Wednesday, January 9, 2013
Etika Film & Simbol Agama
SUTRADARA PUN DIBUNUH

KETIKA memproduksi Film 2012, Sutradara Rolland Emmerich bermaksud memasukkan
Mekah, yang didalamnya ada Masjidil Haram sebagai salahsatu bangunan yang ikut
dihancurkannya dalam film yang bertemakan kiamat itu. Namun atas saran Harald
Kloser—sang penulis naskah, Rolland akhirnya mengurungkan niatnya. Alhasil,
film berdurasi 158 menit yang diproduksi sejak 2008 dan ditayangkan pada 2011
di Indonesia ini, tidak kita temukan Masjidil Haram hancur seperti halnya St.
Petters Basilica di Roma, atau Gedung Putih di Amerika selama suasana
peristiwa kiamat digambarkan secara detail dan apik.
Rolland bukanlah sutradara baru atau orang yang baru kenal film, hingga
memutuskan untuk tidak menghancurkan Mekah sebagai mana menimpa patung Yesus
Kristus di Rio De Jaeniro, Brazil, atau kuil di Tibet. Rolland merasa perlu
mendengarkan pendapat orang lain, sebelum memutuskan perlu dihancurkan/tidaknya
situs kebanggaan yang sangat dihormati oleh milyaran umat Islam di dunia itu.
Terbukti, Rollad pun mengakui benar atas apa yang baru saja dilakukannya. Bagi
sutradara Film Stargate (1994), Independence Day (1996), The Day After Tomorrow
(2004), 2012 (2009), dan Anonymous (2011) ini, lebih baik meninggalkan sesuatu
yang menyebabkan dirinya dibenci di seluruh dunia gara-gara sebuah fatwa yang
bisa saja dikeluarkan sehingga bisa membuatnya rugi di seluruh dunia.
"Well, I wanted to do that, I have to admit. But my co-writer Harald said I
will not have a fatwa on my head because of a movie. And he was right. We have
to all in the Western world think about this. "You can actually let Christian
symbols fall apart, but if you would do this with Arab symbol, you would have a
fatwa, and that sounds a little bit like what the state of this world is,” ujar
Rolland suatu saat.
Adalah hak seorang Rolland ketika dirinya memutuskan untuk menghancurkan Patung
Yesus Kristus sebagai simbol Kristen, dan memilih tidak menghancurkan Mekah
sebagai simbol Islam. Meskipun dua-duanya bisa dia lakukan, namun pertimbangan
Rolland maupun penulis naskah Harald Kloser sebagai orang film profesional
untuk menghindari kutukan dan kebencian terhadap mereka dari umat Islam seluruh
dunia, menurut saya cukup menarik. Apalagi, baik Rolland maupun Harald,
bukanlah Muslim sehingga keputusan untuk menghormati simbol agama Islam oleh
mereka, patut dijadikan pelajaran berharga bagi sutradara Muslim dimanapun,
termasuk di Indonesia.
Awal tahun 70-an, tepatnya tahun 1973, sebuah film The Exorcist karya William
Friedkin yang menuai kontroversi karena menggambarkan seorang gadis melakukan
masturbasi di Gereja. Film ini sebenarnya menggambarkan adanya seorang gadis
cilik yang kesurupan, sehingga perilakunya bisa dibilang sangat menyimpang.
Meski begitu, bukan berarti pihak Gereja menerima begitu saja alasan William
untuk menempatkan Gereja sebagai tempat masturbasi.
Pada tahun 1988, sebuah Film The Last Temptation of Christ karya Martin
Scorsese akhirnya tutup di hampir semua negara yang akan menayangkannya. Pihak
Kristen berkeberatan karena di dalam Film tersebut digambarkan Yesus Kristus
sedang meniduri Maria Magdalena. Para pemrotes tidak mau melihat Yesus Kristus
digambarkan sebagai manusia yang memiliki nafsu dan bersenggama.
Tahun 2004 silam, sebuah film garapan Mell Gibson The Passion of the Christ
yang mengisahkan kisah detik-detik penyaliban Yesus Kristus. Film ini ditentang
karena dituduh oleh Yahudi telah mempermalukannya. Namun, Gibson selamat karena
kisah itu diakuinya memang berasal dari Kitab Perjanjian Baru.
Setelah itu, banyak film penghinaan terhadap simbol Islam bermunculan di dunia
maya, bahkan sekarang lebih bervariasi karena dibumbui dengan kartun nabi dan
sebagainya.
Di Indonesia, mungkin hanya Sutradara Hanung Bramantyo saja yang berani secara
terbuka melakukannya. Pada Film “?” (baca: tandatanya), Hanung sengaja membuat
penonton marah. Pasalnya, dalam film yang dibuat bersamaan dengan perayaan
Natal 2011 ini, Hanung tidak takut men-set up Masjid sebagai background adegan
ritual ibadah pemeluk Kristiani. Pada sebuah adegan, digambarkan seseorang yang
berlatih menjadi Yesus yang sedang memanggul kayu salib. Latihan menjadi Yesus
yang sedang memanggul kayu salib ini dilakukan di areal Masjid.
Selain itu, Hanung juga dengan sangat jelas mempertontonkan adegan SARA karena
membiarkan aktor etnis China mengucapkan “Dasar Teroris Anjing!” kepada jamaah
Masjid, dan sengaja membenturkan antara Muslim dengan China, dengan adanya
ucapan “Dasar China!” oleh jamaah Masjid. Tidak hanya itu. Gambaran pengeboman
gereja, penusukan pendeta, dan penyerangan restoran China oleh sekelompok
remaja Muslim bersarung dan berpeci, mengesankan kebencian yang amat dalam
dalam film tersebut kepada Islam. Saya sendiri tidak tahu, apakah kebencian ini
berasal dari diri Hanung pribadi, ataukah dari produser yang membiayai produksi
film itu. Yang pasti, film ini semakin menjadi alasan kemarahan banyak pemeluk
Islam tanah air kepada Hanung.
Belakangan, Hanung Bramantyo kembali merelease film terbarunya berjudul Cinta
Tapi Beda (CTB). Nyaris sama dengan film “?”, film ini juga sarat dengan pesan
underestimate terhadap Islam. Percakapan demi percakapan antar pemeran sengaja
dibuat dengan mengarahkan pentingnya mengalahkan keinginan kitab sucinya
dibanding keinginan nafsu birahi dan kepentingan duniawi semata. Negara
Indonesia yang tidak memberikan ijin resmi nikah beda agama, dibuat guyon dalam
film itu. Juga, ketidaklaziman seorang anak yang menceramahi orangtuanya soal
agama Islam, padahal si orangtua adalah tokoh Muslim masyarakat di Jogja.
Bahkan, film itu diakui banyak masyarakat Minang, telah melukai mereka
gara-gara pemilihan setting Minang sebagai salahsatu basic salahsatu pemeran
beragama katolik.
Meski tidak dijelaskan, namun dari properti konten film, misalnya buku tentang
Nikah Beda Agama, atau gambar-gambar Gus Dur di akhir film itu, menggambarkan
betapa dekatnya misi film itu dengan tujuan tokoh-tokoh Liberalis Islam di
Indonesia.
Memang secara umum, dengan alasan kebebasan berekspresi, membuat film tidak ada
batasan pasti kebebasannya. Namun soal etika, tampaknya tidak dipertimbangkan
oleh Hanung. Hampir semua film besutannya yang berlatar belakang religiusitas,
selalu bercirikan kesengajaan pelunturan keyakinan dan pengeroposan ketaatan
pemeluk Islam.
Alih-alih memperbaiki cara pandang generasi muda tentang keyakinannya, banyak
film-film Hanung malah sebaliknya. Bagaimana tidak, Hanung lebih memilih tema
benturan ketimbang edukasi. Misalnya Film Perempuan Berkalung Sorban yang
dengan nyata menggambarkan kebusukan Pesantren. Atau film CTB yang merupakan
film terbaru Hanung. Seperti dalam film ini, ternyata Hanung lebih suka
mengambil tema cinta berbeda agama, ketimbang misalnya larangan Shalat Jumat
bagi karyawan Muslim di perusahaan misalnya. Atau tema susahnya menegakkan
aturan pendirian tempat ibadah. Atau, jika Hanung concern di isu diskrimasi
minoritas, bisa saja Hanung membuat Film dengan tema misalnya adanya muslimah
dilarang berjilbab di hotel. Atau satu lagi, adanya larangan lelaki mengenakan
sarung masuk lounge hotel di Jakarta. Masih banyak tema kontroversi lain yang
tidak harus melukai Umat Islam.
Sayangnya, ini hanyalah harapan kosong. Bahkan kemarahan demi kemarahan
bermunculan pun, saya yakin tidak akan bisa mengubah sikap Hanung. Ini bisa
terjadi, bukan tanpa alasan. Mungkin ini terjadi karena adanya kekuatan lain
yang mendorongnya untuk “istiqamah”. Misalnya, soal siapa penyokong di semua
film besutan Hanung itu.
Atau, bisa saja karena kedekatan ideologi Hanung dengan kelompok Islam Liberal
yang cukup kuat sehingga membuat Hanung berani berbeda dan tidak malu
melakukannya. Pada sebuah wawancara dengan Radio KBR 68H 27 Oktober 2010, ada
sebuah penggalan kalimat Hanung yang cukup membuat saya maklum.
“Pada saat proses pembuatan film Ayat-Ayat Cinta itu, saya tidak melakukan
shalat apa pun. Saya tidak shalat. Itu pada saat bulan Ramadlan. Saya juga
tidak puasa dan tidak berdoa. Saya mencoba untuk berkesenian total & saya
percaya dengan kemampuan otak saya. Jadi saya menisbikan sesuatu yang berada di
luar otak. Sementara yang religius itu tidak. Saya tidak percaya itu
semua,”kata Hanung.
Berbeda dengan Indonesia, sembilan tahun silam, tepatnya tahun 2004, sebuah
film berjudul Submission menukai kecaman bernuansa kekerasan di Belanda. Film
pendek ini, disutradarai oleh Theo Van Gogh, dan skenario ditulis oleh bekas
anggota Parlemen Belanda, Ayaan Hirsi Ali. Belum diketahui, siapa yang ada di
belakang pembuatan film penghinaan atas simbol Islam ini, yang jelas sang
Sutradara mendapatkan banyak ancaman karena dianggap menghina dan melecehkan
Islam. Film ini sendiri mengisahkan perempuan-perempuan bercadar yang disiksa
suami, diperkosa dan sengaja menulis ayat Al Qur’an di tubuh mereka. Ketika
film ini ditayangkan pada 29 Agustus 2004, segenap warga Muslim Belanda
memprotesnya, hingga berujung pada tewasnya sang Sutradara, dua bulan kemudian.
Sutradara film ini terbunuh oleh pelaku yang beragama Islam.
Tentu kita tidak berharap ini terjadi di Indonesia.
Jakarta, 9 Januari 2013
Salam
Mustofa B. Nahrawardaya
Powered by Telkomsel BlackBerry®
--
--
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet
http://groups.google.com/group/RantauNet/~
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, melanggar akan dimoderasi:
- DILARANG:
1. E-mail besar dari 200KB;
2. E-mail attachment, tawarkan di sini & kirim melalui jalur pribadi;
3. One Liner.
- Anggota WAJIB mematuhi peraturan serta mengirim biodata! Lihat di:
http://forum.rantaunet.org/showthread.php?tid=1
- Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
- Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
- Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/