SUARA PEMBARUAN DAILY

Devolusi Otonomi di Simpang Jalan

Indra J Piliang

Devolusi merupakan batas terjauh dari desentralisasi. Konsep devolusi bahkan berhimpitan dengan konsep negara federal (state governments: USA, India dan Brazil). Konsep ini juga ada yang berbasiskan provincial governments (Kanada). Sedangkan aura UU No. 22/ 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang berbasiskan daerah tingkat dua, pelaksanaannya masih tersendat-sendat, baik akibat ketiadaan supporting system, maupun akibat perilaku aparatus negara di tingkat lokal. Padahal devolusi berbasiskan daerah tingkat II adalah bentuk paling maju, bahkan paling liberal yang pernah diadopsi oleh negara-negara di dunia.

UU Otonomi Khusus Aceh dan Papua, misalnya, makin menunjukkan devolusi ekonomi, politik dan sosial budaya yang membedakannya dengan provinsi lain. Tetapi pembentukannya masih dalam suasana batin membayar kesalahan masa lalu, sehingga ada penciptaan kondisi untuk tak lagi berurusan dengan lembaga-lembaga negara yang merupakan perpanjangan tangan dari pemerintahan pusat. Konsep devolusi yang menyertai UU Otonomi Khusus Papua dan Aceh itu juga berjalan setengah hati, karena belum disertai dengan pengalihan sumber-sumber pembiayaan (local resources and budget) yang sepenuhnya berada di tangan daerah dan pemerintah pusat hanya berkepentingan dengan sumber-sumber pembiayaan sekunder, seperti pajak.

Devolusi ekonomi sebetulnya juga sudah terjadi dengan pembentukan Otorita Batam di masa Orde Baru yang sudah dirintis sejak tahun 1971. Tetapi, sekali lagi, konsep devolusinya tak berakar ke basis ekonomi-politik lokal. Yang terjadi sebetulnya hanyalah meletakkan model pertumbuhan ekonomi ala negara Orde Baru ke wilayah lokal. Ibarat memasukkan gajah ke dalam kardus. Akibatnya muncul berbagai problema sosial sebagai faktor ikutan, seperti pelacuran, kriminalitas, serta premanisme berbasiskan etnis pendatang.

Sementara faktor keterlibatan masyarakat lokal terabaikan yang ditunjukkan dengan peminggiran model ekonomi kerakyatan dan tradisional, seperti perikanan, pariwisata-budaya dan pertanian. Pemerataan kesempatan dan perolehan ekonomi oleh masyarakat lokal yang merupakan unsur penting devolusi ekonomi tidak terjadi, karena yang diperkaya hanyalah negara atau elite-elite penguasa dan pengusaha yang dekat dengan aparatur negara. Gajahnya semakin gemuk, sementara kardusnya robek-robek akibat terlalu lama diduduki. Belum lagi pada segi favoritisme penguasa dan pengusaha lokal yang merupakan perpanjangan tangan unsur kekuatan politik-ekonomi nasional. Kondisi ini belum mengalami perubahan signifikan, paling tidak selama kunjungan penulis di Batam. Batam terlalu semrawut dan penuh pemukiman liar.

Pseudo Devolusi?

Secara umum, penerapan konsep devolusi di Indonesia belum jelas. Penerapan satu soal saja dalam konsep devolusi, tanpa menyebut soal lain, adalah bentuk dari pseudo devolusi. Ada unsur-unsur yang sudah mengalami devolusi, tetapi belum dalam suasana integrasi dengan domain negara. Yang terjadi bukan devolusi, tetapi disintegrasi sektoral yang rawan konflik akibat ketiadaan ikatan nasional sebagai nation state dan penghormatan terhadap hukum. Penerapan syariat Islam di sejumlah daerah, misalnya, adalah devolusi di bidang religius. Tetapi devolusi religius seperti ini justru memperlemah devolusi sistemis bidang-bidang lain. Kenapa? Syariat Islam menjadikan Hukum Islam sebagai hukum tertinggi. Penerapannya juga membutuhkan Mahkamah Syariah, juga alat-alat represif apabila hukum Islam dilanggar.

Atau devolusi yang berdasarkan adat-istiadat lokal, tanpa memberi ruang gerak kepada kelompok masyarakat lain, antara lain dengan munculnya sejumlah Peraturan Daerah (Perda) yang mengutamakan kepentingan etnis asli. Dalam hubungannya dengan devolusi yang berarti juga mengakui keberadaan negara, bagaimana mungkin ada jenis hukum tertinggi yang mengatasi sistem hukum nasional? Indonesia memang pernah menerapkan tiga hukum sekaligus, di masa penjajahan Belanda, yaitu hukum nasional, hukum agama, dan hukum adat, tapi dalam bentuk peraturan yang jelas. Kini, semuanya serba kabur, hingga yang terjadi adalah encroachment (penggerogotan) hukum nasional oleh hukum lokal. Maraknya kasus pedofilia, misalnya, terasa sekali merugikan korban karena selalu menggunakan hukum nasional dengan putusan hukuman yang ringan. Padahal, kalau dikenakan hukum agama dan hukum adat, jauh lebih berat.

Otonomi daerah di level Daerah Tingkat II bisa jadi sejak awal ditujukan untuk menjalankan konsep devolusi ini. Tetapi kenyataannya tidaklah demikian. Otonomi daerah belum sepenuhnya mendukung keberadaan konsep devolusi ini. Sebab syarat-syarat pokoknya belum terpenuhi, baik berupa pembentukan masyarakat politik lokal (termasuk partai politik lokal, pendidikan politik yang sensitif kepada permasalahan lokal, atau pressure groups di tingkat lokal), atau minimal infrastruktur penyaluran aspirasi masyarakat lokal. RUU Politik terbaru belum menampung soal ini, selain kuatnya nuansa kembalinya struktur hegemoni politik partai-partai besar dan nasional. Kalaupun kini terdapat sejumlah daerah tingkat II yang mengalami devolusi, devolusi itu terjadi tanpa sengaja. Akibatnya, prioritas devolusi juga beragam, apakah itu agama, tuntutan jabatan-jabatan publik untuk putra daerah, atau aspirasi untuk masuk ke lembaga-lembaga ekonomi negara seperti BUMN yang belum dilandasi oleh aturan main.

Dalam aras politik, devolusi politik berarti menumbuhkan demokrasi di tingkat lokal. Penguatan demokrasi lokal mensyaratkan partisipasi politik masyarakat lokal. Proses rekrutmen politisi lokal juga memerlukan fit and proper test dari masyarakat politik lokal, dan bukan oleh pimpinan partai politik di pusat. Dari sisi ini, Indonesia belum mencapainya. Peluang devolusi politik akan maksimal apabila tumbuh partai-partai politik lokal, juga pemilihan umum lokal untuk memilih anggota parlemen atau Dewan Kota lokal. Untuk Jakarta, kelemahan terbesar dari proses pemilihan Dewan Kelurahan sekarang adalah sebelum mereka menjadi anggota Dewan Kota, keputusannya berada di tangan DPRD DKI Jakarta. Ini menunjukkan adanya intervensi kepentingan partai politik lagi.

Perhitungan Terbalik

Bentuk paling menarik dan potensial untuk memajukan masyarakat lokal penulis jumpai di Provinsi baru Bangka-Belitung. Inilah daerah yang sepertinya mengingatkan kita pada pertumbuhan pertama Republik Indonesia. Daerah yang termasuk dimiskinkan selama ini, sekalipun mempunyai sumber daya manusia, alam dan budaya yang kuat, kini sedang berdenyut positif. Ini juga daerah yang menunjukkan dominannya unsur politik lokal, bahkan sinergi kepentingan antarlokal dan nasional, juga simbiosis hubungan kesetaraan dan kesejiwaan antarkomponen etnik. Sekitar 40% etnis Tionghoa yang menghuni provinsi ini, terasa sekali hidup sebagaimana masyarakat Bangka-Belitung kebanyakan, mulai dari petani, pedagang eceran, atau sopir taksi. Ada keindahan pandangan ketika penulis menyaksikan pelajar-pelajar SMA yang merayakan kelulusan dari dua etnis dominan, Melayu dan Tionghoa, saling bercanda, naik mobil dan motor, ramai-ramai menguasai jalanan kota.

Devolusi mensyaratkan independensi pembiayaan local institution. Apabila devolusi terjadi, pemerintah pusat idealnya menyerahkan sumber-sumber pembiayaan yang berada di satu daerah otonom. Yang terjadi nyaris soal devolusi keuangan ini hanya menyangkut soal proporsi (80:20% atau 70:30%), dan bukan kesinambungan pembiayaan local institution dan local development berdasarkan local resources. Konsep Dana Alokasi Umum (DAU), misalnya, memperlihatkan betapa devolusi itu masih ditandai oleh dominasi pemerintahan pusat dari segi penetapan anggaran keuangan. DAU masih berbentuk subsidi silang, termasuk untuk daerah-daerah yang miskin resources. Makanya, ketika DAU akan dikucurkan, kepala-kepala daerah berlomba-lomba melobi Jakarta.

Padahal, dalam devolusi, yang akan terjadi justru sebaliknya: Pemerintah pusat berusaha meyakinkan daerah untuk menyerahkan sebagian penghasilan yang merupakan hak daerah demi kepentingan nasional, lalu dibayar oleh pemerintah pusat dengan servis dalam segi pertahanan keamanan, politik luar negeri, peradilan, moneter (bank sentral) dan fiskal, agama dan national domain lainnya (Pasal 7 UU No. 22/1999) yang tidak mungkin dilakukan oleh daerah tingkat II. Apakah kemudian soal penetapan anggaran keuangan ini nanti diserahkan kepada daerah, perlu dipikirkan dengan serius mengingat berbedanya skala prioritas penggunaan oleh daerah yang sebagian besar justru untuk aktivitas rutin, seperti baju gubernur DKI Jakarta. Yang pasti hal ini akan melibatkan banyak faktor, antara lain kesenjangan sumber-sumber pembiayaan di daerah, karena persebaran kekayaan yang tidak merata. Mungkin yang bisa dilakukan adalah pembalikan mekanisme penetapan APBN, yaitu dimulai dengan usulan dari APBD, lalu dibuka ke publik lokal dan nasional, lantas disinergikan di pusat untuk ditetapkan oleh pemerintah dan DPR dalam bentuk APBN. Yang terjadi selama Orde Baru, APBN dulu ditetapkan, baru kemudian diikuti oleh APBD. Padahal, mestinya perhitungan itu dibalik.

Selain itu, kesulitan terbesar dalam menerapkan konsep devolusi secara genuine adalah besarnya jumlah daerah tingkat II, sebanyak 360-an lebih. Makanya, USA saja meletakkan devolusinya di negara bagian, sedangkan Kanada di provinsi. Manajemennya akan lebih efisien, masalah yang muncul juga tak sebanyak penerapan di daerah tingkat II. Penerapan konsep devolusi di daerah tingkat II di Indonesia, kalau memang desain awalnya begitu, justru terasa sangat liberal dibandingkan dengan Amerika dan Kanada. Akibatnya yang banyak muncul adalah inefisiensi dan kesalahan prioritas devolusi. Misalkan, apakah banyaknya Tambang Inkonvensional (TI) sebagai bentuk yang dimanipulasi sebagai jenis ekonomi kerakyatan lebih merupakan prioritas, ketimbang kesinambungan lingkungan hidup? Sungai-sungai di Bangka-Belitung kini tercemar sedemikian parahnya. Apakah soal inefisiensi ini yang terjadi di India, karena masing-masing negara bagiannya mempunyai menteri-menteri negara bagian tersendiri, sehingga dari segi ekonomi jauh di belakang USA? Film-film India menunjukkan bagaimana konflik yang muncul antara menteri-menteri negara bagian yang banyak itu dengan masyarakat, sehingga menghasilkan banyak hero dari Bollywood.

Keprihatinan Bersama

PP No. 25/2000 menunjukkan bahwa banyak sekali tanggung jawab diserahkan kepada daerah, mulai dari pendidikan sampai pada pemeliharaan fakir miskin dan anak-anak telantar (Pasal 34 UUD 1945 asli). Ketika pemerintahan lokal tak peduli pada soal pendidikan ini, pertanda Indonesia semakin terpuruk dalam soal human resources, seperti hasil survei pendidikan baru-baru ini. Belum lagi pada soal lost generation, hunger oedem, juga konflik komunal yang menyertainya akibat persoalan-persoalan ekonomi (pencarian nafkah).

Kita mungkin perlu belajar dari sejumlah kegagalan dalam penerapan otonomi daerah di Amerika Latin yang juga ditunjang oleh lembaga-lembaga internasional, seperti World Bank. Sejumlah negara sudah memulainya sejak tahun 1983, ketika kondisi negara-negara itu sedang membaik dalam soal keuangan dan demokrasi. Tetapi apa yang terjadi dengan sejumlah negara Amerika Latin sekarang menunjukkan betapa otonomi daerah tidak menjamin bagi munculnya rezim militer atau rezim otoriter, bahkan kembalinya aktor-aktor politik lama yang menguasai jaringan bisnis dan politik. Adalah penting untuk mencari perbandingan dari banyak kegagalan negara lain, ketimbang mencontoh keberhasilan dari sedikit negara.

Kecenderungan pejabat di Depdagri atau pakar-pakar otonomi daerah untuk mencarikan referensi otonomi daerah dari karya-karya terbaru akademisi luar yang lebih bersifat utopis, perlu dikurangi, kalau tidak dihilangkan sama sekali. Di Bangka Belitung, keprihatinan bersama dijadikan sebagai pijakan, dan bukan euforia berlebihan. Bahkan sejumlah tokoh pejuang pembentukan provinsi kini mendeklarasikan diri sebagai oposisi pemerintah daerah. Sekalipun terlambat, masih ada waktu bagi aparatur pemerintah nasional untuk mengubah visi dan misi eksistensi mereka, dengan meninggalkan pola-pola hidup yang mewah, sering bepergian keluar negeri dengan rombongan besar tanpa kejelasan hasil, atau konflik untuk soal-soal yang masih jauh di depan, seperti siapa yang akan menjadi presiden dan bagaimana meraihnya. Menyelamatkan perahu retak Indonesia agar tak tenggelam jauh lebih penting, dari sekadar membicarakan siapa nakhodanya.

Penulis adalah peneliti politik dan perubahan sosial CSIS, Jakarta.


Last modified: 25/6/2002

Attachment: indrapil.gif
Description: GIF image

Attachment: d.gif
Description: GIF image

Kirim email ke