Kompas, 9 Agustus 2002

Bung Hatta sebagai Model Kepemimpinan

Oleh Jakob Oetama

SETAHUN usia Pemerintah Presiden Megawati Soekarnoputri mengundang penilaian atas kepemimpinannya. Di antaranya, kepemimpinannya dinilai tidak jelas visinya, tidak komunikatif, tidak menggelombangkan semangat ke rakyat, tidak pula menggerakkan birokrasi pemerintahannya.

Disorot tajam atas kepemimpinannya yang belum juga menciptakan iklim yang mendorong mulainya suatu pemerintahan yang bersih ke dalam serta membangkitkan gelombang kebersihan ke seluruh birokrasi serta lingkungan masyarakat, termasuk elite politik maupun masyarakat bisnis.

Lagi-lagi terngiang kata bersayap pujangga Friedrich von Schiller yang sering dikutip Bung Hatta, "Zaman besar telah dilahirkan abad, tetapi zaman besar itu hanya menemukan manusia kerdil." Sekurang-kurangnya suatu zaman pancaroba dan zaman peralihan menerpa bangsa Indonesia. Seorang pemimpin diperlukan. Pemimpin macam apa?

Pertanyaan pemimpin macam apa semakin mendesak, ketika orang melihat ke kiri dan ke kanan dan tidak pula merasa menemukan sosok yang sepadan dengan tantangan zaman. Suatu hasil polling menunjukkan dari kalangan muda pun, sosok-sosok pemimpin belum tampil secara meyakinkan.

Demikianlah, pemimpin disorot sebagai persoalan besar yang dihadapi bangsa. Suatu koinsidensi yang mencerahkan pun tiba. Pada tanggal 12 Agustus 2002 genaplah 100 tahun usia Mohammad Hatta. Peringatan seabad pejuang, pendiri bangsa dan koproklamator bergaung luas, dan marilah kita cerna agar bergaung mendalam pula.

Zaman besar di masa lampau, yakni zaman kebangkitan, pergerakan dan perjuangan kemerdekaan telah berhasil menemukan orang-orang besar pula. Mereka itulah para penggerak dan pendiri bangsa. Beberapa mencuat dan menonjol di atas rekan-rekan sezamannya. Seorang di antaranya adalah Bung Hatta.

Sungguh suatu anugerah zaman bahwa seabad peringatannya jatuh ketika kita, bangsa Indonesia, sedang membuka mata, telinga, pikiran dan hati untuk belajar dari pengalaman sejarah bangsa sendiri serta pengalaman sejarah bangsa-bangsa lain.

Setiap pemimpin bangsa meninggalkan sosok, kepribadian, karakter, visi, komitmen, serta pergulatan dan suri tauladan yang dapat diambil hikmahnya. Untuk menghadapi pancarobanya perubahan zaman seperti kita jalani sekarang ini, sosok Bung Hatta benar-benar suatu mercusuar.

Ambillah tugas pemimpin yang paling mendesak dewasa ini, ialah menyelenggarakan pemerintah dan pemerintahan yang bersih, yang tidak menyalahgunakan kekuasaan, wewenang, kesempatan, dan koneksi. Dan dengan demikian juga suatu pemerintah yang mau dan mampu menghentikan proses degradasi dan demoralisasi bangsa dalam urutan yang paling sentral dan menentukan, yakni penyelenggaraan kekuasaan.

Bung Hatta berpuluh tahun berada di sentral kekuasaan. Ia mempunyai modal pengabdian yang sekiranya ia kemudian akan menagihnya untuk kepentingan pribadi, masyarakat dan lingkungan akan menenggangnya. Ia tidak memanfaatkannya. Ia tidak memanfaatkan sampai akhir hayatnya.

Pemimpin-pemimpin lain jatuh bangun, terutama dalam ranah penggunaan kekuasaan dan kesempatan. Bung Hatta uncorruptable, tak terkorupsikan ketika memegang kekuasaan. Tidak pula memanfaatkan modal pengabdian maupun koneksi, ketika dengan sukarela meninggalkan kekuasaan.

Patut dipelajari, mengapa ia sanggup tak terkorupsikan sementara yang lain-lain, termasuk Bung Karno jatuh bangun. Ada elemen keagamaan pada sosok pribadinya yang dipahami serta dihayati secara serius sekaligus dengan pandangan yang tercerahkan oleh pendalamannya terhadap filsafat Barat dan Marxis. Begitu di antaranya, penjelasan Malvin Rose, penulis biografi politik Mohammad Hatta.

Faham dan perjuangannya menegakkan kedaulatan rakyat dipengaruhi latar belakang Minangkabau yang egaliter serta lebih bebas dari struktur dan kultur feodal daripada di Jawa. Sesuai pula dengan kepribadiannya yang introvert dan kaku, jika ia secara konsisten dan secara konsekuen menempuh jalan lurus.

Namun, ada hal lain yang terutama untuk zaman sekarang, perlu ditegaskan. Bung Hatta berhasil menumbuhkan pada pribadinya, pilihan dan komitmen asketisisme. Yakni asketisisme seorang pemimpin. Lagi-lagi kata Malvin Rose, ia mendisiplinkan diri sendiri untuk menekan nafsu dan emosi alamiah dengan cara memusatkan seluruh jati dirinya pada pencapaian kemerdekaan Indonesia.

Ia barulah berkeluarga setelah Indonesia Merdeka. Ia melanjutkan asketisismenya dalam menyelenggarakan kekuasaan dan ketika berada di tengah kekuasaan. Kecuali pemahaman, asketisisme seperti dihayati oleh Bung Hatta adalah soal pilihan. Memang pilihan itu menjadi bagian bahkan faktor yang menentukan apakah kepemimpinannya berhasil atau tidak.

Mengenai pilihan ini, sebaiknya ditegaskan dan dipahami. Semua pekerjaan, profesi dan jabatan kecuali pertimbangan dan dimensi pribadi juga mempunyai dimensi kemasyarakatan. Tetapi pastilah berbeda pertimbangan, dimensi serta implikasi dan konsekuensinya, apakah seseorang memilih sebagai ilmuwan, sebagai pebisnis, atau sebagai politikus.

Di masa lampau, ketika ekonomi pasar dan konsumerisme global dan lokal belum semerajalela sekarang, pilihan-pilihan lebih sederhana. Tetapi betapapun zaman berubah, terutama dengan merajalelanya konsumerisme dan materialisme kapitalis, toh pilihan-pilihan itu tetap memiliki konsekuensi dan implikasi masing-masing. Termasuk tentu saja anugerah, imbalan serta pengakuannya.

Kalau Hatta memilih sebagai pedagang, ia pun akan berhasil amat jauh. Tetapi dengan sadar, sejak muda, ia memilih bidang lain. Bidang pengabdian politik untuk memerdekakan bangsa dan negaranya, untuk mendidik dan mencerahkan rakyat, untuk mewujudkan kedaulatan rakyat dan keadilan sosial.

Memang lebih berat pilihan menempuh jalur pengabdian politik untuk zaman sekarang. Tetapi, pilihan toh sukarela. Bisa saja, jalur tidak selalu merupakan pilihan yang dipilih secara sadar sejak semula. Apalagi dalam masa peralihan yang berpancaroba, jalur bisa karena untung-untungan.

Akan tetapi, begitu atau pilihan sadar atau koinsidensi membawanya, harus dipahami dan disadari pilihan jalur politik, kepemimpinan politik pada semua jenjangnya, apalagi pada jenjang-jenjang tinggi, membawa konsekuensi dan implikasinya.

Tentu saja, kebanggaan, imbalan, pengakuan bahkan fulfillment, pemunculan diri dalam pekerjaannya, tetap ada. Berbeda, tetapi ada dan semuanya membanggakan.

Pada Hatta dan pemimpin sezamannya, pilihan dibuat sejak muda. Otaknya cerdas. Ketekunannya luar biasa. Mengapa rencana studinya di Belanda yang direncanakan lima tahun molor menjadi 11 tahun? Ia sibuk memimpin Perhimpunan Indonesia, organisasi orang-orang muda Indonesia yang belajar di Belanda. Ia menghadiri konferensi internasional di mana-mana di Eropa, memperkenalkan cita-cita, perjuangan dan tujuan Indonesia Merdeka.

Ia sekaligus lewat tulisan dan diskusi, merumuskan tujuan Indonesia Merdeka, falsafah Indonesia Merdeka. Ia membina lewat Perhimpunan Indonesia dan forum lain, terwujudnya Indonesia Baru, yang merdeka, berkedaulatan rakyat, adil makmur, maju, terbuka, hadir secara independen dan aktif dalam pergaulan bangsa-bangsa.

Pilihan sejak muda dan karena itu juga konsekuensinya, yakni persiapan sejak muda, itulah pelajaran lain dari sosok Hatta bagi generasi muda Indonesia. Tidaklah berarti, tidak terbuka pilihan yang menyusul kemudian, tetapi pilihan kemudian pun, harus dipahami konsekuensi, implikasi serta tuntutannya.

Bung Karno amat kuat karismanya apalagi untuk rakyat banyak. Bung Hatta bukannya sosok tanpa karisma. Karismanya terhadap rakyat banyak, tidak sekuat Bung Karno, tetapi terhadap setiap lingkungannya otoritas dan kredibilitas Hatta terasa. Karisma itu terpancar dari sosok pribadinya yang berintegritas tinggi serta kompeten.

Bung Hatta percaya kepada rakyat. Karena itu, ia konsisten dan konsekuen menegakkan kedaulatan rakyat. Ia pun sadar, rakyat perlu dididik. Dididik untuk membaca dan menulis agar terbuka pintu untuk menimba pengetahuan dan pengalaman. Seperti pemimpin pergerakan lainnya, ia mengajar di sekolah, terutama ia juga mengajar lewat media seperti Daulat Rakyat serta pendidikan kader.

Meskipun caranya tidak sevokal Bung Karno, Hatta pun mementingkan pendidikan karakter rakyat. Mandiri, tahu hak dan kewajiban, mau mengambil tanggung jawab.

Dipengaruhi serta dicerahkan lewat pendidikan dan pergaulannya selama 11 tahun studi dan bergerak di Eropa, Bung Hatta juga sampai pada pemahaman, Indonesia Merdeka bukan saja dalam makna politik, tetapi juga ekonomi, sosial dan budaya. Bung Hatta berulang kali memperingatkan kemungkinan jebakan feodalisme, maka ia pun terus-menerus memperjuangkan demokrasi yang bertumpu pada kedaulatan rakyat.

Sejarah, katanya, tidak kenal andaikata. Namun, sebagai bahan pelajaran dan pengalaman, bukankah Indonesia akan lain fase perkembangannya, andaikata Bung Karno sebagai Presiden dan pemimpin bangsa serta Hatta sebagai juga pemimpin dengan menyelenggarakan pemerintahan.

Yang kemudian tidak tersentuh, bahkan tumbuh sebagai jebakan baru adalah proses emansipatoris bangsa dalam bidang sosial dan budaya, terutama dalam kaitannya dengan bangkitnya lagi feodalisme, baik kultur maupun strukturnya.

Dalam alam dan suasana itu, baik ekonomi etatisme maupun ekonomi pasar tidak sanggup menghasilkan kemakmuran yang merata bagi rakyat. Yang dihasilkan baik dalam ekonomi etatisme maupun dalam ekonomi pasar adalah kemakmuran untuk orang seorang yang berada dalam kekuasaan dan lingkungannya serta kesenjangan besar bagi rakyat banyak.

Bung Hatta terpanggil untuk pembangunan ekonomi yang berkeadilan sosial yang memperbaiki dan meratakan kemakmuran kepada rakyat, memilih jalan koperasi. Tetapi koperasi yang dipilihnya adalah model gerakan koperasi di negara-negara Skandinavia.

Negara-negara itu bukan berekonomi negara seperti negara-negara komunis. Negara-negara itu, seperti berkembang lebih nyata di kemudian hari, mengacu kepada kerangka referensi ekonomi masyarakat, sebutlah ekonomi pasar sosial.

Lagi pula, betapapun dimensi politik dalam arti mandat keadilan sosial adalah kental pada ekonomi koperasi, tetapi gerakan itu adalah gerakan dan disiplin sosial ekonomi. Inilah yang juga disalahartikan ketika koperasi diterapkan di negeri kita. Akhirnya sampai sekarang ini, koperasi lebih merupakan lembaga dan gerakan yang kosong dan tidak memadai hasilnya. Bahkan juga terkena imbas salah guna kekuasaan dan kesempatan. Koperasi lebih menyuburkan pengurus daripada anggotanya.

Mengapa sosok kepemimpinan Hatta sangatlah relevan dan aktual untuk menumbuhkan kepemimpinan serta menjawab tantangan masa kini? Karena amatlah jelas, contoh, teladan pimpinan yang kecuali cerdas, cakap, efektif juga bersosok asketis amatlah diperlukan kini dan mendatang. Adalah teladan yang ibaratnya dapat menggerakkan gunung dewasa ini.

Dimulai dari pimpinan yang menyinarkan teladan. Segera diikuti oleh suatu kecerdasan dan kecakapan, bahwa untuk memimpin atau menyelenggarakan pemerintah di Indonesia yang berpenduduk besar, berkepulauan majemuk serta mengalami krisis dan pancaroba sekarang ini, diperlukan tim. Tim pemerintah dan pemerintahan.

Orang-orang bersosok, berkarakter, memiliki kecerdasan dan kecakapan dalam bidangnya yang bekerja sama, menggerakkan roda pemerintahan sehingga tidak sekadar omong dan rapat, tetapi get things done terlaksana.

Sosok Hatta yang kecuali cerdas dan cakap, juga efektif karena ketekunannya, karena mau mengontrol dan mau check and recheck. Menggerakkan bahkan turun ke lapangan secara langsung dan tidak langsung.

Karena kehabisan akal, dewasa ini, amat sering kita dengar pernyataan dari mana mulai dan bagaimana? Mengacu kepada Hatta, amatlah jelas jawabannya, mulai dari diri sendiri, bahkan padanya mulai dari diri sendiri secara konsisten dan konsekuen melawan arus. Mulai dari lingkungan masing-masing. Tidak saling menunggu, justru saling mendahului.

Di mana rakyat berada dan apa peranannya? Sekali lagi, terutama mengingat kondisi kita dewasa ini, pemimpin dan pemerintahlah yang harus memulai dengan memberi contoh yang efektif. Tetapi, sesuai dengan prinsip kedaulatan rakyat serta sesuai dengan tanggung jawab yang juga bergeser kepada publik, masyarakat pun terpanggil mengambil tanggung jawab lebih besar dan lebih efektif.

Bukan sekadar melek huruf yang merupakan pendidikan rakyat, kata Bung Hatta, tetapi juga bahkan terutama karakternya. Karakter rakyat. Apakah untuk zaman kita, pendidikan karakter rakyat sama atau kental konotasinya dengan pendidikan masyarakat kewargaan, masyarakat madani, civil society?

Kertas dan karya pada founding fathers negara lain seperti Amerika Serikat, dikumpulkan dan diterbitkan. Bukan untuk disimpan dalam museum, tetapi untuk bekal pelajaran sejarah dan untuk terus dikembangkan, dikaji ulang serta diperkaya untuk menjawab perkembangan dan tantangan zaman.

Seratus tahun Bung Hatta tahun ini, Seabad Bung Karno tahun lalu, mengapa tidak menjadi momentum untuk pekerjaan besar dan pekerjaan bersejarah itu.

<<100tahun.jpg>>

Kirim email ke