Nancy Bermeo menulis, tidak pernah ada keberhasilan kekerasan gerakan separatis di dalam negara demokrasi federal (Journal of Democracy: April 2002, 108). Militer jarang menembaki warga negaranya, termasuk dalam Negara Federal Uni Soviet sebelum bubar tahun 1989. Soviet akhirnya pecah, terutama menjadi negara-negara muslim, mengingat Soviet memiliki 50 juta lebih warga muslim (Galia Colan:1990, 197). Tetapi, bergabungnya negara-negara Asia Tengah itu dengan Uni Soviet adalah akibat ekspansi dan kolonialisasi. Setelah pecah, negara-negara itu tenggelam dalam bentuk baru kediktatoran (FEER, 9/5/2002). Sebaliknya yang terjadi di negara-negara unitarian (kesatuan), dengan masifnya tingkat kekerasan aparatur negara atas rakyatnya sendiri.


***
PEMBENTUKAN KK versi MPR juga tak memberi ruang kepada rakyat untuk menjadi negarawan. Kecuali KK bekerja secara partisipatoris, transparan, dan melibatkan setiap orang dewasa yang punya hak suara dalam pemilu untuk beraspirasi. Elitisisme amandemen UUD 1945 hendaknya tak terulang. Hak-hak rakyat harus diberikan untuk turut menentukan hitam-putihnya negara ini. Bukan hanya kewajiban membayar pajak, dan membiarkan tanah dan airnya digunakan negara.

Apabila elite politik tetap minta dihargai rakyat, penghargaan lebih tinggi patut juga diberikan kepada rakyat. Salah satunya dengan melibatkan rakyat dalam proses amandemen konstitusi berikutnya, dengan cara dan saluran yang bervariasi.

Idealnya semangat perubahan konstitusi adalah gelombang baru untuk menggerakkan energi positif dalam kalbu dan jiwa rakyat. Dari sinilah patut disusun struktur organisasi, jaringan, informasi, komunikasi, juga sarana dan prasarana lain untuk mendapatkan spirit rakyat, termasuk lewat KK yang dibuat BP MPR.

Sudah saatnya rakyat disapa tentang apa yang ada dalam hati nuraninya, mulai dari yang tinggal di pulau-pulau terpencil, lembah-lembah dalam, juga pegunungan tinggi, bahkan korban penggusuran, konflik sosial dan pengungsi. Begitu pun rakyat yang hidup dalam masyarakat dan wacana global dan kosmopolitan, yaitu ratusan ribu yang bekerja dan belajar di berbagai sekolah dan kampus di luar negeri.

Mereka itu di Internet sudah mendiskusikan UUD ideal berbulan-bulan, tetapi tak ada saluran ke MPR.

Andai pun konstitusi baru yang dihasilkan tidak seideal pendapat "kalangan pakar" juga "elite politik", setidaknya satu syarat telah terpenuhi: tangan kekuasaan bersalaman, bergenggaman, dan bergandengan dengan tangan rakyat. Rakyat tak lagi dianggap sebagai pengikut, tetapi sebenar-benarnya negarawan. Siapkah (ego) kita?



INDRA J PILIANG Peneliti Politik dan Perubahan Sosial CSIS Jakarta




Kirim email ke