A very interesting and thought provocation article. Enjoy reading it.  Terima 
kasih daun keladi, kalau boleh hantarkan lagi. 

Saya tertarik kepada beberapa perkara yang tuliskan. Pertama, status quo 
'feodal Minangkabau' atau boleh di katakan sebagai feodal istana. Penulis 
mengusul punca feodal di Minang lebeh ke persoalan politik bukannya isu 
ownership and mode of production. Can it be called political feudalism or top 
down feudalization? Kedua, tentang corak tata kerja yang membolehkan peralihan 
dari tahap masyarakat agraris ke pedagangan/merchantalist. Asas capitalistic 
nya masyarakat Minang sudah didalam dan menyubur. Yang hanya di perlukan oleh 
masyarakat Minang ialah particular or a peculiar work ethics that stimulate  
the capitalist mind. Am I right here? Ketiga,  takrifan kerja mulia ialah
 intellectualizing.  Bentuk yang defining  sekali ialah mengambil keputusan 
secara muafakat/political consensus. dari yang sekecil kecil hingga yang paling 
besar. Adakah political consensus ini meniadakan feodal Minang?

Terima kasih sekali lagi. Sdr. Arnoldison.  





--- On Tue, 7/8/08, Arnoldison <[EMAIL PROTECTED]> wrote:
From: Arnoldison <[EMAIL PROTECTED]>
Subject: [EMAIL PROTECTED] Filsafat Kerja Masyarakat Minangkabau
To: RantauNet@googlegroups.com
Date: Tuesday, July 8, 2008, 9:09 PM

Filsafat Kerja Masyarakat Minangkabau

Oleh: Willy Aditya[1]
   
   
 Salah satu yang selalu menarik di Minangkabau ini ialah selalu adanya
usaha  untuk  memberikan  makna terhadap kenyataan yang mengitari diri
berdasarkan paradigma adat yang dianggap masih tetap
 berlaku.  (Taufik
Abdullah)
   
              
Kerja  secara  filsafat  merupakan  realisasi  diri manusia sepenuhnya
dalam hidup ini. Selain itu dalam faktor produksi, kerja ditinjau dari
ekonomi  politik  merupakan  bentuk  interaksi  manusia merubah nature
untuk  membentuk  culture, sementara secara sosiologisnya kerja adalah
relasi  sosial  pertama, dimana bekerja berati bekerja sama. Disinilah
kerja   merupakan   eksistensi   manusia   yang   paling  pokok  dalam
merealisasikan sejarah hidupnya.

Kerja  produksi merupakan sejarah pertama yang membentuk karakteristik
masyarakat/formasi sosial yang kemudian saling mempunyai relasi sosial
yang  menciptakan  strata  sosial  dalam  masyarakat. Ada dua tipologi
kerja  produksi;  yang  pertama  adalah  kerja yang koorporatif dimana
antar  subjek  tidak  ada yang saling berposisi sub-ordinasi sementara
kerja  kedua  adalah kerja yang menciptakan
 karakteristik sub-ordinasi
pemilik (The Have) terhadap subjek yang menjadi pekerja (The Labour) .

Dalam   sejarah  perkembangan  masyarakat  Indonesia  merupakan  suatu
perkembangan   yang   kompleks  ditinjau  dari  ekonomi-politik  corak
produksi  dan  formasi sosial yang membentuk masyarakat. Dimana kultur
produksi  agraris  yang  masih  feodal  dicangkok  oleh  para kolonial
Belanda  yang  membawa  corak  produksi  berdagang diawal dan kemudian
berkembang  menjadi  masyarakat  industri yang kapitalistik. Disinilah
terjadi  pergeseran-pergeseran  pola  produksi  dan relasi kerja dalam
masyarakat  Indonesia.  Pertama  tergambar  dalam novel Machavellar[2]
dimana  seorang  pekerja kebun pada tuan tanah yang selama ini bekerja
diberi  sebagian  hasil  garapannya  oleh  si  pemilik  dengan istilah
maro[3]. Ketika Belanda datang si pekerja kebingungan hasilnya diambil
semua  dan  dia  mendapat  bayaran  atas 
 keringat dan kerjanya dengan
upah(uang).  Disinilah  masyarakat industri baru dikenal di Indonesia,
dimana   masyarakat   kapitalis   primitif   sebelumnya  dalam  bentuk
markantilis/perdagangan masih terlokus di daerah-daerah pesisir.

Setelah  meninjau  historis  dalam konteks masyarakat Indonesia secara
umum,  maka  dalam  meng-ekplorasi gagasan yang jauh lebih mikro dalam
konteks  masyarakat  Minangkabau  merupakan bagian dari Indonesia yang
memiliki  identitas  sebagai  masyarakat  markantilis atau Cina[4]-nya
Indonesia,  akan  kita  tilik  dari  corak produksi dan formasi sosial
masyarakat  Minangkabau atau Sumatera Barat-nya sebagai basis historis
dan teoritis.

Dalam  konsep  kepemilikan masyarakat Minangkabau memiliki dua aturan;
yang  pertama  adalah  tanah  kaum yang dimiliki secara komunal, serta
harta  pusaka  yang  bersifat  matrilinial  dan harta pencaharian yang
diturunkan  oleh  Ayah 
 kepada  anaknya.  Dalam kepemilikan masyarakat
Minangkabau  sangat  ketat  dimana tanah atau harta pusaka tidak boleh
diperjual-belikan,  apalagi tanah kaum atau kepemilikan adat merupakan
suatu hal yang dikelola secara bersama.

Dari  beberapa  penelitian  yang  pernah dilakukan terhadap pergeseran
pola  produksi  masyarakat  Minangkabau terlihat jelas pada fase tanam
paksa   1908-1912  terjadi,  dimana  rakyat  disuruh  menanam  tanaman
komersil  seperti  karet,  kopi,  dan  kelapa. Disinilah kata Schrieke
masyarakat Minang mulai mempunyai mentalitas pedagang.

Suatu  revolusi  dalam  semangat  yang serupa dengan yang terjadi pada
periode  kapitalisme  awal  di Eropa seperti yang ditunjukkan oleh Max
Weber dan Sombart. (Schieke, 1955:98)

Bersamaan  dengan  hal  ini  terjadi  pergeseran  nilai  (baca:  corak
produksi)  dan  strata  sosial  baru dalam masyarakat, sehingga dengan
tepat Geertz
 mengemukakan (1976:133)

Dalam   dua   dasawarsa  dari  perjumpaan  yang  kurang  akrab  dengan
kapitalisme Eropa itu, petani ladang Minangkabau telah berubah menjadi
pedagang pengejar keuntungan yang terjerat erat-erat dalam tali-temali
keuangan  ?  suatu hal yang tak pernah dapat dicapai oleh petani sawah
Jawa,  yang  sudah lebih dari seabad lamanya harus berjuang membanting
tulang untuk bisa sekedar hidup.

Nah,  disinilah  kita  dapat  mengeksplorasi  dalam berbagai tinjauan,
secara  sosiologis perkembangan sejarah masyarakat Minangkabau terjadi
sesuatu  hal  yang  unik,  dimana banyak asumsi yang menjelaskan bahwa
masyarakat Minangkabau adalah masyarakat pendatang dan tidak ada suatu
kelompok  pendatang  atau  penduduk  asli  yang  dominan terhadap yang
lainnya.  Layaknya  tanah merdeka dan ditempati bersama-sama oleh para
pendatang  yang  beragam  pula  sehingga dalam konsep kepemilikan kaum
atau 
 adat  ia  lebih  bersifat  komunal. Dalam hal pameo sering orang
menyebutkan:

 Orang  batak  dengan  ciri  khas rahang yang besar, orang jawa dengan
mata  yang  agak  sipit dan muka loncong, orang palembang dengan kulit
putih  hampir  mirip  Cina  sementara  Orang  Minangkabau  sulit untuk
melihat  kesamaan  genetis karakteristik fisik dan paras yang mengarah
pada penunjukan suatu perwakilan umum terhadap identitas. 

Masyarakat  Minangkabau  ditinjau  dalam  tinjauan historis feodal-nya
tidaklah  merupakan  suatu  hal yang lahir dari proses pergeseran pola
produksi  dari  masyarakat  perbudakan  menuju  kepemilikan  tuan-tuan
tanah,  tidaklah  begitu. Feodalisme atau masa kerajaan di Minangkabau
lebih bersifat politis karena ada penundukkan daerah atau kawasan oleh
Majapahit terhadap Minangkabau. Dalam prosesi inipun Minangkabau tidak
ditundukkan  dengan  per-perang-an namun dengan negosiasi politik
 yang
melahirkan  kekuasaan  kerajaan  Pagaruyung  tidak  begitu  hegemonik.
Karena  secara  kepemilikan  atau  sistem kultural masih tetap memakai
pola  komunal  untuk  harta  kaum  dan matrilinial dalam harta pusaka.
Secara  politis  juga keberpihakan kerajaan Pagaruyung serta kaum Adat
pada  pemerintahan  VOC  lebih  menimbulkan  kontradiksi  yang memaksa
masyarakat   Minang   untuk  melakukan  perlawanan.  Dalam  perspektif
geopolitis  kerajaan  merupakan  sentrum  kekuasaan  yang akan menjadi
titik  utama dari pemerintahan, ekonomi, serta interaksi masyarakatpun
tidak  terbukti  dengan  demografisnya  kerajaan  Pagaruyung yang jauh
terpencil  di Batusangkar serta kalah populer dengan kota-kota pesisir
seperti  Padang  atau  Pariaman  serta daerah Luhak yang jauh di dalam
yaitu Bukittinggi.

Disinilah dapat ditinjau secara kritis bagaimana komparasi antara Jawa
yang  memiliki  struktur  produksi dan
 politik yang foedal seperti apa
yang   dijelaskan   oleh  Greertz  diatas,  yang  membedakan  loncatan
perkembangan   masyarakatnya   secara   produksi.   Dalam   masyarakat
Minangkabau  yang  tidak  melewati  fase  feodal  meloncat  pada  fase
markantilis  atau kapitalisme primitif disini dapat kita tinjau relasi
tenaga  produktif  dengan  alat produksinya yang untuk pembahasan kali
ini lebih fokus pada karakteristik kerja masyarakat Minangkabau.

Pola  Produksi  dan  Munculnya  Kelas  Pedagang  Tenaga produktif yang
tersingkirkan  oleh  faktor produksi akan lebih banyak mencari peluang
diluarnya,  disinilah  sebenarnya  identitas atau pola ekonomi politik
masyarakat  terbentuk.  Dalam masyarakat pra feodal apalagi ditegaskan
dengan  pola  matrilinial  dimana  dominasi perempuan atas kepemilikan
alat  produksi  dan  sekaligus menjadi tenaga produktif yang menggarap
lahannya  telah  membuat  kaum  laki  mencari 
 peluang  lainnya. Dalam
masyarakat   Minangkabau   tradisi   perantauan  dimulai  dari  gejala
tersingkirnya  tenaga  produktif  dalam  proses  produksi.  Sebab akan
banyak  pengangguran  yang akan tercipta di kampung halaman bila tidak
mencari pekerjaan yang lainnya.

Masyarakat  Minangkabau  juga  terstimulus oleh pandangan hidup mereka
yang  mengatakan  alam  terkembang  jadi  guru, dimana mereka dituntut
untuk belajar dan hidup juga di luar negerinya sehingga dituntut untuk
mempunyai  daya  adaptasi  dan interaksi yang organis dan instant. Hal
ini mengakibatkan tidak banyak dilakukannya pembukaan lahan baru dalam
lima puluh tahun terkhir ini. Apalagi opini atau mindstream masyarakat
Minangkabau yang tidak mau kerja kasar atau fisik telah membuat kosong
beberapa  kerja  secara  fungsional,  faktor inilah salah satunya yang
membuat  migrasi  atau  transmigrasi penduduk dari daerah lain semakin
massif  untuk
 mengsisi kerja-kerja seperti buruh kereta api, bangunan,
dan  lainnya.  Disamping  faktor  budaya  yang permisif dan demokratis
terhadap budaya manapun.

Kecendrungan  kerja  masyarakat  Minangkabau  yang tersinggirkan dalam
proses produksi ini karena tidak memiliki SKILL[5] untuk membuka lahan
baru  dalam  produksi  agraris  apalagi  membuka industri rumah tangga
(gilda)  seperti masyarakat Eropa yang mampu untuk meningkatkan tenaga
produktif   untuk   mempunyai  skill  dan  alat  produksi  yang  terus
berkembang  seperti  apa yang terjadi di Inggris dengan penemuan mesin
uap  sebagai  cikal-bakal  masyarakat  industrialis. Disinilah pilihan
kerja  untuk  tetap  menjadi kapitalis primitif yaitu pedagang apalagi
dengan  kemampuan  merantau dan berjualan apapun menjadi karakteristik
kerja  yang  tidak  memerlukan  skill yang unggul dan lama. Selain itu
berdagang   atau  berjaja  masih  tetap  menjamin 
 pemeliharaan  watak
kebebasan  untuk  menetukan langkah sendiri yang tidak ter-sub ordinat
oleh orang lain.

 Lebih  baik jadi kepala semut dibandingkan ekor gajah atau lebih baik
jadi tuan kecil dibandingkan budak besar[6] 

Kecendrungan  karakteristik  berdagang ini dituntun oleh budaya verbal
(petah-petitih)  dan  prosa  dalam masyarakat Minangkabau sebab budaya
tulisan  baru  ditemukan  dalam  fase  masyarakat feodal, sebab bentuk
hegemoni  atau  dominasi  terhadap interpretasi sejarah kekuasaan raja
menjadi   penting.  Sampai  sekarang  dengan  jaringan  para  pedagang
Minangkabau   yang  mengusai  sektor  informal  atau  kaki  lima  yang
seharusnya   akan   bertransformasi  progresif  juga  tidak  terbukti.
Soeharto pernah menggalakkan program GEBU MINANG (Gerakan Seribu) yang
memotivasi  masyarakat  perantauan  minang  untuk  mengumpulkan seribu
setiap  hari-nya  dan akan dikelola sebagai bentuk
 koperasi atau lebih
maju   bank   (kapitalis   finance).   Beberapa   cacatan  yang  perlu
digarisbawahi  dimana  dalam  proses  transformasi  menuju  masyarakat
kapitalis  yang  maju  tidak  memenuhi prasyaratnya. Dalam bentuk yang
ekstrim   seorang   kriminolog  putra  Minangkabau  sendiri  Amilijoes
Sadanoer menandaskan karena pendidikan yang rendah dan tidak mempunyai
skill  akhirnya  pekerjaan  yang di kampung halaman tidak diterima dan
akhirnya  diterima,  apalagi  persaingan  ekonomis  di kota-kota besar
seperti  Jakarta  dimana  kemiskinan menciptakan tradisi kejahatan dan
disini  pun  para  perantau  Minangkabau  tidak terelakkan untuk ambil
peran.  Cuma  peran  yang  jauh lebih cerdik dan bersih saja dimainkan
dengan  memilih menjadi copet, tidak menjadi perampok atau maling yang
secara vis avis akan berkontradiksi secara fisik.


Kerja Intelektual Sebagai Patokan Kemuliaan 

Karakteristik  
 kerja   yang   cukup   mengesankan  bagi  budaya  emas
Minangkabau  adalah  kerja  inteklual-nya.  Karakter  yang  kedua  ini
memiliki  akar historis yang panjang dan kental sekali sampai sekarang
walaupun  tinggal  puing-puing kejayaannya masih bisa terlihat seperti
mayat  dalam  kuburan.  Kultur  petatah-petitih  dan  kaba yang sangat
menjunjung  tinggi  nilai-nilai  intelegensia,  yang dipandang sebagai
takdir  historis  kelebihan  manusia dibandingkan mahluk lainnya serta
terhadap  infrastruktur  lainnya  seperti  tenaga  fisik atau kekuatan
fisik.  Keunggulan  fisik  atau kekuataan fisik acap kali diidentikkan
dengan  hewan,  sementara  watak  cadiak  candokio (intelek) acap kali
tercermin dari kefasihan dalam bertutur kata.

Pentingnya  kerja  intelektual  ini  termanifeskan dalam sistem sosial
masyarakat  Minangkabau  dimana  pengambilan  keputusan selalu memakai
musyawarah  untuk  mufakat.  Sistem 
 sosial-politik  musyawarah  untuk
mufakat   adalah   mekanisme  dimana  mencari  persesuaian,  perbedaan
pendapat  yang  di-dialog-kan  serta  mencari  kata  mufakat.  Disinih
masyarakat  Minangkabau selain memaknai kekerasaan fisik yang cendrung
kurang manusiawi serta kondisi sistem sosial politik yang dialogis dan
egaliter  yang  tidak  membuat  banyak  masyarakat  Minangkabau  tidak
menjadi serdadu atau militer.

Ada   dua  hal  yang  dilakukan  masyarakat  Minangkabau  untuk  pergi
merantau,  selain pedagang yang sudah sedikit-banyaknya dibahas diatas
adalah  belajar atau pergi menuntut ilmu. Tradisi ini sebenarnya dalam
klasifikasi  kelas  sosial  adalah  golongan  yang berpunya atau kelas
menengah  atas.  Tidak  jarang  beberapa  tokoh  besar  Indonesia dari
Minangkabau  merupakan jebolan luar negeri seperti Sutan Ibrahim Datuk
Tan  Malaka,  Abdul  Muis,  Moehamad  Hatta, Agus Salim. Juga beberapa
tokoh
  pelopor  kebangkitan  Islam  Padri yang banyak terpengaruh oleh
pemikiran  Timur  Tengah. Sementara untuk Konteks internal Minangkabau
mempelopori  beberapa  pilar-pilar  pendidikan  Indonesia  seperti INS
Kayutanam  yang didirikan M Syafei pada tahun 1926, Perguruan Thawalib
dan  Dinyah  Putri  di  Padangpanjang  yang pertama sekali mengajarkan
ilmu-ilmu  sekuler  di  lingkungan  agama, sekolah guru di Bukittinggi
yang   mencetak   banyak   pemikir  dan  tokoh  pergerakan.  Disinilah
Minangkabau  sangat  kondusif  bagi tradisi intelektual yang progresif
dimana  pada  masa  1945-1965 terjadi dialektika pemikiran agama Islam
dan Sosialisme yang mewarnai pemikiran mereka.

Bagaimana  kegemilangan  Kotogadang di Bukittinggi yang mempunyai 1000
orang  dokter-dokter  di Indonesia. Hal ini menegaskan bahwa orientasi
kelas  menengah  atas  Minangkabau  dalam  eksplorasi intektual adalah
titik pijak penting dalam
 tradisi Minangkabau.

Posisi Engku Syafei Dalam Dekonstruksi Masyarakat Lewat Pendidikan 

Keberadaan  INS  Kayutanam  sekarang mungkin tidak sebesar sejarah dan
jasanya  akan  kemerdekaan  Indonesia  dan  pembangunan  karakteristik
masyarakat.  M. Syafei nama itulah tokoh sentral di balik transformasi
sosial  besar  dan  dialektika masyarakat Minangkabau dalam memecahkan
tantangan zamannya dan mengisi pembangunan resourches manusia-nya. INS
Kayutanam  hadir  pada  posisi  kritik fundamental terhadap masyarakat
Indonesia  umumnya  dan  Minangkabau  khususnya.  Posisi  kritik  yang
berseberangan  dengan  karakter pendidikan umum yang menghamba sebagai
juru  ketika  atau  posisi  birokrasi  baik  di zaman kolonial ataupun
kondisi  transisi  pasca  kemerdekaan  bahkan  sampai sekarang tentang
orientasi primitif dari kaum terpelajar Indonesia yang sesat.


M  Syafei  hadir dalam Tiga Dimensi pendidikan yang
 komprehensif dalam
membangun  manusia  Indonesia  yang  progresif  dan  tangguh.  Dimensi
spiritual  dan  seni dalam basis kepercayaan, emosional dan daya imaji
manusia  yang  kreatif  dimensi  akal  budi  sebagai cerminan kekuatan
pikiran  manusia dalam memecahkan persoalan hidup dan ilmu pengetahuan
akademik  serta  dimensi  keterampilan  produktif  atau  teknik  dalam
menciptakan  manusia yang aktif berkarya dan berproduksi sesuai dengan
alam-nya.

Pada  posisi  inilah  INS  Kayutanam  hadir sebagai bangunan utuh dari
pendidikan  yang paripurna dalam menjalankan 3 sekolah umum dalam satu
ruang  pendidik  asrama  seperti  tradisi  pesantren, sekolah umum dan
sekolah teknik.

INS  Kayutanam  dalam  prakteknya  mencoba  menjungkirbalikkan tradisi
produksi masyarakat dunia ketiga yang terbelakang dan tertinggal dalam
posisi   ilmu   pengetahuan  serta  teknologi.  Dekonstruksi  karakter
masyarakat  yang 
 tidak  produktif menjadi produktif inilah yang ingin
dicapai  oleh  Engku  Syafei  sebagai pendidik yang banyak mempelajari
Eropa dalam pembangunan masyarakatnya.

Dalam  posisi  teori  dan praktek INS Kayutanam setidak-tidaknya Engku
Syafei  telah  membuktikan  bahwa  kemunduran  industri  nasional  dan
industri   Sumatera   Barat   hancur   luluh   lantah   diserbu   oleh
Neo-liberalisme. Berproduksi di setiap rumah tangga, jangan hanya bisa
berkomsumsi karena kalau konsumsi lebih tinggi dari produksi maka yang
ada hanyalah hutang dan korupsi[7]

Senyata-nya  pelajaran  dari  Engku  Syafei  telah  melanda masyarakat
Indonesia umumnya dan Minangkabau khususnya dengan cacatan nomor wahid
sebagai negara penghutang dan penuh sesak oleh koruptor.

Penutup 
Dalam  dua  kutub  besar  dapat  digambarkan  bagaimana lahirnya kerja
berdagang  akibat  seleksi  tenaga produktif yang tidak memiliki skill
dan
 harus merantau untuk mencari pemenuhan eksistensi hidupnya di luar
kampung  halaman  yang  lebih  banyak  merupakan cita-cita kelas bawah
dalam  mencari  pekerjaan  di luar keluarga dan kampung halaman, entah
apapun pekerjaannya dan paling ekstrim adalah tindakan kriminalitas.

Sementara  kerja intelektual adalah realisasi diri kelas menengah-atas
Minangkabau yang menyisakan banyak puing-puing ke-emas-an serta sampai
sekarang masih terus bergulir.


Dalam  filsafat kerjanya masyarakat Minangkabau lebih menonjolkan sisi
intelektual/intelegensi   yang  lebih  meninggalkan  kerja  kasar  dan
kekerasaan  fisik  jikalau  diperbolehkan  memilih. Tetapi bukan untuk
konteks  kontemporer  sebab  jangan  untuk berdagang, untuk jadi buruh
bangunan saja sudah sulit!


Daftar Pustaka:
1.    Dialektika Minangkabau dalam Kemelut Sosial dan Politik,
      Genta Singgalang Press 1983
2.    Alam Ta Kambang Jadi
 Guru, A A Navis, Grassindo
3.    Copet dan Sistem Sosial Minangkabau suatu Perbincangan Permulaan,
Amilijoes Sadanoer
4.    Kesempatan Kerja dalam Pembangunan bagi Minagkabau, Hendra Esmara
5.    Minangkabau Dalam Dialektika Kebudayaan Nusantara, Muctar Naim
6.    Ekonomi Politik strukturalis, Bintang Bersinar, 1960
  
  
---------------------------------
[1] Penulis adalah alumnus INS Kayutanam Sumatera Barat dan
Sarjana Filsafat Universitas Gadjah Mada Yogyakarta






      
--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
===============================================================
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
===============================================================
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED]
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke