Server mailing list RantauNet berjalan atas sumbangan para anggota, simpatisan dan 
semua pihak yang bersedia membantu. Ingin menyumbang silahkan klik: 
http://www.rantaunet.com/sumbangan.php
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~

Herry Mohammad dan Bambang Sulistiyo
[Laporan Utama, GATRA, Edisi 51 Beredar Jumat 31 Oktober 2003] 

Kesurupan Tanpa Prasangka

Jakarta, Jumat, 31 Oktober 2003 00:02
SIAPA yang tak kaget bila Nining, yang biasanya berperangai lembut,
tiba-tiba saja menjadi galak, beringas. Siswi Madrasah Aliyah Negeri 2
Payakumbuh, Sumatera Barat, itu meronta, berontak, seperti tak tahan
mendengar lantunan ayat suci Al-Quran yang dibacakan di depannya. Padahal,
gadis berkerudung yang jelas-jelas ber-KTP agama Islam itu justru menyebut
nama Yesus dan Bunda Maria dengan khidmat. Kejadian serupa menimpa sejumlah
siswi lain. 

Keruan saja, bergulir spekulasi bahwa Nining menjadi target pemurtadan.
"Sangat mungkin ada orang yang sengaja ngerjain anak-anak muslim itu," kata
Hamdi El Gumanti, Ketua Pagarnagari, lembaga swadaya masyarakat yang aktif
memantau masalah heboh ini.

Hamdi yang tinggal di kawasan Cipayung, Jakarta Timur, sudah beberapa kali
menyaksikan gejala kesurupan massal di Payakumbuh. "Anak-anak itu mungkin
dihipnotis, dirasuki jin kafir, bahkan disantet," kata Hamdi kepada GATRA.
Ia sendiri tak bisa menjelaskan tali-temali berbagai kejadian dari sisi
ilmiah. Toh, ia meyakini satu hal: ada usaha-usaha pemurtadan lewat cara
hipnotis, metafisika, atau sejenisnya.

"Hipnotis merupakan cara untuk mempengaruhi orang dengan jalan masuk ke alam
bawah sadar," kata Muhammad Tohir, psikiater dari Rumah Sakit Islam II,
Jemursari, Surabaya. Orang yang menjadi target merasa seperti melayang. Di
saat itulah penghipnotis memberi perintah-perintah. Secara bawah sadar,
target akan menuruti perintahnya.

Psikiater menggunakan hipnotis untuk membantu klien melupakan sumber
stresnya. Tapi, pengaruh hipnotis hanya terbatas pada penguasaan pusat
motorik yang ada pada manusia. Di dalam otak sendiri ada pusat motorik,
pusat sensorik, inteligensia, memori, dan sebagainya. Karena hipnotis tak
menguasai seluruh alam bawah sadar, tidak semua orang bisa dihipnotis.

Secara teknis, hipnotis tak bisa dilakukan dari jarak jauh. "Yang dihipnotis
dan penghipnotis harus berhadap-hadapan," kata Tohir. Dengan begitu,
peristiwa yang menimpa pelajar Sumatera Barat itu bukanlah hasil hipnotis.

Kemungkinan besar adalah reaksi konversi, yang dalam istilah awam disebut
kesurupan. Konversi adalah peristiwa meluapnya informasi bawah sadar ke
permukaan. Akibatnya, secara psikologis orang itu berperilaku tak seperti
watak aslinya. Konversi muncul saat stres tak bisa lagi dibendung oleh
mental seseorang. "Bentuk penolakan atas stres itu bisa berupa
kejang-kejang, meracau dan mengomel, melotot, dan sebagainya," kata alumnus
Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga, Surabaya, itu.

Ada kemungkinan, siswi Payakumbuh yang tertimpa kesurupan itu pernah
mengalami tekanan tertentu. "Mungkin saja sebelumnya mereka berdiskusi
tentang agama lain, lantas merasakan benturan paham dengan keyakinan yang
dianutnya sehingga muncul gangguan kejiwaan," kata Profesor Soewadi, pakar
dari Rumah Sakit Sardjito, Yogyakarta. Anak perempuan yang belum dewasa
memang rentan terkena kesurupan.

Stres seringkali menular, sehingga kesurupan pun bisa merambat ke orang
lain. "Korban-korban kesurupan di Sumatera Barat itu bisa saja menimbulkan
kecemasan pada siswa lain," kata Yaunin, Direktur Rumah Sakit Jiwa Puti
Bungsu, Padang. Bisa dipahami bila kesurupan akhirnya menjalar ke pelajar
lain yang tak tahan menyaksikan peristiwa aneh tersebut. Yaunin meminta
masyarakat tak serta-merta menyebutnya kerasukan jin.

Meski demikian, spekulasi tentang kemungkinan siswa kerasukan makhluk halus
tak bisa ditolak sepenuhnya. Erwin Kusuma, ahli psikiatri, mengakui bahwa
makhluk halus memang ada. "Tidak semua ahli mengakui. Hanya psikolog dan
psikiatri spiritual yang mendukung teori ini," kata Erwin, 65 tahun, yang
mendalami psikiatri sipiritual. "Kalau orang menyebutkan informasi yang
tidak diketahui sebelumnya, kemungkinan dia kemasukan roh," kata Erwin, yang
berpraktek di Cempaka Putih, Jakarta Pusat.

Apa pun sebabnya, kesurupan bisa dicegah dengan daya tahan mental yang kuat.
Daya tahan seseorang bisa bertambah dengan meningkatkan kemampuan mencari
solusi. Menambah ilmu pengetahuan adalah kuncinya. "Kesurupan tidak ada
kaitannya dengan salat atau peribadahan lain," tutur Erwin kepada Arief
Ardiansyah dari GATRA. Jadi, tak perlu buru-buru menebar prasangka.

Rihad Wiranto, Nurul Fitriyah, dan Sujoko
[Laporan Utama, GATRA, Edisi 51 Beredar Jumat 31 Oktober 2003] 

Ranah Minang Diserang Kesurupan

WAJAH Desi Afriana tiba-tiba memucat. Tubuh wanita berusia 18 tahun itu
berangsur-angsur lunglai. Keringat dingin keluar dari kedua telapak
tangannya. Setengah jam kemudian, mahasiswi semester V Jurusan Agrobisnis
Politeknik Pertanian (Politani) Universitas Andalas di Kabupaten Limapuluh
Kota, Sumatera Barat, itu tak sadarkan diri.

Tentu saja, para penghuni asrama putri di Tanjung Pati, Kabupaten Limapuluh
Kota itu panik. Lima mahasiswi teman Desi mengambil posisi di sekeliling
tubuh yang sebentar-sebentar memberontak itu. Meski matanya terpejam, tangan
dan kakinya tak mau diam. Sesekali meronta dengan kuat. Beberapa mahasiswa
mencoba ikut menangani.

Seorang dari mereka mengusapkan telapak tangan kanannya ke mata dan wajah
Desi. Tak berhasil. Desi malah meronta lebih kuat. Seorang yang lain,
sembari mulutnya komat-kamit, menyorongkan tasbih tepat di hadapan mata Desi
yang masih tertutup. Juga nihil. Malah, rontaannya kian menguat. Kedua
tangannya terlepas dari pegangan kawan-kawannya. Tasbih itu ditepis Desi.

"Ini belum seberapa," ujar Meri Riswani, teman Desi, sesama penghuni Tanjung
Pati. Menurut Meri, sejak pertama kali terjangkit kesurupan pada September
2002, kondisi Desi tak stabil. Ia kadang terlihat sehat walafiat, baik
mental maupun fisik. Tapi, pada kali lain, Desi terlihat pucat, lemah,
pingsan, dan kesurupan. "Biasanya Desi meracau menyebut-nyebut Yesus, Bunda
Maria, dan selalu marah kalau diberi tasbih atau dibacakan ayat-ayat
Al-Quran," kata Meri.

Sebelumnya, kepada GATRA, Desi mengaku bahwa hal terakhir yang diingat
adalah tubuhnya seperti dibimbing seseorang untuk memasuki halaman sebuah
gereja. Lalu ada visualisasi seperti sosok pendeta yang membimbingnya
memasuki altar gereja. "Setelah itu, saya tak ingat apa-apa lagi," tutur
Desi, mengenang.

Desi adalah satu dari 50 mahasiswi dan pelajar yang mengalami trance dengan
gejala dan indikasi serupa, selama setahun terakhir ini. Setiap kali
meracau, mereka selalu menyebut-nyebut nama Yesus, Bunda Maria, dan
simbol-simbol Kristen. Pada saat bersamaan, mereka melawan terhadap
penyebutan kata Allah, Muhammad, Al-Quran, dan simbol-simbol Islam lainnya.

Peristiwa kesurupan itu bermula dari suatu aktivitas perkemahan di Desa Air
Putih, 6 kilometer di timur Tanjung Pati, pertengahan September 2002. Saat
berkemah itulah, beberapa mahasiswi muslim mengalami kesurupan. Berbagai
upaya dilakukan kawan-kawan mereka untuk memulihkan kondisi yang trance.
Inisiatif serupa diambil kelompok mahasiswa Kristen, yang secara spontan
melakukan doa berantai dan menyediakan segelas air putih untuk diminum oleh
yang kesurupan.

Belum sepekan kejadian di tempat perkemahan itu, kampus Politani dihebohkan
kasus serupa. Kali ini berantai, dan hampir seluruh korban adalah mahasiswi
muslim berjilbab. Satu per satu mahasiswi itu trance. Peristiwanya terjadi
kapan saja, di mana saja. Bahkan, ketika sedang membuka kitab suci Al-Quran,
mereka yang kesurupan melafalkan kata: Yesus, Bunda Maria, sekaligus
mendiskreditkan Al-Quran dengan mengatakan bahwa kitab itu buatan Muhammad.

Peristiwa serupa menimpa 10 santriwati Pesantren Khairul Ummah, Tunggul
Hitam, Padang, Juli lalu. Sebulan kemudian merambah ke Pesantren Tungkar,
Kecamatan Luhak, Kabupaten Limapuluh Kota. Beberapa santriwatinya mengalami
kejadian sama. Lalu, pada 23-26 September lalu, Madrasah Aliyah Negeri 2
Payakumbuh dihebohkan kejadian serupa. Sedikitnya 11 siswi mengalami
kesurupan dengan gejala sama.

Kejadian demi kejadian --dengan modus serupa-- itu yang membuat Majelis
Ulama Indonesia setempat bersama organisasi kemasyarakatan dan lembaga
swadaya masyarakat (LSM) menyimpulkan, kesurupan tersebut merupakan metode
untuk memurtadkan umat Islam. Wacana Kristenisasi pun berkembang, merebak,
dan menambah panasnya cuaca di Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota. 

Kepala Madrasah Aliyah Negeri 2 Payakumbuh, Drs. Syahruddin, MS, menyebutkan
bahwa secara medis tak ditemukan kelainan pada para pengidap trance. Oleh
sebab itu, upaya yang kemudian dilakukan pihak sekolah adalah mendatangkan
orang-orang yang ahli memulihkan mereka yang kesurupan. Di antaranya adalah
Ustad Agus Gunawan, 35 tahun, aktivis LSM Bina Insani.

Agus menggunakan metode rukyah untuk memulihkan kesadaran penderita dan
mengeluarkan jin yang mengganggu dengan bacaan ayat suci Al-Quran. "Semua
ayat dalam Al-Quran bisa digunakan untuk me-rukyah, tergantung kadar
keimanan dan keislaman orang yang melakukan rukyah itu," tutur Agus.

Menurut Agus, banyak "pasien" yang ditanganinya menyebut nama-nama tertentu.
Nama Thomas, Gero, Novel, Demi, David, dan lain-lain meluncur dari bibir
penderita trance itu. Berdasarkan penelusuran GATRA, si empunya nama adalah
penuntut ilmu di Politani, beragama Kristen, dan sebagian besar berasal dari
Sumatera Utara. "Tapi, kita tidak bisa mempercayai begitu saja ucapan jin
yang sedang merasuki tubuh manusia semacam itu," kata Agus.

Tentu saja, kejadian yang menimpa para perempuan berjilbab tersebut membuat
gerah warga Kota Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota. Di berbagai
komunitas, wacana ini menjadi pembahasan utama. Mulai pertemuan musyawarah
pimpinan daerah, di ruang sidang kantor DPRD, pertemuan antar-pengurus
lembaga pendidikan Islam, sampai di seminar bertema "Ranah Minang di
tengah-tengah ancaman anti-Islam dan upaya pemecahannya".

Aktivis LSM Pagar Nagari, Drs. Ibnu Aqil. D. Ghani, menilai, begitu banyak
modus Kristenisasi di Sumatera Barat. Mulai dengan pola perkawinan,
penculikan, iming-iming kesejahteraan, pemilikan kavling tanah,
transmigrasi, hingga menggunakan sihir. Reaksi keras datang dari pengurus
Majelis Ulama Indonesia Kabupaten Limapuluh Kota. 

Berlatar belakang keyakinan bahwa sedang dan telah terjadi upaya
Kristenisasi di beberapa wilayah di Sumatera Barat, lembaga itu bersama
pimpinan organisasi Islam, LSM, tiga wali nagari (Koto Tuo, Sarimalak, dan
Batu Balang) mengeluarkan pernyataan bersama. Isinya, meminta Rektor
Universitas Andalas memecat dua dosen dan dua mahasiswi di Politani
Universitas Andalas. Mereka adalah Ir. Agustinus Simangunsong, MSi, Ir.
Ramond Siregar, MP, Novelina Silaban, dan Demi Hotmawat. Keempat nama ini
dituduh telah melakukan upaya Kristenisasi dengan modus menggunakan kekuatan
jin dan setan yang menyebabkan korban (muslim) kesurupan.

Demi Hotmawat, misalnya, dalam surat pernyataan itu diceritakan pada 26 Juni
2002, pukul 07.25 WIB, mengaku telah melakukan upaya Kristenisasi melalui
sihir (kekuatan jin) kepada orang Islam. Ia melakukannya karena paksaan
seorang dosen.

Sementara Novelina Silaban kedapatan memindahkan atau meletakkan benda sihir
yang dibungkus dengan timah hitam. Di dalam bungkusan itu terdapat rambut,
kain, dan kertas bergambar salib besar (bertuliskan "Yesus" di dalamnya
serta gambar gereja dan simbol bintang di sekitarnya).

Eskalasi keresahan yang sama terasa di lingkungan kampus Politani. Tokoh
masyarakat Tanjung Pati yang berumah di sekitar kampus, Zulfadli Datuk
Sipat, mengemukakan bahwa pihaknya sudah melakukan pembicaraan dengan
Direktur Politani, Ir. Setya Darma. "Perwakilan masyarakat sudah dua kali
mendatangi Politani agar segera menyelesaikan kasus ini," ujar Datuk Sipat.

Kesimpulan dari dua pertemuan itu, di antaranya, tak cukup alasan bagi pihak
kampus melakukan tindakan administratif berupa pemindahan atau pemecatan
orang-orang yang dianggap terlibat dan atau sering disinggung dalam
peracauan mereka yang kesurupan. "Kita sama-sama belajar dari kasus ini dan
menenangkan situasi agar hal sensitif ini tidak membuahkan kerusuhan, sambil
menunggu hasil kerja tim investigasi Universitas Andalas dalam menyelediki
kasus ini," kata Datuk Sipat.

Tuntutan masyarakat cukup jelas arahnya. Tapi, pihak universitas tak akan
serta-merta menggunakan kekuasaannya. Menurut Pembantu Direktur III Bidang
Kemahasiswaan, Ir. John Nefri, posisi Politani adalah lembaga pendidikan
universal yang berpijak pada aturan-aturan yang selama ini berlaku. Jika tak
ada bukti-bukti hukum yang kuat, menurut Nefri, pihak kampus tidak dapat
melakukan tindakan administratif terhadap orang-orang yang dianggap terlibat
dalam peristiwa kesurupan tersebut.

Itu sebabnya, lanjut Nefri, Rektor Universitas Andalas membentuk tim
investigasi yang bekerja menyelidiki berbagai kemungkinan dalam kasus
menghebohkan ini.

Mereka yang dituding pun tak bisa nyenyak tidur. Ir. Agustinus Simangunsong,
43 tahun, misalnya. Ayah empat anak ini namanya disebut-sebut dalam media
massa lokal dan beredar di masyarakat sebagai seorang pelaku Kristenisasi
dengan modus sihir. Kepada GATRA, Simangunsong mengatakan bahwa dirinya
sudah melakukan klarifikasi, baik ke pihak kampus, Gereja Huria Kristen
Batak Protestan (HKBP) Payakumbuh tempatnya beribadah rutin, maupun ke
kepolisian setempat.

"Apa yang dituduhkan kepada saya sama sekali tidak benar," tutur
Simangunsong. "Alangkah bodohnya saya jika melakukan hal-hal yang dalam
agama saya dianggap tidak terpuji dan musyrik, di tengah masyarakat Sumatera
Barat yang memegang teguh prinsip-prinsip Islam," kata Simangunsong, yang
memutuskan mencari nafkah di Sumatera Barat sejak 1989 ini.

Kepada GATRA, Simangunsong mengaku prihatin terhadap peristiwa yang menimpa
puluhan mahasiswi muslim di Politani yang kesurupan. Apalagi, isu yang
berkembang dari dampak peristiwa itu bisa menjadi begitu sensitif. "Tapi,
saya sungguh tidak dapat mengerti, mengapa nama saya sampai dibawa-bawa,
bahkan diberitakan di koran lokal segala," ia mengeluhkan.

Selain Simangunsong, GATRA juga menemui Thomas Barutu, 20 tahun. Nama Thomas
menjadi populer karena menjadi salah satu nama yang disebut-sebut oleh
mereka yang kesurupan di Politani dan di Madrasah Aliyah Negeri 2
Payakumbuh. Pria berperawakan tegap, berkulit cerah dengan dagu yang
dirambahi janggut tipis, itu tipikal anak muda kebanyakan. Ia tinggal di
sebuah tempat kos khusus pria, 500 meter dari kampus Politani. Ketika
namanya disebut-sebut, Thomas mengaku bingung sekaligus takut.

"Ketika peristiwa Politani berlangsung, saya sedang menyelesaikan semacam
KKL dengan beberapa teman mahasiswa di sebuah perkebunan di Bandung," ujar
Thomas. Sebagian besar mahasiswa yang melaksanakan program itu beragama
Islam. Bahkan, menurut Thomas, ada seorang dosen yang juga ikut mengawasi
mereka.

Sampai pekan lalu, Thomas tak habis pikir, mengapa dirinya dijadikan sasaran
tembak. "Untuk mengkristenkan orang yang sudah Kristen saja susah, apalagi
harus mengkristenkan umat beragama lain," tuturnya, dengan suara tersekat di
tenggorokan. Ia geram sekaligus menahan emosi.

Yang menarik, beberapa nama dosen dan mahasiswa Politani yang oleh
masyarakat dianggap terlibat dalam kasus ini adalah jemaat HKBP Payakumbuh
dan Kabupaten Limapuluh Kota. Pendeta Sukirawati dari HKBP mengakui hal itu.
Ketika kejadian awal di perkemahan, menurut Sukirawati, mahasiswa Kristen
yang ada waktu itu memang ikut mendorong dengan doa bersama.

"Tujuannya hanya ikut peduli, tidak ada motif lain. Apalagi mengkristenkan
orang," kata Sukirawati. Tapi, ketika kasus kesurupan terjadi lebih parah
dan menyangkut pelafalan nama Yesus, Bunda Maria, dan lambang-lambang
Kristen di kampus Politani, beberapa pihak lantas menghubungkannya dengan
mahasiswa Kristen saat melakukan doa berantai di perkemahan itu. "Kasusnya
kemudian merebak menjadi seolah-olah ada upaya Kristenisasi yang dilakukan
mahasiswa Sumatera Utara yang beragama Kristen," kata Sukirawati lagi.

HKBP lingkungan Tanjung Pati, menurut Sukirawati, memiliki sekitar 105
kepala keluarga sebagai jemaat tetap. Aktivitas peribadatan mereka hanya
berlangsung pada Minggu, mulai pukul 07.30 WIB hingga 14.00 WIB. Berhubung
belum memiliki gedung sendiri, aktivitas peribadatan itu diselenggarakan di
kompleks Batalyon 131, yang terletak di Kabupaten Limapuluh Kota.

Menurut Wakil Ketua Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI) Wilayah
Sumatera Barat yang juga Ketua Majelis Gereja Protestan Indonesia Bagian
Barat, Benarbeta Ginting, PGI Sumatera Barat sampai saat ini memiliki
anggota sekitar 3.000 kepala keluarga. "Tidak ada penambahan signifikan
anggota PGI dari tahun ke tahun," kata Ginting.

Ginting benar. Berdasar statistik tahun 2001, penduduk Provinsi Sumatera
Barat berjumlah 4.241.605 jiwa. Dari jumlah itu, yang beragama Islam
mencapai 97,78%, Katolik 0,91%, dan Kristen 1,16%. Sedangkan Hindu, Buddha
dan lainnya rata-rata di bawah 1%. Jumlah penduduk Kristen di Sumatera Barat
tahun 1999 pernah mencapai 1,21%, tapi tahun 2000 jumlahnya melorot hingga
0,60%. Begitu pula jumlah pemeluk Katolik, Hindu, dan Buddha tak mengalami
pertumbuhan signifikan. 

Mungkin, karena jumlahnya yang mayoritas tunggal itu, masyarakat muslim di
Sumatera Barat menjadi sangat peka terhadap sesuatu yang berbau pemurtadan.
Apalagi, kasus-kasus yang terjadi di Sumatera Barat muncul pula di berbagai
provinsi di Sumatera. Di Lampung, misalnya.

Menurut Muswardi Thaher, aktivis Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia Provinsi
Lampung, cara-cara sihir kini menghantui para mahasiswa di Lampung. Bahkan,
Yoppi Ariyana, mahasiswa Teknik Elektro Universitas Lampung, sejak 12
November 2002, menghilang sampai kini. Dari penuturan ibu Yoppi, Rilya
Hayana, kepada Sugiyanto dari GATRA, muncul kesan bahwa anaknya adalah
korban pemurtadan yang menggunakan sihir.

Bila benar kasus-kasus kesurupan itu bermotif pemurtadan, hal itu tentu
merupakan pelanggaran etika dakwah. Apalagi, baik Islam maupun Kristen
memandang sihir sebagai perbuatan sangat tercela, bahkan syirik. Karena itu,
persoalan ini bukanlah masalah umat Islam semata, melainkan soal umat
Kristiani juga.

Itu sebabnya, pemerintah harus lebih serius menanggapi kasus Politani dan
Madrasah Aliyah Negeri 2 di Payakumbuh dan Kabupaten Limapuluh Kota itu.
Diperlukan dialog secepatnya sebelum kasusnya melebar tak terkendali.
Kerukunan umat beragama tentunya bakal serasi bila pintu-pintu dialog itu
diungkapkan secara jujur serta konsisten pada kesepakatan yang telah
ditetapkan.

~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Ingin memasarkan produk anda di web RantauNet http://www.rantaunet.com 
Hubungi [EMAIL PROTECTED] atau [EMAIL PROTECTED]
~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~~
Isikan data keanggotaan anda di http://www.rantaunet.com/daftar.php
----------------------------------------------------
Berhenti menerima RantauNet Mailing List, silahkan ke: 
http://www.rantaunet.com/unsubscribe.php
========================================

Kirim email ke