Nuansa Baru bagi Islam Yang Demokratis
oleh : Hanvitra

            Islam Liberal di Indonesia merupakan nuansa baru bagi Islam yang
berubah, Kondisi diperkuat oleh kenyataan yang ada bahwa Islam di Indonesia
saat ini dipenuhi oleh berbagai penafsiran yang sangat beragam yang mungkin
menimbulkan polemik satu sama lainnya. Bisa dikatakan Indonesia merupakan
salah-satu tempat yang subur bagi perkembangan Islam yang dinamis karena di
sinilah tumbuh dan berkembangnya berbagai aliran baru dan lama yang demikian
beragam dengan berbagai polemik, dari NU, Muhammadiyyah, berbagai macam
aliran yang dipengaruhi oleh Ikhwanul Muslimin dari Mesir, Laskar Jihad yang
sangat dipengaruhi oleh Teologi Ahlus Sunnah Wal Jamaah. KISDI, Partai
Keadilan, Hizbut Tahrir, Jamaah Tabligh, Ahmadiyyah, Thariqot
Naqsabandiyyah, Qusyairiyyah, Pesantren Syahid Hidayatullah, Mathlaul Anwar,
Al-Irsyad, Al-Wasliyyah, sampai berbagai aliran yang ada di berbagai daerah
di Indonesia, bahkan sampai HMI dan PMII. Hal ini sangat menggembirakan
karena di negara yang justru bukan negara Islam-lah secara formal, yang
justru mengembangkan sebuah sistem demokrasi yang "agak" meniru model
demokrasi a la Barat.  Islam berkembang sangat pesat secara pemikiran maupun
sebagai sebuah gerakan sosial dan gerakan kultural, bahkan gerakan politik.
Bank-bank syariah mendapat tempat di hati negara dan masyarakat,  ekonomi
Islam mulai mendapat perhatian dan muncul ghiroh keagamaan.

Hal ini justru sangat kontras dengan Malaysia yang justru negara Islam.
Islam di Malaysia adalah Islam yang berkembang atas kontruksi Negara
(State). Pemerintah Malaysia yang notabene mencantumkan Islam sebagai dasar
negara namun di satu sisi justru mengekang kebebasan ber-Islam atau
mengembangkan pemikiran Islam, dengan sistem pemerintahan yang otoriter.
Kasus-kasus di Negara Bagian Selangor yang menerapkan syariat Islam dan
namun dihalang-halangi oleh Pemerintah Malaysia sangat menimbulkan
pertanyaan bagi pemerintahan Mahathir. Model demokrasi a la UMNO yang
cenderung totaliter terbukti mengembangkan sebuah sistem totalitarian
tersendiri, yang intinya kemudian adalah adanya sebuah mazhab tertentu yang
didukung dan menjadi mazhab resmi negara. Hal yang sama juga terjadi di
beberapa negara Islam lainnya yang mencantumkan Islam sebagai agama formal
seperti Saudi Arabia misalnya, tegas-tegas walaupun tidak tercantum dalam
UUD-nya bahwa mereka menganut Wahhabiyyah -salah-satu Mazhab Sunni yang
paling keras sebagai mazhab negara, dan Sudan. Mesir yang mengembangkan
sebuah model demokrasi Arab yang menggabungkan model demokrasi -nasionalisme
Arab-Islam dan ke-Mesir-an telah tampak mengembangkan pluralisme aliran.
Walau Islam di Mesir berada dalam cengkeraman pemerintahan
demokrasi-populistik plus otoriter Mohammad Husni Mubarak cenderung sangat
akomodatif terhadap berbagai aliran Islam yang ada dari Islam Liberal,
Tharikat, sampai Ikhwanul Muslimin yang pernah mengantarkan Jamal Abdul
Nasir sebagai presiden Mesir. Namun ironisnya, Jamal Abdul Nasir-lah yang
pertama kali mengumandangkan penangkapan terhadap aktivis-aktivis Ikhwanul
Muslimin, sekaligus berupaya memberangus Ikhwanul Muslimin.

Sayyid Quth salah-satu mursyid Ikhwanul Muslimin meninggal sebagai syahid
dalam penjara Jamal Abdul Nasir. Puncaknya adalah pembunuhan Anwar Sadat
oleh anggota Ikhwanul Muslimin yang berada dalam lingkaran Angkatan
Bersenjata Mesir tahun 1980 dalam sebuah parade militer. Pembunuhan tersebut
sangat spektakuler, sampai mengalahkan pembunuhan John F. Kennedy , karena
dilakukan tepat di depan orang banyak dalam sebuah parade militer dan
dilakukan dalam sebuah upacara resmi kenegaraan. Ironisnya hal ini dilakukan
justru ketika Anwar Sadat berusaha mengakomodasi kelompok Islam dengan
mencantumkan Islam sebagai agama resmi negara dalam Undang-undang dan
mencantumkan "syariat Islam sebagai salah-satu sumber hukum nasional" dan
membolehkan berdirinya bank-bank Islam di Mesir, serta membebaskan
aktivis-aktivis Ikhwanul Muslimin yang ditahan. Namun di sisi lain Anwar
Sadat dianggap sebagai "agen zionis" karena menandatangi perjanjian Camp
David tahun 1979 bersama Presiden AS Nick Carter dan Perdana Menteri Israel.
Perjanjian Camp David dengan tegas dan gamblang menyatakan penyerahan
dataran tinggi Golan yang selama ini dikuasai oleh Mesir kepada Israel. Hal
ini sangat memalukan bagi Mesir, ini menandakan jatuhnya martabat bangsa
Arab, setelah kalahnya mereka dalam perang enam hari atau perang Yom Kippur
(dalam bahasa Israel) tahun 1967.  Pada peperangan ini Mesir dibantu oleh
Suriah dan beberapa negara Arab lainnya seperti Arab Saudi dan Yordania.
Kondisi ini menimbulkan kegeraman bagi aktivis Ikhwanul Muslimin.

Namun demikian sampai saat ini Mesir tetap dikenal sebagai salah-satu negara
dimana pluralisme aliran politik berkembang dengan cukup pesat, dari
Ikhwanul Muslimin yang kemudian terpecah menjadi 73 golongan antara lain
kelompok Takfir wa Hijrah yang menggunakan kekerasan untuk mencapai
tujuan-tujuan politiknya, misalnya menculik para turis-turis asing untuk
meminta tebusan sampai kadang membunuhnya, sampai kelompok yang paling
moderat yang masuk ke parlemen. Kelompok yang terakhir menggunakan cara-cara
kompromistis dan bergaul dalam negara termasuk dengan kelompok
nasional-arab-sekuler-sosialis.

Mursyid Ikhwanul Muslimin yang terakhir Musthafa Mashur dan salah-satu ulama
fatwa terkemuka Yusuf Qordhowi termasuk dalam kelompok moderat ini. Mereka
cenderung menggunakan jalan tengah untuk menyelesaikan sesuatu. Yusuf
Qordhowi oleh Jaringan Islam Liberal (JIL) bahkan dimasukkan dalam katagori
tokoh Islam Liberal karena pandangannya yang moderat dan menjauhi
radikalisme. Pada awalnya ketika didirikan pada tahun 1940-an oleh mursyid
IM pertama Hasan Al-Banna (Sang Pembangun), IM tidak bertujuan politis tapi
lebih kepada sosial keagamaan. Tujuan awal organisasi ini adalah
menghidupkan  kembali khazanah-khazanah  Islam lama dan metode-metode Islam
yang diterapkan oleh Nabi Muhammad. IM sangat menekankan pada ibadah-ibadah
mahdhoh dan ibadah sosial dan kekuatan jamaah serta kegiatan-kegiatan sosial
seperti kesehatan dan dakwah. Dakwah sebagai salah-satu ajaran utama
merupakan salah-satu cara untuk mencapai masyarakat Islam yang
dicita-citakan. Oleh karena gerakan ini lebih cocok dimasukkan sebagai
social movement ketimbang gerakan intelektual atau gerakan pemikiran yang
sering kali didefinisikan sebagai gerakan neo-revivalis. Neo-Revival artinya
penghidupan kembaliBukan berarti di dalam IM sendiri tidak ada kaum
intelektual, kebanyakan kaum intelektual IM berbasiskan ilmu-ilmu
pengetahuan alam ketimbang ilmu-ilmu sosial. Dengan demikian dilihat dari
visinya IM dapat disebut sebagai gerakan Islam Neo-Revivalis (Azyumardi
Azra, 1994). IM sebenarnya juga mengembangkan kebebasan berfikir para
anggotanya dalam konteks keilmuwan dan organisasi masing tapi bukan konteks
agama/aqidah. Yusuf Qordhowi salah-seorang aktivis IM bahkan dikenal moderat
bahkan 'agak' apresiatif terhadap ide-de Barat, seperti demokrasi,
multipartai, hak asasi manusia dan kemajuan teknologi. Jadi bisa dikatakan
sebenarnya IM pun bisa dikatakan liberal.

Walaupun bukan secara resmi menyatakan diri sebagai negara Islam, Mesir
tetap menghormati otoritas agama yang diwakili oleh para ulama Al-Azhar,
salah-satu universitas Islam tertua di dunia, selain Universitas Qoirawan di
Maroko yang berumur sekitar 900 tahun. Pluralisme aliran di Mesir
diakibatkan perkembang pemikiran yang begitu dahsyat sekaligus merupakan
respons terhadap modernisasi. Ada beberapa tokoh Islam yang dimasukkan dalam
tokoh Islam Liberal versi Islamlib.com adalah Hasan Hanafi, Nash Hamid Abu
Zaid, Mohammad Abid Al-Jabiri salah tokoh pemikir  Islam yang menggagas Post
Tradisionalisme Islam.



Akar-akar Kemunculan Islam Liberal

            Bagaimana kita melacak akar-akar kemunculan Islam Liberal ?
Pertama kita bisa melihat pada gerakan modernisme atau reformasi Islam di
Mesir pada akhir abad 19 dan awal abad 20-an oleh tokoh-tokoh pemikir Islam
yang menyerukan pada Renaissance dan kebangkitan Islam dalam bentuk yang
lebih modern seperti Jamaluddin Al-Afghani (1839-97), Muhammad Abduh
(1849-1905), dan Rasyid Ridha (1865-1935) di Mesir ; bahkan Sayyid Ahmad
Khan (1817-98), dan Sayyed Amir Ali (l.1849) di Anak Benua Indonesia. (Azra,
1999). Gerakan ini mengacu pada kemajuan akal pikiran untuk memutuskan
perkara-perkara agama. Abduh dalam jurnalnya yang terkenal mengatakan
perlunya dibukanya kembali pintu-pintu ijtihad untuk menerobos kebekuan.
Mesir pada awal abad ke-20 berada dalam cengkeraman Inggris.

            Sedangkan di Indonesia gerakan modernisme Islam dimulai dari
Ranah Minangkabau oleh tokoh-tokoh seperti Syekh Muhammad Jamil Jambek
(1860-1947), dan Haji Abdul Karim Amrullah (1870-1945); dan di Singapura
melalui putra Minangkabau, Syekh Thahir Jalaluddin (1869-1957), mendorong
pembentukan dan pengembangan organisasi-organisasi dan lembaga pendidikan
modern. Gerakan modernisme Islam ini mencapai puncaknya dengan pembentukan
organisasi Muhammadiyah oleh Ahmad Dahlan pada 1912 di Yogyakarta. KH. Ahmad
Dahlan sendiri adalah murid dari Syekh Muhammad Jamil Jambek di Bukittinggi.
Pada masa itu di Minangkabau muncul pertentangan antara kaum Tuo yang
cenderung konservatif dan menekankan pada pendekatan tasawuf dan kaum Mudo,
yang mengutamakan pada pendekatan yang lebih modern dan menekankan
penggunaan akal yang sedikit banyak Mu'tazilah. Penamaan kata "modern"
sebenarnya merujuk pada "kondisi kekinian" dimana pada waktu itu "modernisme
Eropa" juga dimulai dengan gerakan Renaissance atau gerakan pencerahan akal
budi. Akal dan kebebasan manusia untuk memilih lebih diutamakan daripada
kerangka-kerangka dogmatis yang diterapkan Gereja Katholik sebagai otoritas
tunggal. Gereja Katholik sendiri lalu menggunakan idiom  "Fidens Quarens
Intelectum" yang berarti "Tidak ada agama bagi orang yang tidak berakal,"
sebuah ucapan yang sebenarnya sudah dikenal oleh kaum Muslimin jauh sebelum
Katholik menggunakan istilah itu. Hal ini sudah dikatakan oleh Nabi Muhammad
SAW di Madinah dalam berbagai hadis.

Bahkan para ulama sendiri mempunyai sebuah diktum "Agama adalah nalar dan
tidak ada agama bagi orang yang bernalar" (ad-Din huwa al-aql la dinan liman
la aql lahu". Modernisme Islam menuju kepada sebuah  pencerahan akal budi
(nalar) bahwa manusia dalah makhluk ciptaan-Nya yang diberi kebebasan di
dunia ini untuk memilih jalannya masing-masing. Selain itu modernisme Islam
menekankan pada penguasaan ilmu pengetahuan modern yang selama berabad-abad
telah berkembang dari zaman Yunani Kuno, masa keemasan Islam, hingga
peradaban Renaissance. Oleh karena itu kaum modernis Islam tidak ragu-ragu
untuk menyerap pelbagai pengetahuan dari mana saja ia berasal. Kemudian
untuk itu, pihak modernis melakukan semacam pembaharuan dalam agama dalam
berbagai aspek, dari pendidikan, politik, doktrin-doktrin agama, dan
ekonomi.

Kaum modernis-lah yang pertama kali mempopulerkan istilah "ekonomi Islam",
atau "sistem pendidikan Islam", hal ini sebelumnya tidak pernah dikenal
dalam dunia Islam. Hal pertama yang direformasi adalah sistem pendidikan.
Modernis menilai sistem pendidikan yang ideal harus berorientasi ke depan
dan duniawi dan tidak semata-mata bernilai ukhrowi. Ini berbeda dengan kaum
Tradisionalis yang menilai bahwa pendidikan merupakan sarana untuk mencapai
Tuhan melalui penekanan pada aspek-aspek esoteris (tasawuf), akhlaq, dan
spiritual yang harus dicapai melalui riyadhoh-riyadhoh ruhiyyah dan ilmiah
yang sangat berat. Seorang santri harus mau hidup miskin dan sederhana dan
seolah-olah tidak menginginkan dunia, hingga kadang menyiksa diri sendiri.
Mereka tidak boleh hidup mapan. Kondisi masih dapat kita lihat di beberapa
pesantren di desa-desa di berbagai wilayah di Indonesia. Dalam khazanah
dunia tasawuf, dunia adalah sesuatu yang buruk, bahkan dalam sebuah hadis
dikatakan dunia tidak lebih baik dari bangkai binatang. Oleh karena itu
tidak heran bahwa kalangan tradisionalis justru sangat menolak hal-hal yang
berbau duniawi, termasuk ekonomi, politik, budaya, dan juga Barat.

            Kaum modernis berpandangan lain, dunia adalah sarana untuk
mencapai ridhlo Tuhan. Islam merupakan sebuah a way of life yang memuat
berbagai aturan dalam berbagai aspek. Bahkan untuk tafsir Al-Qur'an pun
kalangan modernis tidak ragu-ragu menggunakan alat analisa ilmu pengetahuan
modern baik itu ilmu-ilmu alam (fisika, kimia, biologi, kedokteran) maupun
ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, antropologi, maupun ilmu politik modern.
Kalangan modernis menerima demokrasi sebagai bentuk yang paralel dengan
musyawarah. Kalangan modernis juga menerima bentuk negara-bangsa
(nation-state) sebagai suatu bentuk perkembangan sejarah, bahkan menilai
dalam Islam tidak ada suatu bentuk yang khusus tentang bentuk
kenegaraan.(lihat Syafi'I Ma'arif, Sistem Ketatanegaraan Islam).

Bahkan Nurcholish Madjid dalam surat-suratnya kepada Muhammad Roem
mengatakan "Tidak ada Negara Islam". Nurcholish Madjid bahkan sistem
khilafah yang dibangun pada masa pasca Rasul merupakan suatu bentuk ijtihad
dari kalangan para sahabat dan ijtihad itu sangat tergantung pada situasi
dan kondisi pada masa demikian, maupun proses sejarah yang berlangsung.
Gerakan "pembaharuan" (tajdid, renewal) di dalam Islam secara sederhana
dapat diartikan sebagai   upaya, baik secara individual maupun kelompok pada
kurun dan situasi tertentu, untuk mengadakan perubahan di dalam persepsi dan
praktek keislaman yang telah mapan(established) kepada pemahaman dan
pengamalan "baru". Pembaharuan pada lazimnya bertitik tolak pada asumsi dan
pandangan -yang jelas dipengaruhi oleh situasi dan lingkungan sosial -bahwa
Islam sebagai realitas sosial pada lingkungan tertentu tersebut tidak sesuai
atau bahkan menyimpang sebagai Islam yang sebenarnya, Islam yang sesuai
dengan cita ideal -terlepas dari bagaimanapun berbedanya persepsi tentang
"Islam ideal" tersebut, sesuai dengan cara pandang, pendekatan, latar
belakang sosial kultural dan keagamaan individu yang bersangkutan.(Azyumardi
Azra, 1999).

            Lain dengan kaum Tradisionalis. Pada awalnya justru kaum
Tradisionalis tidak mengakui sistem negara bangsa (nation-state). Kaum
Tradisionalis mulanya hanya mengakui bentuk negara Islam (ad-daulah
al-Islamiyyah) sebagai satu-satunya bentuk negara sesuai kaidah fiqih yang
digariskan oleh Imam 4 mazhab, maupun kaum fuqoha terdahulu seperti
Al-Farabi dalam kitab Al-Madinatu Fadhilah (Kota Utama) maupun Imam
Al-Mawardi dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthoniyyah. Tradisionalisme Islam
berorientasi pada masa lampau ketimbang masa kekinian. Mereka lari ke masa
para fuqoha hingga ke masa tabi'at tabi'in, tabi'in, sahabat, dan Rasul.
Sebenarnya tradisionalisme ini juga menimpa sebagian dari golongan Ikhwanul
Muslimin di Mesir. Beberapa kelompok pecahan IM ada yang tidak mau
menggunakan mobil atau kendaraan motor dan memakai senapan, mereka tinggal
di gua-gua dan menggunakan panah dan tombak serta naik unta kemana-mana.
Namun harus diingat tipologi gerakan tradisionalis di tiap negara berbeda
sesuai dengan negara. Kaum tradisional di Maroko, Sudah, dan Aljazair
berbeda satu sama lain.

Kaum tradisionalis sering kali dinisbahkan kepada Nadhlatul Ulama (NU)
sebagai sebuah organisasi tradisionalis terbesar di Indonesia, tapi
sebenarnya banyak sekali kelompok-kelompok tradisional yang tersebar di
seluruh daerah di Indonesia. Dan mereka dipengaruhi dengan budaya lokal.
Seperti  misalnya Tarekat Syattariyyah di Sumatra Barat, Tharekat
Naqsyabandiyah di Jawa Barat, dan sebagainya. Hal ini membuat keragaman
tersendiri bagi Islam di Indonesia. Ketika Indonesia merdeka, kalangan ulama
NU memberi gelar waliyyul bi al-dhoruri as-syaukah, atau pemimpin negara
dalam keadaan darurat kepada Sukarno,  karena para


Islam Liberal dari Charles Kurzman sampai Nurcholish Madjid

            Dari perkembangan modernisme inilah Islam Liberal kemudian
berkembang menjadi sebuah pandangan Islam kontemporer. Kebanyakan mengetahui
bahwa Islam Liberal  direproduksi dari buku Liberal Islam karya Charles
Kuzman. Hati-hati ini bisa menimbulkan distorsi yang sangat manipulatif.

            Islam Liberal adalah sebuah gerakan dan pandangan Islam yang
mendukung demokratisasi, kesetaraan gender, pembelaan terhadap hak-hak
perempuan, dan mendukung pluralisme. Kesadaran tentang Islam Liberal
ditandai dengan empat ciri : (1) kritis, (2) memberi dan mendatangkan
energi, (3) menciptakan, (4) "menyembuhkan". (Syamsurrizal Panggabean,
Makalah, ISAI, 2001). Kesadaran Islam Liberal bertugas menolak kesadaran
dominan dalam budaya keagamaan, yakni kesadaran yang direproduksi oleh
kelas-kelas tertentu dalam masyarakat untuk mempertahankan hegemoni budaya
tertentu yang diklaim merupakan bentuk yang ideal. Tugas Islam Liberal
lainnya adalah mencakup kapasitas menciptakan, yaitu kemampuan untuk
mengidentifikasi masalah, isu, dan keprihatinan umat manusia. Dan terlibat
aktif menemukan jawaban-jawaban atas persoalan kemanusiaan lainnya. "Tuhan"
sebagai sebuah konsep, harus dibebaskan dari tradisi keagamaan yang statis
dan terkooptasi diperlukan suapaya Tuhan dan agamanya dapat kembali menuju
sumber energi yang memungkinkan umat bergerak maju menuju zaman dan situasi
yang lebih baik.

            Pemahaman "liberal" kita kontekstualisasikan sebagai "humanisasi
transenden" atau kebebasan untuk berkreativitas yang dijiwai nilai-nilai
ke-Tuhan-an yang lebih luas dalam lintas ideologi, kepercayaan, agama, dan
suku. Bukan dalam artian liberalisme sebagai sebuah ideologi yang
mengagungkan kebebasan an sich seperti yang ditakutkan oleh beberapa
kelompok Islam lainnya.

            Intinya Tuhan harus dibebaskan dari lanskap pertarungan ekonomi
dan politik yang ingin menjinakkan "Tuhan" dan Agama kepada kehendak
pemegang kekuasaan. Menjadi liberal berarti menjadi kreatif, aktif mencari
solusi dan sesuatu yang baru dan mungkin "aneh" atau kadang "lucu" namun
baik untuk kemanusiaan.

            Pemahaman ini didasari bahwa selama berabad-abad umat Islam
dikuasai oleh rezim-rezim despotik yang menggunakan kekuasaan agama untuk
melaksanakan kekuasaannya, seperti lazimnya  Rezim Umayyah, Abasiyyah,
Fathimiah, bahkan Utsmaniyyah. Dinasti-dinasti tidak ragu-ragu untuk
menghukum kelompok-kelompok lain yang tidak sesuai dengan  aspirasi
kelompoknya. Islam Liberal menghendaki adanya kebebasan bagi tiap individu
untuk mengembangkan kemampuan nalarnya. Islam Liberal menghendaki Islam yang
lebih majemuk dan mampu bergaul dengan kelompok-kelompok lainnya di luar
Islam. Ini sangat penting mengingatkan maraknya isu-isu hangat yang  menimpa
umat Islam semacam terorisme yang dinisbahkan pada kelompok-kelompok Islam,
ketidakadilan dunia, ketimpangan pendapatan antara negara kaya dan miskin,
dan kasus Palestina, Moro, Bosnia, dan sebagainya.

            Umat Islam harus berani bertarung dalam wacana intelektual dan
berhadap dengan teori-teori Barat yang sekular dan cenderung meniadakan
faktor agama. Hal ini sebenarnya sudah lama disinggung oleh Hasan Hanafi
dengan mengeluarkan bukunya "Oksidentalisme", sebuah studi tentang Barat,
karenanya kebanyakan saat ini justru studi tentang Timur atau Orientalisme
yang lebih marak.

Dekonstruksi Keberagamaan

            Islam memandang Al-Qur'an sebagai sesuatu yang dapat ditafsirkan
dengan luas dan sangat kritis. Islam Liberal sangat membolehkan siapa saja
menafsirkan Al-Qur'an sesuai dengan kapasitasnya masing-masing. "Liberasi"
menjadi kata kunci dalam memahami agama sesuai dengan konteks politik,
ekonomi, dan sebagainya. Jadi menurut paradigma Islam Liberal, Nalar-lah
yang sangat diperlukan untuk memahami Al-Qur'an maupun al-Hadist. Nalar dan
Alam merupakan wahyu Tuhan kepada manusia untuk dipelajari dan dipahami.
Individu-individu muslim harus terlibat aktif dalam membaca ayat-ayat alam
dan memanfaatkannya bagi kemanusiaan yang lebih luas. Bahkan kalau perlu
diciptakan tafsir Al-Qur'an yang lebih menggunakan akal ketimbang pemahaman
teks atau mungkin Al-Hadist. Pendapat ini senada dengan pendapat Nasr Hamid
Abu Zaid bahwa Al-Qur'an adalah kalam Tuhan yang diturunkan dengan bahasa
manusia sesuai kondisi masyarakat pada masa Nabi. Nashr Hamid Abu Zaid
mengatakan bahwa nalar Arab sangat digunakan untuk memahami Al-Qur'an.
Teks-teks klasik atau interpretasi ulama terdahulu sangat nalar Arab,
sehingga Al-Qur'an harus dipahami tidak dengan nalar Arab melainkan
nalar-nalar lain, misalnya nalar Eropa, nalar Indonesia, nalar Jepang, atau
mungkin nalar Amerika. Sehingga Islam dan syariah bisa dibumikan tidak
mengawang-ngawang dan hanya bisa diterapkan di Arab.

Islam Liberal menolak ortodhoksi. Bisa dikatakan orang-orang Islam Liberal
agak menolal istilah sistem politik Islam, sistem ekonomi Islam, karena
cenderung bertendensi pada perebitan lanskap ekonomi dan politik. Yang ada
adalah Islamic ethics (etika Islam atau akhlaq Islam) yang sangat bernuanasa
tasawuf. Istilah sistem justru bernuansa kekuasaan yang akhirnya berujung
pada despotisme dan tiranisme.

Semua itu menurut aktivis Islam Liberal merupakan sesuatu yang profan
(duniawi), sedangkan agama adalah sesuatu yang sangat ukhrowi.

Peta Islam Liberal di Indonesia

            Peta Islam Liberal ini menyangkut kelompok-kelompok mana saja
yang termasuk dalam Islam Liberal maupun kelompok lainnya. Islam Liberal
dalam sebuah majalah terbitan Ibukota  dilawankan dengan Islam Literal yakni
Islam yang sangat tekstual dalam memahami teks-teks Al-Qur'an dan Al-Hadis.
Islam Liberal di Indonesia dapat dikelompokkan dalam beberapa organisasi
maupun jaringan. Paralel dengan Islam Liberal adalah jaringan Post
tradisionalisme yang dibentuk oleh anak-anak muda NU. Post Tradisionalisme
pada intinya menginginkan adanya perombakan para paradigma fiqh Ahlus Sunnah
wal Jamaah (Sunni) yang cenderung ortodoks. Beberapa paradigma fiqh yang
dinilai cenderung terlalu menghambat adalah syarat-syarat mujtahid yang
harus menguasai beberapa ilmu. Sebenarnya paradigma Post Tradisionalisme
adalah kembali kepada penggunaan nalar dalam menggunakan kaidah-kaidah ushul
fiqh dan doktrin-doktrin lama. Paralel dengan gerakan Islam Liberal dan Post
Tradisionalisme Islam adalah gerakan Ikhwah atau. Gerakan ini sebenarnya
hanya berupa gerakan dakwah bukan gerakan pemikiran. Namun berbeda dengan
gerakan Islam Liberal dan Post Tradisionalisme Islam, gerakan ini cenderung
'agak' tekstual dan menginginkan sebuah masyarakat Islam yang ketat walaupun
tidak seketat Salafy Laskar Jihad. Gerakan Tarbiyyah akan sangat mungkin
bertabrakan dengan Post Tradisionalisme Islam karena dua perspektif yang
sangat berbeda. Anak-anak Post Tra adalah anak-anak yang sudah paham
akar-akar agama. Kebanyakan dari mereka berasal dari pesantren. Namun entah
kenapa setelah berkenalan dengan teori-teori Barat di IAIN mereka cenderung
melakukan dekonstruksi.

HMI : Islam Liberal ?

            Ada sementara sinyalemen bahwa HMI termasuk dalam Islam Liberal
dalam pemahaman keagamaan. Saya tegaskan HMI sama sekali bukan Islam Liberal
melainkan ia hanyalah bertindak sebagai sebuah organisasi belaka. Di sisi
lain HMI banyak sekali menampung berbagai pemikiran dari Post Tra, Islam
Liberal, Ikhwah, dan bahkan Salafy. Ia hanya sebuah bentuk, yang menampung
berbagai isi. Walau demikian sering kali beberapa organisasi dinisbahkan
dengan sebuah aliran-aliran tertentu.


Hanvitra

Penulis adalah mantan Ketua bidang Penelitian dan Pengembangan (Litbang)
Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Depok dan pernah jadi Ketua Departemen
Penerbitan dan Jurnalistik Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII)
Cabang Depok. Pernah menulis di beberapa surat kabar


----- Original Message -----
From: "Arman Bahar" <[EMAIL PROTECTED]>
To: "Arman Bahar" <[EMAIL PROTECTED]>
Sent: Friday, June 21, 2002 6:11 AM
Subject: [RantauNet] Selingan menjelang Jum'at


> Assalamualakum ww
>
> Bagi yang pernah mendapat kiriman dibawah ini, maaf di dilet aja, yaa?
>
> wasalam
> armanbaharpiliang
>
> Gerakan Wahabi dan Perang Padri
>
> Dimaklumi bahwa Islam masuk ke Sumatera Tengah melalui pantai Barat
Sumatera
> sejak abad 8M, hal ini dibuktikan dengan diketemukan makam tertua di
Ulakan
> Pariaman sebagai makam Tuanku Shekh Burhanuddin (murid Shekh Abdur Rauf
> Singkel Aceh)
---dikarek---


RantauNet http://www.rantaunet.com

Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/register.php3
===============================================
Mendaftar atau berhenti menerima RantauNet Mailing List di: 
http://www.rantaunet.com/subscribe.php3

ATAU Kirimkan email Ke/To: [EMAIL PROTECTED]
Isi email/Messages, ketik pada baris/kolom pertama:
-mendaftar--> subscribe rantau-net [email_anda]
-berhenti----> unsubscribe rantau-net [email_anda]
Keterangan: [email_anda] = isikan alamat email anda tanpa tanda kurung
===============================================

Kirim email ke