Assalamulaikum warahmatullahi wabarakatuh
Mari kita berkunjung sejenak ke Nagari Canduang (Koto Laweh), Lanjutan kedua
 
Setelah berkunjung dan menikmati keindahan peninggalan Masjid Bingkudu, dilanjutkan perjalanan hari ini. Perjalanan ini adalah menulusuri persawahan pergunungan yang bertingkat. Jalan diteruskan ke Timur berjalan kaki meliwati lorong sempit jalan yang digali dari ketinggian guguak Bonjo menuju umpuak Lurah diseberang Timurnya. Dilurah kita temui sekelompok surau pribadi atau surau dari kelompok suku atau kelompok keluarga lainnya. Dari Umpuak lurah kita dapat menikmati persawahan indah dilekuk bukit yang mengikuti liukan postur tanah. Setelah melewati kampung andaleh kita tembus ke persawahan nuriang, bentangan sawah dipinggir hulu sungai Batang Agam ini, yang disebut warga setempat dengan sebutan Jabua. Dengan sejarahnya yang panjang sejak gunung Merapi sebesar " talua itiak" (zaman behaula), Jabua telah menjadikan dirinya suatu sungai dikedalaman yang mempunyai tebing tinggi dikedua sisinya.
 
Kini dituruni tebing tepi barat Jabua ini, meliuk ke bawah melihat asal sungai vulkanis dengan air putih bersih, karena secara almi telah disaring oleh pasir, kerikil dan batu yang terbentuk secara alami sisa produksi vulkanis ini. Diperhatikan air bening mengalir mengikuti liku bebatuan besar dan kecil, menggoda orang yang memandang untuk menikmati dengan mandi air dingin seperti air dari kulkas ini. Alangkah indahnya ciptaan Allah subhanuhu wataala ini. Dengan mengadakan sedikit pengamatan di Jabua ini, menelusuri aliran air jernihnya akan tampak bagai mana batu vulkanis bisa berbentur bulat, yang dikarenakan telah bergulir dihanyutkan air dan berbenturan satu dan lainnya dari mudik sana. Batu bulat dan kebanyakkan berbentuk telur itu mengoda untuk dikoleksi, atau dibawa sebagai kenangan, kunjungan pertama ke Jabua.
 
Menembus Jabua berjalan kai, atau tracking menelusuri, kebun kulik manih (accasiavera) milik masyarakat setempat. Yang dulu adalah sebagai tanaman tua yang menopang penghidupan masyarakat untuk dapat mendapatkan uang dalam jumlah yang memadai untuk keperluan khusus. Seperti keperluan menyekolahkan anak, keperluan pernikahan dan keperluan perluasan tanah atau membeli tanah orang yang kebetulan dijual. Ataupun keperluan membuat rumah untak anak-anak yang telah menginjak dewasa.
 
Dengan melihat daun kulit manis yang memerah serentak terhampar luas, seolah kita disuguhi pandang yang indah tiada bandingnya. Doeloe, semasa aku duduk dibangku SR dan s/d SMA, sering diajak orang tua untuk memanen kayu manis ini, sekedar untuk membayar uang sekolah disetiap penghujung tahun. Apa lagi disetiap mau masuk sekolah kejenjang yang lebih tinggi.
 
Didalam saat menelusuri indahnya kebun kulik manih ini, akan ditmui batu ngalau, batu yang berlapis seperti kain dan dicelahnya menetes air putih dingin dan bersih. Percikan air indah dan memberi kita nuansa penunjukan kekuasaan sang pencipta.
 
Dari Jabua, terus ke perkebunan kulik manih tabiang Jabua, dan ngalau batu balapih, dilanjutkan perjalanan tracking mendaki punggung bukit yang agak nakal, karena kecuramannya yang kadang sampai 50 derajat. Melewati jalan setapak yang membawa kita kekehidupan desa nan penuh kedamaian dan keiklasan dan kerelaan, atas penghidupan yang dijalani dalam keseharian petani desa. Petani desa yang hidup marginal, tapi banyak dari mereka dengan kebanggaan tinggi karena dapat menyekolahkan anak mereka sampai menamat universitas. Disinilah keadilan yang maha kuasa. Jika dinilai dengan logika dan kaca mata yang kita miliki. Mana mungkin dengan penghidupan yang marginal tersebut dapat menguliah beberapa orang anak. Tapi sekali lagi itulah kenyataan. Kadang dengan hidup paspasan itu, tapi tetap dengan bertekat tinggi supaya anak-anak bisa menyamai anak orang lain. Dengan segala keterbatasan orang tua maka sianak terbentuk dengan kesederhanaan dan ketangguhan untuk survive dalam meniti masa depannya. Apa bisa kebayang, seorang anak wanita yang kuliah di Banda Aceh sana, hanya dengan uang Rp. 35,000 per bulan all in, dapat menyelesaikan universitasnya dengan nilai tinggi. Karena mereka telah terbentuk dari yang kecil dan meniti kesurvivannya dengan yang kecil itu. Sianak seorang wanita tersebut kini telah menyelesaikan S2nya  di ITB dan kembali berbakti ketempat dia ditempa di Banda Aceh sana. Banyak lagi cerita yang kadang jauh dari logika, tapi ternyata bisa. Itulah kebesaran Allah swt.
 
Setelah sekitar satu jam menelusuri kebun kulik manih, maka kini kita berada di Sidang Puti Ramuih, sidang yang berukuran paling kecil di Canduang ini. Sidang yang ditopang dengan perekonomian pertanian, tapi telah banyak mempunyai anak mereka yang berhasil manamat pendidikan di Unand, Unri dan Syiah Kuala. Di Puti Ramuih dapat ditemui kembali kendaraan yang ditinggal di Masjid Bingkudu tadi. Kendaraan kembali menuruni jalan ke Jabua kini untuk mencapai sidang Labuang diseberang jabua sana. Di jabua sebaiknya beristirahat sebentar melepaskan kelelahan setelah tracking di perkebunan kulik manih selama lebih kurang satu setengah jam. Disi bisa rilex, memerhatikan kejernihan air Jabua disela, sela babatuan halus kasar dan besar.
 
Setelah melepas lelah di Jabua, perjalan pelan beringsut mendaki lereng Barat Jabua, diatas dengan ramah pemandangan sawah bertingkat membentang diisebelah kanan. Kini berada didesa Kampuang Sabaleh. Sidang Labuang ini terdiri dari beberapa umpuak yang disebut dengan Kampuang sabaleh, kampouang anam, kampuang limo, batu asahan dan Kocowali.
 
Sebaiknya kita mapir sebentar di Masjiiid Labuang, yang berlokasi ditengah kesempitan tanah peruamahan ini. Masjid Labuang ini dulunya berdiri disebelah tabek (kolam) yang bermata air besar, yang disebut masyarakat setempat sebagai "Tambarayo", sehingga sepanjang tahun tidak pernah kering. Bahkan mata airnya itu dulu terkesan angker dan memberikan suatu yang menekan nyali dan logika kita. Tapi kini, entah karena apa, apa karena penggundulan atau sebab lainnya. Tambarayo kini sudah tinggal kenangan saja. Mata air yang dulu angker tersebut, kini tidak berdaya dan hanya mengeluarkan airnya dimusim hujan saja.
 
Ditelusuri satu-persatu umpuak di Labuang ini, yang rumahnya masih banyak dengan arsitek khusus Minangkabau, yang disebut rumah Gadang. Masih terdapat beberapa rumah Gadang tua dan terbuat dari kayu berdiri kokoh disini. Alangkah baiknya jika dikunjungi rumah gadang ini beberapa buah, sebelum kemudian kembali ke pemondokan, untuk melanjutkan perjalanan menuju tempat yang berpemandang pegunungan yang spektakuler, Bukik Bulek serta bersiap untuk tracking di hutan tropis nan masih virgin.
 
Besok dilanjutkan ke perjalanan ketiga dihari kedua.
 
Wassalamualaikum Ww
Darul M. St. Parapatiah
Dumai 4 Oktober 2003
 

Kirim email ke