Sebagaimana diberitakan Bali Post (24/5) Soeharto nyatanya sehat-sehat saja. Sementara yang semakin sakit, berkudis, atau bahkan berpenyakit kusta (dimana bagian-bagian tubuh lepas satu-satu tanpa terasa), justru bangsa ini. Mahasiswa juga sudah melupakan Soeharto, termasuk hukum, dan penyelenggara negara. padahal, banyak teka-teki dibelakang nama Soeharto dan keluarga Cendana. Andai ia adalah Mao atau Fir'aun, dan terus menjadi presiden, mungkin kita menyiapkan Piramida dan Mouselium untuk memujanya. 

 

Sebentar lagi ia akan berulang tahun, ke 81. *1 tahun kehadirannya dari muka bumi, sebagai anak desa Kemusuk, lalu memerintah negara ini selama 32 tahun, kira-kira 2/5 masa hidupnya, apa yang bisa kita pelajari? 

 

Saya kirimkan kembali satu kolom yang pernah dimuat detik.com ini. ada emosi didalamnya, subjektifitas, dan mimpi-mimpi buram, atas tempat Soeharto dalam sejarah, juga dalam memory setiap orang yang pernah bersentuhan dengannya, atau pernah melihat gambarnya tak diganti-ganti di berbagai instansi resmi dan tak resmi, juga di halaman-halaman media massa, lalu dalam catatan-catatan buku, baik atas nama ilmu pengetahuan, atau atas nama kepentingan politik-ekonomi an sich. 

 

Kolom ini dulu ditanggapi, baik dengan dingin, atau dengan panas. Beberapa saya simpan untuk saya baca dan renungkan. Ada yang memujinya, dan tak kurang banyak yang mengutuknya. Menulis tentang Soeharto, kadang juga dianggap sebagai Soeharto, sementara duplikasi ala domba-domba dolly berupa Soeharto-Soeharto kecil dan besar, justru dilupakan orang.

 

Kita hendak kemana, kawan?

 

"Bagaimanapun juga, saya kira, kita harus mengakui bahwa manusia dengan segala nilai-nilainya yang luhur...di dalam kerangka jasmaninya masih memiliki cap yang tak terhapuskan dari nenek moyang yang lebih rendah tingkatannya..." (Charles Darwin, 1809-1882)

 

"Pada hekekatnya, manusia tidak sama sekali bersalah, karena dia tidak memulai sejarah, juga tidak sama sekali tampa salah, karena dia meneruskan sejarah..." (Albert Camus, 1913-1960).

 

"Berbahagialah orang yang sejarahnya tidak termuat dalam kitab sejarah..." Thomas Carlyle (1795-1881)

 

"...secara umum tidak ada ciri gerakan-gerakan totaliter yang paling menonjol, teristimewa popularitas pimpinannya, daripada cepatnya mereka dilupakan dan mudahnya mereka digantikan..." (Hannah Arendt dalam The Origins of Totalitarianism (1951))

 

"Kalau saya mundur, saya khawatir disintegrasi bangsa akan terjadi..." (Soeharto, 1998)

 

Salam Ta'zim

 

ijp 

======================

 

 

http://www.detik.com/peristiwa/2001/06/08/200168-104320.shtml

80 Tahun

Manusia Soeharto

 

Oleh

 

Indra J. Piliang

 

Ketika orang-orang merayakan 100 tahun Bung Karno, saya justru ingat Soeharto, mantan presiden saya selama lebih dari 30 tahun. Jum’at, 8 Juni 2001 ini, dia merayakan ulang tahun ke 80. Ketika saya lahir, 1972, ia telah menjadi presiden. Bagi orang-orang yang mati sebelum 1998, dan lahir tahun 1967, Soeharto adalah presiden seumur hidup mereka. Soeharto adalah lambang stabilitas politik, pertumbuhan ekonomi, militerisme, kerusakan lingkungan, utang luar negeri, dan beragam masalah mendasar bangsa ini.

 

Tapi, benarkah itu hanya kesalahan Soeharto secara personal? Layakkah ia dijuluki sebagai Hitler ala Indonesia, juga beragam tudingan miring lainnya yang dialamatkan kepadanya? Upaya mencari kejernihan atas posisi Soeharto saat ini juga, ketika Ia belum meninggal dunia, saya kira adalah setengah pekerjaan dari jalan panjang menuju objektifitas dalam memahami sejarah politik negeri ini. Usaha itu akan cenderung terseret lagi dengan beragam tahayul politik, apabila dilakukan nanti, mirip dengan apa yang dipertontonkan dalam usaha “meluruskan sejarah Soekarno” sekarang ini.

 

Tentu saja ini pandangan subjektif saya. Sebagai penulis, saya siap dimasukkan kedalam mahkamah sejarah dan dianggap tidak konsisten. Ketika Soeharto berkuasa, saya ada di barisan abu-abu, seperti kebanyakan orang Indonesia lainnya, kecuali di masa mahasiswa dan ketika ikut aktif dalam periode singkat yang tak banyak menguras tenaga, dalam fase haru-biru sebelum lengser abad 20 digelar. Pasca Soeharto, saya sempat aktif di sebuah partai politik yang dikenal sebagai reformis, lalu keluar karena kecewa pada diri sendiri.

 

Kini, tanpa harus takut menghadapi beragam tudingan yang mungkin akan keluar, saya siap mengajukan sebuah ulasan: Soeharto harus diselamatkan!  Argumen dasar yang ingin saya ajukan adalah: untuk menyelamatkan sejarah bangsa ini, selamatkan dulu posisi sejarah Soeharto, ketika Soeharto masih hidup. Jangan biarkan Ia terlalu lama terpuruk di jalan Cendana, terpenjara di rumah pribadinya, atau tepatnya dipenjara oleh karakter dirinya sendiri (penjara terbesar manusia, menurut film The X Files). Tentu, Soeharto tak perlu jadi kiblat, tetapi alangkah hinanya kalau dia dipunggungi oleh ribuan mantan anak buahnya, yang sekarang enak goyang-goyang kaki, karena dianggap reformis atau mengaku reformis. Mengembalikan Soeharto sebagai anak sejarah, sebagai manusia, bagi saya adalah kebutuhan psikologis bangsa ini, terutama melihat senyum khasnya yang – sungguh mati – memikat itu.

 

Jangan biarkan bangsa ini menjadi banci dan pengecut, hanya karena ulah mantan anak buah Soeharto, yang membungkuk-bungkuk menyalami Soeharto, menjadikan Soeharto sebagai jimat, yang sekarang ini dengan mudah memutar-mutar lidahnya selicin lidah belut, lalu berbohong terang-terangan di hadapan publik. Soeharto mereka junjung ketika berkuasa, lalu mereka hinakan, ketika Soeharto tak dilibatkan lagi dengan permainan bidak-bidak catur yang menyita perasaan. Selama tiga dekade, Soeharto menjadi gantungan hidup ribuan anak buahnya, atau malah menggunakan Soeharto untuk menggantung lawan-lawan politik mereka. Kini, Soeharto dipurukkan di jalan Cendana, malah agar terlihat “pahlawan” Soeharto juga dihubungkan dengan banyak peristiwa kerusuhan sosial negeri ini. Sudah jatuh, ditimpa tangga, lalu tangganya diinjak-injak pula oleh mantan anak buah sendiri. Alangkah sakitnya... Bagi penganut agama, itu hukuman Tuhan, bagi saya, selain hukuman Tuhan, itu juga hukuman kemanusiaan, sekalipun manusia-manusia yang menghukum Soeharto juga mantan anak buahnya sendiri.

 

***

 

Soeharto adalah cermin, bagi bentuk buruk hubungan kemanusiaan yang sama tak setianya dengan seekor anjing yang menggigit orang yang melepaskannya dari jepitan. Untuk kategori kesetiaan, anjing memang paling nomor satu di dunia hewan, sedang di dunia manusia, nyaris sedikit. Dulu, Soeharto adalah raja diraja alam raya. Ia berhak mengangkat banyak orang-orang miskin, untuk kemudian memolesnya menjadi politisi handal, konglomerat, jenderal, pejabat, atau sekedar pemberi restu bagi pendirian sarana-sarana ibadah. Soeharto bahkan membangun sebuah mesjid di Bosnia Herzegovina, dengan namanya sendiri (sekalipun laporan jurnalistik soal ini seakan terputus). Soeharto menjadi tameng, untuk menempati posisi sebagai lawan politik Soekarno untuk masa-masa genting 65-66. Hanya karena Soekarno tak mau adu massa, pertempuran berdarah tak berlarut-larut, suatu sikap yang hampir sama ditempuh Soeharto dalam masa-masa “penggulingan”-nya tahun 1998.

 

Kini, Soeharto adalah hantu. Ia dicampakkan, lalu beragam issue berhembus kencang. Ribuan mahasiswa paling militan, dengan idealisme khas mahasiswa tentunya, terus mengepungnya. Dan orang-orang melupakan. Lawan Soeharto dimasa lalu dibangkitkan dari kuburan sejarah. Dan lihat, siapa sekarang yang paling vokal, paling mengaku reformis, paling militan untuk menggusur “krisis moral Istana Presiden”, kalau bukan para demagog yang dulunya begitu setia menaruh dua tangannya, menutupi bagian tubuh paling rahasia, ketika bicara dengan Soeharto. Dongeng Ken Arok seakan hadir di depan mata kita. Begitu mudahnya para pengkhianat mantan tuannya, dalam hitungan 2 tahun, untuk merubah dandanan politiknya sebagai manusia-manusia baru yang memperjuangkan keadilan, hukum, moralitas, good governance, dan segala macam kata-kata indah yang dulu ketika Soeharto berkuasa jarang digunakan.

 

Dan anehnya, begitu mudahnya kita menerima mereka sebagai pemimpin-pemimpin baru, menjadikannya sebagai tokoh bangsa (tanpa “t”), padahal bukti paling bukti hadir telanjang di depan mata. Orang yang dulu mengangkat mereka dari lembah kemiskinan, dari jalanan, dengan amat mudah mereka khianati, apalagi bangsa ini, komunitas abstrak yang mudah diselewengkan kanan-kiri. Tinggal menunggu waktu, kita akan melihat banyak model pengkhianatan politik baru, entah terhadap rezim Gus Dur, entah untuk rezim Mega, atau entah untuk rezim Orde Baru jilid II.

 

Soeharto memang punya banyak kesalahan, dan susah diurai satu demi satu, saking lama dan banyaknya. Tetapi, menyatakan kesalahan itu sebagai kesalahan personal, dan bukan kesalahan kolektif yang juga dilakukan anak-anak buahnya dulu, adalah kekeliruan terbesar. Apabila Soeharto dikelilingi pembantu-pembantu setia, jujur, berjuang demi rakyat, tak mungkin usia pemerintahannya berjalan lama. Soeharto tak mungkin melakukan begitu banyak kejahatan kemanusiaan, kejahatan ekonomi, kejahatan hukum, dan seluruh model kejahatan yang pernah hadir dalam bangsa manusia, tanpa ada orang yang menjalankannya, tanpa ada sistem yang menopangnya, atau tanpa ada orang lain yang juga menyokongnya. Soeharto tak mungkin bisa menguasai Indonesia, manusia-manusianya, selama tiga dekade tanpa dukungan para pembantunya, kalangan cendekiawan istana, dunia internasional, dan beragam kalangan yang mengambil keuntungan, mulai dari Rp. 1,- sampai trilyunan rupiah bagi diri mereka sendiri.

 

***

 

Untuk memberi ruang interpretasi yang jernih dan terbuka, Soeharto harus diselamatkan dari pasungan sejarah. Silakan hukum dia, atas kesalahan yang dilakukan, atau atas tuduhan yang dilemparkan kepadanya. Tapi ampuni dia, kalau memang perangkat hukum tak memberi celah bagi pembuktian segenap kesalahan itu. Atas nama kemanusiaan, usia renta dan tua, dan atas nama sejarah yang sekarang sedang ditulis ulang, Soeharto harus mendapat tempat objektif. Apabila bangsa ini memang tak mau melepaskan julukan Arnold Toynbee sebagai bangsa yang mudah melupakan sejarah masa lalunya, tanpa hirau segi hukum, silakan lanjutkan pemasungan itu. Silakan tempatkan dia sebagai satu-satunya sumber malapetaka negeri ini, atas kejahatannya selama Orde Baru.

 

Dengan menempatkan posisi Soeharto sebagai saksi dan pelaku sejarah, tugas selanjutnya sedikit banyak bakalan berkurang. Tugas itu adalah membuka topeng-topeng palsu yang dikenakan ribuan politisi yang dulu menjilat Soeharto di depan umum, dimuka televisi, dalam halaman-halaman media cetak, juga dalam jutaan foto salaman yang dipampang oleh banyak sekali pejabat lokal, organisasi pemuda/mahasiswa, para penerima kalpataru, pada duta-besar, para taruna militer, dan lain-lainnya. Topeng-topeng palsu, dengan wajah innocent bahkan ritual do’a ulama, yang sekarang banyak digunakan para politisi, memang harus segera dibuka, agar kita tak terkecoh berkali-kali.

 

Hukuman terhadap Soeharto sudah jelas, dipasung di jalan Cendana. Tetapi hukuman terhadap pemakai topeng-topeng palsu ini tak juga ada. Mereka tentu lebih jahat dari Soeharto, yang bersedia berhenti sebagai presiden, sedang mereka meneruskan kiprah bisnis dan politiknya, dengan kepal tangan sebagai kelompok reformis. Mereka adalah manusia-manusia banci, hermafrodite, dan pengidap demam psikologis dengan kepribadian ganda. Mantan tuannya saja dengan amat mudah mereka khianati, apalagi rakyat bangsa ini, yang selama ini hanya kebagian peran sebagai penonton, atau korban, dari pertarungan politik kalangan terbatas itu.

 

***

 

Sebagai ulasan subjektif, tentu saya juga punya kepentingan subjektif. Saya ingin tahu, apa yang ada di benak mantan seorang diktator seperti Soeharto. Apakah jiwanya menangis? Benarkah dia membiarkan dirinya sebagai korban dari segala kekeliruan masa lalu, untuk melindungi bangsa ini, atau sekedar melindungi anak-anaknya? Benarkah Ia tak ingin bangsa ini terbelah dua, ketika ia masih mengendalikan banyak jenderal dan prajurit, sebelum keputusan untuk berhenti menjadi presiden RI? Benarkah ia sebetulnya hanya membuka jalan, bagi tampilnya generasi baru Indonesia yang bukan berasal dari wilayah terdekat pengaruhnya – termasuk gerakan mahasiswa – yang ternyata sekarang tak tampil lebih baik? Benarkah Ia memilih disalib secara politik, untuk menanggung dosa ummatnya yang dulu bahkan menjadikannya sebagai wujud Tuhan? (Emha Ainun Nadjib pernah bilang, orang lebih takut kepada Soeharto, ketimbang pada Tuhan). Benarkah Ia hanya memberi jalan bagi tampilnya nabi-nabi politik baru, yang ternyata palsu, agar mata rakyat Indonesia terbuka? Benarkah semua itu? Sungguh, sebagai penulis, saya memang berkepentingan, tanpa mengurangi usaha Anton Tabah yang benar-benar tabah menghadapi beragam gunjingan seputar Cendana.

 

Sebagai pribadi, saya tentu ingin belajar dari perjalanan hidup Soeharto. Tentu saya berharap, bangsa ini juga belajar, dengan terlebih dahulu memperbaiki diri sendiri. Tentu juga harapan saya tertuju kepada ribuan mantan anak buah Soeharto, yang sekarang bermuka mummi, lalu mengaku sebagai nabi-nabi politik nyaris tanpa dosa, dengan senjata hukum. (Dalam film Seven yang dibintangi oleh Brad Pitt, para pengacara termasuk yang dibunuh oleh pembunuh berantai, karena memang modalnya berbohong, selain juga orang gemuk, pelacur, dan sejumlah lainnya, atas dasar Tujuh Dosa Besar menurut, kalau tidak salah, Thomas Aquinas).  Dan orang-orang itulah sekarang yang memimpin kita. Sungguh ironis.

 

Untuk Pak Harto yang ulang tahun, selamat jadi manusia......

 

Jakarta, 8 Juni 2001

 

Penulis adalah analis politik CSIS, Jakarta. Penulis soal politik dan humaniora.

Kirim email ke