Oleh :Yusran Darmawan <http://m.kompasiana.com/user/profile/yusrandarmawan>
http://m.kompasiana.com/post/read/671165/1/surat-getir-buat-joko-widodo.html


BUNG Joko Widodo yang baik. Hari-hari kampanye akan segera usai.
Orang-orang akan segera mencoblos. Entah apakah mereka akan memilihmu
ataukah tidak, yang pasti semua orang telah punya pilihan. Izinkanlah aku
mengemukakan sesuatu yang mungkin tak berkenan bagimu. Mungkin tak
membahagiakanmu. Namun bukankah kebenaran harus terus ditajamkan demi
menebas belukar ketidaktahuan?

Beberapa minggu silam, engkau mengejutkan diriku di acara debat calon
presiden. Dengan bahasa yang terbata-bata dan retorika yang tak
menggetarkan itu, engkau berbicara tentang satu hal yang terus
terngiang-ngiang dalam benakku. Engkau berkata:

"Saya berdiri di sini karena saya bertemu ibu Heli tukang cuci dari Manado
Sulawesi Utara; saya bertemu dengan Pak Abdullah nelayan dari Belawan di
Sumatera Utara; dan saat saya ke Banyumas, saya bertemu Ibu Saptinah buruh
tani yang setiap hari bekerja di sawah; dan saya juga bertemu Pak Asep
seorang guru di Jawa Barat; dan jutaan orang yang ada di negara ini yang
menitipkan pesan, menitipkan harapan-harapan kepada kami untuk membangun
sebuah ekonomi yang lebih baik."

Kalimatmu itu disampaikan dalam ekspresi yang datar. Bagi sebagian orang
mungkin tak menarik. Namun bagiku, kalimat itu laksana embun penyubur
nasionalisme yang lama kutanam di dasar hatiku. Mereka yang namanya kau
sebut itu adalah para warga biasa yang kalimatnya bergema di panggung
sekelas debat calon presiden. Ada banyak pemimpin dan calon pemimpin di
negara kita. Semuanya menyebut kata rakyat sebagai jargon kampanye. Namun
tak satupun yang menyebutkan rakyat mana yang sedang dibahas. Pantas saja
jika bersemi dugaan bahwa rakyat yang dimaksudkan itu adalah para anggota
keluarga serta kerabat yang kelak akan menikmai kucuran proyek dari sang
pejabat.

Dirimu beda. Dirimu membuatku merinding. Dirimu menyebut nama beberapa
orang dari mereka. Suara mereka yang sayup-sayup itu tiba-tiba bergaung di
seluruh penjuru Nusantara. Nama-nama dari mereka yang menempati lapis-lapis
masyarakat biasa itu tak lagi disederhanakan hanya dengan menyebut kata
'rakyat.' Mereka mendapat panggung besar untuk didengarkan oleh seluruh
rakyat. Mereka telah menitipkan harapan untuk Indonesia yang lebih baik.

Tahukah kau bahwa kalimat itu mengingatkanku pada legenda aktivis
pergerakan bernama Soe Hok Gie yang meninggal pada pendakian di Gunung
Semeru tahun 1973. Gie adalah anak muda yang senantiasa dibakar oleh bara
perlawanan pada rezim yang korup dan menindas. Namanya harum di segala
zaman, dan terus menjadi embun inspirasi bagi para pejuang rakyat.

Di harian Kompas tertanggal 16 Juli 1969, Gie menuliskan satu kekesalan
pada rezim Soeharto yang kian berjarak dengan rakyat. Dalam opini
berjudul Betapa
Tak Menariknya Pemerintah Sekarang, Gie menulis dengan kalimat yang laksana
serupa petir bagi penguasa di masa itu. Ia mencatat:

"Dengan perkataan lain, diperlukan suatu mobilisasi sosial. Komunikasi
antara penguasa dengan masyarakat luas. Dengan si Badu kuli di Semarang,
dengan si Tini guru di Sumedang, dengan Sersan Siregar di Tapanuli, dengan
Rumambi pengusaha di Minahasa atau A Pion agen Lotto harian di Glodok. Agar
mereka merasa, bahwa cita-cita besar yang dimiliki oleh lapisan atas
pemerintah juga adalah cita-cita mereka. Dan mereka diinspirasikan untuk
bekerja keras dan berkorban demi cita-cita besar itu. Tanpa partisipasi
sosial dan mobilisasi sosial, cita-cita besar itu akan mati kering."

BUNG Joko Widodo yang baik. Sungguh ajaib. Engkau dan Gie yang terpisah
oleh waktu dibasahi oleh rasa sejarah yang sama. Sejak negeri kita merdeka,
suara rakyat hanya menjadi alat legitimasi dari pemerintah berkuasa. Para
pemimpin kita tak punya cara untuk merangkum semua suara itu lalu
membawanya menjadi kegelisahan bersama. Mereka membangun istana,
tembok-tembok kukuh yang membuat semua orang tak bisa menjangkaunya. Mereka
membangun sebuah mahligai mewah yang dilengkapi peternakan kuda senilai
miliaran rupiah. Dan di balik mahligai itu, mereka terus-menerus menebar
impian tentang negeri yang hebat serta gaji yang akan naik tinggi-tinggi.

Engkau menyebut metode mengunjungi rakyat itu sebagai blusukan. Tapi mereka
menyebutnya sebagai pencitraan. Dirimu jangan berkecil hati. Mereka
terbiasa nyaman. Mereka tak paham bahwa ikhtiar mendengarkan suara rakyat
itu laksana sebuah perjalanan panjang yang penuh onak dan duri. Demi
mendengar suara-suara lirih itu kita mesti berkelahi dan mengalahkan
keangkuhan serta ego yang menganggap diri lebih tahu dan lebih hebat dari
mereka yang di akar rumput itu. Demi menemukan mutiara hikmah di padang
tempat rakyat bermukim itu, kita mesti bersabar dan melangkahkan kaki di
tengah belukar dan duri-duri. Perjalanan itu memang melelahkan, namun
selalu ada inspirasi yang bisa diformulasikan untuk menyusun satu kebijakan
yang baik bagi sesama.

Kepada mereka yang menuduhmu itu, aku kerap berkata, mungkinkah sebuah
pencitraan dilakukan secara konsisten selama bertahun-tahun sejak menjadi
walikota hingga menjadi gubernur? Mungkinkah pencitraan itu bisa mengecoh
berbagai lembaga independen dan bergengsi, termasuk lembaga asing, untuk
membanjiri dirimu dengan penghargaan atas prestasi yang kau torehkan?
Bisakah lembaga-lembaga itu diajak kongkalikong demi sekadar pencitraanmu?

Kepada mereka kukatakan bahwa bos perusahaan penghasil lumpur justru setiap
hari memasang wajahnya di tivinya sendiri selama bertahun-tahun. Bapak
pemelihara kuda itu justru telah beriklan selama bertahun-tahun, di saat
dirimu bekerja dan berbuat banyak. Di negeri yang pemimpinnya hanya bisa
duduk diam dan berpidato, sosok sepertimu menjadi unik di mata media yang
rajin mengikutimu bak semut mengikuti gula. Kalaupun dirimu melakukan
program pencitraan, betapa hebatnya pencitraan itu sebab bisa membuat 90
persen lebih warga Solo tetap memilihmu di ajang pilkada, serta memikat
warga Jakarta untuk mempercayaimu sebagai gubernur mereka.

Mereka yang membencimu telah menebar banyak pasukan di dunia maya. Mereka
menguasai media, lalu mengubahnya sebagai corong besar untuk membahas
segala cela pada dirimu. Mereka saling bersahut-sahutan ketika ada berita
negatif tentangmu. Tiba-tiba saja mereka menjadi sejarawan yang hanya
membaca berbagai link dari blog anonim. Tiba-tiba saja mereka menjadi lebih
paham dari semua penegak hukum, dan memastikan bahwa engkau adalah seorang
korup, sebagaimana anggota barisan pesaingmu.

Bapak Joko Widodo yang baik. Bisakah kita bicara tentang rasa kebangsaan
ketika banyak anak bangsa justru menjadi penebar fitnah dan kampanye hitam?
Bisakah kita duduk bersama dan bercerita tentang mimpi-mimpi bangsa kita di
saat banyak orang melakukan opeasi ala intelijen demi memburuk-burukkan
dirimu agar orang tak memilihmu?

Zaman kita memang kian berubah. Dahulu, Bung Karno dan Bung Sjahrir, dua
sosok hebat bangsa ini, seringkali berseteru dan bersaing. Tapi mereka tak
pernah saling senyum saat berhadapan, lalu menikam di belakang layar.
Malah, ketika pengikut Sjahrir menculik Bung karno lalu  dibawa ke
Rengasdengklok, Sjahrir amatlah murka. Ia berkata bahwa sesengit apapun
perdebatannya dengan Bung Karno, tetap saja dirinya tak akan pernah bisa
menggantikan sosok Bung Karno yang dicintai bangsa Indonesia dengan sepenuh
hati. Sjahrir tak mau memburukkan Bung karno, bahkan di tengah situasi yang
menguntungkan dirinya.

Sebagaimana para founding fathers kita, dirimu tak sempurna dan penuh
celah. Dirimu masih punya banyak pekerjaan rumah yang harus dirampungkan.
Pada titik tertentu, kritik mereka bisa dibenarkan. Namun adalah keliru
jika memosisikanmu sebagaimana Aladin yang bisa menyelesaikan semua
persoalan dengan hanya mengusap lampu wasiat. Negeri ini sedang
membutuhkanmu. Sikap egois yang mematok langkahmu di lingkup kecil adalah
sikap yang tidak tepat. Cara-cara penyelesaian masalah yang unik dan
humanis itu amatlah dibutuhkan pada level negara.

Rakyat sedang memberimu tantangan untuk mengabdi pada level yang lebih
tinggi. Pendekatan yang humanis dalam menghadapi rakyat tengah dibutuhkan
bangsa ini. Penguasaanmu akan detil-detil semakin membuatku yakin bahwa
dirimu bisa mengemban harapan untuk zaman yang lebih baik. Maka saatnya
kita buat sejarah. Menang dan kalah menjadi tak penting sepanjang
kedaulatan rakyat terus jantung utama setiap pembangunan. Kita akan
berjuang hingga senyum mengembang di wajah masing-masing, tak peduli apapun
hasilnya.

***

BUNG Joko Widodo yang baik. Kemarin, kukunjungi pusara Soe Hok Gie di Taman
Prasasti, Jakarta. Kupandangi pusara yang di atasnya terdapat tulisan "No
body Knows My Sorrow, No Body Knows My Trouble".  Gie memang mati muda. Ia
membawa bara perlawanan itu dan mewariskannya dalam setiap kata yang pernah
dituliskannya. Ia menginspirasi semua demonstran muda melalui buku Catatan
Harian Seorang Demonstran yang pernah dituliskannya.

Di pusara Soe Hok Gie, aku merasakan satu semangat besar anak-anak muda
yang hendak menebas semua penguasa korup. Mereka dibakar semangat Gie, dan
digarami oleh samudera kata-kata yang dituliskannya. Jika kelak kamu
benar-benar terpilih, wujudkanlah harapan banyak orang-orang biasa yang kau
temui di sepanjang perjalananmu.

Jika kamu gagal mewujudkannya, maka para pengagum Gie itu akan siap menjadi
martir. Mereka akan mengirimkan surat getir ketika kamu memilih jadi
diktator ataupun menyimpang dari cita-cita indah yang pernah dianyam
bersama-sama. Sejalan dengan para petani, pekebun, tukang becak, dan buruh,
anak-anak muda itu akan menjadi kerikil yang berdiam dalam sepatumu. Mereka
akan menjadi rumput-rumput liar yang kelak meruntuhkan semua tembok
kekuasaan yang represif.

Dan kehidupan akan terus diisi dengan kisah heroik tentang mereka yang
menginginkan perubahan, dan mereka yang menjaga jalannya perubahan.
-- 
Wassalam,
JG
37th, Jkt

-- 
.
* Posting yg berasal dari Palanta RantauNet, dipublikasikan di tempat lain 
wajib mencantumkan sumber: ~dari Palanta R@ntauNet~ 
* Isi email, menjadi tanggung jawab pengirim email.
===========================================================
UNTUK DIPERHATIKAN, yang melanggar akan dimoderasi:
* DILARANG:
  1. Email besar dari 200KB;
  2. Email attachment, tawarkan & kirim melalui jalur pribadi; 
  3. Email One Liner.
* Anggota WAJIB mematuhi peraturan (lihat di http://goo.gl/MScz7) serta 
mengirimkan biodata!
* Tulis Nama, Umur & Lokasi disetiap posting
* Hapus footer & seluruh bagian tdk perlu dlm melakukan reply
* Untuk topik/subjek baru buat email baru, tdk mereply email lama & mengganti 
subjeknya.
===========================================================
Berhenti, bergabung kembali, mengubah konfigurasi/setting keanggotaan di: 
http://groups.google.com/group/RantauNet/
--- 
Anda menerima pesan ini karena Anda berlangganan grup "RantauNet" dari Google 
Grup.
Untuk berhenti berlangganan dan berhenti menerima email dari grup ini, kirim 
email ke rantaunet+unsubscr...@googlegroups.com.
Untuk opsi lainnya, kunjungi https://groups.google.com/d/optout.

Kirim email ke