Selasa 11 Maret, Arbain Hari Ketujuh Setelah enam hari berturut-turut membaca Al Qur’an sebelum Dhuhur dan sesudah Ashar, kecuali Sabtu dan Senin kemarin suara dan kondisi saya mengalami pemulihan dengan kecepatan yang tidak terbayangkan sebelumnya.
Dalam dua hari terakhir ini saya mulai tidak merasakan kesukaran menghabiskan nasi boks yang dari katering dan dapat minum air dengan lancar. Berjalan tanpa payung di bawah terik mataharipun sudah mulai saya coba sedikit-sedikit. Sewaktu-waktu saya memang masih mengalami sesak napas, yang langsung saya atasi dengan menghirup Atroven inhaler. Sebagaimana direncanakan, jam 7 pagi sekembalinya dari salat subuh kafilah kami sudah siap di atas bus-bus yang akan mengunjungi beberapa tempat lagi di sekitar Madinah, yaitu pabrik kurma, kunjungan yang sangat disukai kaum Ibu, Zulhulaifah atau Bir Ali, miqat atau tempat miqat jemaah haji dan umrah jemaah yang bermukim di atau datang dari arah Madinah dan Percetakan Al Qur’an terbesar di Dunia. Kegiatan itu dipandu oleh Ustadz Pembimbing kami, Ikut juga bersama kami Ustadz Azis yang jenaka dan dengan humor-humor segarnya yang rupanya sudah dikenal baik oleh sebagian besar jemaah. Di pabrik (makanan berbahan) Kurma, kafilah kami menghabiskan waktu hampir satu jam. Kur masih membeli beberapa produk kurma untuk oleh-oleh. Yang untuk disuguhkan kepada tamu yang berkunjung setelah kami sampai di rumah nanti di beli Iben, anak kami tertua, di Pasar Tanah Abang. Dari sana kami menuju Zulhulaifah atau yang disebut juga Bir Ali karena di sana ada sumur yang menurut riwayat ditemukan oleh Ali bin Abi Thalib, r.a.. Tempat miqat tersebut berupa masjid yang cukup bagus, luas dan bersih dan ditengah-tengahnya ada taman. Di sana ada papan pemberitahuan dalam Bahasa Inggris mengenai tata cara ibadah haji. Setelah melakukan salat Tahiyatul Masjid kami berkumpul di pelataran masjid. Pertama tama Pak Ustadz memberitahukan dan menyatakan belasungkawa atas meninggalnya keluarga dua orang jemaah kafilah kami di tanah air. Namun sesuatu yang tidak saya duga---dan sejujurnya saya ikuti dengan perasaan sebal---ialah ketika Pak Ustadz melanjutkannya dengan melakukan pembacaan tahlilan yang memakan waktu hampir satu jam. Hal itu bukan karena orang Minang saya lalu anti upacara tahlilan, tetapi karena saya pikir acara itu dilakukan bukan pada tempat dan waktu yang tepat. Acara kemudian dilanjutkan dengan ceramah singkat, padat dan memikat dari Ustadz Iskan dan foto bersama. Di luar masjid banyak PKL yang menjual berbagai macam barang dan Kur membelikan saya sendal jepit baru, kedua kalinya selama di Tanah Suci, seharga 5 real (sama dengan harga payung). Kami tiba di Percetakan Al Qur’an sudah jam sepuluh lewat. Yang akan masuk ke dalam hanya jemaah laki-laki, sementara jemaah perempuan diminta menunggu di showroom. Tetapi karena masih harus menunggu kamipun akhirnya masuk ke showroom. Di sana dipamerkan beberapa jenis Al Qur’an produksi percetakan tersebut, antara lain edisi lux seharga 200 real. Ketika saya duduk-duduk di tembok fondasi rak pameran tersebut masuk serombongan siswa setempat. Mereka memotret saya dengan kamera video yang dibawanya dan bercakap-cakap dalam Bahasa Arab dengan Ustadz Azis. Kur membeli 2 buah Al Qur’an ukuran standar untuk disumbangkan ke Masjid Nabawi 1], Al Qur’an dan Terjemahan terbitan Departemen Agama RI yang dicetak di sana, Juz Amma dan Surrah Yasin yang hurufnya besar-besar. Kami baru diterima melakukan peninjauan ke dalam setelah jam setengah sebelas, dan hal ini membuat gelisah sebagian jemaah, termasuk saya, yang khawatir kalau kami terlambat sampai di Masjid Nabawi untuk melakukan salat Dhuhur. Acara peninjauannya sendiri cukup menarik. Kepada kami dijelaskan dalam Bahasa Inggris proses pencetakan Al Qur’an sejak penyiapan naskahnya yang rupanya ditulis tangan oleh para Ulama-Ulama Ahli Al Qur’an. Kafilah kami baru meningglkan kompleks tersebut jam 11 lewat. Syukur Alhamdulillah perjalanan kembali ke pemondokan lancar sehingga jam 11.30 kami sudah sampai. Setelah berwudhuk kami langsung berangkat ke masjid dan saya masih sempat membaca Al Qur’an sebanyak 5 halaman sampai waktu Dhuhur tiba. Karena saya denagr sehabis Dhuhur pengunjung Raudah tidak begitu berjubel saya kembali ke Raudah, dan benar saja, sehingga saya bisa melakukan salat sunat dan kemudian berdoa dengan lebih tenang dan leluasa. Hari itu saya hanya membawa air kemasan biasa, karena pada hari-hari sebelum ini setiap minum air Zam-Zam saya selalu batuk-batuk. Ketika saya minum terasa “ringan” dan kurang nyaman. Kemudian saya memasukkan air Zam-Zam yang saya ambil dari gentong yang ada di masjid ke dalam botolnya. Kombinasi ini ternyata lebih enakan ketika diminum. Sehabis salat Ashar kami kembali makan di RM di basement hotel Jazeera. Sebelum keluar dari masjid saya sempat memberi tahu dengan berbisik kepada seorang jemaah haji Indonesia berpakaian parlente yang saya lihat melakukan salat sunat sesudah salat Ashar, bahwa tidak ada salat sunat sesudah salat Subuh dan salat Ashar. Kembali ke masjid, saya kembali ke tempat tersebut dan melanjutkan membaca Al Qur’an, dan seperti sebelumnya sepanjang pembacaan Al Qur’an tersebut suara saya selalu bertambah jelas dan tegas. Seusai salat Magrib saya kembali ke belakang untuk beristirahat dan menunggu waktu Isya. Agar mudah mengingatnya, saya mengambil tempat di kaki pilar yang berpasang empat , yang rak tempat sendalnya bernomor 409. Pilar-pilar yang lain hanya berpasangan dua-dua, memanjang atau menyamping. Dalam perjalanan pulang Kur yang besok mengkhatamkan pembacaan Al Qur’an selama berada di Tanah Suci mengatakan bahwa menjelang Magrib tadi dia tiba-tiba mencium harum bunga melati di masjid. Kemudian Kur kembali menceritakan tentang jemaah haji Afganistan yang setiap hari berpuasa karena bekal mereka bawa sangat terbatas dan besok kembali akan membawa makanan bagi mereka. Kur juga menceritakan bahwa siang tadi seorang jemaah asal India melantunkan lagu pujian-pujian kepada Nabi dengan irama yang sangat indah dan mengharukan, tetapi kemudian dilarang oleh Askar, mungkin karena bisa mengganggu jemaah lain yang sedang berzikir atau bertadarus. Rabu 12 Maret, Arbain Hari Kedelapan Ini adalah hari terakhir kami melaksanakan salat-salat wajib secara lengkap di Masjid Nabawi. Karena kami memulai Arbain hari pertama dengan salat Dhuhur, untuk mencukupkan menjadi 40, kami besok masih salat subuh di sana. Sebagaimana hari-hari sebelumnya, kami berangkat ke Masjid Nabawi untuk salat Subuh, kemudian pulang, beristirahat, makan, mandi, berwudhuk dan kembali ke masjid. Karena sudah lama tidak menelepon, subuh tadi Kur menelepon dari sebuah Wartel Internasional dan sekaligus memberitahukan rencana kepulangan kami tanggal 15 Maret. Karena dalam waktu diskon dan Kur bicara seperlunya saja, kami hanya dikenakan pembayaran sebanyak 4 real. Hari itu saya menggunakan payung berwarna biru hadiah dari Bank yang tasnya yang mempunyai kompartemen untuk menaruh sendal yang berhasil diketemukan Kur tadi malam. Setiba di masjid dan melakukan salat tahiyatul masjid saya kembali membaca Al Qur’an sampai waktu Dhuhur. Seperti biasa, setelah salat saya beristirahat. Pak Radjikin yang ketika hendak pulang ke pemondokan melihat saya mampir dan duduk di sebelah saya. Pak Radjikin menceritakan bahwa anaknya yang dihubunginya pertelepon memberitahu bahwa AS akan menyerang Irak sehabis musim haji ini. Berbeda dengan hari sebelumnya, sesudah beristirahat sebentar saya melanjutkan pembacaan Al Qur’an. Sekembalinya makan seusai salat Ashar, saya melanjutkan membaca Al Qur’an sampai Azan Magrib dikumandangkan. Sesuai dengan catatan saya selama tujuh hari ini saya menyelesaikan pembacaan Qalam Illahi tersebut sebanyak 91 halaman atau rata-rata 13 halaman dalam satu hari, suatu hal yang belum pernah saya lakukan seumur-umur. Tetapi itu bukan hanya sekedar bilangan. Selama membaca Al Qur’an itu saya mengalami pemulihan suara, pemulihan kekuatan dan pemulihan selera makan sehingga saya kembali menjadi saya yang “saya”, dan bukan saya yang “bukan saya” seperti yang saya rasakan sejak selesai melakukan Tawaf Ifadhah. Waktu itu saya rasanya sudah bisa lagi menghabiskan 2 piring nasi dan 2 piring sop konro di Jalan Lompobatang sampai kuahnya kering berikut segelas air jeruk seperti yang biasa saya lakukan setiap bertugas ke Makasar. Atau menghabiskan nasi bungkus munjung RM “Pagi Sore” yang saya beli dengan berjalan kaki dari Hotel Bumi Minang tempat saya menginap kalau bertugas ke Padang. Tetapi yang pulih tidak hanya selera makan saya saja. Seperti diumumkan kemaren di pemondokan, besok jam 8 pagi, kafilah kami akan melakukan “Raudah Wada” atau “Ziarah Wada”. Sebelumnya para jemaah dipersilakan ke Raudah sendiri-sendiri sesuai dengan waktu yang disediakan untuk jemaah laki-laki dan jemaah perempuan. Mendengar istilah itu saja saya sudah “alergi” untuk ikut. Tetapi ada alasan “lain”. Ketika dalam perjalanan pulang saya mengatakan kepada Kur bahwa sebaiknya kami tidak usah ke Raudah sendiri-sendiri dan ikut “Raudah Wada” atau “Ziarah Wada” besok pagi dan sehabis salat Subuh kami langsung saja pulang ke pemondokan. Kur diam saja. Kur malah menceritakan bahwa dia sudah khatam Al Qur’an tadi di masjid. Kemudian terpikir oleh saya, alangkah egoisnya saya. Hanya karena ingin “berduaan” besok pagi, saya sampai hati berusaha mencegah isteri saya untuk melakukan kegiatan peribadatan yang tidak mungkin dilakukannya pada kesempatan lain. Karena itu ketika selesai makan malam Kur minta izin kepada saya untuk pergi ke Raudah besok pagi dan kemudian mengikuti Acara Kafilah, saya segera menganggukkan kepala. Malahan saya sendiri akhirnya merencanakan untuk kembali berziarah ke makam Rasullulah serta salat sunat dan berdoa di Raudah ba’da Subuh besok. Kemis, 13 Maret, Menjelang Subuh Seperti biasa jam 4 pagi sudah berangkat ke Masjid Nabawi untuk melaksanakan salat Subuh yang merupakan salat Subuh kami terakhir di masjid tersebut. Dalam perjalanan ke masjid kami kembali ke Wartel untuk menelepon ke rumah untuk memberitahukan bahwa kami akan menelepon di Jedah kalau ada perubahan jadwal kepulangan kami. Di rumah kebetulan ada Reihan, cucu kami yang berusia 3 tahun, yang lalu diajak ngomong oleh Kur. Ya, bereslah. Kur kaget ketika tagihan telepon mencapai 10 real. “Lho, ini kan waktu diskon”, ujarnya heran, tetapi lupa berapa lama dia ngobrol dengan cucunya itu. Ketika hendak berpisah di pintu pagar masjid, kami kembali menegaskan bahwa kami akan pulang sendiri-sendiri ke pemondokan. Karena siang nanti kami sudah tidak mendapat kiriman nasi boks dari Katering, saya bilang kepada Kur untuk membeli Roti Kebab untuk sarapan sehingga kiriman makan pagi dari Katering bisa digunakan untuk makan siang. Saya lalu masuk melalui pintu utama, terus ke depan dan untuk pertama kali masuk di bagian lama masjid. (bersambung) Salam, Darwin 1] Ketika Ustadz Azis mengunjungi saya ketika terbaring sakit di Mekah, ia menyarankan agar kami menyumbangkan dua buah Al Qur’an ke Masjidil Haram dan 2 buah lagi ke Masjid Nabawi. Yang di Mekah pembelian dan penyerahannya ke Masjidil Haram dibantu oleh Pak Andi. Ketika ada seorang jemaah haji Indonesia melalui Kur berkomentar: “Pemerintah Kerajaan Saudi Arabia kan kaya, buat apa ikut-ikut menyumbang Al Qur’an?”, saya berkata kepada Kur, “Al Qur’an adalah fondasi Islam. Walaupun kita hanya orang kebanyakan tdak ada alasan bagi kita untuk tidak ikut menyumbang”. RantauNet http://www.rantaunet.com Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php ----------------------------------------------- Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke: http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php ===============================================