sebuah renungan .. dari milis lain
 
Salam
Is, 33

-----Original Message-----



Seperti biasa Rudi, Kepala Cabang di sebuah perusahaan swasta terkemuka di
Jakarta, tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Imron,
putra pertamanya yang baru duduk di kelas dua SD yang membukakan pintu. Ia
nampaknya sudah menunggu cukup lama.



"Kok, belum tidur?" sapa Rudi sambil mencium anaknya. Biasanya, Imron memang
sudah lelap ketika ia pulang dan baru terjaga ketika ia akan berangkat ke
kantor pagi hari. Sambil membuntuti sang ayah menuju ruang keluarga, Imron
menjawab, "Aku nunggu Ayah pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Ayah?"
"Lho, tumben, kok nanya gaji Ayah? Mau minta uang lagi, ya?"



"Ah, enggak. Pengen tahu aja."

"Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Ayah bekerja sekitar 10 jam dan
dibayar Rp.400.000,-. Dan setiap bulan rata-rata dihitung 25 hari kerja. Jadi,
gaji Ayah dalam satu bulan berapa, hayo?"



Imron berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar, sementara
ayahnya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Rudi beranjak menuju
kamar untuk berganti pakaian, Imron berlari mengikutinya.



"Kalau satu hari ayah dibayar Rp.400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam ayah
digaji Rp.40.000,- dong," katanya. "Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci
kaki, bobok," perintah Rudi. Tetapi Imron tak beranjak. Sambil menyaksikan
ayahnya berganti pakaian, Imron kembali bertanya, "Ayah, aku boleh pinjam uang
Rp.5.000,- nggak?"

"Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini?
Ayah capek. Dan mau mandi dulu. Tidurlah."



"Tapi, Ayah..." Kesabaran Rudi habis.

"Ayah bilang tidur!" hardiknya mengejutkan Imron. Anak kecil itu pun berbalik
menuju kamarnya. Usai mandi, Rudi nampak menyesali hardikannya. Ia pun menengok
Imron di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Imron didapatinya
sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp.15.000,- di tangannya.



Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Rudi berkata, "Maafkan
Ayah, Nak. Ayah sayang sama Imron. Buat apa sih minta uang malam-malam begini?
Kalau mau beli mainan, besok' kan bisa. Jangankan Rp.5.000,- lebih dari itu pun
ayah kasih."

"Ayah, aku nggak minta uang. Aku pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah
menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini."



"Iya, iya, tapi buat apa?" tanya Rudi lembut. "Aku menunggu Ayah dari jam 8.
Aku mau ajak Ayah main ular tangga. Tiga puluh menit saja. Ibu sering bilang
kalau waktu Ayah itu sangat berharga. Jadi, aku mau beli waktu ayah. Aku buka
tabunganku, ada Rp.15.000,-. Tapi karena Ayah bilang satu jam Ayah dibayar
Rp.40.000,-, maka setengah jam harus Rp.20.000,-. Duit tabunganku kurang
Rp.5.000,-. Makanya aku mau pinjam dari Ayah," kata Imron polos.



Rudi terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat.



* * *

Saya tidak tahu apakah kisah di atas fiktif atau kisah nyata. Tapi saya tahu
kebanyakan anak-anak orang kantoran maupun wirausahawan saat ini memang
merindukan saat-saat bercengkerama dengan orang tua mereka. Saat dimana mereka
tidak merasa "disingkirkan" dan diserahkan kepada suster, pembantu atau sopir.
Mereka tidak butuh uang yang lebih banyak. Mereka ingin lebih dari itu. Mereka
ingin merasakan sentuhan kasih-sayang Ayah dan Ibunya. Apakah hal ini
berlebihan?

sumber : unknown




Kirim email ke