Waduh bingung saya membaca milis ini kayaknya terlalu berat bagi,
tapi saya coba tanggapi :

Islam menurut saya adalah way of life, sebuah pilihan dari beragam
pilihan hidup di muka bumi.

bahwa kemudian islam itu ditafsirkan bermacam2 itu adalah sebuah
realitas, karena memang isi kepala manusia itu bermacam sesuai dengan
pengalaman dan intelektualitas masing2, akan tetapi bukan tidak ada pe
rsamaan, banyak. Tapi yang menjadi masalah adalah perbedaan tafsiran
terhadap islam itu sendiri.
Sekarang bagaimana kita menyikapi perbedaan?
Usaha apa yang mesti kita lakukan?

Ide untuk menjadikan negara kita negara Islam adalah sebuah kondisi
ideal, akan tetapi apa artinya kalau itu hanya sebuah konsep
pemaksaan padahal Islam sendiri tidak mengenal pemaksaan, tapi bukan
beraarti tidak tegas, malah sangat tegas (konsep qisas, misalnya) dan
sebuah konsep hanya bisa berjalan kalau konsep itu dijalan dengan
konsisten dan integral bukan parsial (nan lamak di awak sajo).

Yang lebih penting di sini mungkin adalah bagaimana
mengimplementasikan konsep islam dalam keseharian kita bukan hanya
dalam ibadah ritual (shalat, puasa dll) akan tetapi bagaimana kita
berinteraksi dengan sesama muslim maupun dengan orang lain.

Dengan memulai dari diri kita sendiri mungkin itu key succes
faktornya?, baru keluarga, masyarakat.

Mungkin kita bisa pakai konsep syara' mandaki adaik manurun.
Syara' mandaki dari diri kita sendiri naik ke keluarga naik lagi ke
Lingkungan terus ke masyarakat dan dengan sendirinya adaik (baca :
hukum ) akan menurun mendekati Syariah Islam.

Sedekat Apa syariah berlaku adalah setinggi kita bisa
mengimplementasikan Islam itu sendiri dalam keseharian kita,
kalau hanya sekedar Sholat, puasa, haji yah cukup dengan departeman
agama saja. tapi kalau kita implementasikan dalam bisnis kita jadilah
ia bisnis yang islami, dan kita bisa gali kaidah2 islam dalam bisnis
sebagai dasar dari etika bisnis.


PY

--- In [EMAIL PROTECTED], "SBN" <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
> Asaalamu'alaikum wr. wb.
>
> Etika dengan hukum positif, cocok sekali, masalahnya batasan etika
yang
> mana, oke kalau etik yang manusiawi. Islam yang awalnya sangat
manusiawi,
> kemudian berubah jadi beringas, silahkan lihat penerapan syariah
yang selalu
> dimahkotai oleh pemaksaan mode (jilbab), ini contoh etik dalam
wacana, nggak
> mungkinlah semua orang mau dipaksa berselera sama. Itu kan namanya
melebihi
> Allah SWT sendiri.
>
> From: Darul Makmur
> Apa masih mungkin kini mengharapkan orang Islam beretika, tanpa ada
dorongan
> yang positif dengan hukum yang jelas dan penuh toleransi? Ingat
Islam
> Indonesia mungkin cuma atau tidak sampai 10% yang berdasar ilmu,
yang lain
> hanya karena, keturunan atau lingkungan dan hanya Islam KTP.
>
> <SBN>  Sangat mungkin, karena itu nilai-nilai etik Islam harus
digali terus
> dan dikembangkan dengan contoh (imamah), bukan dengan paksaan.
>
> Anak kalau tidak dengan nyinyia menyuruh sholat, mungkin mereka
tidak
> sholat, jadi nyinyia itu juga perlu.
> <SBN> Yes, untuak anak-anak.
>
> Saya ingat dikampuang saya dulu, sewaktu habis G30S PKI, indo
karuah nan
> indak pernah tau surau, ikut sholat di surau, takut dituduh PKI. Kan
> terbukti banyak orang baru bisa melaksanakan sesuatu karena ada yang
> ditakuti, paling tidak kalau tidak melaksanakan ada sanksi. Allah
swt saja
> memperkenalkan sanksi ini, terhadap suruhan dan larangannya.
>
> <SBN> Hasilnya kan semua sudah tahu, stigmatisasi PKI tidak
menjadikan ummat
> Islam lebih baik, dan malahan negara menjadi amburadul dan hampir
koit.
>
> Jadi sebaiknya ya ada hukum positif yang merujuk ke syara', yang
dapat
> mengarahkan kita untuk mengikuti syara' tersebut. Kalau dibiarkan
saja pasar
> bebas dengan mengatakan semua agama adalah sama, dan membiarkan
orang Islam
> seenak - e dewe. Sedang dipihak lain misionarist gencar dengan
program
> pemurtadan, saya pribadi ya khawatir, nanti cucu atau malah anak
kita bisa
> salah satu yang tidak dapat mendoakan kita, krn berlainan
kepercayaan.
>
> <SBN> Merujuk kepada syarak, no problem. Berlainan dengan
memaksakan syarak.
> Gampangnya kenapa tidak mencontoh Singapore saja
>
> Menurut saya, juga menurut syara', setiap muslim itu wajib
mengikuti syara',
> saya sangat percaya itu dan selalu berusaha, walau ngak pernah
sukses, untuk
> mencapainya. Sekarang jadi pertanyaan, kenapa kita sebagai seorang
muslim
> menolak kata-kata itu dicantumkan dalam hukum positif negara?
Mungkin ada
> udang dibalik batu.
>
> <SBN> Syarak itukan multi interpretasi alias warna warni, contohnya
syarak
> syiah (anda mengakui syiah bagian dari Islam bukan?). Pergolakan dan
> perubahan dikalangan syiah perlu dijadikan bandingan.
>
> Kenapa harus menjadi motivasi merebut kekuasaan? Disini Islamlah
yang
> mayoritas, logis kalau Islam yang berkuasa, malah kalau yang
berkuasa bukan
> Islam itu yang aneh (Tirani Minoritas). Disamping itu Islam
mengajarkan
> supaya orang Islam mengambil orang Islam sebagai penguasanya (Q:
2:28)
>
> <SBN> Mayoritas dalam pluralitas, tafsiran bisa berbeda dari orang
keorang,
> dan perlu dilihat ayat lain yang menafikan, matrix memang, tafsiran
textual
> hanya menghasilkan para teroris sekelas Amrozi dkk. Kalau sudah
begitu masih
> diklaim Islami?
>
> Salam
>
> SBN
>
> Silahkan ditelaah;
>
> Islamisme dan Krisis
>
> Secara historis, generasi yang paling awal tergugah kesadarannya
akan krisis
> yang menimpa dan menghimpit umat Islam adalah kalangan terdidik
muslim yang
> nota bene cukup mendalami legasi Islam, sekaligus berkesempatan
mengintip
> peradaban lain (Barat). Di antara mereka itu, sebutlah nama-nama
semisal
> Al-Afghani (pada lapangan politik) yang mengusung jargon "muwajahat
al-isti'
> mâr min al-khârij wa al-istibdâd fi al-dâkhil" (menentang
imprealisme dari
> luar dan depotisme di dalam); Muhammad Abduh (di lapangan
pendidikan Islam)
> dengan gagasan pembaruan pendidikan Islam (tathwîr al-Azhar) dan
penyegaran
> pemikiran keislaman; dan Al-Thahtâwi yang disebut-sebut sebagai
representasi
> liberal Islam yang banyak berkiprah memperkenalkan gagasan-gagasan
modern
> Barat di penghujung abad ke-19. Mereka-mereka ini penting disebut,
karena
> peran mereka sebagai pelecut kesadaran umat paling awal, ditambah
lagi
> banyaknya gagasan-gagasan mereka yang diadopsi dunia muslim umumnya.
>
> Dari merekalah tersimpul suatu pertanyaan mendasar: limâdzâ
taakkhara
> al-muslimûn wa taqaddama ghairuhum, mengapa umat Islam mundur dan
Barat
> maju?
>
> Kesadaran akan krisis dunia Islam dan pemikiran Islam menjadi
penting
> setelah mereka. Sejak saat itu, kita mengenal fase keterbangunan
('asr
> al-nahdlah). Kesadaran akan krisis telah merangsang timbulnya
> gagasan-gagasan tentang reformasi pemikiran keagamaan, bahkan
reformasi
> agama itu sendiri. Ini disebabkan, selain faktor agama dan pemikiran
> keagamaan disinyalir ikut berperan memperkukuh krisis, juga
diyakini mampu
> dipergunakan untuk menanggulanginya. Masalahnya terletak pada
bagaimana
> peran dan fungsi agama diposisikan.
>
> Jika generasi awal yang tercerahkan itu menyoroti krisis pada
bagian-bagian
> parsialnya, kalangan Islamisme yang datang belakangan justeru
memandang
> krisis secara lebih total dan menyeluruh. Al-Afghani menyoroti
krisis secara
> spesifik dari sudut tatanan politik yang ada; Abduh menitikberatkan
> pendidikan; dan Al-Tahtawi memandang perlunya mengadopsi beberapa
sistim
> Barat yang diperlukan untuk mengejar ketertinggalan dunia muslim.
Tapi,
> ideolog Islamisme semisal Sayyid Qutb, lebih jauh dari mereka,
menganggap
> semua tatanan sudah salah dan semuanya serba krisis. Dia menyoroti
krisis
> pada semua dimensinya (azmat al-jism kakull). Menurut Sayyid Qutb
dan
> kalangan Islamisme lainnya, krisis yang sedang terjadi bukan sekedar
> pelencengan dari jalur Islam, tapi sudah merupakan kudeta yang
menimpa
> sendi-sendi kehidupan umat dalam semua aspeknya: budaya, politik,
ekonomi,
> seni, hukum, pola pikir dan lain-lain. Dengan begitu, kalangan
Islamisme
> yang belakangn ini, bahkan sampai menyimpulkan bahwa umat Islam
masih berada
> pada fase Mekkah atau sedang menjalani era jahiliyyah modern,
seperti judul
> buku Muhammad Qutb, Jâhiliyyat al-Qarn al-Isyrîn (Al-Jursyi, 2000:
35-36).
>
> Pemahaman serupa ini sedikit banyak juga diadopsi beberapa penganut
> Islamisme di tanah air. Hizbut Tahrir (partai liberal?) misalnya,
dalam
> booklet bertajuk "Selamatkan Indonesia dengan Syariat Islam",
menyoroti
> totalitas krisis yang sedang dialami Indonesia kini. Mereka
menanggapi
> krisis secara multidimensional, menyeluruh sejak dari krisis
ekonomi,
> identitas, moral, politik, pendidikan dan lain sebagainya. Pendek
kata,
> nyaris tak ada tatanan yang masih bisa dibenarkan menurut
perspektif Hizbut
> Tahrir. Oleh sebab itu, mereka mengajukan solusi yang fundamental
dan
> integral: menegakkan kembali seluruh tatanan kehidupan masyarakat
dengan
> syariat Islam. Bisa diprediksi, bahwa Hizbut Tahrir berasumsi bahwa
> "ketidakberislaman" itulah pangkal semua krisis.
>
> Problem yang muncul di kalangan Islamisme, justeru terjadi ketika
mereka
> memandang Islam terpisah dengan realitas sejarah, dan realitas
peradaban
> kemanusiaan secara keseluruhan. Padahal, Islam tidak pernah
memperkenalkan
> dirinya dalam kerangka khusus sebagai sistim unik dalam kehidupan
sosial
> yang lebih unggul, sembari mempertentangkan dan memperbandingkannya
dengan
> sistim lain secara tegas (Al-Jabiri, 1992: 28-29). Persoalan tidak
berhenti
> di situ, ketika Islam dipandang sebagai sesuatu yang khas dan
terpisah dari
> realitas kekinian, dia tidak hanya dituntut untuk mampu menunjukkan
tingkat
> kecanggihan dan kemampuannya guna bersaing dengan sistim-sistim
lainnya,
> tapi juga dipaksakan untuk memberikan solusi-solusi kongkrit atas
problem
> yang tidak selamanya perlu didekati dengan pola pikir Islamisme.
>
> Justeru ketika hendak mengajukan "jawaban" itulah Islamisme nampak
tergagap,
> meskipun mereka seringkali sangat yakin dengan gagasan-gagasan
mereka.
> Sayangnya, sampai kini kita belum menyaksikan proyek yang
memberikan harapan
> yang mampu membuat kita yakin akan gagasan-gagasan Islamisme.
Akankah
> Islamisme menjadi semacam "radikalisme pelipur lara" --meminjam
istilah
> Ignas Kleden- masih perlu dibuktikan oleh sejarah.
>
> Gagasan tentang negara Islam, khilafah Islamiyyah, tathbiqus
syariah, dan
> Islamisasi struktural dan kultural yang disinyalir mampu menjadi
solusi atas
> krisis, walau sudah menjadi ideologi, masih sangat rapuh bila
dipertanyakan
> dan diperdebatkan landasan epistimologisnya. Nampaknya, mobilisasi
massa
> masih menjadi tumpuan kekuatan kalangan Islamisme. Hanya saja, ini
dapat
> dimengerti karena masyarakat pada umumnya segan berdebat perihal
keagaaman,
> terlebih bila sudah ditopang dengan teks-teks suci yang dikutip
secara
> harfiah. Ini juga ditunjang karena faktor masih banyaknya orang yang
> memandang agama dan pemikiran keagamaan sebagai bagian yang harus
diyakini
> saja, bukan dinalar dan diperdebatkan. Dari persoalan pertama ini,
kita
> tergiring untuk membicarakan bagaimana kalangan Islamisme memandang
> teks-teks keagamaan.
>
> Islamisme dan Teks
>
> Persoalan bagaimana memperlakukan teks-teks keagamaan --meminjam
istilah dua
> buku Al-Qardlâwiy: Kaifa Nataâmal Ma'a Al-Qur'ân dan Ma'a Al-Sunnah-
- juga
> menjadi permasalahan mendasar di kalangan Islamisme. Tak disangkal
lagi,
> kalangan Islamisme adalah orang-orang yang mempunyai gairah
keislaman yang
> tak diragukan lagi. Tingginya gairah keislaman ini, membuat mereka
sangat
> loyal terhadap teks-teks keagamaan (yang primer adalah Alqur'an,
yang
> sekunder adalah Sunnah), yang oleh nabi disebut sebagai penuntut
agar
> umatnya tidak tersesat (lan tadillû abadan). Dapat disaksikan,
kalangan
> Islamisme adalah kalangan yang sangat kuat berpegang pada teks-teks
suci
> agama. Secara kategorial, mereka dapat dikatakan sebagai generasi
penerus
> tradisi mazhab al-nushûshi (mazhab tekstual) dalam Islam, yang
sangat
> terkesima dan setia dengan teks-teks suci agama.
>
> Kalangan Islamisme yakin bahwa Tuhan tidak mengalfakan satu
perkarapun di
> dalam teks, kecuali dia bertutur tentangnya (mâ farratnâ fi al-
kitâb min
> al-syai'). Baik Alquran maupun Sunnah, dianggap tidak hanya memuat
> nilai-nilai moral universal, tapi --bagi kalangan ini- bisa menjadi
buku
> hukum, buku sains dan lain sebagainya. Maka tak heran, kalau
kalangan ini
> selalu memuat banyak teks suci untuk membahas permasalahan-
permasalahan yang
> tidak selamanya relevan ditanggapi dengan landasan normatif teks-
teks suci
> agama.
>
> M. Imarah dalam bukunya Al-Turâts fî Dlau Al-Aql, menyebutkan
> tahapan-tahapan mazhab tekstual dalam menanggapi permasalahan-
permasalahan
> aktual. Pertama-tama mereka mencari rujukan teks-teks Alquran dan
Sunnah.
> Jika tak ada, mereka beranjak ke fatwa para sahabat. Kalau sahabat
tidak
> bersepakat dalam suatu perkara, mereka mengambil pendapat yang
paling
> mendekati isi Alquran dan Sunnnah dari mereka. Kalau "permata"
mereka tak
> juga ditemukan, mereka mengambil hadits mursal dan hadits dlaîf.
Adapun
> qiyâs yang menggunakan mekanisme nalar dalam operasionalisasinya,
akan
> mereka gunakan hanya dalam kondisi emergensi. Bagi kelompok ini,
hadits
> dlaîf lebih selamat sebagai pegangan ketimbang nalar (Emarah, 1980:
> 229-230).
>
> Tak ada salahnya setia pada teks-teks suci agama. Hanya saja,
kalangan
> Islamisme nampaknya lupa, bahwa teks selalu terbatas, sementara
kehidupan
> manusia berjalan cepat tanpa dapat dikendalikan oleh teks-teks yang
tidak
> memadai itu. Diperlukan semacam --meminjam istilah Ulil Abshar-
Abdalla-
> wahyu perogressif untuk dapat menangggapi permasalahan-permasalah
aktual dan
> kontekstual yang sedang kita hadapi sekarang ini. Kebutuhan itu
tidak dapat
> terpenuhi sekiranya teks-teks agama dijadikan sesembahan, bukan
sebagai
> inspirasi yang mengandung nilai-nilai universal yang mungkin
relevan untuk
> menanggapi permasalahan kontekstual (Al-Baghdadi, 1999: 383).
>
> Sedikit permisalan nampaknya perlu dikemukakan disini. Kalangan
Islamisme,
> masih saja sibuk membedah wacana-wacana kekinian --contohnya
demokrasi dan
> hak asasi manusia- dari sudut landasan-landasan normatif tektual
agama.
> Selalu saja muncul keragu-raguan apakah demokrasi itu halal, mubah,
dan bisa
> dibenarkan oleh Islam atau sebaliknya. Bahkan pada tingkat yang
ekstrim,
> kalangan Islamisme menyimpulkan bahwa demokrasi yang saat ini
menjadi
> dambaan banyak negara muslim, adalah sistim kafir yang tidak bisa
dibenarkan
> oleh landasan-landasan normatif Islam, sebab dia berasal dari Barat.
> Akibatnya, wacana kita menjadi tidak naik kelas, hanya berkutat
pada apakah
> itu bisa dibenarkan agama atau tidak dengan landasan normatif teks-
teks suci
> yang terkadang berkesan dipaksakan bisa mengintervensi pembahasan-
pembasahan
> kekinian.
>
> Adanya jurang pemisah antara teks dengan kenyataaan juga masalah
lain yang
> tidak disadari kalangan Islamisme. Perlu ditegaskan bahwa, dalam
realitas
> sejarah, tidak semua persoalan hidup manusia bisa dijawab teks-teks
agama.
> Persoalan umat manusia, sejak Adam sampai kini, tidak sepenuhnya
berjalan
> atas landasan tekstual agama. Para pengamat yang jeli melihat adanya
> hubungan dialektikal antara teks dengan sejarah (realitas) yang tak
jarang
> dimenangkan sejarah (Abd. Rasul, 2000: 37).
>
> Ambillah contoh untuk penjelas dialektika teks dan sejarah. Dalam
teks-teks
> primer dan sekunder Islam, perihal sistim politik tidak dijelaskan
secara
> terperinci. Diamnya teks ini tentu mempunyai maksud-maksud tertentu.
> Sebagian pemikir memandang hal itu memang tidak perlu, karena baik
Alquran
> maupun nabi sendiri, sadar kalau hal sedemikian selalu tunduk pada
realitas
> manusia yang berkembang dinamis, progresif dan memerlukan inovasi
tiada
> henti. Pasca runtuhnya "sistim khilafah" tahun 1924, --sebetulnya
> kesultanan-- umat Islam bangun, sadar akan adanya kebutuhan
mendesak guna
> mencari sistim yang lebih mungkin --sekali lagi, lebih mungkin--
memberikan
> kehidupan kenegaraan yang lebih baik dan maju. Dari tumbuhnya
kesadaran ini,
> gap antara teks dengan konteks tampak semakin menganga.
>
> Teks berbicara tentang negara yang tersusun atas dasar identitas
agama
> (pembagian muslim dan zimmi, misalnya), konteks menunjukkan negara
bangsa
> terbangun bukan atas fondasi identitas keagamaan. Teks, oleh
kalangan
> Islamisme disangka berbicara tentang "hukum Tuhan", "kedaulatan
Tuhan",
> sementara konteks membutuhkan adanya mekanisme sosial-politik yang
lebih
> demokratis untuk mewujudkan perangkat hukum yang mengatur kehidupan
publik.
>
> Permaslahan yang paling krusial menyangkut teks adalah penggunaan
teks-teks
> keagamaan untuk mengutuk lawan diskusi mereka dalam tema-tema
keagamaan. Ada
> kesan, kelangan Islamisme memandang bahwa pandangan pribadinya
tentang suatu
> persoalan menjadi valid dengan sendirinya bila sudah ditunjang oleh
berjibun
> teks. Diskusi kemudian seakan digembok "kebenaran mutlak" teks.
Kebenaran
> mutlak teks ini, kemudian seolah memancarkan kebenaran pengguna
teks.
> Kebalikannya, yang tidak menggunakan teks, meski lebih masuk akal
dalam
> pandangan-pandangan keagamaannya, akhirnya berarti menentang teks
itu
> sendiri. Akal selalu dipertentangkan dengan naql.
>
> Islamisme dan Realitas Kekinian
>
> Kesenjangan antara realitas kekinian dengan masa lampau dalam
retorika
> keagamaan kalangan Islamisme juga dapat dicermati. Penganut
Islamisme,
> selalu saja mengidealisaikan masa lampau sembari menyumpah masa
kini. Mereka
> meletakkan masa lampau sebagai fundamen dan masa kini mesti
menuruti masa
> lampau itu. Bila masa kini melenceng dari gambaran ideal masa
lampau yang
> (terlalu) diidealisasikan itu, maka kesimpulannya adalah anomali
(inhirâf),
> kebodohan (jâhiliyyah) dan kekeliruan (al-dlalâl). Makanya retorika
keagaaam
> ala salafi ini, menginginkan rekonstruksi masa kini dengan
menggunakan photo
> copy masa lalu. Nasr Hamid menegaskan bahwa cara berpikir demikian
adalah
> sebuah mimpi yang mustahil berwujud (hilm mustahîl).
>
> Agaknya, apa yang dikatakan Shorous juga menjadi relevan sebagai
kritik atas
> watak Islamisme yang terlalu mengidealisasi masa lampau ini. Bagi
Shoroush,
> keterperosok kita dalam problem keterpautan antara teori dan praktik
> keagamaan dewasa ini, juga disebabkan karena secara gradual dan
material
> kita sudah beranjak menuju zaman modern, sedangkan pemikiran kita
tertinggal
> di belakang (Soroush, 2002: 77-78). Selain ketertinggalan itu,
> ketidakmampuan menetapkan secara jeli prinsip-prinsip hubungan
antara masa
> kini dan masa lalu secara dialektikal, juga menyebabkan hubungan
antar masa
> lampau dengan kini seperti teka-teki ayam dan telur. (Abu Zaid,
Naqd .,
> 1995: 157-162).
>
> Pembedaan antara Islam ideal (al-islâm al-namûdzajiy) dengan Islam
historis
> (al-Islâm fi al-wâqi') bagi kalangan Islamisme menjadi tidak
penting sebagai
> kategorisasi konseptual guna memahami hakikat masyarakat. Pada
akhirnya,
> banyak pemikir heran, hanya umat Islam yang sangat bangga dengan
masa
> lampaunya. Karena kebanggaan yang berlebihan pada masa lampau itu,
umat
> Islam tidak memiliki masa kini, sekaligus gamang akan masa depan.
Pendek
> kata, mereka tidak mampu membedakan antara agama dalam kandungan-
kandungan
> teks orisinal dan fundamentalnya, dengan praktiknya sebagai produk
pembumian
> teks-teks kandungan wahyu ke dunia nyata dan sejarah.
>
>
>
> Wass. Ww
> Nan Pilon
>
> SBN <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
>
> Agama kami yang mayoritas? Kami itu yang mana, karena tidak semua
Muslim
> sependapat syariah itu harus jadi formal legalistik, banyak eskali
yang
> berpendapat bahwa syariah/fiqih itu harusnya jadi etik Muslim (yang
> kenyataan memang belum mampu menjadikan etiknya bicara). Kenapa
> ketidakmampuan dalam etik lantas dijadikan motivasi merebut kuasa?
>
> Salam
>
> SBN
>
>
> Do you Yahoo!?
> SBC Yahoo! DSL - Now only $29.95 per month!
>
>
> RantauNet http://www.rantaunet.com
> Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
> -----------------------------------------------
>
> Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke:
> http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
> ===============================================


RantauNet http://www.rantaunet.com
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
-----------------------------------------------

Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke:
http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
==============================================

Kirim email ke