Menjelajah Rumah Kelahiran Bung Hatta, "Soekarno Hatta 37 Itu Masih
Sakral" 

 

Selasa, 12 Agustus 2008 

Dahulu, warga Bukittinggi tempo doeloe menyebutnya Jalan Aua Tajungkang
Tangah Sawah. Tapi karena di jalan tersebut dahulu telah lahir seorang
putera terbaik bangsa dan dicatat sejarah sebagai Bapak Proklamator,
maka pemerintah mengubah nama jalan tersebut menjadi Jalan
Soekarno-Hatta. Pada rumah bernomor 37 itulah, seorang anak bangsa
dilahirkan sebagai cikal bakal munculnya tokoh perintis kemerdekaan RI. 

Alhamdulillah, jika telah berkunjung atau pernah meluangkan waktu
singgah ke rumah kelahiran Proklamator Bung Hatta di Bukittinggi. Bagi
yang belum, setidaknya feature ini bisa menggambarkan seperti apa
suasana dan kesakralan yang terasa ketika menapak jengkal per jengkal
salah satu bukti sejarah perjalanan hidup seorang anak bangsa yang
sangat berjasa, dan telah menanamkan hidup sebagai orang Indonesia.

Rumah tadi terletak di Jalan Soekarno Hatta nomor 37. Tapi ingat dan
baca aturannya, sebelum menginjakkan kaki ke rumah tersebut, seluruh
pengunjung tanpa terkecuali diwajibkan melepas alas kaki. Alasannya
sederhana saja, agar tidak kotor dan kebersihan serta keasriannya
terjaga. Tapi wajar saja, petugas memang agak kewalahan membersihkan
rumah tersebut, terutama saat musim libur yang ramai dikunjungi
wisatawan. 

Pada 1995, Yayasan Wawasan Proklamator yang membawahi Universitas Bung
Hatta bersama Pemprov Sumbar telah merenovasi serta mengembalikan
keaslian rumah Bung Hatta mendekati aslinya. Termasuk mencari
benda-benda yang pernah ada dirumah tersebut dahulunya. Hebatnya, tim
renovasi juga berupaya mencari data dan informasi ke ratusan narasumber,
untuk membuat replika kondisi sesungguhnya rumah tersebut.

Bangunannya terbagi menjadi dua lantai. Lantai satu rumah utama dan
bagian belakang terdiri dari beranda, kamar bujangan, kamar Mak Saleh,
kamar Saleh Sutan Sinaro, ruang tamu, kamar Mak Idris, ruang makan
keluarga, empat ruangan batu dengan pintu, kandang bendi, kandang kuda
dan dua lumbung penyimpan padi.

Jika memasuki kamar per kamar, sebaiknya dimulai dari kamar bujangan
yang terletak paling dekat dengan beranda masuk. Dalam kamar bujangan
terdapat koleksi buku-buku Bung Hatta yang sempat dikumpulkan dari
sejumlah sumber. 

Di dalamnya juga terdapat satu replika meja belajar yang dahulu selalu
dipergunakan Hatta muda untuk membaca dan menulis. Juga terpajang diatas
meja tadi sejumlah koleksi foto Bung Hatta bersama orang tua dan
temannya.

Bahkan di ruangan tadi juga ditemukan beberapa sisa koleksi perangko dan
benda-benda pos, yang tercatat pernah dipergunakan atau dijual untuk
pengiriman surat menyurat dari Pasaman. Cukup banyak benda-benda kecil
lainnya, yang ditata dan diletakkan untuk mengingatkan bahwa di kamar
tersebut Bung Hatta telah menghabiskan masa mudanya.

Sebagai rumah yang dibangun dengan pengaruh gaya Belanda, dinding rumah
ini terbuat dari kombinasi papan dan anyaman bambu. Bahkan, walau
berbentu seni arsitektur Belanda, tapi sebagian sisi bangunan tetap
mendapat sentuhan Minangkabau, dengan bagian plafon yang berukir bambu
serta rotan. Termasuk lantai yang menggunakan anyaman rotan sebagai
lapisan lantai yang terbuat dari papan.

Setelah ruang tamu, kamar tidur Mak Saleh dan Mak Idris terletak di
sebelahnya. Di dinding ruang tamu terpampang duplikat foto-foto,
duplikat teks proklamasi, ranji keluarga dari ayah dan ibu Bung Hatta,
bibliografi dan lukisan bung Hatta. 

Lampu gantung dan jam dinding merupakan koleksi asli yang sempat
terselamatkan, termasuk sebuah jam dinding menggunakan gandul yang tidak
berfungsi lagi. Bahkan terdapat sebuah mesin jahit kuno dikamar Mak
Saleh, diperkirakan produksi akhir abad 18, dengan pemutar mesin di
tangan.

Di halaman belakang terdapat sebuah sumur tua, yang diperkirakan telah
ada sejak 1860, ketika rumah itu sendiri belum dibangun. Hingga sekarang
sumur ini masih digunakan, dan sempat diteliti kondisi airnya oleh IPB.
Masih di dekat sumur tadi, terdapat empat ruangan berdinding batu yang
juga dijadikan kamar bujangan, dapur, kamar mandi dan ruang bendi.
Jangan lupa, juga terdapat kerangka sepeda asli buatan 1908, tapi
sebagian peralatannya telah diganti.

Walaupun bergaya Belanda dengan pintu dan jendela lebar, dikiri bangunan
terdapat dua lumbung padi, masing-masing milik Aminah (ibu Bung Hatta)
dan milik Saleh (paman). Di depan lumbung terdapat lesung penumbuk padi
dari batu, serta kandang kuda di bagian kanan dan kandang bendi yang
terbuka tanpa pintu. Tapi sebagai anak Minang, Bung Hatta hanya
beraktifitas di rumah tersebut hingga usia enam tahun, selanjutnya ia
teruskan menuntut ilmu dan tinggal di Surau. (eka r alka) 

 

(c) 2008 PADANG EKSPRES - Koran Nasional Dari Sumbar

 



--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke