dengan Esty. Ada hasilnya. Dalam pesannya di mailing-list belakangan,
Esty sendiri mengaku telah meminta maaf secara pribadi kepada Rizal.
Dengan kata lain, Esty telah mengakui bahwa tuduhannya kepada Rizal
tidaklah didukung bukti-bukti yang kuat, yang dalam dunia nyata itu bisa
dikategorikan perbuatan kriminal "pencemaran nama baik". Tapi, soal
belum berhenti di situ.

Menuduh seseorang memesan pelacur tanpa didukung bukti-bukti meyakinkan,
tentu saja, adalah fitnah.

Tapi, Rizal tidak menggugat balik secara hukum. Dia berharap bahwa
bantahannya telah cukup bisa menetralkan kabar tak menggenakkan tadi.
Lebih dari itu, dia sendiri mengaku terperangkap dalam fenomena yang
"belum sepenuhnya kita mengerti". Dalam nada pasrah lain, Rizal
mengatakan bahwa "zaman internet ini membawa semangatnya dan logikanya
sendiri."


PERSONALITAS SEMU

Bahkan jika ingin menggugat, Rizal sendiri tak yakin bahwa "Esty Angela"
itu ada. Meski Esty secara reguler menyumbang pesan di beberapa
mailing-list terkenal seperti Forum Indonesia Damai dan Islam Liberal,
siapa bisa menjamin bahwa itu bukan nama samaran, dan bahwa dia
benar-benar mahasiswi yang mukim di New Delhi? 

Internet memang memungkinkan seseorang menggandakan "personalitas semu"
di dunia maya. Seperti kita saksikan dalam film "You've Got Mail", yang
dibintangi Meg Ryan dan Tom Hanks, siapa sangka seorang teman yang suka
membantu di ruang maya justru seorang musuh di alam nyata? Aneh dan,
memang, tak terduga.

Dengan web-based email gratis seperti Yahoo! Atau Hotmail, sangat mudah
seseorang menciptakan beragam "pribadi maya" untuk menyalurkan berbagai
hasrat. Meski mudah tergelincir dalam fitnah dan penyalahgunaan, tidak
selalu sebenarnya penyamaran itu negatif. Penyamaran juga kadang
dilakukan untuk tujuan luhur, misalnya melawan ketidakadilan atau
mengungkap penyelewengan. 

Bagaimanapun, ini memang membingungkan. Dalam kasus Rizal, dunia maya
bercampur dengan dunia nyata. Rumor di Internet menghasilkan dampak yang
nyata-nyata tidak mengenakkan. Sayangnya, ini bukan kasus pertama, dan
nampaknya bukan pula yang terakhir. Leburnya dunia maya dan nyata di era
Internet telah dan akan menjungkirkan banyak hal, serta mengguncang
kehidupan pribadi maupun kolektif kita.


ALVIN TOFFLER DAN PROSUMEN

Komputer plus Internet sedang mengobrak-abrik banyak hal tak hanya
secara dramatis, tapi juga dalam laju yang begitu cepat dan sulit
dikontrol. Popularitas telpon genggam dan perkawinannya dengan Internet
telah membuat laju penyebaran setiap isu bahkan jauh lebih tak
terkontrol lagi, dengan impak yang jauh dari bisa dibayangkan bahkan
oleh pengirim pesan pertama sendiri.

Di lantai bursa saham, yang sangat sensitif terhadap informasi,
misalnya, rumor Internet tentang suatu perusahaan dengan cepat
memberikan impak yang nyata:
harga saham perusahaan meroket atau terjun bebas, mendatangkan
keuntungan atau kerugian nyata di kalangan investor--hampir seketika.

Guncangan seperti itu makin kita rasakan sekarang ini, dua dasawarsa
setelah futurolog Alvin Toffler menulis "The Future Shock" dan "The
Third Wave". Adalah
Toffler yang meramalkan bahwa perkembangan teknologi komputer akan
mengguncang cara kita memandang dunia, berinteraksi, dan bahkan
berproduksi serta berkonsumsi.

Adalah Toffler pula yang memperkenalkan istilah "prosumen". Kehadiran
komputer pribadi (PC) dan Internet memungkinkan seorang menjadi konsumen
sekaligus produsen. Termasuk, tentu saja, prosumen informasi (juga rumor
serta propaganda). Internet dan desktop publishing memungkinkan
seseorang menjadi "self-publisher". Semua orang bisa menjadi penerbit
dan wartawan.

Dan itu membuat Rizal risau. "Di zaman ini kita semua sebenarnya telah
menjadi reporter, suka atau tidak, tapi tanpa kode etik dan metode yang
biasanya melekat pada diri seorang reporter di media massa," tulisnya.
"Di media massa, ada rapat redaksi yang mengontrol kebenaran dan
kelayakan suatu isu untuk ditampilkan ke hadapan umum. Di internet,
proses dan lembaga kontrol internal ini samasekali non-existent."


DAHAGA SENSASI

Kekhawatiran Rizal itu sahih dan sangat layak menjadi bahan renungan
mendalam bagi siapapun. Tak hanya bagi wartawan, tapi bahkan juga bagi
mereka yang ingin
sekadar mengungkapkan uneg-unegnya di Internet. 

Tapi, barangkali kita akan keliru jika menganggap fenomena ini unik di
era Internet. Untuk banyak aspeknya, Internet sebenarnya hanya bentuk
berbeda
dari medium yang sudah kita kenal seperti buku, koran, majalah, radio
dan televisi. Penggunaan nama samaran sudah kita kenal di media cetak
sejak lama. Sampai
kini, banyak sumber berita bahkan masih sering memilih anonim ketika
membicarakan isu-isu sensitif di media massa konvensional.

Rizal juga mengeluh bahwa salah satu faktor mengapa rumor tentang
dirinya menyebar demikian cepat adalah karena dahaga orang akan sensasi.
"Sebagian orang
tampak ingin percaya bukan pada apa yang sesungguhnya terjadi, tetapi
pada sejumlah sensasi yang ada dalam imajinasi mereka," tulisnya. 

Namun, yang inipun tidak khas Internet. Ledakan kebebasan pers
belakangan ini telah memunculkan beragam majalah dan tabloid gosip yang
juga cenderung hanya memuaskan hasrat kita pada sensasi. 

Meski memiriskan, ledakan kebebasan itupun tidak sepenuhnya berekses
negatif. Persis seperti dipikirkan oleh Steve Jobs (penemu Apple
Computer) dan Bill Gates (Microsoft), PC dan Internet telah berjasa
menghadirkan demokratisasi dalam pertukaran informasi.


MELAWAN HEGEMONI MEDIA MAINSTREAM

Barangkali untuk pertama kalinya sekarang ini, penerbit kecil atau
"self-publisher" bisa lebih kuasa melawan hegemoni media mainstream.
Makin banyak belakangan ini muncul media alternatif, baik cetak maupun
online. Mereka mencoba melawan monopoli kebenaran yang diproyeksikan
oleh media massa besar dan mapan. 

Bahkan di Amerika Serikat pun orang risau. Lembaga-lembaga pers besar
pun--yang bereputasi tinggi, baik dalam etik maupun teknik
jurnalisme--dituduh berdosa mendistorsikan kenyataan. Apalagi di
Indonesia, tempat prosedur dan teknik jurnalistik belum sepenuhnya
dihayati para wartawan.

Benarkah, misalnya, media besar Indonesia melakukan check and recheck
seksama, serta menerapkan metode cover both side secara fair, ketika
memberitakan orang-orang kecil yang menjadi sasaran tudingan kriminal
maupun subversif (Komunis dan Darul Islam)? Kenapa media massa hati-hati
memilih kata "obligor kakap" ketika berhadapan dengan konglomerat besar,
tapi ringan menggunakan kata "rampok" dan "ekstrimis" untuk orang di
jalanan?

Laporan dari New Delhi itu belum tentu akurat, dan Esty bisa jadi nama
samaran dari dunia antah berantah. Tapi, pertanyaan pentingnya: kenapa
tak satupun media
besar menganggapnya sebagai informasi awal dari seorang "whistle blower"
tentang kemungkinan skandal seks berbau korupsi ini? Apakah karena itu
melibatkan orang-orang penting, bukan orang-orang kecil di jalanan?
Karena itu merupakan bagian dari ruang privat yang tabu dijamah? 

Ini akan menjadi perdebatan panjang dalam jurnalisme. Namun, sementara
media besar tak bisa mempertahankan otoritas, media alternatif dan
"self-publisher" di
Internet akan terus bermunculan, disukai atau tidak. Dan sangat mungkin
mereka keliru mengambil korban secara tak terduga: Rizal Mallarangeng.
"Strange and,
indeed, unexpected". ***



RantauNet http://www.rantaunet.com

Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
===============================================
Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di: 
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

ATAU Kirimkan email Ke/To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
-mendaftar--> subscribe rantau-net [email_anda]
-berhenti----> unsubscribe rantau-net [email_anda]
Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
===============================================

Kirim email ke