Berikut 2 Tulisan BASYRAL HAMIDY HARAHAP nan alun mbo baco di Blog baliau 
perihal Perang Paderi, ciek nan dibawah dimuek di Kompas 27 Juli lalu.
di kopas dari http://basyral-hamidy-harahap.com/blog/

Sabalun pak Syaf membahas tentang nan beliau infokan Rabu 15 Okt lalu perihal 
Bedah Buku Christine Dobbin, dan juo Judul yang samo yang di laporkan kompas 
pado postingan pak syaf tersebut, berikut ambo tambahkan saketek artikel nan 
agak panjang dari Blog Opung Basyral HH itu.

Salam......
----------

PERANG PADERI BUKAN PERANG AGAMA
OLEH BASYRAL HAMIDY HARAHAP

Apa dan Siapa Christine Dobbin

Buku Christine Dobbin (1941-), Islamic Revivalism in a Changing Peasant 
Economy: Central Sumatra 1784-1847 pertama kali diterbitkan oleh Curzon Press 
bekerjasama dengan Scandinavian Institute of Asian Studies, sebagai Monograph 
Series No. 47 pada tahun 1983. Lembaga ini kemudian berubah nama menjadi Nordic 
Institute of Asian Studies, disingkat menjadi NIAS. Edisi bahasa Indonesianya 
diterbitkan oleh Indonesia Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) 
tahun 1992, di bawah judul Kebangkita Islam Dalam Ekonomi Petani yang Sedang 
Berubah: Sumatra Tengah 1784-1847. Enam belas tahun kemudian, 2008, Penerbit 
Komunitas Bambu di Depok menerbitkan lagi edisi bahasa Indonesia buku ini di 
bawah judul Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 
1784-1847.

Judul karya Christine Dobbin tersebut, menegaskan bahwa Christine Dobbin adalah 
sarjana sejarah yang mengenal dan benar-benar memahami Islam. Saya telah 
membaca seluruh halaman buku Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan 
Padri: Minangkabau 1784-1847 termasuk kickers. Kalimat panjang 56 kata Prof.Dr. 
Taufik Abdullah pada halaman kulit IV itu, adalah kutipan dari kumpulan esai 
Prof.Dr. Taufik Abdullah Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia yang 
diterbitkan oleh LP3ES 1987. 

Setelah membaca dengan tekun buku Christine Dobbin itu, saya berkesimpulan 
bahwa Perang Paderi sangat sarat dengan perilaku dagang semasa kepemimpinan 
Tuanku Imam Bonjol. Itu sebabnya judul resensi buku Christine Dobbin tersebut 
yang dimuat KOMPAS, 27 Juli 2008, menjadi Perang Dagang di Sumatera Barat. 

Disertasi Christine Dobbin sendiri adalah tentang kepemimpinan di Kota Bombay, 
India Barat di bawah judul Urban Leadership in Western India: Politics and 
Community in Bombay City 1840-1885, diterbitkan di London oleh Oxford 
University Press, 1972. Sebelumnya, Christine Dobbin sudah menulis sejumlah 
buku, di antaranya Basic Documents in the Development of India and Pakistan di 
terbitkan di London oleh Van Nostrand, 1970. Asian Entrepreneurial Minorities: 
Conjoint Communities in the Making of the World Economy, 1570-1940 diterbitkan 
di London oleh Richmond, Surrey (Curzon Press Ltd.) yang juga diterbitkan dalam 
terbitan berseri Scandinavian Monograph Series No. 71, 1996.

Pada tahun-tahun terakhir, Christine Dobbin melakukan riset tentang sejarah 
gagasan-gagasan (history of ideas) di dunia Timur dan dunia Barat, dan juga 
tentang hubungan agama dan pembangunan ekonomi. Kini Christine Dobbin adalah 
salah seorang peneliti di Australian National University di Canberra dan 
menjadi penasihat Departemen Luar Negeri Australia dalam berbagai masalah yang 
berkaitan dengan pembangunan di Indonesia.

Sejumlah artikelnya yang lain adalah: Economic Change in Minangkabau as a 
Factor in the Rise of the Padri Movement 1784-1830 diterbitkan dalam majalah 
terkemuka tentang studi Indonesia, Indonesia (Cornell University), vol. xxiii 
(1970). The Exercise of Authority in Minangkabau in the late 18th Century yang 
dimuat dalam buku suntingan Anthony Reid dan Lance Castles, Pre-Colonial State 
Systems in Southeast Asia diterbitkan di Kuala Lumpur, 1975. Islamic Revivalism 
in Minangkabau at the Turn of the Nineteenth Century yang dimuat dalam Modern 
Asian Studies, vol. viii (1974) di London. Kemudian artikel Tuanku Imam Bonjol 
(1772-1864) yang dimuat dalam majalah Indonesia (Cornel University) vol. xiii 
(1972).


Bedah Buku di Unimed

Buku Christine Dobbin Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: 
Minangkabau 1784-1847 ini dibedah di Unimed pada 14 Oktober 2008. Ikut 
berbicara dalam seminar itu sebagai pemakalah pertama Prof. Usman Pelly, dan 
Prof. Nur Ahmad Fadhil Lubis sebagai pemakalah kedua. Sedangkan Prof. Antonius 
Bungaran Simanjuntak bertindak sebagai pembahas.
Harian KOMPAS Edisi Sumbagut, 15 Oktober 2008 memberitakan, bahwa Prof. Nur 
Ahmad Fadhil Lubis menyimpulkan bahwa Christine Dobbin kurang memahami Islam. 
Saya mendapat kesan, bahwa Prof. Nur Ahmad Fadhil Lubis belum membaca buku itu 
secara tuntas. Karena kesimpulan itu tidak akan muncul dari orang yang 
sungguh-sungguh membaca buku itu. Pasalnya, kata kunci Islam yang dimunculkan 
pada judul dan pembahasannya di dalam buku, adalah tentang sejarah masuknya 
Islam dan keberagamaan orang Minangkabau. Hal itu cukup membuktikan bahwa 
Christine Dobbin memahami Islam dengan baik.

Apakah dalam setiap pembicaraan tentang pergerakan Islam itu harus disertai 
keharusan menuliskannya dalam kisah-kisah heroik yang gegap gempita, dan jika 
tidak, penulisnya jadi kurang memahami Islam? 

Sosiolog Prof. Usman Pelly lebih memandang gerakan radikal Padri sebagai suatu 
yang positif. Katanya, gerakan radikal Paderi tidak hanya mampu mengisi dan 
mendinamisasi perubahan sosial, tetapi juga memberikan perlindungan dan 
pengayoman kehidupan ekonomi baru yang mulai berkembang pada saat itu. Dan 
bahwa, kaum Padri merasa mendapat tugas sejarah untuk memulai sebuah perubahan 
radikal dari bawah. 

Kesimpulan Prof. Usman Pelly ini bukan saja keliru tetapi juga sangat gegabah. 
Karena ia telah menafikan tragedi kemanusiaan yang luar biasa yang dilakukan 
oleh kaum Padri, bukan saja di wilayah budaya Minangkabau, tetapi juga di 
Tapanuli. Perang Padri adalah perang paling lama (1803-1838) dan paling kejam 
dalam sejarah Indonesia abad XIX. Mereka bukan saja berupaya menguasai sumber 
daya ekonomi di luar Minangkabau, tetapi juga menghancurkan memori kolektif dan 
karya sastra serta perbendaharaan kearifan lokal dengan membakarnya dan 
membunuh orang-orang arif dan terhormat. 

Kalau begini cara berpikirnya, apakah kita harus memuji Daendels, penguasa yang 
telah membangun jalan ekonomi dari ujung ke ujung Pulau Jawa dari Anyer ke 
Panarukan, sementara proses pembangunannya sendiri menimbulkan tragedi 
kemanusiaan yang luar biasa? 


Penghancuran Tamadun Batak

Asisten Residen Mandailing Angkola (1848-1857), Alexander Philippus Godon, 
memperlihatkan kepada Dr. Herman Neubronner van der Tuuk ―ketika berkunjung ke 
Panyabungan bulan Maret 1852―, dua buku besar naskah Mandailing. Buku itu 
berhasil diselamatkan orang Mandailing dari kebringasan kaum Paderi yang 
membakari buku-buku di wilayah Tabagsel. Padahal, buku-buku itu berisi berbagai 
ilmu tentang pertanian, hukum, tradisi, pengobatan dll. 

Apa motivasi pemusnahan itu belum jelas, bisa saja disebabkan kebodohan kaum 
Paderi yang tidak mampu membaca aksara Mandailing, sehingga mereka ingin 
memusnahkannya. Ini merupakan bagian dari tragedi dan upaya penghapusan tamadun 
Mandailing. Maklumlah, sampai kini kita belum pernah membaca buku yang 
beraksara Minangkabau, karena mungkin mereka tak memiliki aksara sendiri.

Menarik penuturan Dr. Herman Neubronner van der Tuuk dalam Een Vorst Onder de 
Taalgeleerden: Herman Neubronner van der Tuuk Taalafgevaardigde voor Indië van 
het Nederlandsch Bijbelgenootschap 1847-1873: Een bronnenpublicatie bezorgd 
door Kees Groeneboer. . - Leiden: KITLV, 2002. - p. 123, bahwa dalam 
perjalanannya ke Panyabungan pertengahan Maret 1852 itu, ia beristirahat di 
warung kopi di Aek Sijorni di tepi Batang Angkola di dekat simpang ke kampung 
Bulu Gading. Van der Tuuk melihat seseorang membaca bagian dari satu buku 
beraksara Mandailing dalam bahasa Melayu berjudul Hikajat Toeankoe Orang Moeda. 
Halaman judul buku itu ditulis dengan aksara Arab gundul sedangkan isinya 
dengan aksara Mandailing berbahasa Melayu.

Beruntung, kecerdasan lokal ini tidak punah secara total, karena masih ada buku 
beraksara Mandailing yang selamat dari kezaliman kaum Paderi. Sehingga tradisi 
menulis buku dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan dan humaniora pada orang 
Mandailing masih berlanjut.

Perang Dagang

Saya sependapat dengan antropolog Prof. Bungaran Antonius Simanjuntak yang 
mengatakan, bahwa Perang Paderi bukanlah perang agama. Menurut penelitiannya, 
serbuan kaum Paderi ke Tapanuli Selatan adalah karena habisnya logistik di 
Sumatera Barat. 

Kuatnya semangat dagang orang Minangkabau dan kaum Padri digambarkan oleh 
Christine Dobbin secara gamblang. Beberapa penjelasan tentang semangat dagang 
kaum Paderi antara lain ditulis oleh Christine Dobbin pada halaman 260, 261, 
280, 281 sbb.:

Pada kira-kira tahun 1812, Bonjol mulai menarik penduduk dari tempat-tempat 
lain di Minangkabau. Mereka datang untuk mengkaji ajaran Padri maupun untuk 
ikut serta dalam perdagangan desa yang sedang berkembang. Sama seperti pemimpin 
utama Padri lainnya, Imam Bonjol ingin membuat kampung halamannya menjadi pusat 
dagang yang penting. Dalam memoarnya disebutkan bahwa segera setelah ia 
mendirikan tempat pemukiman itu, ia menanam padi dan pohon buah-buahan dan 
mendirikan tempat peternakan sapi dan kuda. Selanjutnya, ia berkata bahwa 
kira-kira pada tahun 1812, Bonjol “begitu makmur berkat meningkatnya industri 
dan perdagangan sehingga banyak orang datang ke situ karena tertarik pada 
murahnya harga bahan makanan sebab beras, ternak, dan kuda tersedia berlimpah”. 
Tambahan lagi, setelah benteng desa lebih disempurnakan dan penduduknya 
dipersenjatai dengan layak, “mereka memusatkan diri sepenuhnya pada 
perdagangan. Dengan menikmati keadaan damai dan bersatu, kemakmuran nagari 
Bonjol makin lama makin bertambah dan pedagang-pedagang dari tempat lain banyak 
yang datang ke sini” (hal. 260). 

Walaupun sulit dibedakan antara yang suci dan yang duniawi, keadaan menjadi 
lebih mudah oleh kenyataan bahwa Imam Bonjol dengan cepat menjadi pemimpin 
perang dan perhatiannya tertuju pada hal lain. Kepada murid-muridnya yang 
berbondong-bondong datang ke Bonjol, ia memberikan latihan silat. Kemudian, ia 
membentuk pasukan khusus setelah kedudukannya di lembah cukup kuat untuk 
menyatakan jihad kepada daerah sekitarnya. Ia lalu mengembangkan pola serbuan 
tahunan ke daerah-daerah sekitarnya dan pasukan Bonjol selalu kembali dengan 
hasil rampasan yang cukup banyak. Setelah menang perang, mereka beristirahat 
untuk bercocok tanam selama satu tahun sebelum melakukan serbuan lain. 
Serbuan-serbuan ini biasanya dilakukan atas permintaan salah seorang pemimpin 
Padri. Pada diri mereka bercampur erat semangat agama dan keserakahan 
manusiawi. Diberitakan pada suatu penyerbuan di Agam, orang Bonjol tidak saja 
kembali dengan membawa ternak rampasan, melainkan juga piring, cangkir, kuali, 
dan alat keperluan rumah tangga lainnya (hal. 261).

Kebanyakan perdagangan produk Batak pun berada di tangan orang-orang 
Minangkabau. Oleh sebab itu, serbuan pasukan Padri ke Mandailing dan hulu 
Barumun hanya merupakan satu tahap lain dalam pembebasan yang terus menerus 
dari dunia Minangkabau ke dunia Batak yang telah berlangsung berabad-abad (hal. 
280).

Tidak mengherankan jika Imam Bonjol memalingkan matanya ke utara, ke arah 
tetangganya yang kaya, setelah ia menetapkan kekuasaannya di Lembah Alahan 
Panjang. Lembah yang panjang dan sempit di sebelah lembahnya menampakkan 
kemakmuran yang cukup besar. Para pemimpin masyarakat Padri di Alahan Panjang 
menyadari bahwa kepemilikan atas tambang emas Rao pasti akan memberikan dimensi 
ekstra pada jaringan dagang yang hendak mereka ciptakan. Selain itu, tenaga 
kerja dari lembah itu juga merupakan tambahan yang sangat diharapkan. Imam 
Bonjol memulai serbuannya ke Rao dengan mengawasi pembuatan jalan yang baik ke 
Lubuk Sikaping, desa utama di ujung selatan lembah (hal. 281).

Tuanku Imam Bonjol Ingin Bebas

Dua kalimat terakhir Christine Dobbin dalam buku ini pada halaman 379 edisi 
bahasa Indonesia dan halaman 244 teks aslinya, sbb.: “Lebih dari segalanya, 
sejarahnya telah mencerminkan keinginannya. Hal itu telah diungkapkan oleh Imam 
Bonjol sebelum ia ditangkap, yakni menjadi “seorang Melayu yang bebas” (hal. 
379). [More than anything his history has reflected his wish, expressed by Imam 
Bonjol before his capture, to be “a free Malay”].
Wallahualam bis sawwab (DanAllah Maha Tahu sesungguhnya). 

(Basyral Hamidy Harahap, pemerhati sosial budaya Mandailing dan penulis buku 
Greget Tuanku Rao, 2007)
 
=====
 
PERANG DAGANG DI SUMATERA BARAT 
KOMPAS, Minggu 27 Juli 2008

BASYRAL HAMIDY HARAHAP

Artikel Rosihan Anwar, ”Perang Padri yang Tak Anda Ketahui”, yang dimuat oleh 
”Kompas”, 6 Februari 2006, menyoroti sisi gelap Perang Paderi. Tulisan Rosihan 
itu bersumber pada buku yang disusun oleh sejarawan militer Belanda, G Teitler, 
berjudul ”Het Einde van de Paderieoorlog: Het beleg en de vermeestering van 
Bonjol, 1834-1837: Een bronnenpublicatie.”
Rosihan, dalam artikelnya itu, bercerita tentang kebiasaan kaum Paderi menculik 
kaum perempuan dalam serangan, kemudian mengangkut mereka untuk dijual sebagai 
budak (slaves).
Ada satu buku lagi yang mengupas dinamika perubahan yang luar biasa dalam 
kehidupan ekonomi dan gerakan purifikasi ajaran Islam di Minangkabau. Dalam 
proses perubahan itu timbul banyak konflik yang mengakibatkan terjadi tragedi 
kemanusiaan. Buku itu ditulis sejarawan Christine Dobbin, berjudul asli Islamic 
Revivalism in a Changing Peasant Economy, Central Sumatra 1784-1847 (Curzon 
Press, 1983).

Dobbin mengawali paparannya secara detail tentang ekologi sosial dan topografi 
Minangkabau, tentang tantangan dan anugerah alam dalam gerakan perdagangan 
masyarakat Minangkabau. Kita terkesima membaca buku ini. Ternyata masih banyak 
yang tidak kita ketahui tentang perubahan sosial yang spektakuler dan tentang 
gerakan Paderi di Minangkabau dan Tapanuli.

Kurang lebih 75 persen dari buku bercerita tentang dinamika perubahan orang 
Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pantai barat dengan 
segala masalah yang ditimbulkannya, pertambangan emas dan besi, industri rumah, 
perbengkelan alat pertanian, senjata tajam dan bedil, pertukangan, pertenunan, 
perkebunan komoditi ekspor, persaingan dan perang dagang dengan Belanda. Hal 
itu terjadi sejak berabad sebelum timbul gerakan Paderi.

Menarik untuk disimak bahwa berabad sebelum lahirnya gerakan Paderi, agama 
Islam sudah lama berkembang di Natal, pantai barat Mandailing, Tapanuli Bagian 
Selatan. Hal ini terbukti dengan kehadiran Tuanku Lintau, seorang kaya, 
penduduk asli Lintau di Lembah Sinamar, yang datang ke Natal untuk belajar 
agama Islam. Kemudian Tuanku Lintau meneruskan pendidikannya ke Pasaman yang 
juga didiami orang Mandailing yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal. 

Usai menuntut ilmu agama Islam itu, kira-kira 1813, Tuanku Lintau kembali ke 
desanya membawa keyakinan bahwa sebagai penduduk Tanah Datar, ia mempunyai misi 
untuk memperbaiki tingkah laku dan moral penduduk lembah itu. Tuanku Lintau 
terkesan pada gerakan Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh di Agam. Ia 
pun bergabung dengan kaum Paderi.
Secara khusus Tuanku Lintau merasa wajib menyadarkan keluarga raja yang bergaya 
hidup tidak sesuai dengan ajaran Islam agar kembali ke jalan yang benar. 
Semula, Tuanku Lintau mendapat perlindungan dari Raja Muning, ialah Raja Alam 
Minangkabau yang bertakhta di Pagaruyung. Tetapi dalam perkembangan berikutnya, 
Tuanku Lintau justru melancarkan revolusi sosial karena ia yakin bahwa sistem 
kerajaan yang korup adalah hambatan bagi keberhasilan cita-citanya.

Tuanku Lintau dan pengikutnya menyerang Raja Alam. Banyak yang terbunuh, 
termasuk dua putra Raja Alam. Raja Alam dan cucunya berhasil menyelamatkan diri 
ke Lubuk Jambi di Inderagiri. Cucu Raja Alam ini kelak terkenal sebagai Sultan 
Alam Bagagar Syah, Raja Minangkabau terakhir.

Bahwa Natal di pantai barat Mandailing sebagai tempat pertama Tuanku Lintau 
menimba ilmu agama Islam membuktikan, ternyata Perang Paderi bukanlah gerakan 
Islamisasi di Mandailing. Karena berabad sebelum timbulnya gerakan Paderi, 
ulama-ulama sufi telah mengajarkan agama Islam kepada orang Mandailing Natal. 
Tokoh utama penyebar agama Islam di kawasan pantai barat sampai ke pedalaman 
Mandailing adalah ulama besar sufi Syekh Abdul Fattah (1765-1855). Ulama besar 
ini wafat dan dimakamkan di Pagaran Sigatal, Panyabungan. Murid-murid para sufi 
itulah yang secara damai membawa Islam ke pedalaman Mandailing.

Baik Paderi maupun Belanda saling khawatir terhadap ancaman penghancuran 
hegemoni dagang masing-masing di kawasan Minangkabau dan pantai barat itu. Itu 
sebabnya Belanda mengunci wilayah Padang sampai ke selatan agar tidak dijamah 
oleh kaum Paderi. Inilah yang mendorong pendudukan wilayah utara, dalam hal ini 
Rao dan Mandailing yang kaya emas berkualitas tinggi dan komoditi ekspor 
lainnya. Kita jadi mengerti mengapa gerakan perdagangan ini menjadi mengeras 
dalam era gerakan Paderi.

Gerakan Paderi di Mandailing mendapat perlawanan dari Sutan Kumala yang 
Dipertuan Hutasiantar, raja ulama sekaligus primus inter pares raja-raja 
Mandailing. Ia dijuluki oleh Belanda sebagai Primaat Mandailing.

Dobbin memaparkan bahwa perdagangan budak sangat penting bagi sistem Paderi. 
Pasalnya, budak-budak bukan saja sebagai dagangan, tetapi juga sebagai 
pengangkut barang dan tentara cadangan. Itu yang menyebabkan kaum Paderi dapat 
bertahan begitu lama dalam melancarkan peperangan.

Mungkin tidak enak untuk mengatakan bahwa Perang Paderi yang begitu lama 
(1803-1838), yang selama ini begitu disakralkan, disebut oleh Dobbin sebagai 
perang dagang. Fakta menunjukkan cara-cara kaum Paderi menggerakkan perang yang 
penuh kekerasan dan kebrutalan, jauh dari nilai-nilai Islam. Inilah yang 
mendorong kita sadar atau tidak sadar, lebih percaya kepada Dobbin.

Selain itu, Paderi mampu menggeser para pedagang yang beroperasi di permukiman 
orang Eropa yang berdekatan. Salah satu ciri gerakan Paderi yang menonjol 
adalah usaha membina perdagangan Minangkabau sekaligus melawan upaya-upaya dari 
luar yang hendak memonopoli perdagangan di kawasan ini.

Dobbin memaparkan bahwa gerakan Paderi, khususnya di utara Minangkabau, lebih 
pada gerakan perdagangan daripada gerakan penyebaran agama Islam. Pantaslah, 
tak satu pun bekas jejak kaum Paderi dalam bidang agama di kawasan itu.

Jadi, sesuai dengan sinyalemen saya di dalam buku Greget Tuanku Rao bahwa Islam 
dibawa oleh orang Mandailing sendiri dari Pasaman dan pantai barat Mandailing. 
Proses Islamisasi itu berlangsung secara damai dalam suasana kekeluargaan. 
Mereka telah mengenal Islam berabad sebelum keberadaan kaum Paderi. Reputasi 
Natal sebagai pusat perguruan Islam di pantai barat Mandailing telah dibuktikan 
oleh Tuanku Lintau, tokoh legendaris Paderi yang belajar agama Islam di Natal, 
sebelum ia menceburkan diri dalam gerakan Paderi.

Gerakan reformasi ajaran Islam dan perdagangan pra-Paderi, pada saat Paderi, 
dan pasca-Paderi pada hakikatnya adalah revolusi sosial yang dahsyat di 
Sumatera Barat. Tetapi, saya mendapat kesan bahwa Dobbin tidak mengenal secara 
langsung kawasan Mandailing dan pelabuhan-pelabuhannya di pantai barat. 
Padahal, kawasan itu sangat penting dalam kancah perdagangan kaum Paderi.

Selain itu, ada nama-nama tempat yang tidak dikenal di daerah itu, seperti 
Sungai Taru yang seharusnya Batangtoru, Achin seharusnya Aceh, Gunung Bualbuali 
seharusnya Sibualbuali. Seyogianya dalam penerjemahan dapat dilakukan 
penyelarasan nama-nama itu. Tetapi ternyata justru penerjemah buku ini menambah 
kekeliruan dengan memakai istilah-istilah Jawa yang tidak kena-mengena dengan 
tradisi di alam Minangkabau, seperti kraton dan ningrat yang seharusnya istana 
dan bangsawan.

Buku ini sangat layak dibaca oleh mereka yang ingin mengetahui kiat-kiat sukses 
orang Minangkabau dalam berniaga, sekaligus tentang taktik dan strategi gerakan 
Paderi, serta perubahan sosial yang luar biasa pada orang Minangkabau yang 
disebabkan oleh gerakan Paderi.

BASYRAL HAMIDY HARAHAP Penulis buku Greget Tuanku Rao, pemerhati masalah sosial 
budaya Mandailing


--~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~
=============================================================== 
UNTUK DIPERHATIKAN:
- Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di 
http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet
- Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting
- Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim 
melalui jalur pribadi
- Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau 
dibanned
- Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply
- Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru
=============================================================== 
Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] 
Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: 
https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id
Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di:
http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe
===============================================================
-~----------~----~----~----~------~----~------~--~---

Kirim email ke