Jika semua bahan pembahasan di atas itu kita kaitkan dengan tantangan perkembangan bangsa dan negara kita sekarang ini, kita akan dapat menemukan beberapa hal untuk menjawab tantangan yang terjadi. Oleh karena kita sejak beberapa tahun terakhir ini kita telah berketetapan hati untuk melaksanakan demokrasi, dan kita telah tergiring oleh dinamika perjalanan sejarah bangsa dan negara kita sendiri ke arah itu, maka dengan sendirinya tantangan pertama dan utama ialah bagaimana kita memberi makna kepada demokrasi kita itu, sehingga tidak berkembang menjadi persoalan prosedural kosong belaka. Mengikuti cara Bung Hatta memahami Pancasila sebagai rangkuman empat nilai-nilai asasi pandangan hidup kebangsaan yang dibimbing dan disinari oleh sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, maka diperlukan kemampuan untuk memberi makna kepada demokrasi, salah satu dari empat sila asasi, sebagai suatu pandangan hidup atau way of life, yang kesungguhan pelaksanaannya tergantung kepada seberapa jauh kita menghayati prinsip Ketuhanan itu dan menjadikannya landasan pemaknaan kita kepada way of life demokrasi tersebut. Sebab demokrasi sebagai way of life, bukan sekedar sebagai prosedur semata --betapapun pentingnya segi prosedural itu sendiri-- sungguh menuntut komitmen yang sedikit banyak bersifat total, karena itu memerlukan dimensi metafisis dari sila Ketuhanan Yang Maha Esa:

 

Pandangan hidup demokratis secara teguh bersandar kepada asumsi bahwa cara harus bersesuaian dengan tujuan (jadi tidak dibenarkan menerapkan dalil sesat "tujuan menghalalkan cara"). Ketentuan inilah, jika dilaksanakan, akan memancar sebagai tingkah laku demokratis dan membina kerangka moralitas demokratis.11

 

Orang yang berusaha menyesuaikan dirinya kepada cara hidup demokratis dituntut untuk mendidik dirinya kepada asas suatu kemajemukan dalam ketunggalan, yaitu persatuan yang diperoleh melalui pemanfaatan kreatif kemajemukan. Masyarakat yang dengan teguh melaksanakan demokrasi diharapkan dapat menyediakan dan melindungi rentangan luas berbagai kemajemukan.12

 

Tanggung jawab kelompok mayoritas ialah melakukan eksperimen di bawah sorot mata kelompok minoritas yang waspada dan kritis. Jika kelompok-kelompok mayoritas menyombongkan diri dengan tidak menghormati kelompok-kelompok minoritas maka mereka menjadi tiranik. Suatu kelompok mayoritas yang tidak toleran, baik karena dorongan nafsu ataupun ketakutan, bisa menjadi penyebab demokrasi kehilangann kebebasannya.13

 

Orang yang berdedikasi kepada cara hidup demokratis akan mampu bergerak ke arah tujuan itu jika mereka bersedia menerima dan hidup sejalan dengan ketentuan berfungsinya keinginan-keinginan secara parsial (partial funcfuoning of ideals). Perfeksionisme dan demokrasi adalah dua hal yang tidak sejalan.14

 

Demokratisasi adalah satu proses yang berkelanjutan, dan menjadi semakin tidak dapat diputar kembali.15

 

Secara umum, demokrasi sering ribut, tapi jarang tidak stabil. Barangkali memang betul orang akan berdemonstrasi, berteriak-teriak, menantang, dan menjadi kurang tertib; namun telaah kepada sejarah menunjukkan bahwa dalam masyarakat yang kompleks dan maju, pemerintahan demokratis adalah sangat stabil. Sebagaimana revolusi sosial yang keras tidak pernah menghasilkan demokrasi, demokrasi pun tidak pernah menimbulkan revolusi sosial yang keras.16

 

Namun.. . hanya jika bentuk (juga muatan) hubungan-hubungan manusia dapat dengan cepat dan mudah diubah akan terbentuk masyarakat yang kuat. Kalau ada bahaya dalam perubahan yang terlalu banyak, bahaya yang sama juga ada dalam kekakuan yang terlalu banyak.17

 

Dan demokratisasi sebagai perubahan Kekuasaan, maksudnya ialah tunduknya lembaga kekuasaan pusat kepada persaingan politik, dan harus ada garis pembatas yang jelas antara partai dan negara.18

 

Semua nilai-nilai demokratis sebagai way of life, tidak sekedar sebagai masalah prosedural semata, benar-benar memerlukan komitmen para pendukungnya secara mendalam dan sejati. Karena itu diperlukan dimensi metafisis dan keimanan seperti diteladankan oleh Bung Hatta. Dan sebagai penyumbang paling komprehensif dan mendalam bagi usaha pelembagaan nilai-nilai kebangsaan Indonesia, Bung Hatta adalah seorang tokoh teladan pribadi nasionalis-religius, sekaligus rasional-ilmiah, tanpa keterpecahan jiwa dan keterbelahan pribadi. Ia tampil utuh, integral, konsisten, teguh pendirian, tabah, sabar dan jujur, serta terbuka bagi pikiran-pikiran terbaik dari manapun datangnya. Bangsa Indonesia amat beruntung memiliki tokoh teladan seperti Bung Hatta, pribadi nurani bagi seluruh anak negeri.

 

Alhamdulillah, dan terimakasih kepada semuanya.

 

Catatan akhir:

1Muhammad Hatta, as quoted in Water Bonar Sidjabat, Religious Tolerance and the Christian Faith, A Study concerning the Concept of Divine Omnipotence in the Indonesian Constitution in the Light of Islam and Christianity (Jakarta: Badan Penerbit Kristen Gunung Mulia, 1982), h. 51.

 

2Soedjatmoko, Indonesia: Problems and Opportunities, Dyason Memorial Lectures 1967, The Australian Institute of International Affairs, Melbourne, h. 263.

 

3Hildred Geertz, dalam Ruth T. McVey, Indonesia, Southeast Asian Studies, Yale University, 1963, hh. 69-70.

 

4Ekstrak dari the Encyclopaedia of Islam, CD-ROM Edition v. 1.0 © 1999 Koninklijke Brill NV, Leiden, Belanda.

 

5John W. Henderson, et. al., Area Handbook for Indonesia, Foreign Area Studies, the American University, Washington D.C., 1979, h. 114.

 

6Henderson, et. al., op. cit., h. 114.

7Henderson, et. al., op. cit., h. 114.

 

8Tocqueville noted the American zeal for change and connected it with the restless search for the ideal and the profusion of opportunities to achieve that ideal. He saw the significance of the interaction of democracy and religion and anticipated the denominational efflorescence so characteristic of American life. (Ensiklopedi Americana, s.v. Democracy in America).

 

9Ivor Brown, "The Ethics of Goldern Mean", dalam The Listener, July 24, 1947, dikutip dalam (T.V. Smith dan Eduard C. Lindeman, The Democartic Way of'L#e [New York, 1951], h. 91.

 

10There is a profound problem with modern secularism and liberalism, namely that it is only a negative good, in the sense that all it can do is "keep fanaticism at bay." That ini itself is no small accomplishment, but it can only provide a framework for diversity and tolerance, not the ideals and values a society needs to bring about true pluralism. The second great danger facing pluralism is that we could gravitate toward an empty and procedural liberalism far removed from religiously grounded truth, in which case the American experiment would be over, and a new revolution would be required. The institutions and behavior of the American experiment simply cannot exist without the religiously grounded truths asserted by the founders. The challenge for American democracy today is to find a way to answer Aristotle's question regarding how to order our social life within the context of a constitutional order premised on certain declared truths. We are not sure if this is possible. If the American experiment fails, it will have sobering implications for democratic pluralism throughout the world. (Prosiding dari Conference on Pluralism and Its Cultural Expressions [diponsori oleh The Rockefeller Foundation dan the Aga Khan Trust for Culture], Bellagio, Italia, November 10-12 1992, hh. 17-18).

 

11The democratic way of life rests firmly upon the assumption that means must be consonant with ends. It is this rule which, when practiced, emanates as democratic behavior and constructs a pattern of democratic morality. (Smith dan Lindeman, op. tit., h. 100).

 

12Persons striving to adapt themselves to the democratic way of life are required to discipline to one variety of unity, namely unity which is achieved through the creative use of diversity. A society which is by affirmation democratic is expected to provide and protect a wide range of diversities. (Smith and Lindeman, op. cit., h. 91)

 

13The majority's responsibility is to conduct an experiment under the watchful eye of an alert and critical minority. When majorities arrogate themselves the right to disregard minorities they become tyrannical. An intolerant majority, swayed by passion or by fear, might become the means by which democracies lose their liberties. (Smith dan Lindeman, op. cit., h. 97).

 

14Persons dedicated to the democratic way of life are capable of moving in the direction of that goal if they are prepared to accept and live according to the rule of partial functioning of ideals. Perfectionism and democracy are imcompatibles. (Smith dan Lindeman, op. cit., h. 96).

 

15Democratization is an ongoing process, and one that is becoming increasingly irreversible. (Dikutip oleh Chen Wen-Tsung dan Richard R. Vuylsteke, "Taiwan's Democratization Part of the World Trend", 2 seri, dalam Jakarta Post, 9 dan 10 Juni 1989).

 

16 ... in general, democracies are often unruly, but they are rarely unstable.:While it is true that people may march, shout, confront, and be disorderly, a look at history shows that in complex and development societies, democratic governments are very stable. Just as violent social revolution never produce democracies, democracies never produce violent social revolutions. (Chen dan Vuylsteke, op. cit.).

 

17Only when the forms (as well as the contents) of human relations can be changed swiftly and easily can there be a strong society. And if there is danger in too much change, there is equal danger in too much rigidity. (H.G. Duncan, Symbols in Society, Oxford, 1972, h.37).

 

18... we talk about democratization as a change of Regime, ... we mean specifically the submission of central authoritative offices to political competition, and clear lines of distinction between party and state. (Chen dan Vuylsteke, op. cit.).

 

 

Catatan IJP: 

Setelah penyampaian pidato ini, terdapat beragam tanggapan tentang Hatta, juga atas pidato Cak Nur. a.l. dari Rosihan Anwar, Taufik Abdullah, Edi Utama, Des Alwi, Dewi Fortuna Anwar, AA Navis. Saya juga menyampaikan tanggapan kecil yang kurang dielaborasi oleh Cak Nur, yaitu darimana asal demokrasi di Minang. Sebagaimana kita bisa baca diatas, Cak Nur nyaris tak menyinggung akar-akar demokrasi dalam budaya Minang. Saya sebutkan, antara lain Surau (sebagai simbol keislaman, sekaligus 'pesantren' yang sesungguhnya tempat anak lelaki tidur, mengaji, berpantun, sampai main silat malam hari. Surau melahirkan apa yang dikenal sebagai kaum Santri -- ekstrimnya Padri -- Minang), palanta lapau (warung tempat maota, mendiskusikan masalah besar sampai kecil, tak peduli anak kecil atau orang dewasa, yang penting punya pengetahuan dan keberanian berdebat), dongeng dari ibu atau dari tukang-tukang dongeng (ibu menurunkan cerita-cerita alami, mulai dari soal kancil dan buaya, sampai cerita nabi, juga cerita antah berantah tentang Cindur Mato, Anggun Nan Tongga, etc, hingga imajinasi anak-anaknya menjalar kemana-mana. Tukang kaba, dengan rebabnya, lebih dahsyat lagi, menceritakan soal rantau, kisah perjalanan, juga kisah kepahlawanan zaman dulu, baik di zaman Nabi atau dizaman tokoh-tokoh Minang), dan rantau (rantau pertama adalah negerinya sendiri, dari desa ke kota, dari rumah ke surau dan lapau, dari kampung ke sekolah, atau yang bersifat perpindahan antar daerah dan negara. alam terkembang jadi guru). HAMKA, misalnya, ketika kecil suka bersilat, menantang orang, padahal belum mengerti "langkah empat". Sampai tua, masih ada goresan luka bekas kena bacok lawannya, di usia muda. Itu dulu. Nanti diteruskan.  

Kirim email ke