Berikut 2 Tulisan BASYRAL HAMIDY HARAHAP nan alun mbo baco di Blog baliau perihal Perang Paderi, ciek nan dibawah dimuek di Kompas 27 Juli lalu. di kopas dari http://basyral-hamidy-harahap.com/blog/
Sabalun pak Syaf membahas tentang nan beliau infokan Rabu 15 Okt lalu perihal Bedah Buku Christine Dobbin, dan juo Judul yang samo yang di laporkan kompas pado postingan pak syaf tersebut, berikut ambo tambahkan saketek artikel nan agak panjang dari Blog Opung Basyral HH itu. Salam...... ---------- PERANG PADERI BUKAN PERANG AGAMA OLEH BASYRAL HAMIDY HARAHAP Apa dan Siapa Christine Dobbin Buku Christine Dobbin (1941-), Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy: Central Sumatra 1784-1847 pertama kali diterbitkan oleh Curzon Press bekerjasama dengan Scandinavian Institute of Asian Studies, sebagai Monograph Series No. 47 pada tahun 1983. Lembaga ini kemudian berubah nama menjadi Nordic Institute of Asian Studies, disingkat menjadi NIAS. Edisi bahasa Indonesianya diterbitkan oleh Indonesia Netherlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) tahun 1992, di bawah judul Kebangkita Islam Dalam Ekonomi Petani yang Sedang Berubah: Sumatra Tengah 1784-1847. Enam belas tahun kemudian, 2008, Penerbit Komunitas Bambu di Depok menerbitkan lagi edisi bahasa Indonesia buku ini di bawah judul Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847. Judul karya Christine Dobbin tersebut, menegaskan bahwa Christine Dobbin adalah sarjana sejarah yang mengenal dan benar-benar memahami Islam. Saya telah membaca seluruh halaman buku Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847 termasuk kickers. Kalimat panjang 56 kata Prof.Dr. Taufik Abdullah pada halaman kulit IV itu, adalah kutipan dari kumpulan esai Prof.Dr. Taufik Abdullah Islam dan Masyarakat: Pantulan Sejarah Indonesia yang diterbitkan oleh LP3ES 1987. Setelah membaca dengan tekun buku Christine Dobbin itu, saya berkesimpulan bahwa Perang Paderi sangat sarat dengan perilaku dagang semasa kepemimpinan Tuanku Imam Bonjol. Itu sebabnya judul resensi buku Christine Dobbin tersebut yang dimuat KOMPAS, 27 Juli 2008, menjadi Perang Dagang di Sumatera Barat. Disertasi Christine Dobbin sendiri adalah tentang kepemimpinan di Kota Bombay, India Barat di bawah judul Urban Leadership in Western India: Politics and Community in Bombay City 1840-1885, diterbitkan di London oleh Oxford University Press, 1972. Sebelumnya, Christine Dobbin sudah menulis sejumlah buku, di antaranya Basic Documents in the Development of India and Pakistan di terbitkan di London oleh Van Nostrand, 1970. Asian Entrepreneurial Minorities: Conjoint Communities in the Making of the World Economy, 1570-1940 diterbitkan di London oleh Richmond, Surrey (Curzon Press Ltd.) yang juga diterbitkan dalam terbitan berseri Scandinavian Monograph Series No. 71, 1996. Pada tahun-tahun terakhir, Christine Dobbin melakukan riset tentang sejarah gagasan-gagasan (history of ideas) di dunia Timur dan dunia Barat, dan juga tentang hubungan agama dan pembangunan ekonomi. Kini Christine Dobbin adalah salah seorang peneliti di Australian National University di Canberra dan menjadi penasihat Departemen Luar Negeri Australia dalam berbagai masalah yang berkaitan dengan pembangunan di Indonesia. Sejumlah artikelnya yang lain adalah: Economic Change in Minangkabau as a Factor in the Rise of the Padri Movement 1784-1830 diterbitkan dalam majalah terkemuka tentang studi Indonesia, Indonesia (Cornell University), vol. xxiii (1970). The Exercise of Authority in Minangkabau in the late 18th Century yang dimuat dalam buku suntingan Anthony Reid dan Lance Castles, Pre-Colonial State Systems in Southeast Asia diterbitkan di Kuala Lumpur, 1975. Islamic Revivalism in Minangkabau at the Turn of the Nineteenth Century yang dimuat dalam Modern Asian Studies, vol. viii (1974) di London. Kemudian artikel Tuanku Imam Bonjol (1772-1864) yang dimuat dalam majalah Indonesia (Cornel University) vol. xiii (1972). Bedah Buku di Unimed Buku Christine Dobbin Gejolak Ekonomi, Kebangkitan Islam, dan Gerakan Padri: Minangkabau 1784-1847 ini dibedah di Unimed pada 14 Oktober 2008. Ikut berbicara dalam seminar itu sebagai pemakalah pertama Prof. Usman Pelly, dan Prof. Nur Ahmad Fadhil Lubis sebagai pemakalah kedua. Sedangkan Prof. Antonius Bungaran Simanjuntak bertindak sebagai pembahas. Harian KOMPAS Edisi Sumbagut, 15 Oktober 2008 memberitakan, bahwa Prof. Nur Ahmad Fadhil Lubis menyimpulkan bahwa Christine Dobbin kurang memahami Islam. Saya mendapat kesan, bahwa Prof. Nur Ahmad Fadhil Lubis belum membaca buku itu secara tuntas. Karena kesimpulan itu tidak akan muncul dari orang yang sungguh-sungguh membaca buku itu. Pasalnya, kata kunci Islam yang dimunculkan pada judul dan pembahasannya di dalam buku, adalah tentang sejarah masuknya Islam dan keberagamaan orang Minangkabau. Hal itu cukup membuktikan bahwa Christine Dobbin memahami Islam dengan baik. Apakah dalam setiap pembicaraan tentang pergerakan Islam itu harus disertai keharusan menuliskannya dalam kisah-kisah heroik yang gegap gempita, dan jika tidak, penulisnya jadi kurang memahami Islam? Sosiolog Prof. Usman Pelly lebih memandang gerakan radikal Padri sebagai suatu yang positif. Katanya, gerakan radikal Paderi tidak hanya mampu mengisi dan mendinamisasi perubahan sosial, tetapi juga memberikan perlindungan dan pengayoman kehidupan ekonomi baru yang mulai berkembang pada saat itu. Dan bahwa, kaum Padri merasa mendapat tugas sejarah untuk memulai sebuah perubahan radikal dari bawah. Kesimpulan Prof. Usman Pelly ini bukan saja keliru tetapi juga sangat gegabah. Karena ia telah menafikan tragedi kemanusiaan yang luar biasa yang dilakukan oleh kaum Padri, bukan saja di wilayah budaya Minangkabau, tetapi juga di Tapanuli. Perang Padri adalah perang paling lama (1803-1838) dan paling kejam dalam sejarah Indonesia abad XIX. Mereka bukan saja berupaya menguasai sumber daya ekonomi di luar Minangkabau, tetapi juga menghancurkan memori kolektif dan karya sastra serta perbendaharaan kearifan lokal dengan membakarnya dan membunuh orang-orang arif dan terhormat. Kalau begini cara berpikirnya, apakah kita harus memuji Daendels, penguasa yang telah membangun jalan ekonomi dari ujung ke ujung Pulau Jawa dari Anyer ke Panarukan, sementara proses pembangunannya sendiri menimbulkan tragedi kemanusiaan yang luar biasa? Penghancuran Tamadun Batak Asisten Residen Mandailing Angkola (1848-1857), Alexander Philippus Godon, memperlihatkan kepada Dr. Herman Neubronner van der Tuuk ―ketika berkunjung ke Panyabungan bulan Maret 1852―, dua buku besar naskah Mandailing. Buku itu berhasil diselamatkan orang Mandailing dari kebringasan kaum Paderi yang membakari buku-buku di wilayah Tabagsel. Padahal, buku-buku itu berisi berbagai ilmu tentang pertanian, hukum, tradisi, pengobatan dll. Apa motivasi pemusnahan itu belum jelas, bisa saja disebabkan kebodohan kaum Paderi yang tidak mampu membaca aksara Mandailing, sehingga mereka ingin memusnahkannya. Ini merupakan bagian dari tragedi dan upaya penghapusan tamadun Mandailing. Maklumlah, sampai kini kita belum pernah membaca buku yang beraksara Minangkabau, karena mungkin mereka tak memiliki aksara sendiri. Menarik penuturan Dr. Herman Neubronner van der Tuuk dalam Een Vorst Onder de Taalgeleerden: Herman Neubronner van der Tuuk Taalafgevaardigde voor Indië van het Nederlandsch Bijbelgenootschap 1847-1873: Een bronnenpublicatie bezorgd door Kees Groeneboer. . - Leiden: KITLV, 2002. - p. 123, bahwa dalam perjalanannya ke Panyabungan pertengahan Maret 1852 itu, ia beristirahat di warung kopi di Aek Sijorni di tepi Batang Angkola di dekat simpang ke kampung Bulu Gading. Van der Tuuk melihat seseorang membaca bagian dari satu buku beraksara Mandailing dalam bahasa Melayu berjudul Hikajat Toeankoe Orang Moeda. Halaman judul buku itu ditulis dengan aksara Arab gundul sedangkan isinya dengan aksara Mandailing berbahasa Melayu. Beruntung, kecerdasan lokal ini tidak punah secara total, karena masih ada buku beraksara Mandailing yang selamat dari kezaliman kaum Paderi. Sehingga tradisi menulis buku dalam berbagai lapangan ilmu pengetahuan dan humaniora pada orang Mandailing masih berlanjut. Perang Dagang Saya sependapat dengan antropolog Prof. Bungaran Antonius Simanjuntak yang mengatakan, bahwa Perang Paderi bukanlah perang agama. Menurut penelitiannya, serbuan kaum Paderi ke Tapanuli Selatan adalah karena habisnya logistik di Sumatera Barat. Kuatnya semangat dagang orang Minangkabau dan kaum Padri digambarkan oleh Christine Dobbin secara gamblang. Beberapa penjelasan tentang semangat dagang kaum Paderi antara lain ditulis oleh Christine Dobbin pada halaman 260, 261, 280, 281 sbb.: Pada kira-kira tahun 1812, Bonjol mulai menarik penduduk dari tempat-tempat lain di Minangkabau. Mereka datang untuk mengkaji ajaran Padri maupun untuk ikut serta dalam perdagangan desa yang sedang berkembang. Sama seperti pemimpin utama Padri lainnya, Imam Bonjol ingin membuat kampung halamannya menjadi pusat dagang yang penting. Dalam memoarnya disebutkan bahwa segera setelah ia mendirikan tempat pemukiman itu, ia menanam padi dan pohon buah-buahan dan mendirikan tempat peternakan sapi dan kuda. Selanjutnya, ia berkata bahwa kira-kira pada tahun 1812, Bonjol “begitu makmur berkat meningkatnya industri dan perdagangan sehingga banyak orang datang ke situ karena tertarik pada murahnya harga bahan makanan sebab beras, ternak, dan kuda tersedia berlimpah”. Tambahan lagi, setelah benteng desa lebih disempurnakan dan penduduknya dipersenjatai dengan layak, “mereka memusatkan diri sepenuhnya pada perdagangan. Dengan menikmati keadaan damai dan bersatu, kemakmuran nagari Bonjol makin lama makin bertambah dan pedagang-pedagang dari tempat lain banyak yang datang ke sini” (hal. 260). Walaupun sulit dibedakan antara yang suci dan yang duniawi, keadaan menjadi lebih mudah oleh kenyataan bahwa Imam Bonjol dengan cepat menjadi pemimpin perang dan perhatiannya tertuju pada hal lain. Kepada murid-muridnya yang berbondong-bondong datang ke Bonjol, ia memberikan latihan silat. Kemudian, ia membentuk pasukan khusus setelah kedudukannya di lembah cukup kuat untuk menyatakan jihad kepada daerah sekitarnya. Ia lalu mengembangkan pola serbuan tahunan ke daerah-daerah sekitarnya dan pasukan Bonjol selalu kembali dengan hasil rampasan yang cukup banyak. Setelah menang perang, mereka beristirahat untuk bercocok tanam selama satu tahun sebelum melakukan serbuan lain. Serbuan-serbuan ini biasanya dilakukan atas permintaan salah seorang pemimpin Padri. Pada diri mereka bercampur erat semangat agama dan keserakahan manusiawi. Diberitakan pada suatu penyerbuan di Agam, orang Bonjol tidak saja kembali dengan membawa ternak rampasan, melainkan juga piring, cangkir, kuali, dan alat keperluan rumah tangga lainnya (hal. 261). Kebanyakan perdagangan produk Batak pun berada di tangan orang-orang Minangkabau. Oleh sebab itu, serbuan pasukan Padri ke Mandailing dan hulu Barumun hanya merupakan satu tahap lain dalam pembebasan yang terus menerus dari dunia Minangkabau ke dunia Batak yang telah berlangsung berabad-abad (hal. 280). Tidak mengherankan jika Imam Bonjol memalingkan matanya ke utara, ke arah tetangganya yang kaya, setelah ia menetapkan kekuasaannya di Lembah Alahan Panjang. Lembah yang panjang dan sempit di sebelah lembahnya menampakkan kemakmuran yang cukup besar. Para pemimpin masyarakat Padri di Alahan Panjang menyadari bahwa kepemilikan atas tambang emas Rao pasti akan memberikan dimensi ekstra pada jaringan dagang yang hendak mereka ciptakan. Selain itu, tenaga kerja dari lembah itu juga merupakan tambahan yang sangat diharapkan. Imam Bonjol memulai serbuannya ke Rao dengan mengawasi pembuatan jalan yang baik ke Lubuk Sikaping, desa utama di ujung selatan lembah (hal. 281). Tuanku Imam Bonjol Ingin Bebas Dua kalimat terakhir Christine Dobbin dalam buku ini pada halaman 379 edisi bahasa Indonesia dan halaman 244 teks aslinya, sbb.: “Lebih dari segalanya, sejarahnya telah mencerminkan keinginannya. Hal itu telah diungkapkan oleh Imam Bonjol sebelum ia ditangkap, yakni menjadi “seorang Melayu yang bebas” (hal. 379). [More than anything his history has reflected his wish, expressed by Imam Bonjol before his capture, to be “a free Malay”]. Wallahualam bis sawwab (DanAllah Maha Tahu sesungguhnya). (Basyral Hamidy Harahap, pemerhati sosial budaya Mandailing dan penulis buku Greget Tuanku Rao, 2007) ===== PERANG DAGANG DI SUMATERA BARAT KOMPAS, Minggu 27 Juli 2008 BASYRAL HAMIDY HARAHAP Artikel Rosihan Anwar, ”Perang Padri yang Tak Anda Ketahui”, yang dimuat oleh ”Kompas”, 6 Februari 2006, menyoroti sisi gelap Perang Paderi. Tulisan Rosihan itu bersumber pada buku yang disusun oleh sejarawan militer Belanda, G Teitler, berjudul ”Het Einde van de Paderieoorlog: Het beleg en de vermeestering van Bonjol, 1834-1837: Een bronnenpublicatie.” Rosihan, dalam artikelnya itu, bercerita tentang kebiasaan kaum Paderi menculik kaum perempuan dalam serangan, kemudian mengangkut mereka untuk dijual sebagai budak (slaves). Ada satu buku lagi yang mengupas dinamika perubahan yang luar biasa dalam kehidupan ekonomi dan gerakan purifikasi ajaran Islam di Minangkabau. Dalam proses perubahan itu timbul banyak konflik yang mengakibatkan terjadi tragedi kemanusiaan. Buku itu ditulis sejarawan Christine Dobbin, berjudul asli Islamic Revivalism in a Changing Peasant Economy, Central Sumatra 1784-1847 (Curzon Press, 1983). Dobbin mengawali paparannya secara detail tentang ekologi sosial dan topografi Minangkabau, tentang tantangan dan anugerah alam dalam gerakan perdagangan masyarakat Minangkabau. Kita terkesima membaca buku ini. Ternyata masih banyak yang tidak kita ketahui tentang perubahan sosial yang spektakuler dan tentang gerakan Paderi di Minangkabau dan Tapanuli. Kurang lebih 75 persen dari buku bercerita tentang dinamika perubahan orang Minangkabau dalam liku-liku perdagangan di pedalaman dan pantai barat dengan segala masalah yang ditimbulkannya, pertambangan emas dan besi, industri rumah, perbengkelan alat pertanian, senjata tajam dan bedil, pertukangan, pertenunan, perkebunan komoditi ekspor, persaingan dan perang dagang dengan Belanda. Hal itu terjadi sejak berabad sebelum timbul gerakan Paderi. Menarik untuk disimak bahwa berabad sebelum lahirnya gerakan Paderi, agama Islam sudah lama berkembang di Natal, pantai barat Mandailing, Tapanuli Bagian Selatan. Hal ini terbukti dengan kehadiran Tuanku Lintau, seorang kaya, penduduk asli Lintau di Lembah Sinamar, yang datang ke Natal untuk belajar agama Islam. Kemudian Tuanku Lintau meneruskan pendidikannya ke Pasaman yang juga didiami orang Mandailing yang menganut sistem kekeluargaan patrilineal. Usai menuntut ilmu agama Islam itu, kira-kira 1813, Tuanku Lintau kembali ke desanya membawa keyakinan bahwa sebagai penduduk Tanah Datar, ia mempunyai misi untuk memperbaiki tingkah laku dan moral penduduk lembah itu. Tuanku Lintau terkesan pada gerakan Paderi yang dipimpin oleh Tuanku Nan Renceh di Agam. Ia pun bergabung dengan kaum Paderi. Secara khusus Tuanku Lintau merasa wajib menyadarkan keluarga raja yang bergaya hidup tidak sesuai dengan ajaran Islam agar kembali ke jalan yang benar. Semula, Tuanku Lintau mendapat perlindungan dari Raja Muning, ialah Raja Alam Minangkabau yang bertakhta di Pagaruyung. Tetapi dalam perkembangan berikutnya, Tuanku Lintau justru melancarkan revolusi sosial karena ia yakin bahwa sistem kerajaan yang korup adalah hambatan bagi keberhasilan cita-citanya. Tuanku Lintau dan pengikutnya menyerang Raja Alam. Banyak yang terbunuh, termasuk dua putra Raja Alam. Raja Alam dan cucunya berhasil menyelamatkan diri ke Lubuk Jambi di Inderagiri. Cucu Raja Alam ini kelak terkenal sebagai Sultan Alam Bagagar Syah, Raja Minangkabau terakhir. Bahwa Natal di pantai barat Mandailing sebagai tempat pertama Tuanku Lintau menimba ilmu agama Islam membuktikan, ternyata Perang Paderi bukanlah gerakan Islamisasi di Mandailing. Karena berabad sebelum timbulnya gerakan Paderi, ulama-ulama sufi telah mengajarkan agama Islam kepada orang Mandailing Natal. Tokoh utama penyebar agama Islam di kawasan pantai barat sampai ke pedalaman Mandailing adalah ulama besar sufi Syekh Abdul Fattah (1765-1855). Ulama besar ini wafat dan dimakamkan di Pagaran Sigatal, Panyabungan. Murid-murid para sufi itulah yang secara damai membawa Islam ke pedalaman Mandailing. Baik Paderi maupun Belanda saling khawatir terhadap ancaman penghancuran hegemoni dagang masing-masing di kawasan Minangkabau dan pantai barat itu. Itu sebabnya Belanda mengunci wilayah Padang sampai ke selatan agar tidak dijamah oleh kaum Paderi. Inilah yang mendorong pendudukan wilayah utara, dalam hal ini Rao dan Mandailing yang kaya emas berkualitas tinggi dan komoditi ekspor lainnya. Kita jadi mengerti mengapa gerakan perdagangan ini menjadi mengeras dalam era gerakan Paderi. Gerakan Paderi di Mandailing mendapat perlawanan dari Sutan Kumala yang Dipertuan Hutasiantar, raja ulama sekaligus primus inter pares raja-raja Mandailing. Ia dijuluki oleh Belanda sebagai Primaat Mandailing. Dobbin memaparkan bahwa perdagangan budak sangat penting bagi sistem Paderi. Pasalnya, budak-budak bukan saja sebagai dagangan, tetapi juga sebagai pengangkut barang dan tentara cadangan. Itu yang menyebabkan kaum Paderi dapat bertahan begitu lama dalam melancarkan peperangan. Mungkin tidak enak untuk mengatakan bahwa Perang Paderi yang begitu lama (1803-1838), yang selama ini begitu disakralkan, disebut oleh Dobbin sebagai perang dagang. Fakta menunjukkan cara-cara kaum Paderi menggerakkan perang yang penuh kekerasan dan kebrutalan, jauh dari nilai-nilai Islam. Inilah yang mendorong kita sadar atau tidak sadar, lebih percaya kepada Dobbin. Selain itu, Paderi mampu menggeser para pedagang yang beroperasi di permukiman orang Eropa yang berdekatan. Salah satu ciri gerakan Paderi yang menonjol adalah usaha membina perdagangan Minangkabau sekaligus melawan upaya-upaya dari luar yang hendak memonopoli perdagangan di kawasan ini. Dobbin memaparkan bahwa gerakan Paderi, khususnya di utara Minangkabau, lebih pada gerakan perdagangan daripada gerakan penyebaran agama Islam. Pantaslah, tak satu pun bekas jejak kaum Paderi dalam bidang agama di kawasan itu. Jadi, sesuai dengan sinyalemen saya di dalam buku Greget Tuanku Rao bahwa Islam dibawa oleh orang Mandailing sendiri dari Pasaman dan pantai barat Mandailing. Proses Islamisasi itu berlangsung secara damai dalam suasana kekeluargaan. Mereka telah mengenal Islam berabad sebelum keberadaan kaum Paderi. Reputasi Natal sebagai pusat perguruan Islam di pantai barat Mandailing telah dibuktikan oleh Tuanku Lintau, tokoh legendaris Paderi yang belajar agama Islam di Natal, sebelum ia menceburkan diri dalam gerakan Paderi. Gerakan reformasi ajaran Islam dan perdagangan pra-Paderi, pada saat Paderi, dan pasca-Paderi pada hakikatnya adalah revolusi sosial yang dahsyat di Sumatera Barat. Tetapi, saya mendapat kesan bahwa Dobbin tidak mengenal secara langsung kawasan Mandailing dan pelabuhan-pelabuhannya di pantai barat. Padahal, kawasan itu sangat penting dalam kancah perdagangan kaum Paderi. Selain itu, ada nama-nama tempat yang tidak dikenal di daerah itu, seperti Sungai Taru yang seharusnya Batangtoru, Achin seharusnya Aceh, Gunung Bualbuali seharusnya Sibualbuali. Seyogianya dalam penerjemahan dapat dilakukan penyelarasan nama-nama itu. Tetapi ternyata justru penerjemah buku ini menambah kekeliruan dengan memakai istilah-istilah Jawa yang tidak kena-mengena dengan tradisi di alam Minangkabau, seperti kraton dan ningrat yang seharusnya istana dan bangsawan. Buku ini sangat layak dibaca oleh mereka yang ingin mengetahui kiat-kiat sukses orang Minangkabau dalam berniaga, sekaligus tentang taktik dan strategi gerakan Paderi, serta perubahan sosial yang luar biasa pada orang Minangkabau yang disebabkan oleh gerakan Paderi. BASYRAL HAMIDY HARAHAP Penulis buku Greget Tuanku Rao, pemerhati masalah sosial budaya Mandailing --~--~---------~--~----~------------~-------~--~----~ =============================================================== UNTUK DIPERHATIKAN: - Wajib mematuhi Peraturan Palanta RantauNet, mohon dibaca & dipahami! Lihat di http://groups.google.com/group/RantauNet/web/peraturan-rantaunet - Tulis Nama, Umur & Lokasi anda pada setiap posting - Dilarang mengirim email attachment! Tawarkan kepada yg berminat & kirim melalui jalur pribadi - Dilarang posting email besar dari >200KB. Jika melanggar akan dimoderasi atau dibanned - Hapus footer & bagian tdk perlu dalam melakukan reply - Jangan menggunakan reply utk topik/subjek baru =============================================================== Berhenti, kirim email kosong ke: [EMAIL PROTECTED] Daftarkan email anda yg terdaftar pada Google Account di: https://www.google.com/accounts/NewAccount?hl=id Untuk dpt melakukan konfigurasi keanggotaan di: http://groups.google.com/group/RantauNet/subscribe =============================================================== -~----------~----~----~----~------~----~------~--~---